Teori Jahmiyah Tentang Ketuhanan
Klasifikasi
Full Description
Teori Jahmiyah Tentang Ketuhanan
الشرك في الربوبية بتعطيل الصانع
Teori Jahmiyah Tentang Ketuhanan
Segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, kami memuji -Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada -Nya, kami berlindung kepada -Nya dari kejahatan diri-diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang -Dia sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul -Nya.
Amma Ba'du:
Penjelasan Mengenai Bentuk-bentuk Kesyirikan dalam Rububiyah Dengan Mengingkari (Ta’thil) Sang Pencipta dari Kesempurnaan -Nya yang Suci dan Tetap bagi -Nya.
Pengantar:
Penjelasan mengenai pengingkaran terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla dari nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan -Nya dan termasuk dalam kesyirikan.
Sebagaimana telah kita jelaskan secara umum mengenai penolakan terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla yang merupakan bagian dari kesyirikan. Dengan menyebutkan nukilan dari para pakar dalam masalah ini[1]. Dengan demikian, maka bisa kita simpulkan secara ringkas apa yang telah disebutkan pada pembahasan yang telah lalu,
sebagai berikut:
Pertama: Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para muhaqiq (pengamat), bahwa syirik adalah lawan dari pada tauhid. Apabila kita katakan, "Sesungguhnya tauhid memiliki tiga macam yaitu Rububiyah, Asma’ was Shifat, dan Uluhiyah. Dengan demikian, maka kita juga bisa menentukan apa yang menjadi lawannya yaitu kesyirikan. Dan lawannya ini bisa terbagi menjadi
dua macam :
1. Dengan cara tha’til (menolaknya).
2. Dengan menetapkan ketiga macam tauhid tersebut kepada selain Allah ta’ala.
Adapun tha’til, maka ini dilatar belakangi kejadiannya dengan cara mengingkari rububiyah Allah Shubhanahu wa ta’alla secara mutlak. Atau dengan cara mengingkari kesempurnaan -Nya yang maha suci yang telah melekat pada -Nya atau bisa juga dengan cara mengingkari keduanya secara bersamaan. Adapun yang pertama, yaitu kesyirikan dalam rububiyah, maka caranya dengan menolak Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai pencipta yang telah menciptakan makhluk -Nya. Dan ini, telah berlalu pembahasaannya pada pembahasan pertama.
Sedangkan yang kedua, maka hal itu merupakan kesyirikan dalam rububiyah dan asma’ was shifat, serta perbuatan-perbuatan -Nya, yaitu dengan cara menolak kesempurnaan yang ada pada Allah azza wa jalla. Inilah yang akan menjadi inti pokok pembahasan pada pembahasan kita kali ini, sesuai dengan kehendak Allah Shubhanahu wa ta’alla. Adapun yang ketiga, maka perinciannya akan kita angkat pada pembahasan ketiga, insya Allah.
Sedangkan penetapannya kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla maka terjadi dari segi dzat, sifat, dan perbuatan -Nya. Dan sisi ini akan menjadi pembahasan pada sub pasal kedua dengan kehendak Allah Shubhanahu wa ta’alla. Dengan itu kita ketahui bahwa penolakan (tha’til) bisa menjadi sebuah kesyirikan dalam rububiyah, asma was shifat dan perbuatan Allah Shubhanahu wa ta’alla, yaitu dillihat dari sisi keterangan bahwa rububiyah, asma’ was shifat, dan perbuatan Allah Shubhanahu wa ta’alla merupakan bagian dari tauhid.
Pertama:
Sesungguhnya seorang hamba tidak pernah bisa terlepas dari yang namanya ritual peribadahan secara mutlak. Karena memang dirinya membutuhkan peribadatan tersebut, dimana ia sangat berkeinginan dan berambisi sekali untuk bisa ibadah.
Dan tatkala disadari bahwa kefakiran memerlukan kepada sesuatu yang dapat mencukupinya dari kefakiran yang lagi dideritanya. Maka apabila ada makhluk yang mengingkari adanya pencipta, dalam hal ini adalah Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau menolak nama dan sifat-sifat -Nya, perbuatan-perbuatan -Nya, atau menolak keduanya. Maka, secara tidak langsung akan mendorong dirinya harus menemukan dzat lain sebagai sarana yang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya, dan ini adalah suatu kelaziman, mau atau tidak mau. Oleh karena itu, barangsiapa yang menjadikan dzat selain Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai tempat pelampiasan untuk diminta memenuhi kebutuhannya, maka secara langsung dirinya telah menjadikannya sebagai tuhan selain Allah azza wa jalla.
Contoh konkretnya adalah, bahwa orang yang mengingkari adanya Rabb atau pencipta, sesungguhnya ia sedang hidup di alam semesta ini. Dan yang namanya kehidupan ini, tidak mungkin bisa terlepas dari yang namanya kelelahan dan berbagai macam permasalahan. Sehingga orang yang mengingkari rububiyah dalam menghadapi kelelahan dan berbagai macam persoalan hidup yang ada, maka tidak terlepas dari dua kondisi, mungkin dia akan mengatakan, "Aku adalah penguasa bagi diriku sendiri, yang mampu untuk menyelesaikan berbagai problematika ini sendirian, tanpa ada campur tangan dari pihak orang lain". Tatkala itu, maka dirinya sedang menjadi seorang pendusta, tidak perlu disangsikan lagi.
Atau dirinya akan mengatakan, "Sesungguhnya si fulan, atau peraturan tertentu akan mengatasi segala problem yang sedang saya hadapi". Maka Ketika itu, dia telah menjadikan seorang makhluk atau peraturan tertentu dalam kedudukan setara dengan rububiyah, walaupun ia tidak visualisasikan secara jelas, atau tidak mengakui hal tersebut.
Demikianlah, keadaan orang yang mengingkari nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla, sifat-sifat -Nya dan perbuatan-perbuatan -Nya, yang mana ciptaan Allah Shubhanahu wa ta’alla termasuk bagian dari kandungan keadilan dan hikmah -Nya. Maka orang yang berkeyakinan semacam tadi secara tidak langsung telah menetapkan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan ini kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, walaupun ia sendiri barangkali mengingkarinya dan mengakui yang lain.
Hal itu, dikarenakan nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla, sifat-sifat -Nya dan perbuatan-perbuatan -Nya secara keseluruhan adalah kelaziman yang ada pada dzat -Nya, dan kelaziman yang harus ada dari para hamba -Nya. Sehingga menjadi jelas bahwa nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan -Nya merupakan ketetapan yang mutlak bagi -Nya, yang konsekuensinya para hamba sangat membutuhkan sekali untuk berdoa dengan menggunakan nama-nama -Nya. Dan tertuntut bagi dirinya untuk mengetahui sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla dan perbuatan-perbuatan -Nya.
Dan keberadaan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah Shubhanahu wa ta’alla memiliki konsekuensi bagi setiap hamba kesadaran didalam kebutuhannya terhadap peribadahan yang harus diberikan kepada -Nya. Oleh karena itu Imam Ibnul Qayim menerangkan, "Nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla yang indah, dan sifat-sifat -Nya yang Maha tinggi menuntut seorang hamba adanya pengaruh dalam penghambaan dan memenuhi perintah -Nya, yang merupakan dorongan dari pengaruh nama dan sifat -Nya, dari penciptaan dan pengadaan makhluk.
Maka setiap sifat terkandung penghambaan yang khusus, dan itu termasuk sebuah pendorong dan kelaziman yang akan mendorong bagi seorang hamba untuk mengetahui nama dan sifat-sifat -Nya secara benar dan lurus pemahamannya. Dan ini berlaku pada setiap jenis peribadahan yang berkaitan dengan hati dan anggota badan.
Pengetahuan seorang hamba tentang keesaan Allah ta’ala dalam memberikan manfaat dan mudharat, memberi dan menahannya, menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, akan membuahkan baginya ibadah tawakal secara batin, dan konsekuensi yang berkaitan dengan tawakal dan buahnya secara nyata.
Pengetahuannya tentang pendengaran Allah Shubhanahu wa ta’alla dan penglihatan -Nya, ilmu -Nya, bahwasanya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla di langit maupun di bumi, walaupun sebesar biji sawi. Allah Shubhanahu wa ta’alla mengetahui apa yang tersembunyi dan mengetahui mata yang berkhianat, dan apa yang disembunyikan dalam hati. Maka hal itu, akan membuahkan pada dirinya untuk senantiasa menjaga lisan, anggota badan, dan apa yang direncanakan oleh hatinya dari segala sesuatu yang tidak diridhai oleh -Nya. Serta menjadikan keterkaitan seluruh anggota badannya dengan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Sehingga hal itu, akan membuahkan rasa malu secara batin dan rasa malu yang mengantarkan untuk menjauhi hal-hal yang buruk dan haram. Pengetahuan mengenai kekayaan Allah Shubhanahu wa ta’alla, kedermawanan -Nya, kemulian -Nya, kebaikan -Nya, perbuatan baik -Nya, rahmat -Nya, mengharuskan untuk meluaskan pengharapannya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Sehingga efeknya akan membuahkan jenis-jenis penghambaan secara batin dan dhohir sesuai dengan kadar pengetahuan dan ilmunya.
Begitu juga pengetahuannya tentang kemuliaan, keagungan, dan kebesaran Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka akan membuahkan ketundukan, ketenangan dan rasa cinta. Keadaan batin tersebut akan menghasilkan peribadahan secara dhohir yang termasuk faktor kewajiban yang melekat padanya. Pengetahuan mengenai kesempurnaan -Nya, keindahan -Nya, dan sifat-sifat -Nya yang maha tinggi mengharuskan baginya memiliki kecintaan yang khusus sehingga berbuah pada berbagai bentuk peribadahan.
Maka peribadahan, seluruhnya kembali kepada konsekuensi yang terkandung dari nama-nama dan sifat-sifatNya. Yang sangat erat kaitannya dengan penciptaan. Maka penciptaanNya dan perintahNya merupakan keharusan bagi nama-nama dan sifat-sifat -Nya di alam semesta. Serta pengaruh-pengaruhnya dan bagian dari konsekuensinya".[2]
Dalam kesempatan lain beliau juga menyampaikan, "Nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla yang baik mengharuskan seorang hamba untuk memutus hubungan dengan dosa. Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla Maha pengampun, Maha penerima taubat, Maha pemaaf, dan Maha lembut. Nama-nama ini mengharuskan adanya pengaruh dan kelazimannya". [3] Beliau juga mengatakan, "Bahwa Allah ta’ala memiliki nama-nama yang baik, dan setiap nama memiliki pengaruh dalam penciptaan dan urusan -Nya, yang mengharuskan adanya keterkaitan dengan hal tersebut. Sebagaimana keterkaitan antara orang yang diberi rizki, dengan rizki itu sendiri, terhadap orang yang memberinya rizki.
Dan keterkaitan antara orang yang diberi kasih sayang, sebab untuk mendapat kasih sayang, dan Yang Maha Penyayang". [4] Serta keterkaitan antara yang dipandang dan didengar oleh Yang Maha mendengar dan Maha melihat. Maka hal tersebut bisa diumpamakan terhadap seluruh nama-nama Allah azza wa jalla. Bila diperhatikan maka perkara-perkara ini saling berkaitan erat satu sama lainnya. Kandungan makna-maknanya mengharuskan adanya keterkaitan yang berhubungan dengan nama-nama Allah ta'ala. Dan bab ini, pembahasannya sangat luas sekali. Tentunya, bagi orang yang cerdas cukup dengan isyarat yang sedikit ini. Ibarat kita dan mereka sedang berada dilembah, kita ada di sebuah lembah dan orang yang tertutup hijab tebal dalam pembahasan ini berada di lembah yang lain.[5]
Maksud dibawakannya perkataan Ibnul Qayim adalah sebagai penjelas mengenai Allah Shubhanahu wa ta’alla, bahwa tidaklah dinamakan dengan nama-nama, tidak disifati dengan sifat-sifat, dan tidak dilakukan perbuatan -Nya kecuali karena hamba membutuhkan kepada nama-nama dan sifat-sifat itu tanpa terkecuali. Yang mana para hamba sangat membutuhkannya sebagai sarana peribadahan kepada -Nya. Karena itu, sebagai seorang hamba harus meyakini bahwa dzat yang sedang disembah harus memiliki nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan ini. Apabila tidak, maka tidak ada manfaat keberadaannya pada Dzat yang disembah.
Nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla, sifat-sifat -Nya, dan perbuatan-perbuatan -Nya, melazimkan keberadaannya sangat penting bagi para hamba. Apabila tidak, maka tidak mungkin seorang hamba bisa hidup secara mutlak. Apabila ia mengingkari hal ini bagi Rabb yang Maha benar, maka ia pastinya membutuhkan hal ini dan memberikannya kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. Dengan hal itu maka ia terjatuh dalam kesyirikan kepada -Nya. Walaupun ia mengingkari hal itu dengan penuh pembangkangan dan kesombongan.
Apabila keadaan orang yang mengingkari nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan -Nya adalah seperti ini, maka dapat diqiyaskan padanya keadaan orang yang mentha’thil (menolak) hakikat dzat dan wujud -Nya. Dan mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat -Nya. Kita mengetahui dengan penjelasan ini bagaimana seorang yang menolak/mengingkari terjatuh dalam kesyirikan kepada -Nya. Sama saja apakah ia mengingkari makhluk dari sang pencipta, atau mengingkari kesempurnaan -Nya atau kedua-duanya.
Jika kita sudah mengetahui ini, maka kita mulai dengan maksud yang kita kehendaki. Yaitu penjelasan syirik tha’thil (menolak, pent) dengan menolak kesempurnaan sang Pengcipta yang Maha suci. Maka
kita katakan :
Bahwa mereka terbagi menjadi
dua kelompok :
Kelompok pertama: Orang musyrik kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam rububiyah dengan menolak nama-nama dan sifat-sifat -Nya. Saya telah menemukan beberapa kelompok dalam umat ini, yang berbuat syirik kepada -Nya dengan menolak nama-nama dan sifat-sifat -Nya. Penjelasan mengenai kelompok ini, pendapat-pendapatnya, serta syubhat-syubhatnya, beserta bantahan kepada mereka dalam poin di
bawah ini:
Pertama: Jahmiyah.
Madzhab mereka dalam tauhid adalah mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah ta’ala. Menjadikan nama-nama –Nya termasuk dalam bab majas. Al-Asy’ariy mengatakan, "Ia (Jahm) mengatakan, "Aku tidak berkata bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah sesuatu, karena hal itu menyerupakan -Nya dengan sesuatu".[6] Asy-Syihristani berucap, "Jahmiyah, yaitu para pengikut Jahm, bersesuaian dengan Mu’tazilah dalam menafikan sifat azali dan menambah beberapa perkara.
Di antaranya perkataan, "Tidak diperbolehkan pensifatan terhadap al-Bari (Allah, pent) dengan sifat yang sama dengan makhluknya. Karena hal itu mengharuskan adanya penyerupaan. Mereka menafikan sifat hidup dan mengetahui, dan menetapkan sifat mampu (Qadir), melakukan perbuatan (Fa’il), dan menciptakan (Khalik). Karena tidak ada makhluk yang bisa disifati dengan mampu (Qudrah), melakukan perbuatan, dan menciptakan".[7]
Di antaranya adalah menetapkan bagi -Nya ilmu mengenai kejadian-kejadian yang baru, bukan dalam tempat. Mereka mengatakan, "Tidak boleh sesuatu diketahui sebelum diciptakan. Karena apabila diketahui baru kemudian menciptakan apakah akan tetap ilmunya seperti seharusnya, atau tidak tetap? Apabila tetap ada maka itu adalah kebodohan, karena ilmu tentang apa yang akan terjadi bukanlah ilmu tentang apa yang sudah ada. Apabila tidak tetap berarti telah berubah. Sesuatu yang telah berubah adalah makhluk, bukan sesuatu yang ada sejak dahulu apabila telah tetap adanya ilmu, maka akan terdapat kemungkinan akan terjadi sesuatu yang baru pada dzat -Nya ta’ala.
Hal tersebut mengakibatkan perubahan dzat -Nya dan menjadi tempat terjadinya sesuatu yang baru. Atau terjadi di tempat, maka tempat itu akan disifati dengan -Nya, bukan Allah ta’ala. Maka menjadi jelas bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak ada tempat untuk -Nya. Mereka Jahmiyah hanya menetapkan ilmu tentang sesuatu yang baru dengan jumlah yang ada diketahui".[8] Jahmiyah mengingkari nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sifat-sifat -Nya dengan bersandar dalam pengingkaranya kepada sesuatu yang disangkanya sebagai dalil akli.
Hal itu adalah:
1. Menetapkan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla melazimkan penyerupaannya dengan makhluk.
2. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat -Nya mewajibkan bentuk jism (tubuh) bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla.
3. Menetapkannya akan mengharuskan bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah tempat bagi kejadian yang baru.
Ini adalah keumuman syubhat-syubhat mereka dalam terjatuhnya ke dalam syirik ta’thil (peniadaan). Terpengaruh dengan mereka orang-orang Mu’tazilah. Hal itu karena mereka adalah Jahmiyah dalam bab sifat. Karena semua yang mengingkari sifat-sifat atau sebagiannya maka mereka adalah Jahmiy (pengikut Jahmiyah). Semua itu tergantung kadar kesesuaiannya dengan Jahm pada madzhabnya. Oleh karenanya kita melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi Jahmiyah menjadi tiga
tingkatan:
Tingkatan pertama: Mereka adalah Jahmiyah yang paling melampaui batas, yang menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla. Apabila mereka menamakan Allah dengan salah satu nama -Nya, mereka mengatakan itu majas.
Tingkatan kedua:
Dari Jahmiyah adalah Mu’tazilah dan yang serupa. Yang menetapkan nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam jumlah tertentu, akan tetapi meniadakan sifat-sifat -Nya.
Tingkatan ketiga:
Adalah ash-Shufatiah yang menetapkan, dimana mereka menyelisihi Jahmiyah. Akan tetapi dalam diri mereka ada sedikit pengaruh jahmiyah. Mereka adalah orang-orang yang menetapkan nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam jumlah tertentu. Akan tetapi mereka membantah sebagian besar sifat-sifat khobariyah dan selain khobariyah, dan mentakwilnya.
Di antara mereka ada yang menetapkan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla khobariyah yang berasal dari al-Qur’an saja tanpa hadits. Sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan ahli kalam (filsafat, pent), ahli fikih, dan sekelompok ahli hadits. Di antara mereka ada juga yang menetapkan sifat-sifat yang ada dalam berita (khabar) secara garis besar. Akan tetapi bersamaan dengan penafian dan peniadaan sebagian yang telah tetap dengan nash-nash dan akal. Contohnya adalah Muhammad bin Kilab dan orang yang mengikutinya. Dalam bagian ini masuk Abul Hasan al-Asy’ariy dan keompok dari ahli fikih, filsafat, hadits dan tasawuf.
Mereka kepada sunah lebih dekat dibandingkan kedekatannya dengan Jahmiyah, Rafidhah, Khawarij, dan Qodariyah. Akan tetapi ada juga kelompok yang menyadarkan kepada mereka (Abul Hasan, pent), pada hakikatnya mereka lebih condong kepada Jahmiyah dibandingkan kedekatannya dengan Ahlu sunnah".[9] Maksudnya adalah penjelasan bahwa Jahmiyah termasuk orang-orang musyrik kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat -Nya. Mereka walaupun keberadaannya tidak diketahui dengan nama ini pada zaman modern ini, akan tetapi ada kelompok-kelompok yang mengambil pendapat-pendapat dan syubhat-syubhat mereka. Seperti neo mu’tazilah, yaitu mereka para pemuja akal dan selain mereka.
Pengaruh-pengaruh yang terjadi akibat pendapat-pendapat Jahmiyah.
Sesungguhnya orang yang mendalami perkataan-perkataan Jahmiyah akan mengetahui bahwasanya pendapat mereka mengarahkan kepada pengingkaran sang Pencipta. Oleh karenanya para ulama ahlussunnah berpendapat, bahwa orang yang berbuat bid’ah dengan mengeluarkan pendapat ini termasuk orang-orang zindiq yang mengingkari sang Pencipta dan mendustakan -Nya. Akan tetapi mereka bersembunyi di balik filsafat dan teori-teori menyimpang yang mengantarkan kepada tujuan. Menyembunyikan maksud hatinya dalam perlawanannya.
Orang-orang yang mendustakan sifat-sifat sang Pencipta, pendapat mereka sama seperti Fir’aun dan Namrud. Dimana mereka mendustakan sang Pencipta. Karena orang yang tidak memiliki sifat maka tidak ada wujudnya, dan tidak dimungkinkan mengetahuinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, "Para pembesar Rafidhah dan Jahmiyah adalah orang-orang zindiq. Dan orang yang pertama kali berbuat bid’ah dengan cara menolak (ta’thil) adalah munafik. Begitu juga mengikuti Jahmiyah asalnya adalah kezindiqan dan kemunafikan. Oleh karena itu orang-orang zindiq, munafik dari kalangan Qoromithoh pengagung kebatinan dan filsafat, dan orang-orang semisal mereka condong kepada Rafidhah dan Jahmiyah karena kedekatannya dengan mereka". [10]
Beliau juga mengatakan, "Riwayat dari kalangan salaf dan para Imamnya menyatakan untuk mengkafirkan Jahmiyah murni, yang mana mereka meningkari sifat-sifat Allah".[11] Beliau menyatakan, "Hakikat pernyataan Jahmiyah (yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah) adalah perkataan Fir’aun. Itu adalah pengingkaran terhadap sang Pencipta. Dan mengingkari perkataan -Nya dan agama -Nya. Sebagaimana dilakukan oleh Fir’aun. Ia dahulu mengingkari Allah Jalla Jalaluhu,
seraya berkata;
﴿ مَا عَلِمۡتُ لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرِي (38)﴾ القصص
“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS al-Qashash: 38).
Fir’aun juga mengingkari bahwa Allah Shubhanahuwa ta’alla berbicara kepada Musa, dan Musa memiliki sesembahan di atas langit. Ia ingin menghentikan peribadahan dan ketaatan kepada -Nya, dan ia menjadi sesembahan yang ditaati. Pada saat perkataan Jahmiyah ditakwilkan kepada perkataan Fir’aun, maka hasil akhir dari perkataan Jahmiyah adalah pengingkaran terhadap Rabbul ‘Alamin dan mengingkari peribadahan kepada -Nya, dan mengingkari kalam -Nya. Sampai tampak pada mereka pengakuan tentang pemurnian, tauhid, dan pengetahuan. Maka pada akhirnya mereka mengatakan, "Alam ini adalah Allah Shubhanahuwa ta’alla, wujudnya satu. Wujud yang ada dahulu dan azali adalah wujud yang baru diciptakan. Rabb adalah hamba. Tidak ada perbedaan antara Rabb dan hamba, dan khalik adalah makhluk oleh karena itu mereka memberikan aib kepada para nabi dan menguranginya, dan mereka memberikan aib kepada Nuh, Ibrahim dan lainnya. Mereka memuji Fir’aun dan membolehkan peribadahan kepada seluruh makhluk".[12]
Pengaruh Jahmiyah Pada Masa Setelahnya.
Sebagian ulama menyangka bahwa pemikiran dan pendapat-pendapat Jahmiyah dalam menafikan sifat –dalam tingkat pertama- telah hilang ditelan bumi dengan hilangnya para penyerunya. Akan tetapi ulama yang mendalami sekte-sekte dan pemikiran mereka mengetahui bahwa kebanyakan pokok keyakinan yang dibentuk oleh Jahmiyah, dan takwil-takwil yang digagasnya masih tumbuh subur bersama jalannya sejarah Islam. Sungguh pemikiran-pemikiran tersebut telah diadopsi dan ditempuh oleh orang-orang yang mengaku bahwa dirinya adalah ahlul haq. Cukuplah kita mengetahui bahwa Mu’tazilah adalah perpanjangan dari Jahmiyah serta cabang dari cabang-cabang yang ada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Penakwilan yang ada pada hari ini, seperti takwil yang disebutkan oleh Abu Bakr bin Furuk[13] dalam kitab At-Ta’wilaat, dan disebutkan juga oleh Abu Abdullah Muhammad bin Umar ar-Raziy dalam kitabnya yang berjudul “Ta’sisut Taqdis”. Terdapat juga penakwilan itu dalam pendapat selain
mereka seperti :
Abu Ali al-Juba’iy[14], Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamdaniy[15], Abul Husain al-Bashriy[16], Abul Wafa bin Uqail, Abu Hamid al-Ghazaliy dan lain-lain. Penakwilan tersebut sejatinya adalah takwil yang dilakukan oleh Bisyr al-Mirisiy[17], yang disebutkan dalam kitab miliknya. Walaupun terdapat pada pendapat sebagian mereka, bantahan terhadap takwil dan pengingkarannya. Mereka memiliki perkataan yang bagus dalam berbagai hal. Hanya saja dijelaskan bahwa penakwilan mereka adalah penakwilan Bisyr al-Mirisi.
Ada kitab bantahan yang menunjukkan hal tersebut, ditulis oleh Utsman bin Sa’id ad-Darimiy, salah seorang Imam yang tersohor pada zaman al-Bukhariy. Menyebutkan dalam kitabnya takwil-takwil yang sejatinya berasal dari Bisyr al-Mirisiy. Dengan perkataan yang menunjukkan bahwa al-Mirisi yang mencetuskannya, dan diketahui secara periwayatan ataupun akal dari ulama kontemporer yang bersambung dengan mereka dari sisinya atau sisi selainnya". [18] Beliau mengatakan di tempat lain, "Mereka mengambil madzhab ini dari al-Jad’ bin Dirham, Jahm bin Shafwan, dan kemudian menyebarkannya, dan mendebatnya. Kemudian berpindah kepada Mu’tazilah pengikut Amr bin Ubaid[19], dan tampak perkataan mereka pada zaman Khalifah Ma’mun[20]". [21]
Beliau menyatakan pada tempat lain, "Sesungguhnya Mu’tazilah yang mengikuti Amr bin Ubaid atas perkataanya dalam takdir dan ancaman, masuk dalam madzhab Jahm. Mereka menetapkan nama-nama Allah ta’ala, dan tidak menetapkan sifat-sifat -Nya".[22] Syaikhul Islam menyatakan, "Jahm berbuat ghuluw dalam penafian (nama dan sifat, pent), dan selaras dengannya adalah aliran kebatinan, filsafat dan yang semisal mereka. Begitu juga Mu’tazilah dalam hal sifat tanpa nama, Kilabiyah dan orang-orang yang bersesuaian dengan mereka, dalam menafikan sifat-sifat ikhtiariyah, masuk juga Karamiyah dan sejenis dengan mereka dalam pokok keyakinan mereka. Yaitu terhalang kegiatan yang terus menerus selama tidak saling melarang, dan sulit bagi sesuatu yang terus-menerus untuk berbicara jika ingin, dan melakukan sesuatu jika berkehendak, karena terhalangnya kejadian baru pada awal mulanya… [23].
Jamaludin al-Qosimi mengatakan, "Terkadang disangka bahwa Jahmiyah meninggalkan pengaruh setelah beberapa waktu, bersamaan dengan itu bahwa Mu’tazilah merupakan cabang darinya. Dan ia dalam jumlah banyak terhitung hingga jutaan. Bahwa orang-orang ahli kalam yang menasabkan diri kepadah al-Asy’ari, kebanyakan permasalahan mereka kembali kepada madzhab Jahmiyah sebagaimana diketahui oleh orang yang mendalami cabang ilmu kalam. (filsafat, pent)".[24]
[1] Lihat pembahasan yang telah lalu pada hal : 129-130, 141-143, 285-290
[2] . Ibnul Qayyim : Miftah Daris Sa’adah : 2/510-511.
[3] . Idem : 2/255.
[4] . Ini tidak masuk dalam nama Allah, yang diinginkan adalah pengabaran.
[5] . Idem : 2/261.
[6] . Al-Asy’ariy : maqolaatul Islamiyin : 238.
[7]. Hal itu dikarenakan ia mengatakan adanya paksaan dalam perbuatan manusia.
[8]. Asy-Syihristani : al-Milal wan Nihal : 1/73. Lihat juga yang dinukilkan oleh al-Baghdadi dalam al-Farqu bainal Firoq : 211, 212, dan at-Tabshir : 64.
[9]. Cermati perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam at-Tis’iniyah, masuk dalam al-Fatawa al-Kubro 5/48-51, atau masuk dalam al-Fatawa al-Kubro al-Mishriyah yang ditahqiq oleh Muhammad Abdul Qodir ‘Atha 6/270-272.
[10]. Ibnu Taimiyah : Majmu’a Fatawa 3/353.
[11] . Idem 3/352.
[12]. Ibnu Taimiyah : Majmu’ Fatawa 13/175.
[13]. Ia adalah Muhammad bin Hasan bin Furuk al-Anshariy. Asy-Syafi’I. Seorang ahli kalam, ahli fikih, pakar bidang ushul, penafsir, penyair, ahli nahwu. Tulisan karyanya banyak, di antaranya : Musykilul Atsar –yang menyimpangkan nash sifat-sifat dari makna yang sesuai-. Meninggal tahun 406 H. Lihat biografinya dalam Mu’jamul Muallifin 9/108.
[14]. Beliau adalah Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab bin Salam bin Kholid bin Hamzah bin Aban seorang Mu’tazilah. Ia adalah ahli kalam, ahli tafsir, pentolan Mu’tazilah dalam ushul. Lahir tahun 235 H, dan wafat tahun 303H. lihat biografinya dalam Mu’jamul Muallifin 10/269 .
[15]. Beliau adalah Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamdaniy, Abul Hasan. Seorang pakar ushul fikih, ahli kalam, ahli tafsir, pentolan Mu’tazilah dalam bidang ushul. Lahir tahun 359 H, wafat tahun 415 H. Lihat biografinya dalam Mu’jamul Muallifin 5/78.
[16]. Beliau adalah Abdurrahim bin Muhammad bin Utsman al-Hinath, salah seorang ahli kalam dari Mu’tazilah. Biografinya disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan 4/8-9.
[17]. Beliau adalah Bisyr bing Ghayats bin Abu Karimah, Abu Abdurrahman al-Adawiy al-Marisiy. Pembesar Mu’tazilah. Ia memiliki bigorafi dalam kitab Siyar milik adz-Dzahabiy : 10/199, nomer : 45 .
[18] .Ibnu Taimiyah : Majmu’ Fatawa 5/23.
[19] .Namanya Amr bin ubaid, Abu Utsman al-Bashriy, al-Mu’tazili. Ada biografinya dalam Siyar : 6/104, nomer : 28.
[20]. Beliau adalah seorang Khalifah al-‘Abbasi, Abdullah bin Harun bin Rosyid bin Muhammad, Abul ‘Abbas. Ia memiliki biografi dalam kitab Siyar milik adz-Dzahabi 10/272, nomor : 72.
[21]. Ibnu Taimiyah : Majmu’ Fatawa : 10/67.
[22] . Idem : 12/312.
[23]. Idem, 8/227. Lihat juga 14/248.
[24] . Beliau adalah Jamaludin bin Muhammad bin Qasim al-Qasimiy, al-Hilaq. Seorang ulama dalam berbagai bidang ilmu. Lahir di Dimasyq tahun 1283 H dan wafat tahun 1336. Lihat biografinya dalam Mu’jamul Muallifin : 3/157-158.