×
Al-Asmâ-Ul-Husnâ Dan Penyimpangan Terhadapnya: Mengenal Allah adalah suatu kewajiban, salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mempelajari asmaul husna, namun masih didapatkan penyimpangan di dalam memahami asmaul husna…

    Al-Asmâ-Ul-Husnâ Dan Penyimpangan Terhadapnya

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Said Yai

    Editor : Tim islamhouse.com Divisi Indonesia

    2014 - 1435

    المفاهيم الخاطئة حول الأسماء الحسنى

    « باللغة الإندونيسية »

    سعيد يائي

    مراجعة: الفريق الإندونيسي بموقع دار الإسلام

    2014 - 1435

    Al-Asmâ-Ul-Husnâ Dan Penyimpangan Terhadapnya

    قال الله تعالى: ﴿ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾ [الأعراف : 180]

    Artinya: “Hanya milik Allah Al-Asmâ-ul-Husnâ. Oleh karena itu, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmâ-ul-Husnâ itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’râf : 180)

    RINGKASAN TAFSIR

    “Hanya milik Allah Al-Asmâ-ul-Husnâ.” Al-Asmâ’ artinya nama-nama, sedangkan Al-Husnâ artinya yang paling bagus atau indah. Al-Asmâ-ul-Husnâ adalah nama-nama Allah yang paling bagus atau indah. Seluruh nama Allah subhânahu wa ta’âla menunjukkan kepada zat Allah dan juga sifat sempurna yang tidak ada kekurangan di dalamnya. Kesempurnaan Al-Asmâ-ul-Husnâ ini tidak dimiliki oleh seorang pun di antara makhluknya.

    “Oleh karena itu, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmâ-ul-Husnâitu!” dengan perkataan seperti:

    (( اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ ))

    (Ya Allah! Ampunilah dan rahmatilah aku! Sesungguhnya engkau adalah Al-Ghafûr [Yang Maha Pengampun] dan Ar-Rahîm [Yang Maha Penyayang])

    (( تُبْ عَلَيَّ يَا تَوَّابُ ))

    (Terimalah taubatku! Wahai Tawwâb [Yang Maha Penerima Taubat]!)

    اُرْزُقْنِيْ يَا رَزَّاقُ

    (Berilah aku Rezeki! Wahai Ar-Razzâq [Yang Maha Pemberi Rezeki]!)

    “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya,” baik dengan cara mengubah-ubah artinya (ta’wîl/tahrîf), meniadakan artinya (ta’thîl) atau menyerupakannya dengan makhluk-Nya. “Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”[1]

    SEBAB TURUNNYA AYAT

    Diriwayatkan dari Muqâtil rahimahullâh bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya dulu ada seseorang yang berdoa kepada Allah ketika dia shalat dan juga berdoa kepada Ar-Rahmân. Berkatalah sebagian orang-orang musyrik Mekah, ‘Sesungguhnya Muhammad dan para sahabatnya menyatakan bahwa mereka hanya menyembah Rabb yang satu. Lalu mengapa orang ini menyembah dua Rabb?’ Kemudian Allah menurunkan ayat ini.”[2]

    AL-ASMÂ-UL-HUSNÂ TIDAK HANYA SEMBILAN PULUH SEMBILAN

    Banyak orang yang menyangka bahwa Allah hanya memiliki sembilan puluh sembilan nama, dengan dalil yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallâhu ‘anhu bahwasanya Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    (( إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّة ))

    Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama/seratus dikurangi satu. Barang siapa yang dapat menghitung atau menghapalnya maka dia akan masuk surga.”[3]

    Padahal, Allah memiliki banyak nama yang tidak kita ketahui dan disembunyikan di sisi-Nya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    (( مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلاَءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي إِلاَّ أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَحًا ))

    Artinya: “Tidaklah seseorang ditimpa kebimbangan dan kesedihan kemudian dia berdoa:

    ‘Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah seorang anak hamba laki-laki-Mu, ubun-ubunku di tanganmu, hukummu berlaku padaku, keputusanmu sangat adil padaku. Saya memohon dengan seluruh nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakan diri-Mu dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu atauyang Engkau sembunyikan di ilmu ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai musim semi hatiku dan cahaya di dadaku, serta menjadi penghilang kesedihan dan kebimbanganku,’ kecuali Allah akan menghilangkan kebimbangan dan kesedihannya dan menjadikan kesenangan sebagai gantinya.”[4]

    Hadîts di atas sangat jelas menyatakan bahwa nama Allah subhânahu wa ta’ala tidak hanya sembilan puluh sembilan, karena ada nama-nama yang disembunyikan di sisi-Nya.

    Seandainya ada seseorang mengatakan, “Saya punya uang Rp 10.000,00.” Apakah pengabaran ini menunjukkan dia hanya punya uang Rp 10.000,00 saja? Tentu tidak. Bisa saja dia memiliki uang lebih dari itu. Begitu pula dengan penyebutan sembilan puluh sembilan pada hadits di atas.

    Al-Qurthubi berkata, “Telah kami sebutkan bahwa nama-nama Allah ada yang telah disepakati oleh para ulama dan ada yang masih diperselisihkan. Yang kami dapatkan di buku-buku para imam kami, (nama-nama tersebut) mencapai lebih dari dua ratus nama.”[5]

    Ibnu Katsîr berkata, “Al-Faqîh Al-Imâm Abu Bakr bin Al-‘Arabi –salah satu imam madzhabmâliki menyebutkan di dalam kitabnya ‘Al-Ahwadzi fî Syarhi At-Tirmidzi’ Bahwasanya sebagian ulama mengumpulkan nama-nama Allah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sebanyak seribu nama. Allâhu a’lam.”[6]

    ARTI ‘BARANG SIAPA YANG MENGHITUNG/MENGHAPALNYA, MAKA DIA AKAN MASUK SURGA.’

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama/seratus dikurangi satu. Barang siapa yang dapat menghitung atau menghapalnya maka dia akan masuk surga.”[7]

    Ihshâ’ (menghitung/menghapal) Al-Asmâ-il-Husnâ di dalam hadîts tersebut memiliki empat tingkatan, yaitu:

    1. Menghitung dan menghapal nama-nama tersebut.

    2. Memahami makna yang terkandung di dalamnya

    3. Berdoa dengan menggunakan nama-nama tersebut, seperti telah disebutkan di RINGKASAN TAFSIR.

    4. Menyembah Allah dengan seluruh kandungan nama-nama tersebut. Jika kita tahu bahwa Allah Ar-Rahîm (Maha Pemberi Rahmat), maka kita selalu mengharapkan rahmat atau kasih sayang-Nya. Jika kita tahu bahwa Allah Al-Ghafûr (Maha Pemberi Ampun), maka kita selalu memohon ampun kepadanya. Jika kita tahu bahwa Allah As-Samî’ (Maha Mendengar), maka kita selalu menjaga perkataan kita, jangan sampai membuat Dia marah. Jika kita tahu bahwa Allah Al-Bashîr (Yang Maha Melihat), maka kita selalu menjaga perbuatan kita agar tidak mengerjakan sesuatu yang tidak diridhainya. [8]

    SEMBILAN PULUH SEMBILAN AL-ASMÂ-UL-HUSNÂ DI DALAM HADITS

    Tidak ditemukan hadits yang shahîh yang menyebutkan dan mengumpulkan sembilan puluh sembilan Al-Asmâ-ul-Husna dalam satu hadîts. Adapun hadits yang diriwayatkan di dalam Sunan At-Tirmidzi, Mustadrak Al-Hakim dan yang lainnya, para ulama mendhaifkannya.

    At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadîts yang terdapat di dalamnya Al-Asmâ-ul-Husna tersebut, beliau mengatakan, “Hadîts ini gharîb…hadîts ini diriwayatkan dengan jalan lain dari Abu Hurairah dan kami tidak mengetahui pada sebagian besar riwayat-riwayat tersebut yang menyebutkan nama-nama ini kecuali di hadîts ini…”[9]

    Ibnu katsîr mengatakan, “Yang menjadi pegangan Jamâ’ah Al-Huffâdzh (para muhadditsîn) adalah hadîts tersebut mudraj[10].”[11]

    BOLEHKAH SESEORANG DIBERI NAMA DENGAN SALAH SATU NAMA ALLAH?

    Nama-nama Allah subhânahu wa ta’âla terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

    1. Nama-nama yang mengandung sifat yang hanya khusus dimiliki oleh Allah subhânahu wa ta’âla, seperti: Ar-Rahmân, Al-Khâliq, Al-Bâri, Al-Qayyûm, Al-Ilâh, Ar-Razzâq, Ash-Shamad, dll. Nama-nama Allah yang seperti itu hanyalah milik Allah dan tidak boleh digunakan oleh makhluknya.

    Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang diberi nama denganMalikul-Amlâk (Raja semua raja), dengan sabdanya:

    ( إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ… لَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ )

    Artinya: “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernamaMalikul-Amlâk (Raja semua raja)…Tidak ada raja kecuali Allah ‘azza wa jalla.”[12]

    Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang menggunakan nama tersebut, karena di dalamnya terdapat suatu penyerupaan dengan Allah pada nama dan sifat-Nya. Ini semua untuk menjaga tauhid, menjaga hak Allah dan menutup pintu-pintu menuju kesyirikan pada ucapan-ucapan manusia. Karena bisa saja, dengan nama-nama yang sebenarnya hanya dikhususkan untuk Allah, seseorang menyangka bahwa selain Allah yang menggunakan nama tersebut juga memiliki sifat-sifat yang terkandung pada nama tersebut. Ini termasuk syirik.

    Mâlikul-Amlâk (Raja semua raja) adalah Allah. Tidak ada yang berhak memiliki gelar itu kecuali Allah. Oleh karena itu, para ulama sepakat akan terlarangnya menggunakan nama-nama jenis ini untuk makhluknya[13].

    Di negara kita banyak orang yang menggunakan nama-nama yang seperti ini atau dipanggil dengan nama-nama tersebut, seperti: Rahmân, Shamad, Khâliq, Razzâq dll. Hal ini tentu tidak diperbolehkan.

    2. Nama-nama yang mengandung sifat yang tidak dikhususkan untuk Allah subhanahu wa ta’ala, seperti: Al-Halîm, Ar-Rahîm, Ar-Ra-ûf, Al-‘Azîz, Al-Karîm, Al-Hakîm, Al-Hakam, Al-‘Aliy dll. Nama-nama Allah yang seperti itu boleh digunakan oleh makhluknya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an menamakan makhluknya dengan nama-nama tersebut, seperti pada ayat-ayat berikut:

    قال الله تعالى: ﴿ فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ ﴾ [الصفات : 101]

    “Kemudian kami berikan kabar gembira kepadanya (yaitu Ibrahim) dengan seorang anak yang (sabar/tenang).” (QS Ash-Shâffât : 101)

    Allah menamai Nabi Muhammad dengan Ra-ûf dan Rahîm

    قال الله تعالى: ﴿ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴾ [التوبة : 128]

    (Dia) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah : 128)

    Di dalam kisah Nabi Yûsuf ‘alaihis-salâm, Allah menyebut penguasa pada saat itu dengan Al-Azîz.

    قال الله تعالى: ﴿ قَالَتِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ ﴾

    “Istri Al-‘Azîz pun berkata.” (QS Yusuf : 51)

    Para sahabat banyak yang menggunakan nama-nama seperti ini dan tidak diingkari oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, seperti: ‘Ali, Karîm bin Al-Hârits bin ‘Amr As-suhami, setidaknya ada 10 orang bernama Hakîm dan setidaknya ada 30 orang yang bernama Al-Hakam.[14]

    Akan tetapi, kita harus paham bahwa kesamaan nama dan sifat Allah dengan makhluknya tidak berarti Allah sama dengan makhluknya. Seseorang bisa saja dijuluki Halîm (yang sabar dan tenang), tetapi hilm (kesabaran/ketenangan) yang dimilikinya tidak akan sama dengan hilm yang dimiliki oleh Allah. Allah memiliki sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan dan tidak ada yang bisa menandinginya.[15]

    Meskipun menggunakan nama-nama jenis kedua diperbolehkan, tetapi tetap disunnahkan untuk menambahkan nama penghambaan di depannya, yaitu dengan menggunakan kata ‘Abd (عبد) untuk laki-laki, seperti: ‘Abdul-Halîm, ‘Abdul-Hakîm dll.[16]

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama seseorang yang bernama ‘Aziz menjadi ‘Abdurrahman sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Khaitsamah bin ‘Abdirrahman bin Abi Sabrah, dia menceritakan bahwa dulu bapaknya – yaitu ‘Abdurrahman- pernah pergi bersama kakeknya menuju ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa nama anakmu ini?” Kakekku pun menjawab, “’Azîz.” Nabi pun mengatakan, “Jangan kau namai dia dengan nama ‘Azîz. Tetapi, Namailah dia dengan ‘Abdurrahman.” Kemudian Nabi pun berkata, “Sesungguhnya nama-nama yang paling bagus adalah ‘Abdullâh, ‘Abdurrahmân dan Al-Hârits. [17]

    Pada hadits ini tidak terdapat larangan menggunakan nama ‘Azîz, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantikannya dengan yang lebih baik, yaitu ‘Abdurrahman.

    Firman Allah:

    قال الله تعالى: ﴿ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ﴾

    Para ulama tafsir menyebutkan beberapa arti dari kata (يُلْحِدُونَ)pada ayat di atas, di antaranya adalah sebagai berikut[18]:

    1. Berbuat syirik (يُشْرِكُوْن), sehingga arti ayat tersebut: “Dan tinggalkanlah orang-orang yang berbuat syirik pada nama-nama-Nya.” Syirik pada ayat ini, maksudnya adalahtasybîh/tamtsîl (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

    2. Mendustakan (يُكَذِّبُوْن), sehingga arti ayat tersebut: “Dan tinggalkanlah orang-orang yang mendustakan nama-nama-Nya.”

    3. Menyimpangkan (يَنْحَرِفُوْنَ/يَمِيْلُوْنَ), sehingga arti ayat tersebut: “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.”

    BENTUK-BENTUK PENYIMPANGAN TERHADAP AL-ASMÂ-UL-HUSNÂ

    Penyimpangan terhadap Al-Asmâ-ul-Husnâ ada lima macam, yaitu[19]:

    1. Menamakan patung-patung yang diambil dari nama-nama Allah, seperti: Patung yang bernama Al-Lât (اللات) diambil dari nama Allah Al-Ilâh (الإله), Al-‘Uzzâ (العزى) dari nama Allah Al-‘Azîz (العزيز), Al-Manât (مناة) dari nama Allah Al-Mannân (المنان).

    2. Menamakan Allah dengan sesuatu yang tidak layak bagi Allah, seperti: para filosof menamakan Allah dengan Prime Cause (Sebab Utama) dan kaum Nashrâni (Kristen) menamakan Allah dengan Al-Ab (الأب) atau Tuhan Bapa.

    3. Menamakan Allah dengan sifat-sifat kekurangan, seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi bahwa Allah Faqîr (Miskin) atau tangan Allah terbelenggu.

    4. Mentiadakan/menolak nama-nama Allah (ta’thîl), seperti yang dilakukan oleh kaum Jahmiyah mereka mengatakan bahwa Al-Asmâ-ul-Husnâ hanya sekedar nama yang tidak memiliki makna dan arti. Mereka mengatakan, “Ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang), tetapi Allah tidak disifati dengan Rahmah (memberi kasih sayang), Al-Hayyu (Yang Maha Hidup), tetapi Allah tidak disifati dengan hidup, As-Samî’ (Yang Maha Mendengar) dan Al-Bashîr (Yang Maha Melihat), tetapi Allah tidak disifati dengan memiliki pendengaran dan penglihatan.

    Ada juga orang-orang yang hanya menetapkan beberapa sifat yang terkandung pada nama-nama tersebut tetapi menolak sifat yang lainnya. Mereka menetapkan sifat berilmu pada Allah, karena Allah memiliki nama Al-‘Alîm (Yang Maha Berilmu), tetapi mereka tidak menetapkan sifat memberi kasih sayang (rahmah) pada Allah, padahal Allah memiliki nama Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm.

    Orang yang mentiadakan/menolak nama-nama Allah ada bermacam-macam. Di antara mereka ada yang keluar dari agama Islam dan ada juga yang belum keluar dari agama Islam, tergantung kepada seberapa besar tingkat kesesatannya.

    5. Menyerupakan Allah dengan makhluknya (tamtsîl), seperti mengatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allah seperti penglihatan dan pendengaran manusia, hidup Allah seperti hidup makhluknya dll. Ini tidak diperbolehkan. Allah telah menyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa Allah tidak serupa dengan segala apapun. Allah berfirman:

    قال الله تعالى: ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾ [الشورى : 11]

    Artinya: “Tidak ada yang sesuatu apapun yang semisal dengan-Nya dan Dia adalah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS Asy-Syûrâ : 11)

    KESIMPULAN

    1. Allah subhânahu wa ta’âla memiliki nama-nama yang indah/ Al-Asmâ-ul-Husnâ. Kita diperintahkan untuk mengetahuinya, menghapalnya, berdoa dengannya dan beribadah kepada Allah dengan seluruh kandungan yang terdapat di dalamnya.

    2. Allah tidak hanya memiliki sembilan puluh sembilan nama. Ada nama-nama Allah yang di sembunyikan di sisi-Nya.

    3. Seseorang tidak boleh menggunakan nama Allah yang hanya dikhususkan untuknya, seperti: Ar-Rahmân, Al-Khâliq, Ar-Razzâq dll. Dan seseorang boleh menggunakan nama yang tidak dikhususkan untuk Allah, seperti: ‘Ali, ‘Azîz, Hakîm dll.

    4. Penyimpangan terhadap Al-Asmâ-ul-Husnâ ada lima macam, yaitu: menamakan patung-patung yang diambil dari nama-nama Allah, menamakan Allah dengan sesuatu yang tidak layak bagi Allah,menamakan Allah dengan sifat-sifat kekurangan, mentiadakan/menolak nama-nama Allah (ta’thîl) dan menyerupakan Allah dengan makhluknya (tamtsîl)

    NASIHAT

    Mengenal Allah subhânahu wa ta’âla adalah suatu kewajiban. Salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mempelajari Al-Asmâ-ul-Husnâ dan Sifat-Sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seseorang tidak mungkin memahami dengan benar arti dari setiap nama dan sifat Allah kecuali dengan memahami bahasa Arab. Contohnya: Ar-Rahmân diterjemahkan dengan Yang Maha Pengasih dan Ar-Rahîm diterjemahkan dengan Yang Maha Penyayang, padahal kedua terjemahan tersebut kurang tepat dan memang tidak kita temukan kata yang sepadan untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Begitulah halnya dengan sebagian besar Al-Asmâ-ul-Husnâ dan sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, sempatkanlah diri untuk benar-benar mempelajari bahasa Arab.

    Demikian, mudahan bermanfaat.

    Prabumulih, Dzul-Hijjah 1432/November 2011

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri.

    2. Al-Jâmi’ li ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. 1423 H/2003 M. Riyadh: Dar ‘Âlam Al-Kutub.

    3. Al-Qaul Al-Mufîd ‘Alâ Kitâbit-Tauhîd. Muhammad bin Shâlih Al-‘Utsaimîn. 1424 H. KSA: Dâr Ibnil-Jauzi.

    4. At-Tadmuriyyah. Ahmad bin ‘Abdil-Halîm bin ‘Abdissalam bin Taimiyah. 1424 H/2003. Ar-Riyadh: Maktabah Al-‘Ubaikân.

    5. Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr Ath-Thabari. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.

    6. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.

    7. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.

    8. Taisîr Al-‘Azîz Al-Hamîd fî Syarhi Kitabit-Tauhîd. Sulaiman bin ‘Abdillah. 1423 H/2002. Beirut: Al-Maktab Al-Islâmi.

    9. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.

    10. Tasmiyatul-Maulûd. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid. 1416 H/1995. Ar-Riyadh: Dârul-‘Âshimah.

    11. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.

    [1] Tafsîr As-Sa’di hal. 309-310 dan Aisarut-Tafâsîr pada ayat di atas.

    [2] Tafsîr Al-Baghawi (III/306). Penulis tidak menemukan riwayat yang shahîh yang menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini. Riwayat di atas disebutkan oleh Al-Baghawi di dalam tafsirnya tanpa sanad. Penulis mencantumkannya karena banyaknya para ulama tafsir yang mencantumkannya di dalam tafsir-tafsir mereka, begitu juga di buku-buku ‘aqîdah. Allahau a’lam bish-shawâb.

    [3] HR Al-Bukhâri no. 2736 dan Muslim no. 6/2677.

    [4] HR Ahmad no. 3712, Al-Hâkim no. 1877 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albâni berkata di Ash-Shahîhah no. 199, “Hadîst ini shahîh.”

    [5] Tafsîr Al-Qurthubi (VII/325)

    [6] Tafsîr Ibni Katsîr (III/515).

    [7] HR Al-Bukhâri no. 2736 dan Muslim no. 6/2677.

    [8] Lihat Taisîr Al-‘Azîz Al-Hamîd hal. 555 dan Al-Qaul Al-Mufîd (II/314-316)

    [9] Sunan At-Tirmidzi no. 3507

    [10] Yaitu hadîts yang di dalamnya terdapat tambahan dari orang yang meriwayatkan hadîtsyang tidak termasuk bagian hadîts tersebut. Hadîts mudraj adalah salah satu jenis hadits dha’îf.

    [11] Tafsîr Ibni Katsîr (III/515).

    [12] HR Muslim 20/2143.

    [13] Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (XI/335-336).

    [14] Lihat Al-Ishâbah fi Tamyîzish-shahâbah. Ibnu Hajar Al-‘Asqalâni pada nama-nama tersebut.

    [15] At-Tadmuriyyah hal. 21-24.

    [16] Sebagian ulama mengharamkan menggunakan nama-nama Allah untuk nama seseorang secara mutlak, walaupun nama-nama tersebut termasuk jenis yang kedua. Pendapat ini lemah, tetapi sebaiknya kita tetap berhati-hati untuk tidak menggunakannya untuk menghormati nama-nama Allah, sebagaimana Rasulullah pernah mengganti orang yang berkun-yah Abul-Hakam dengan Abu Syuraih.

    [17] HR Ahmad no. 17606 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib berkata, “Hadîts ini shahîh.”

    [18] Lihat Tafsîr Ath-Thabari (X/596-598), Tafsîr Al-Qurthubi (VII/328-329) dan Tafsîr Ibni Katsîr (III/516).

    [19] At-Tadmuriyah hal. 31-42, Tafsîr Al-Qurthubi (VII/328-329), Taisîr Al-‘Azîz Al-Hamîd hal. 560-561 dan Al-Qaul Al-Mufîd (II/317-318).

    Sumber: http://kajiansaid.wordpress.com