×
Berikut ini adalah untaian kisah perjalanan seorang sahabat mulia yang mendapat julukan Penerjemah Qur’an, karena keluasan ilmu beliau dalam masalah ilmu tafsir. Beliau adalah Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma. Seperti apa sosok beliau, maka d idalam risalah ini kita dibawa oleh penulis untuk mengetahui biografi ringkas tentang beliau…

    Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi

    Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2014 - 1435

    مقتطفات من سيرة ترجمان القرآن عبد الله بن عباس رضي الله عنه

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ أمين بن عبد الله الشقاوي

    ترجمة: عارف هداية الله أبو أمامة

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2014 - 1435

    Sahabat Abdullah bin Abbas

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:

    Berikut ini adalah rangkaian kisah perjalanan hidup seorang pahlawan dari pahlwan-pahlawan umat ini, seorang imam dari imam kaum muslimin, seorang sahabat yang mulia dari kalangan para sahabatnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yang akan kita ambil dari kisah perjalanan hidupnya yang penuh dengan suri tauladan dan perjalanannya.

    Beliau radhiyallahu 'anhu lahir di sebuah lembah bukit [1], di tengah-tengah kabilah Bani Hasyim tiga tahun sebelum terjadi peristiwa hijrah. Dan ketika Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat dirinya baru berusia tiga belas tahun, ada ulama yang mengatakan umurnya lima belas tahun. Beliau berwajah ganteng, tampan, postur tubuh tinggi, disegani, mempunyai akal cemerlang, hati yang bersih dan beliau termasuk dari kalangan lelaki yang sempurna, dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo'akan dirinya dengan berkata:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ» [أخرجه أحمد]

    "Ya Allah, pahamkan ia dalam urusan agama dan ajarilah ilmu tafsir". HR Ahmad 4/225 no: 2397.

    Beliau menemani Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam kurang lebih selama tiga puluh bulan, dan meriwayatkan hadits dari nabi dengan jumlah yang sangat banyak. Beliau mempunyai pendapat-pendapat yang tidak dimiliki oleh sahabat-sahabat lainnya, karena keluasan ilmu yang dimiliknya, serta pemahaman sempurna yang diperolehnya, akalnya yang cemerlang, kemulian yang besar, lahir dari suku yang terhormat.

    Dan beliau masih mempunyai hubungan kerabat bersama Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, karena dia adalah anak dari paman nabi, dialah sang penerjemah al-Qur'an, lautan ilmu umat ini, ahli tafsir bagi kitab Allah Shubhanahu wa ta’alla, ahli fikih pada zamannya, yang bernama Abul Abbas, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai. Dan ibunya adalah Umul Fadhl Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah saudara kandung Maimunah binti al-Harits ummul mukminin.

    Beliau termasuk ayah dari para khalifah Abassiyah, beliau juga termasuk dari sepuluh bersaudara dari keluarga al-Abbas dari Umul Fadhl, dan dia termasuk anak yang paling bungsu, namun mereka semua satu persatu meninggal di negeri nan berjauhan satu sama lainnya. Salah satu sisi keutamaan beliau ialah seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah meletakan tangannya diatas bahu atau pundakku –ragu dari perawi- kemudian beliau bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ» [أخرجه أحمد]

    "Ya Allah, pahamkan ia dalam urusan agama dan ajarilah ilmu tafsir". HR Ahmad 4/225 no: 2397.

    Berkata Ibnu Abbas menceritakan tentang dirinya, "Tatkala Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam wafat maka aku berkata pada teman sebayaku dari kalangan Anshar, "Mari kita bertanya (menuntut ilmu) pada para sahabat Rasulallah, selagi mereka sekarang masih banyak jumlahnya? Sahabatku menjawab, "Duhai Ibnu Abbas sungguh mengherankan! Apakah kamu mengira orang-orang nantinya akan membutuhkanmu sedang sekarang diantara manusia ada para sahabat Rasulallah Shalallahu'alaihi wa sallam yang dijadikan rujukan?

    Beliau meneruskan, "Kemudian aku tinggalkan dirinya. Lalu aku mulai bertanya kepada para sahabat, hingga pada suatu ketika sampai padaku sebuah hadits dari seorang sahabat, lantas aku mendatangi pintu rumahnya namun dirinya sedang tidur siang. Selanjutnya aku hamparkan kain sarungku didepan pintunya, kemudian angin panas yang membawa debu menampar wajahku, sampai akhirnya sahabat tersebut keluar dan melihatku, lalu berkata, "Wahai anak paman Rasulallah, apa keperluanmu datang kesini? Kenapa tidak engkau utus utusan agar aku mendatangimu saja? Aku menjawab, "Tidak, karena aku lebih berhak untuk mendatangimu". Kemudian aku menanyakan hadits yang dimaksud.

    Beliau melanjutkan, "Kemudian sahabatku yang dulu dari kalangan Anshar tersebut hidup sepertiku, lalu dia melihat orang-orang lain telah berkumpul disekelilingku untuk bertanya tentang ilmu, maka dia berkata, "Sungguh anak muda ini lebih berakal dariku".[2] Telah shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dalam shahih Bukhari dimana beliau berkata, "Diriku dan ibuku adalah termasuk orang-orang yang tidak mampu berangkat hijrah. HR Bukhari no: 4587. Dalam redaksi lain beliau membaca firman Allah ta'ala:

    قال الله تعالى: ﴿ إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ ٩٨ ﴾ [النساء: 98 ]

    "Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu". (QS an-Nisaa': 98).

    Beliau berkata, "Aku bersama ibuku termasuk dari orang-orang yang mendapat udzur Allah (untuk tidak berhijrah)". HR Bukhari no: 4588.

    Dan beliau hijrah bersama ayahnya sebelum penaklukan Makah lalu bertemu bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Juhfah ketika Nabi hendak pergi perang menaklukan kota Makah, lantas diriku ikut serta dalam ekspedisi tersebut, ikut peperangan Hunain dan Thaif pada tahun delapan hijriyah.

    Ada ulama lain yang mengatakan, "Hal itu terjadi pada tahun Sembilan hijriyah karena peristiwa haji wada' terjadi pada tahun sepuluh hijriyah, kemudian dia menemani Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam semenjak saat itu dan terus menemaninya, belajar kepada beliau serta menghafal, mengumpulkan ucapan, perbuatan dan kejadian serta kondisi beliau. Kemudian mengambil dari para sahabat ilmu yang banyak, dengan dibarengi kecerdasan, pikiran yang tajam, ahli balaghah, fasih, gagah, bagus dan seorang oratur ulung. [3]

    Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan, "Pernah suatu ketika Umar mengikut sertakan diriku pada majelisnya ahli Badar. Maka seolah-olah mereka tidak senang dengan kehadiranku, lalu ada yang bertanya padanya, "Kenapa engkau bawa serta anak ini, kami juga mempunyai anak-anak yang sebaya dengannya? Umar menjawab, "Seperti yang kalian lihat". Pada suatu hari beliau mengajakku lalu memasukan diriku pada majelisnya mereka kembali.

    Dan tidaklah aku memahami kecuali kalau beliau mengajak ketika itu untuk membuktikan pada mereka, beliau lalu bertanya pada majelis, "Apa yang kalian ketahui tentang maksud firman Allah tabaraka wa ta'ala:

    قال الله تعالى: ﴿ إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١ ﴾ [ النصر: 1 ]

    "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan". (QS an-Nashr: 1).

    Kemudian ada sebagian mereka yang berkata, "Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menyuruh kita untuk memuji -Nya serta meminta ampunan apabila kita di anugerahi kemenangan dan di taklukan Makah bagi kita". Dan sebagian lagi diam tidak berbicara sedikitpun, kemudian umar mengajukan pertanyaanya padaku, "Apakah seperti itu pendapatmu wahai Ibnu Abbas? Aku jawab, "Bukan". Terus bagaimana maksudnya, tanyanya lagi. Aku jawab, "Itu adalah tanda sudah dekatnya ajal Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Shubhanahu wa ta’alla kabarkan padanya. Sebagaimana firman -Nya:

    قال الله تعالى: ﴿ إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١ ﴾ [ النصر: 1 ]

    "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan". (QS an-Nashr: 1).

    Itu adalah tanda sudah dekatnya kematianmu, maka:

    قال الله تعالى: ﴿ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣ ﴾

    [ النصر: 3 ]

    "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada -Nya. Sesungguhnya -Dia adalah Maha Penerima taubat". (QS an-Nashr: 3).

    Kemudian Umar mengomentari, "Tidaklah aku mengetahui dari ayat ini melainkan seperti apa yang engkau katakan". HR Bukhari no: 4970.

    Para Muhajirin pernah mengatakan pada Umar, "Kenapa anda tidak mengajak anak-anak kami (bermajelis) sebagaimana anda mengajak Ibnu Abbas". Umar menjawab, "Dia anak yang cerdas, dirinya sangat kritis dan cepat tanggap dan mengerti". [4]

    Asy-Sya'bi pernah menceritakan, "Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata padaku Abul Abbas ayahnya, "Wahai anakku, sesungguhnya Umar sangat dekat denganmu, ingatlah tiga (pesan) dariku, jangan engkau sebarkan kejelekan mereka, jangan menghibah seorangpun dihadapan mereka, dan jangan coba-coba kamu berdusta". [5] Murid asy-Sya'bi mengatakan, "Aku pernah bertanya pada Ibnu Abbas, "Satu orang lebih baik dari seribu". Ibnu Abbas menjawab, "Akan tetapi, satu orang lebih baik dari sepuluh ribu".

    Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan, "Dirinya diberi tugas sebagai gubernur Bashrah pada khilafahnya Ali, beliau membimbing kaum muslimin disana untuk memimpin ibadah haji beberapa tahun, beliau yang berkhutbah atas mereka di Arafah, beliau juga membuka pelajaran tafsir disana dengan surat al-Baqarah, dalam salah satu redaksi surat an-Nuur. Sampai dikisahkan oleh salah seorang yang mengikuti kajiannya, "Beliau menafsirkan surat tadi dengan tafsir yang kalau seandainya orang-orang Romawi, Turkia dan Dailim mendengarnya niscaya mereka akan masuk Islam".

    Beliau mengatakan tentang dirinya, "Sesungguhnya diriku mencapai derajat seperti itu karena dahulu aku bertanya untuk satu masalah pada tiga puluh orang dari kalangan para sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.[6]

    Berkata Thawus seorang ahli tafsir serta muridnya, "Belum pernah aku melihat ada seorang pun yang lebih ta'dhim (mengagungkan) larangan-larangan Allah Shubhanahu wa ta’alla melebihi Ibnu Abbas". Abur Raja' mengatakan, "Aku pernah melihat Ibnu Abbas, pada bawah kelopak matanya ada bekas hitam seperti tali sandal karena saking seringnya beliau menangis (karena takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla)".

    Al-Waqidi mengkisahkan, "Telah mengabarkan padaku Daud bin Jubair berkata aku mendengar Ibnul Musayib berkata, "Ibnu Abbas adalah manusia yang paling berilmu". Telah mengabarkan padaku Abdurahman bin Abi Zinad dari ayahnya dari Ubaidillah bin Utbah berkata, "Adalah Ibnu Abbas mempunyai beberapa perkara yang tidak dimiliki oleh orang banyak, dengan ilmunya yang jauh melesat kedepan, dengan fikihnya yang banyak orang membutuhkan pendapatnya, bijaksananya, dan ahli nasab. Dan belum pernah aku melihat seorangpun yang lebih paham dari pendahulunya tentang hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dari pada beliau, juga tentang perkara-perkara yang diputuskan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman, dari pada beliau. Tidak ada orang yang lebih fakih menurutku dari pada beliau, serta lebih mengetahui bait-bait syair dan bahasa Arab, tafsir al-Qur'an dan ilmu perbintangan serta ilmu syariat dari pada beliau. Tidak pula aku mengetahui ada generasi pendahulu yang lebih kuat pendapatnya yang dibutuhkan umat melebihi dirinya.

    Beliau mempunyai majelis yang satu hari hanya membahas fikih, pada hari berikutnya tafsir, hari berikutnya tentang sejarah peperangan, hari berikutnya yang berkaitan dengan syair, hari berikutnya bahasa arab. Dan belum pernah aku melihat seorang alim pun yang duduk satu majelis bersamanya melainkan duduk tenang menyimaknya, tidak ada seorang penanya pun yang bertanya padanya melainkan beliau mendapati jawaban yang memuaskan, dan terkadang aku bisa menghafal bait syair yang keluar dari mulutnya yang beliau sebutkan lebih dari tiga puluh bait syair".

    Mujahid mengkisahkan, "Adalah Ibnu Abbas dinamakan dengan lautan ilmu yang tak bertepi disebabkan keluasan ilmu yang beliau miliki". Imam Atha' mengatakan, "Belum pernah sebelumnya aku menyaksikan sebuah majelis ilmu yang lebih mulia dari pada majelis ilmunya Ibnu Abbas, paling banyak mengandung ilmu, serta kewibawaan, para ahli tafsir bertanya padanya, para ahli bahasa juga bertanya padanya, para ahli syair juga menanyakan syair yang dimilik, seakan-akan mereka semua sedang mengambil air dari satu danau yang sangat luas".

    Berkata Mughirah dari asy-Sya'bi, ditanyakan pada Ibnu Abbas, "Dengan apa engkau memperoleh ilmu yang banyak ini". beliau menjawab, "Dengan lidah yang sering bertanya dan akal yang (suka) menghafal".

    Diantara kata-kata hikmah serta wasiat-wasiat beliau adalah:

    Bahwa pernah ada seseorang yang bernama Jundub datang pada beliau dan berkata, "Berilah aku wasiat? Beliau lalu memberi wasiat dengan menuturkan, "Aku wasiatkan padamu untuk mentauhidkan Allah Shubhanahu wa ta’alla, serta mengamalkan kandungannya, mengerjakan sholat, dan membayar zakat, maka sesungguhnya setiap kebajikan yang engkau kerjakan setelah melakukan itu semua maka akan diterima, terangkat naik kehadirat -Nya, dan sungguh engkau tidak menambah setiap harinya dari kebajikan melainkan terhitung amal sholeh.

    Dan sholatlah bagaikan sholatnya orang yang akan pergi jauh yang tidak pernah kembali lagi, dan jadilah engkau di pagi hari seperti orang asing atau musafir karena sejatinya engkau adalah calon penghuni kubur, menangislah karena dosa-dosamu, dan bertaubatlah dari kesalahan yang engkau perbuat, jadikanlah dunia ini lebih ringan dari pada tali sendalmu, dan seakan-akan engkau telah pergi meninggalkanya dan sedang menghadap kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, ketahuilah tidak ada yang bermanfaat bagi semua yang engkau tinggalkan, melainkan amal sholehmu".

    Sebagian ulama menyebutkan, Ibnu Abbas pernah memberi nasehat dengan beberapa kalimat yang lebih baik dari pada kuda yang banyak". Beliau juga pernah memberi nasehat, "Janganlah engkau berbicara dengan perkara yang tidak penting bagimu sampai sekiranya engkau merasa yakin betul bisa membawa maslahat, janganlah mendebat orang-orang pandir, jangan pula mendebat orang yang sabar karena kesabarannya akan mengalahkanmu, sedang orang pandir maka akan melecehkanmu.

    Jangan sekali-kali engkau menyebut (kejelekan) saudaramu bila dia sudah berpaling dari hadapanmu kecuali seperti apa yang engkau sukai darinya bila mana engkau telah berpaling dari hadapannya. Beramallah seperti amalan seseorang yang mengetahui kalau dirinya akan mendapat upah yang lebih baik, dan dimaafkan kesalahannya.

    Pernah suatu ketika ada seseorang yang berkata padanya, "Wahai Ibnu Abbas, ini lebih baik dari sepuluh ribu". Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sebuah kalimat yang lebih baik darinya sepuluh ribu". Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah mengatakan, "Perkara ma'ruf yang paling sempurna ialah yang segera dikerjakan, dianggap remeh dan menutupi (dari penglihatan orang), maksud ucapan beliau yaitu untuk bersegera ketika memberi sedekah, dan jadikan seakan-akan amalan yang sepele dihadapan orang yang dikasih, serta menutupi dari penglihatan mata orang banyak, jangan memamerkannya. Karena dengan menampakan akan membuka pintu riya', menyakiti hati orang yang diberi serta membikin malu dirinya".

    Beliau juga pernah mengatakan, "Manusia yang paling utama dimataku ialah teman dudukku, kalau seandainya aku mampu untuk menghalangi lalat menempel diwajahnya niscaya akan aku lakukan". Beliau mengatakan, "Tidaklah aku berpendapat bahwa setiap orang yang datang padaku untuk meminta kebutuhan kemudian aku mampu membantunya kecuali beberapa hal yang aku cukupkan pada Allah azza wa jalla. Yaitu orang yang memulai memberi salam padaku, atau memberi ruang didalam majelis, atau berdiri untuk memberi kesempatan duduk padaku, atau seseorang yang memberiku air minum ditengah kehausan, atau seorang mukmin yang mendo'akan diriku dikeheningan malam".

    Abdullah bin Buraidah berkata, "Pernah suatu ketika ada orang yang mencaci maki Ibnu Abbas, maka beliau berkata, "Sesungguhnya engkau benar-benar telah mencaciku dan mencaci tiga perkara. Sesungguhnya aku mengetahui ada sebuah ayat dari kitab Allah yang aku sangat berharap sekiranya manusia mengetahuinya seperti apa yang aku pahami. Bisa saja aku adukan perkara ini ke meja hakim dari hakimnya kaum muslimin agar menghukumi secara adil, lalu aku keluar dari mejanya dengan kebahagian (karena memenangkan kasus), namun, aku tidak akan mengadukan kepadanya selama-lamanya. Dan terakhir, kalau sekiranya aku mendengar hujan telah menimpa suatu negeri dari negerinya kaum muslimin melainkan diriku turut berbahagia, sedang diriku tidak mempunyai seekor binatang ternak pun di negeri mereka".

    Al-Waqidi mengatakan, "Ada seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna firman Allah tabaraka wa ta'ala:

    قال الله تعالى: ﴿ أَوَ لَمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ كَانَتَا رَتۡقٗا فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ ٣٠ ﴾ [ الأنبياء: 30 ]

    "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya". (QS al-Anbiyaa': 30).?

    Beliau menjawab, "Dahulu langit adalah suatu benda yang padu tidak menurunkan hujan, demikian pula bumi adalah benda satu yang tidak menumbuhkan tanaman, kemudian dipisahkan sehingga yang satu menurunkan hujan dan yang satu menumbuhkan tanaman".

    Dan beliau terkena musibah (buta) pada salah satu matanya, yang mengakibatkan badannya menjadi kurus, dan tatkala satu lagi matanya terkena musibah maka baru kembali lagi daging beliau, demikian dikatakan tentang beliau pada sebagian buku-buku sirah. Beliau sendiri yang mengkisahkan, "Aku tertimpa musibah (kebutaan pada mata) seperti apa yang kalian lihat sekarang ini, pada awalnya aku sangat berharap untuk sembuh, namun, tatkala keduanya terkena musibah, hatiku menjadi tenang".

    Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa mata beliau terkena air, maka ditawarkan pada beliau, "Bagaimana kalau kami ambil air tersebut dari matamu, tapi menyebabkan anda tidak bisa sholat selama tujuh hari? Beliau menjawab, "Jangan, karena orang yang meninggalkan sholat sedang ia mampu untuk mengerjakan, dirinya akan bertemu kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam keadaan murka pada pelaku nya. Dalam salah satu redaksi disebutkan, "Bahwa ditawarkan pada beliau, "Kami hilangkan air ini dari matamu dengan syarat engkau selama lima hari tidak bisa sholat melainkan bersandar pada tongkat? Dalam redaksi lain, "Kecuali dengan berisyarat? Maka beliau menjawab, "Tidak, demi Allah walaupun hanya aku tinggalkan satu raka'at, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan satu sholat saja dengan sengaja, dirinya akan bertemu dengan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam keadaan murka kepadanya".

    Al-Madaini pernah melantunkan sebuah bait syair kepada Ibnu Abbas tatkala dirinya tertimpa kebutaan:

    Biarpun Allah telah mengambil cahaya kedua mataku

    Tapi dalam pendengaran dan lidahku masih bercahaya

    Hatiku penuh dengan hikmah dan akalku tidak terkotori

    Dan lidahku menebas bagaikan pedang yang tajam

    Maka tatkala sampai pada tahun enam puluh delapan Abdullah bin Abbas meninggal dunia di Thaif, dan Muhammad bin al-Hanafiyah yang menyolati jenazah beliau. Dia berkata, "Pada hari ini telah meninggal dunia lautan ilmu". Diriwayatkan oleh at-Thabarani didalam Mu'jamul Kabir dengan sanadnya sampai pada Sa'id bin Jubair, berkata, "Ibnu Abbas meninggal dunia di Thaif. Lalu datang seekor burung yang belum pernah terlihat sebelumnya masuk kedalam kuburnya, kemudian tidak terlihat keluar kembali. Dan ketika beliau di kubur terdengar ada orang yang membaca ayat ini dari arah dalam kuburnya dan tidak ada seorangpun yang mengenali siapa yang membacanya:

    قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٢٧ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ ٢٨ فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي ٢٩ وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي ٣٠﴾ [ الفجر: 27-30 ]

    "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai -Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba -Ku, masuklah ke dalam surga -Ku". (QS al-Fajr: 27-30).

    Imam Dzahabi mengomentari, "Dan kisah ini mutawatir". [7] al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan, "Dan beliau ketika meninggal berumur tujuh puluh dua tahun, semoga Allah meridhoi Ibnu Abbas, dan memberi balasan atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. Dan semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla mengumpulkan kita pada negeri pemuliaan bersama para nabi, shidiqin dan syuhada karena mereka adalah sebaik-baik teman".[8]

    Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.

    [1] . Lembah bukit inilah tempat dimana Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam dan Bani Hasyim menjalani masa embargo yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap mereka.

    [2] . al-Bidayah wa Nihayah oleh Ibnu Katsir 12/86.

    [3] . al-Bidayah wa Nihayah oleh Ibnu Katsir 12/81.

    [4] . Siyar a'lamu Nubala 3/345.

    [5] . Siyar a'lamu Nubala 3/346.

    [6] . al-Bidayah wa Nihayah oleh Ibnu Katsir 12/90.

    [7] . Siyar a'lamu Nubala 3/331-359.

    [8] . Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir 12/87-111.