×
Tidak perlu diragukan lagi bahwa kikir merupakan perilaku yang tercela, karena dalam kekikirannya akan banyak menyebabkan hak-hak orang lain tidak tertunaikan. Oleh karena itu sifat kikir ini dilarang oleh syari’at kita, dan mencegahnya dengan berbagai sarana dan cara guna kebersamaan dalam hidup. Maka didalam risalah ini kita diajak oleh penulis untuk mengetahui apa saja bahayanya……

    Kikir, Sifat yang Tercela

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi

    Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2014 - 1435

    ذم البخل

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ أمين بن عبد الله الشقاوي

    ترجمة: عارف هداية الله أبو أمامة

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2014 - 1435

    Celanya Sifat Kikir

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Ketokohan profil ini tidak diragukan lagi. Ia sangat meyakinkan, reputasinya tak perlu dipertanyakan. Banyak ayat Al-Qur`an yang membicarakan keutamaan beliau, baik secara pribadi maupun dalam konteks umum.

    Diantara sifat-sifat buruk yang masih sering hinggap di dada sebagian kaum muslimin ialah sifat bakhil (kikir) yang telah datang celaannya dari Allah ta'ala maupun Rasul -Nya. Seperti yang Allah ta'ala singgung dalam firman -Nya:

    قال الله تعالى:﴿ وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرٗا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرّٞ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ ١٨٠﴾ [ آل عمران: 180]

    "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia -Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat". (QS al-Imraan: 180).

    Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa'di menjelaskan, "Yakni janganlah orang-orang yang bakhil mengira yaitu orang-orang yang enggan mengeluarkan harta benda yang telah Allah ta'ala karuniakan kepada mereka, masuk disini kedudukan dan juga ilmu, dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla berikan dan anugerahkan pada mereka, yang Allah ta'ala barengi dengan perintah supaya mereka mau berkorban mengeluarkan pada yang lain selagi tidak sampai memadharatkan dirinya. Kemudian mereka kikir dari semua itu dengan menahan harta benda dan bakhil pada hamba Allah yang lainnya.

    Mereka mengira bahwa dengan menahan harta bendanya tersebut, itu lebih utama bagi mereka, justru sebaliknya, itu lebih buruk baginya baik dari sisi agama maupun dunia, dari dampak buruknya yang bisa segera dirasakan maupun pada nantinya".[1] Dan bakhil yang paling buruk ialah kikir karena khawatir jatuh miskin. Seperti yang Allah ta'ala katakan dalam firman -Nya:

    قال الله تعالى: ﴿ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩ ﴾ [الحشر: 9 ]

    "Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung". (QS al-Hasyr: 9).

    Dijelaskan oleh ar-Razi yang dimaksud dengan asy-Syuh ialah bakhil disertai ketamakan. Sebagaimana tergambar jelas dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ » [أخرجه مسلم]

    "Hati-hatilah kalian dari sifat bakhil sesungguhnya sifat ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Yang mendorong mereka untuk rela menumpahkan darah serta menghalalkan segala perkara yang diharamkan ". HR Muslim no: 2578.

    Diperkuat lagi makna tersebut dengan sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, berkata, "Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَجْتَمِعُ شُحٌّ وَإِيمَانٌ فِي قَلْبِ رَجُلٍ مسلم » [أخرجه أحمد]

    "Tidaklah mungkin akan terkumpul dalam hati seorang muslim antara keimanan dan sifat bakhil". HR Ahmad 12/450 no: 7480.

    Adapun ragam dan jenis sifat bakhil ini sangatlah banyak, diantaranya bakhil dalam masalah harta, atau jasad, ilmu, kedudukan, mengucapkan salam atau sholawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua itu didukung dengan dalil-dalil yang sangat banyak. Diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, secara marfu', bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إن أعجز الناس من عجز في الدعاء و إن أبخل الناس من بخل بالسلام » [أخرجه البيهقي في شعيب الإيمان]

    "Sesungguhnya manusia yang paling lemah ialah orang yang paling loyo dalam berdo'a. dan sesungguhnya manusia yang paling bakhil ialah orang yang kikir untuk mengucapkan salam". HR al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman 13/22 no: 8392.

    Dinilai shahih oleh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no: 601. Dan sebagian ulama menyatakan yang lebih kuat hadits ini mauquf sampai pada Abu Hurairah saja.

    Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunannya dari sahabat Husain bin Ali radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « البخيل الذي ذكرت عنده و لم يصل علي » [أخرجه الترمذي]

    "Orang yang bakhil adalah orang yang mendengar namaku disebut disisinya lalu dirinya tidak bersholawat atasku". HR at-Tirmidzi no: 3546. Beliau berkata, "Hadits hasan shahih ghorib".

    Dan sifat kikir ini keadaanya bertingkat-tingkat, dan yang paling tinggi ialah bakhil dalam masalah menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan padanya. Seperti bakhil untuk mengeluarkan zakat, atau memberi nafkah pada keluarganya, atau memberi jamuan pada tamu. Disebutkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, berkata, "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا [لَا يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ ... الْآيَةَ] » [أخرجه البخاري ومسلم]

    "Barangsiapa yang telah Allah datangkan padanya kekayaan lalu dirinya enggan mengeluarkan zakatnya. Maka akan dijadikan kelak pada hari kaimat harta tersebut baginya seekor ular yang berkepada botak dengan dua lidah yang berbisa kemudian mengejarnya, sambil mematuki dengan mulutnya sembari berkata, "Akulah hartamu, akulah simpananmu". Kemudian beliau membaca firman Allah ta'ala:

    قال الله تعالى: ﴿ وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ ...ۗ ١٨٠﴾ [ آل عمران: 180]

    "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil..". (QS al-Imraan: 180). HR Bukhari no: 1403. Muslim no: 987.

    Dijelaskan pula dalam sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata, "Hindun ibunya Mu'awiyah pernah mengadu kepada Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir, apakah boleh bagiku untuk mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya sekedar memenuhi kebutuhanku? Beliau menjawab, "Ia, ambillah sekedarnya secara ma'ruf". HR Bukhari no: 5370. Muslim no: 1714.

    Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Suraih al-'Adawi radhiyallahu 'anhu, berkata, "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ » [أخرجه البخاري ومسلم]

    "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya". HR Bukhari no: 6018. Muslim no: 47.

    Ibnu Qudamah menerangkan, "Sikap pelit dan dermawan itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan orang pelit yang paling buruk ialah seseorang yang bakhil pada dirinya sendiri yang sedang membutuhkannya. Berapa banyak orang bakhil yang menahan harta bendanya ketika sedang sakit dengan tidak mau mengeluarkan untuk berobat. Dirinya ingin menuruti syahwatnya namun tercegah oleh sifat bakhilnya. Berapa banyak diantara orang yang bakhil terhadap dirinya dibarengi kebutuhannya dan diantara seseorang yang lebih mendahulukan dirinya bersama kebutuhannya. Dan akhlak yang tepat adalah pemberian dari Allah Shubhanahu wa ta’alla yang –Dia anugerahkan pada siapa saja yang dikehendaki -Nya".[2]

    Tingkatan yang kedua: Pelit dengan perkara yang disunahkan seperti bakhil dalam masalah sedekah, atau enggan memberi pinjaman pada orang lain, atau memberi jamuan tamu yang sifatnya sunah.

    Disebutkan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ, فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا » [أخرجه البخاري ومسلم]

    "Tidaklah setiap pagi menyapa seorang hamba melainkan turun padanya dua malaikat. Kemudian malaikat pertama berdo'a; "Ya Allah, berilah orang yang berinfak pengganti". Sedang yang satunya berdo'a, "Ya Allah, berilah orang yang pelit kehancuran". HR Bukhari no: 1442. Muslim no: 1010.

    Dalam hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ السَّلَفَ يَجْرِي مَجْرَى شَطْرِ الصَّدَقَةِ » [أخرجه أحمد]

    "Sesungguhnya orang yang menangguhkan pinjaman (mendapat) pahala setengah sedekah". HR Ahmad 7/26 no: 3911.

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan, "Aku pernah membantu Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan kebiasaan beliau apabila turun bencana, seringkali aku mendengar beliau berdo'a:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ » [أخرجه البخاري ]

    "Ya Allah, aku berlindung kepada -Mu dari (bahaya) rasa gundah gulana dan kesedihan, dari rasa lemah dan malas, dari rasa pelit dan penakut, dari lilitan hutang dan penguasaan orang lain". HR Bukhari no: 2893.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Sesungguhnya semua orang memuji orang yang punya sifat pemberani dan penderma, sampai kiranya kebanyakan pujian yang dibawakan oleh para penyair dalam bait syairnya adalah berkaitan dengan keberanian ini. Begitu pula banyak orang yang mencela sifat kikir dan pengecut.

    Kemudian beliau melanjutkan, "Manakalah kebaikan anak cucu Adam tidak mungkin bisa terlealisasi secara sempurna dalam agama seseorang melainkan dengan adanya keberanian dan kedermawanan maka Allah azza wa jalla menjelaskan bahwa orang yang diserahi tugas untuk memikul kewajiban jihad, namun ia meninggalkannya maka Allah Shubhanahu wa ta’alla akan mengganti orang tersebut dengan kaum yang lain yang mau menegakan syi'ar jihad tersebut. Sebagaimana ditegaskan dalam firman -Nya:

    قال الله تعالى: ﴿هَٰٓأَنتُمۡ هَٰٓؤُلَآءِ تُدۡعَوۡنَ لِتُنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَمِنكُم مَّن يَبۡخَلُۖ وَمَن يَبۡخَلۡ فَإِنَّمَا يَبۡخَلُ عَن نَّفۡسِهِۦۚ وَٱللَّهُ ٱلۡغَنِيُّ وَأَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُۚ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم ٣٨﴾ [ محمد: 38 ]

    "Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada -Nya); dan jika kamu berpaling niscaya -Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini". (QS Muhammad: 38).[3]

    Dan diantara perkara yang menunjukan tercelanya sifat pelit ini dan menafikan akhlak serta budi pekerti yang luhur adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Jubair bin Muth'im radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, "Tatkala aku sedang bersama Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat lainnya seusai peperangan Hunain. Datang orang-orang Arab Badui berdesak-desakan mengerumuni beliau untuk meminta bagian sehingga beliau terdesak ke suatu pohon yang menyebabkan jubahnya terlepas. Lalu beliau berkata:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَعْطُونِي رِدَائِي لَوْ كَانَ لِي عَدَدُ هَذِهِ الْعِضَاهِ نَعَمًا لَقَسَمْتُهُ بَيْنَكُمْ ثُمَّ لَا تَجِدُونِي بَخِيلًا وَلَا كَذُوبًا وَلَا جَبَانًا » [أخرجه البخاري]

    "Kembalikan jubahku. Demi Allah, jika saja aku memiliki ternak sebanyak pohon besar niscaya aku akan bagi-bagikan juga kepada kalian, sehingga dengan begitu tidak ada yang menganggapku sebagai orang yang kikir, dust dan pengecut". HR Bukhari no: 3148.

    Al-Hafidh Ibnu Hajar menerangkan, "Didalam hadits ini sebagai dalil tercelanya sifat-sifat yang disebutkan tadi, yakni kikir, dusta, dan penakut. Dan tidak sepantasnya bagi seorang pemimpin kaum muslimin yang mempunyai cabang-cabang sifat tersebut".[4] Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan. Beliau pernah mengasih Aqra' bin Habis dan Uyainah bin Hishan pada perang Hunain setiap orangyan seratus onta. Dan tatkala ada Arab badui datang maka beliau mengasih satu lembah kambing yang berada di dua gunung, sehingga Arab badui tadi langsung pulang ke kampungnya sambil menyeru, "Duhai kaumku, masuklah Islam sesungguhnya Muhammad memberi dengan pemberian yang dirinya tidak takut miskin". HR Muslim no: 2312.

    Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, "Penakut dan pelit adalah dua sifat yang sangat erat hubungannya. Jika tidak ada manfaat yang diharapkan darinya, apabila berkaitan dengan badan maka itulah yang dinamakan penakut, dan jika berkaitan dengan harta maka itulah yang dinamakan pelit".[5]

    Seorang penyair mengatakan dalam bait syairnya:

    Jika engkau kumpulkan harta lantas engkau simpan

    Dirimu hanya dijuluki penjaga harta yang amanah

    Tapi cela untuku bila tidak engkau tunaikan

    Termakan kerakusan sedang dirimu telah terkubur

    Seorang penyair lagi mengatakan:

    Apabila dunia telah berlaku baik padamu, balaslah kebaikannya

    Dengan berbuat baik pada penghuninya, sungguh hidup berganti-ganti

    Jangan takut menderma hilang harta justru dia akan kembali menyapa

    Orang kikir mengira hartanya tersimpan, namun kiranya dia justru musnah

    Seorang ulama yang bernama Ibnu Muflih menuturkan, "Sangat mengherankan orang yang pelit itu, dirinya langsung merasakan kefakiran yang ia lari darinya dan beranggapan akan menggapai kebahagian bila menahan hartanya. Bisa jadi dirinya mati dikala sedang lari dari kefakiran yang ia kira dan mencari kebahagian yang ia sangka. Sehingga ia hidup didunia dengan penghidupan orang fakir sedang diakhirat masuk dalam barisan hisabnya orang-orang kaya.

    Bersamaan dengan itu pula engkau tidak mungkin menjumpai ada orang pelit kecuali justru orang lain yang lebih bahagia darinya, karena orang pelit tujuan didunia hanya untuk mengumpulkan harta, akan tetapi, ingat di akhirat nanti dirinya dihisab dengan sebab menahan harta dari kewajibannya, adapun orang yang tidak pelit, dirinya akan selamat dari tujuan jelek tersebut dan ketika diakhirat selamat dari dosa mengumpulkan harta".[6]

    Hubais ast-Tsaqawi menceritakan, "Aku pernah duduk bersama Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma'in. Sedangkan banyak dikalangan murid-muridnya yang bersepakat bahwasannya mereka tidak mengenal ada orang sholeh yang pelit".[7] Al-Marwadi mengatakan, "Terkadang terkumpul dalam pribadi orang yang kikir beberapa akhlak yang tercela, dan setiap sifat cela tersebut bisa mengantarkan pada sifat cela lainnya, yaitu empat akhlak yang kalian dilarang karenanya, yakni sifat tamak, rakus, prasangka buruk, dan menahan hak orang lain.

    Dan jika orang yang bakhil tadi mempunyai apa yang kami sifatkan tadi, dari sifat-sifat yang tercela dibarengi adat kebiasaannya yang buruk maka sudah tidak tersisa bersamanya kebaikan dan kesholehan yang diharapkan lagi".[8]

    Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.

    [1] . Tafsir Ibnu Sa'di hal: 141.

    [2] . Mukhtashar Minhajil Qoshidin hal: 265.

    [3] . al-Istiqomah 2/263-270.

    [4] . Fathul Bari 6/254.

    [5] . al-Jabul Kafi liman Sa'ala 'an Dawaa'i Syaafi hal: 85.

    [6] . al-Adaab Syar'iyah 3/318.

    [7] . Thabaqaat al-Hanabilah 1/147.

    [8] . Adabu Dunya wa Diin hal: 186-187.