×
Penyakit yang satu ini adalah porosnya kerusakan dalam beragama. Tidak ada penyelewengan dalam tatanan cara beragama melainkan karena gara-gara mengikuti hawa nafsu ini. Untuk mengetahui seberapa besar bahayanya, dalam risalah ini dijelaskan secara singkat, namun, padat isinya….

    Mengikuti Hawa Nafsu

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi

    Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2013 - 1434

    اتباع الهوى

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ أمين بن عبد الله الشقاوي

    ترجمة: عارف هداية الله أبو أمامة

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2013 - 1434

    Mengikuti Hawa Nafsu

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusanNya. Amma ba'du:

    Diantara sifat tercela yang dimiliki oleh seseorang, yang bisa mengakibatkan binasa dan buta hati, sehingga berakibat tidak sanggup lagi membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, antara kebajikan dengan keburukan adalah mengikuti hawa nafsu. Lihat bagaimana Allah mencela orang seperti itu dalam firman Nya:

    ﴿ أَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ ٤٣ ﴾ [ الفرقان: 43]

    "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya". (QS al-Furqaan: 43).

    Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan ayat diatas: "Maksudnya manakala dia menganggapnya baik suatu perkara dan berpendapat bagus, akan tetapi hanya di ukur menurut hawa nafsunya maka hal itu setara dengan agama serta madzhab yang dianutnya". [1] hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Allah ta'ala dalam firman Nya yang lain:

    ﴿ أَفَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ فَرَءَاهُ حَسَنٗاۖ ٨ ﴾ [ فاطر: 8]

    "Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?". (QS Faathir: 8).

    Sedang dalam ayat lain, Allah ta'ala menjelaskan, mewanti-wanti agar menjauh dari yang namanya mengikuti hawa nafsu, sebagaimana perintahNya kepada nabi Daud 'alaihi sallam, Allah berfirman:

    ﴿ يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ٢٦﴾ [ ص: 26]

    "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah". (QS Shaad: 26).

    Allah ta'ala telah menyebutkan dalam kitabNya tentang keadaan mereka-mereka yang mengikuti hawa nafsunya, dijelaskan, bahwa tingkat keadaan mereka yang mengikuti hawa nafsu sampai pada derajat seperti binatang ternak, bahkan dikatakan mereka lebih buruk lagi. Hal itu, sebagaimana dijelaskan dalam firman Nya:

    ﴿ أَمۡ تَحۡسَبُ أَنَّ أَكۡثَرَهُمۡ يَسۡمَعُونَ أَوۡ يَعۡقِلُونَۚ إِنۡ هُمۡ إِلَّا كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّ سَبِيلًا ٤٤﴾ [ الفرقان: 44]

    "Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)". (QS al-Furqaan: 44).

    Diantara potret menjadikan hawa nafsu sebagai Ilahnya adalah seperti yang dikerjakan oleh sebagian orang, mencari-cari keringanan dalam agama dalam rangka menyelisihi syari'at yang sudah baku atau membawakan fatwa-fatwa ulama yang nyleneh serta mengikuti ketergelinciran para Ulama. Mereka berusaha memperkosa dalil demi tercapainya maksud. Yaitu jika nash tersebut ada yang sesuai dengan hawa nafsunya maka mereka ridho dan tidak mendebatnya. Dan Allah ta'ala telah menyinggung orang-orang semacam ini melalui firman-Nya:

    ﴿ وَيَقُولُونَ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلرَّسُولِ وَأَطَعۡنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٞ مِّنۡهُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَۚ وَمَآ أُوْلَٰٓئِكَ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٤٧ وَإِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ إِذَا فَرِيقٞ مِّنۡهُم مُّعۡرِضُونَ ٤٨ وَإِن يَكُن لَّهُمُ ٱلۡحَقُّ يَأۡتُوٓاْ إِلَيۡهِ مُذۡعِنِينَ ٤٩ أَفِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَمِ ٱرۡتَابُوٓاْ أَمۡ يَخَافُونَ أَن يَحِيفَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَرَسُولُهُۥۚ بَلۡ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٥٠ ﴾ [ النور: 47-50]

    "Dan mereka berkata: "kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)." kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim". (QS an-Nuur: 47-50).

    Akan tetapi sebagian orang mengangkat hukum sampai ke atas langit manakala dia anggap memberi keuntungan bagainya, namun, kiranya mereka menganggap maslahat tersebut tidak langgeng maka mereka bersegera menghancurkan semua hukum dan undang-undang tersebut. hukum yang hakiki bagai mereka ialah yang membawa keuntungan bagi kepentingan hawa nafsunya semata.[2]

    Dosa mengikuti hawa nafsu:

    Hawa nafsu akan membutakan serta membungkan pemiliknya dari kebenaran. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, diriwayatkan oleh Muslim dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Aku pernah mendengar Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ » [أخرجه مسلم]

    "Dinampakan fitnah kepada hati setiap hari berulang-ulang. Maka hati manapun yang melakukan kemaksiatan akan membekas padanya titik hitam, dan hati manapun yang mengingkarinya maka akan membekas padanya titik putih, hingga menjadi dua hati, hati yang putih bersih, tidak ternodai fitnah selagi langit dan bumi masih ada. Dan yang satunya lagi hati yang hitam, sehingga pemiliknya tidak mengenal yang baik dan mau mengingkari kemungkaran, melainkan dirinya hanya mengikuti hawa nafsunya". HR Muslim no: 144.

    Dan secara tegas Allah azza wa jalla telah melarang NabiNya untuk mengekor pada hawa nafsu, yaitu melalui firmanNya:

    ﴿ فَلِذَٰلِكَ فَٱدۡعُۖ وَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡۖ ١٥﴾ [ الشورى: 15]

    "Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka". (QS asy-Syuura: 15).

    Maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan titah Rabbnya tersebut, dengan selalu berdo'a berlindung kepada Allah dari mengikuti hawa nafsu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam sunannya dari Qutbah bin Malik radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Adalah kebiasaan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam senantiasa berdo'a:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق والأعمال والأهواء » [أخرجه الترمذي]

    "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kemungkaran akhlak dan perbuatan serta mengikuti hawa nafsu". HR at-Tirmidzi no: 3591. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 3/184 no: 2840.

    Dan beliau mengabarkan pada kita, bahwa mengekor hawa nafsu merupakan penyebab kehancuran yang mengantarkan pada nerakanya Allah ta'ala. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh al-Bazzar dalam musnadnya, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « المهلكات ثلاث: شح مطاع و هوى متبع و إعجاب المرء بنفسه » [أخرجه البزار]

    "Ada tiga perkara yang dapat membinasakan, rakus terhadap dunia, mengikuti hawa nafsu dan seseorang yang bangga dengan dirinya sendiri". HR al-Bazzar 8/295 no: 3366. Dinilai hasan oleh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no: 1802.

    Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib pernah memberi petuah pada kita semua: "Sesungguhnya tidak ada perkara yang lebih aku takutkan atas kalian dari pada panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Adapun yang pertama, karena panjang angan-angan akan menyebabkan kalian lupa terhadap urusan akhirat, sedang mengikuti hawa nafsu maka akan menjadikan kalian susah untuk menetapi kebenaran".[3]

    Dan sangat banyak sekali ucapan para ulama salaf yang memperingatkan umat supaya tidak mengikuti kesalahan yang dilakukan oleh para ulama serta pendapat mereka yang menyimpang. Salah satunya seperti yang dinasehatkan oleh Sulaiman at-Taimi, beliau mengatakan: "Kalau sekiranya engkau mengumpulkan seluruh kesalahannya para ulama tentu akan terkumpul pada dirimu semua kejelekan". [4]

    Ulama yang lain, seperti imam al-Auza'i, juga pernah memberi nasehat pada kita: "Barangsiapa yang mengambil semua pendapat ulama yang menyimpang tentu dirinya akan keluar dari agama Islam". [5]

    Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan: "Tiga perkara yang bisa menghancurkan agama. Kesalahan seorang alim, perdebatan yang dilontarkan oleh seorang munafik dan para ulama yang menyesatkan". [6]

    Imam Ibnu Hazm al-Andalusi menjelaskan: "Dan kelompok yang lain, mereka adalah kaum yang telah mencapai derajat keilmuan yang tinggi dalam agama, namun tidak dibarengi dengan rasa takut kepada Allah. Dirinya mencoba mencari tiap pendapat ulama yang cocok dengan hawa nafsunya lalu mereka ambil serta ikuti pendapat tersebut dengan taklid buta tanpa berusaha untuk mencocokan dengan nash dari al-Qur'an dan hadits Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam". [7]

    Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Isma'il al-Qadhi, beliau menceritakan: "Suatu saat aku masuk pada Mu'tadhid Billah (khalifah Abbasiyyah saat itu), lalu disuguhkan padaku sebuah kitab, lalu aku telaah, maka aku dapati isinya terkumpul tentang keringanan dan ketergelinciran para ulama serta dalil tiap pendapat dari mereka. Maka aku katakan: "Penulis buku ini adalah zindik".

    Lalu sang Khalifah bertanya: "Bukankah hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya shahih? Ia, namun hadits-hadits tersebut diriwayatkan sesuai hawa nafsunya. Sebab orang yang membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mut'ah, dan orang yang membolehkan nikah mut'ah tidaklah membolehkan nyanyian. Tidak ada seorang alim pun kecuali memiliki ketergelinciran. Dan barangsiapa memungut semua kesalahan ulama niscaya akan hilang agamanya, jawabku. Kemudian Khalifah menyuruh buku tersebut supaya dibakar". [8]

    Dan para ulama telah mengingkari secara keras orang yang memungut ketergelinciran dan keringanan pendapatnya seorang alim. Dimana terkadang mereka mensifati pelakunya dengan hamba Allah yang paling buruk, sebagaimana dinukil oleh Abdurazzaq dari Ma'mar.[9]

    Terkadang mereka mensifati pelakunya dengan orang yang fasik seperti yang diucapkan oleh Ibnu Najar. Beliau mengatakan: "Haram bagi seorang awam untuk mengumpulkan keringanan seorang alim, dan dia orang yang fasik jika melakukan hal tersebut". [10]

    Al-Ghazali mengatakan: "Tidak boleh bagi seorang awam untuk mempunyai madzhab pada tiap permasalahan sesuai dengan hati nuraninya lalu dia berusaha memperluasnya". [11]

    Sebagian orang jika ingin meminta fatwa pada tiap permasalan yang dimilikinya dia bertanya pada orang yang telah dikenal bermudah-mudahan dalam memberi fatwa, dan berfatwa dengan fatwa yang menyelisihi kebanyakan para ulama. Dan bila ditunjukan untuk meminta fatwa pada ulama yang telah diketahui berfatwa dengan al-Qur'an dan Hadits, maka dirinya beralasan: 'Sesungguhnya mereka tidak mengetahui fatwa melainkan hanya menggunakan bahasa haram. Setiap permasalan baginya adalah haram".

    Maka ketahuilah, sesungguhnya orang semacam ini dan yang semisal dengannya adalah orang yang menjadikan agama sebagai permainan dan sendau gurau. Sedangkan Allah ta'ala telah berfirman kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:

    ﴿ فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ ٞ ١١٢ ﴾ [ هود: 112]

    "Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu". (QS Huud: 112).

    Allah tidak memerintahkan padanya sebagaimana yang engkau inginkan. Berkata Ibnu Abdil Barr menjelaskan: "Para ulama telah bersepakat bahwa seorang awam tidak boleh untuk mengumpulkan keringanan-keringanannya para ulama". [12]

    Muhammad bin Sirin mengatakan: "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah oleh kalian kepada siapa kalian mengambil agama". [13]

    Adapun ucapan sebagian mereka yang mengatakan: 'Jadikan perantara antara dirimu dan api neraka bersama orang yang engkau ikuti'. Maka ucapan ini tidak dibenarkan kecuali jika dirinya mau bertanya pada ahli ilmu yang telah dikenal dengan ketakwaanya, dan dalam pertanyaannya tersebut bermaksud ingin mengetahui kebenaran dan ilmu sesuai dengan apa yang diridhoi Allah ta'ala.[14]

    Diantara potret orang yang mengikuti ketergelinciran para ulama serta meninggalkan pendapatnya kebanyakan ulama, serta yang sesuai dengan dalil. Adalah orang-orang yang mengambil pendapatnya ulama yang membolehkan nyanyian dan meninggalkan pendapat ulama yang mengharamkannya. Seperti pendapatnya Abu Hanifah, Syafi'i, Malik dan Ahmad, serta kebanyakan para ulama yang terdahulu maupun yang belakangan.

    Diantara mereka ada yang mengambil pendapatnya orang yang menyebutkan boleh untuk mencukur jenggot, lalu mereka meninggalkan dalil-dalil yang jelas, yang bisa dilihat dalam shahih Bukhari dan Muslim serta dalil lainya yang ada dalam al-Qur'an dan hadits yang menunjukan pada perintah memanjangkan jenggot.

    Dan ini merupakan pendapatnya kebanyakan para ulama salaf dan kholaf, bahkan tidak pernah dijumpai ada pendapat yang membolehkan untuk mencukur jenggot melainkan pada zaman-zaman belakangan ini.

    Diantara mereka ada yang mengambil pendapatnya orang yang membolehkan memanjangkan pakaian dibawah mata kaki bagi laki-laki tanpa dibarengi sikap sombong. Lantas mereka meninggalkan dalil-dalil yang jelas yang mengharamkan berpakaian melebihi mata kaki bagi kaum pria.

    Dan apa yang saya bawakan hanyalah buih dari lautan, sangatlah banyak untuk disebutkan semua. Kita memohon kepada Allah ta'ala untuk melimpahkan kemurnian dalam mengikuti kebenaran pada kita serta menjauhkan dari mengekor hawa nafsu. Dan menjadikan kita sebagai golongan yang bersegera mengerjakan perintah Allah dan RasulNya, diridhoi dan diteguhkan sebagai seorang muslim.

    Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.

    [1] . Tafsir Ibnu katsir 10/309.

    [2] . Fiqh Sirah oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali hal: 231.

    [3] . Fadhail ash-Shahabah oleh Imam Ahmad 1/530 no: 881.

    [4] . Jami'ul Bayan ilmi wa fadhlihi karya Ibnu Abdil Barr 2/91.

    [5] . Siyar a'lamu Nubala 7/125.

    [6] . Sunan ad-Darimi 1/71.

    [7] . al-Ahkam fii Ushulil Ahkam 5/65.

    [8] . Siyar a'lamu Nubala 3/465, adz-Dzhabi.

    [9] . lihat al-Amr bil Ma'ruf wa Nahyu 'anil Munkar karya al-Khalal 1/209.

    [10] . Mukhtashar at-Tahrir hal: 252.

    [11] . al-Mustashfa 2/369, al-Ghazali.

    [12] . Jami'ul Bayan Ilmi wa Fadhlihi 2/91.

    [13] . Muqodimah shahih Muslim hal: 24.

    [14] . Lihat Risalah Syaikh Abdul Latif at-Tuwaijiri dalam tulisannya Tatabu' Rukhashi bainal Syar'i wal Waqi'.