Boleh Melaksanakan Shalat Malam Dalam Kondisi Duduk
Klasifikasi
- Shalat Malam << Shalat Sunah << Shalat << Ibadah << Fikih
Full Description
Boleh Melaksanakan Shalat Malam dalam Kondisi Duduk
]Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
DR. Muhammad bin Fahd al-Furaih
Dinukil dari Buku Masalah-Masalah Shalat Malam
(hal. 40-45)
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2012 - 1434
جواز أداء صلاة الليل جالسا
« باللغة الإندونيسية »
د.محمد بن فهد بن عبدالعزيز الفريح
مقتبسة من كتاب مسائل قيام الليل : (ص: 40-45)
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2012 - 1434
Boleh Melaksanakan Shalat Malam dalam Kondisi Duduk
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat malam dalam kondisi duduk? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ» [ رواه البخاري ]
“Jika ia shalat berdiri maka ia lebih utama, dan siapa yang shalat dalam kodisi duduk maka baginya setengah pahala shalat orang yang berdiri.” [HR. Bukhari]
Para ulama ijma’ (konsensus) bahwa boleh bagi makmum melaksanakan shalat sambil duduk di belakang imam pada shalat sunnah, dan termasuk di antaranya adalah shalat malam. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Mereka ijma’ bahwa berdiri dalam shalat fardhu adalah wajib, bukan atas jalan memilih,dan sesungguhnya shalat sunnah boleh memilih dalam berdiri padanya.[1] Dan ia berkata: ‘Para ulama ijma’ bahwa boleh duduk bagi yang shalat di belakang imam yang berdiri dalam shalat sunnah.’[2] Dan ia berkata: dan semua ini tidak ada perbedaan pendapat padanya.[3] Dan di antara para ulama yang meriwayatkan tidak ada perbedaan pendapat padanya adalah Ibnu Hazm,[4]Ibnu Quddamah,[5] an-Nawawi rahimahumullah,[6] dan selain mereka.
Dua faedah: Faedah pertama: al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam shahihnya dari Ibnu Buraidah rahimahullah, ia berkata: ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepada saya – ia menderita penyakit ambiyen- ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat seseorang sambil duduk. Beliau menjawab:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ» [رواه البخاري]
“Jika ia shalat berdiri maka ia lebih utama, dan siapa yang shalat dalam kondisi duduk maka baginya setengah pahala shalat orang yang berdiri, dan siapa yang shalat berbaring maka baginya setengah pahala shalat orang yang duduk.” [HR. Bukhari]
Pada asalnya bahwa seseorang shalat berdiri. Jika ia tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka di atas lambung (berbaring). Kemudian ijma’ menentukan boleh melakukan shalat sunnah dalam kondisi duduk, sekalipun ia mampu berdiri dan tidak ada dalil yang menunjukkan boleh melakukannya sambil berbaring tanpa ada uzur, maka tetaplah asalnya seperti semula. Wallahu A’lam.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Tidak boleh bagi seseorang melaksanakan shalat fardhu dalam kondisi duduk atau berbaring kecuali dalam kondisi uzur, dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat sunnah sambil berbaring menurut pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, kecuali satu wajah (pendapat) dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad. Dan sudah diketahui bahwa melaksanakan shalat sunnah sambil berbaring adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh seseorang dari kaum salaf. Dan sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِنَ الْعَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُ وَهُوَ صَحِيْحٌ» [رواه البخاري]
‘Apabila hamba sakit atau safar niscaya ditulis baginya (ibadah) yang biasa dilakukannya saat masih sehat.” [HR. Bukhari].
Menunjukkan bahwa ditulis baginya karena niatnya. Sekalipun ia tidak bisa melakukan kebiasaannya sebelum sakit dan safar. Maka hal ini menunjukkan bahwa siapa yang meninggalkan shalat jama’ah karena sakit atau safar dan ia biasa melakukannya, niscaya ditulis baginya pahala berjamaah. Dan jika ia tidak melakukannya secara rutin niscaya tidak ditulis baginya. Sekalipun dalam dua kondisi itu dia melaksakan shalat sendirian, demikian pula orang yang sakit apabila ia shalat duduk atau berbaring.[7]
Dan ia berkata: Dan tidak ada seorang pun dari kalangan salaf yang membolehkan shalat sunat berbaring tanpa ada halangan, dan tidak diketahui bahwa seorang salaf pernah melakukan hal itu. Dan bolehnya merupakan satu wajh (pendapat) dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, dan tidak diketahui bagi yang berpendapat ini ada pendapat salaf yang mendahuluinya, padahal masalah ini yang banyak terjadi. Andaikan boleh bagi setiap muslim melaksanakan shalat sunat sambil berbaring, padahal dia sehat, bukan sedang sakit, sebagaimana boleh melaksanakan shalat sunat sambil duduk dan di atas kenderaan/tunggangan niscaya hal ini termasuk yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya dan para sahabat pasti mengetahui hal itu. Kemudian, kendati kuatnya pendorong kepada kebaikan, hal itu mesti dilakukan oleh sebagian sahabat. Maka tatkala tidak ada seorang pun dari mereka yang melakukan hal itu pasti hal itu tidak disyari’atkan di sisi mereka.[8]
Al-Khathabi rahimahullah berkata: Saya tidak mengingat dari dari seorang ulama bahwa ia membolehkan shalat sunat sambil berbaring, sebagaimana mereka membolehkan padanya sambil duduk. Jika shahih lafazh ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan dari ucapan sebagian perawi yang memasukkannya dalam hadits dan mengqiyaskan terhadap shalat yang duduk, atau dipandang shalat orang sakit sambil berbaring apabila tidak mampu duduk, maka sesungguhnya shalat berbaring bagi yang mampu duduk adalah boleh.[9]
Ibnu Baththal rahimahullah berkata: ‘Adapun perkataannya ‘Siapa yang shalat dengan memberi isyarat maka baginya setengah pahala shalat yang duduk’ maka tidak sah maknanya menurut para ulama, karena mereka ijma’ bahwa shalat sunat tidak sah dilakukan secara isyarat oleh yang mampu berdiri, sesungguhnya terjadi wahm (kerancuan) terhadap yang mengutip riwayat ini, maka ia memasukkan lafazh fardh dalam lafazh nafilah (sunat)...’[10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pada shalat orang yang berhalangan: Sesungguhnya ia pada orang yang uzur (berhalangan), jika tidak demikian maka yang tidak uzur tidak ada pahala baginya apabila pada shalat fardhu. Dan jika shalat sunat, tidak boleh baginya shalat sunnat sambil berbaring. Maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya satu hari pun semasa hidupnya, tidak pernah sama sekali dilakukan oleh salah seorang sahabat padahal mereka sangat bersemangat dalam melaksanakan berbagai macam ibadah dan melakukan segala kebaikan. Karena alasan ini mayoritas ulama umat melarang hal itu. Dan tidak boleh shalat berbaring kecuali bagi yang tidak bisa duduk, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Imran radhiyallahu ‘anhu:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ» [رواه البخاري]
“Shalatlah berdiri, jika engkau tidak mampu maka (shalatlah) sambil duduk, jika engkau tidak mampu maka (shalatlah) sambil berbaring.” [HR. Bukhari].
‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu adalah yang meriwayatkan kedua hadits dan dia lah yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keduanya.[11]
Faedah kedua: an-Nasa`i meriwayatkan dalam Sunan Shughra, ia berkata: ‘Harun bin Abdullah mengabarkan kepada kami, ia berkata: ‘Abu Daud al-Hafari menceritakan kepada kami, dari Hafsh, dari Humaid, dari Abdullah bin Syaqiq, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dalam kondisi tarabbu’ (bersila).’
Abu Abdurrahman an-Nasa`i rahimahullah berkata: ‘Saya tidak mengetahui seseorang meriwayatkan hadits ini selain Abu Daud. Dia tsiqah dan saya tidak mengira hadits ini kecuali suatu kekeliruan.
Muhammad bin Nasr rahimahullah berkata: ‘Tidak ada berita (hadits) yang kami diriwayatkan kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat duduk, cara duduknya bagaimana adanya kecuali pada dalam hadits yang diriwayatkan dari Hafsh bin Ghiyats yang dia keliru padanya...[12]
Ia berkata: Tidak ada riwayat shahih tentang tata cara duduk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Andaikata tata cara duduk dalam shalat adalah sunnat yang tidak semestinya dilewati niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya, dan jika beliau menjelaskannya tentu diriwayatkan oleh para sahabatnya dari beliau dan mereka menjelaskannya. Apabila demikian adanya, maka bagi yang duduk dalam shalat ia boleh duduk bagaimana yang termudah baginya, jika ia menghendaki ia bisa bersila, jika ia mau ia bisa ihtiba`, jika ia menghendaki ia boleh duduk di saat membaca seperti duduk untuk tasyahhud dan duduk di antara dua sujud, dan jika ia menghendaki ia bisa bersandar. Semua itu pernah dilakukan oleh kaum salaf dari kalangan tabi’in dan sesudah mereka, selain bersila secara khusus yang diriwayatkan dari satu orang lebih bahwa ia memakruhkannya dan jama’ah membolehkannya serta dipilih oleh yang lain. Adapun ihtiba` dan duduk seperti duduk tasyahud maka kami tidak mengetahui ada seorang salaf yang memakruhkannya.[13]
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata: Hadits Hafsh bin Ghiyats dipersoalkan pada sanadnya. Jama’ah meriwayatkan dari Abdullah bin Syaqiq tanpa ada kata-kata ‘bersila’ dan saya tidak mengira bahwa hadits ini tsabit (shahih) secara marfu’. Apabila tidak shahih maka tidak ada dalam sifat duduk orang yang shalat satu sunnah yang harus diikuti. Dan apabila seperti itu, orang yang sakit boleh shalat bagaimana yang termudah baginya. Jika ia menghendaki ia shalat bersila, bisa ihtiba`, boleh duduk seperti duduk di antara dua sujud. Semua itu telah diriwayatkan dari para salaf.[14]
[1] At-Tamhid 1/133.
[2] Al-Istidzkar 5/253.
[3] Al-Istidzkar 5/409.
[4] Al-Muhalla 2/95
[5] Al-Mughni 2/567
[6] Syarh Shahih Muslim 6/253
[7] Al-Fatawa 23/242
[8] Al-Fatawa 7/36.
[9] Ma’alimus Sunan 1/225.
[10] Syarh al-Bukhari 3/102. Sebagian mereka menyebutkan beberapa masalah, yaitu: Siapakah yang dimaksud dengannya? Apakah dia orang yang udzur? Syaikhul Islam membicarakan secara panjang lebar dalam fatawa 23/234-237. Ucapannya diringkas oleh muridnya Ibnu Muflih dalam Nukat ‘ala Muharrar 1/156, Ibnul Qayyim mengingatkan hal itu dalam Bada’iul Fawaid 4/1665-1666, dan lihat: at-Tamhid 1/134.
[11] Shalat yang hukum yang meninggalkannya hal 132.
[12] Mukhtashar Qiyamullail hal 201.
[13] Mukhtashar qiyamullail hal 202.
[14] Al-Ausath 4/376, dan lihat masa`il Kausaj 2/574 dan al-Mughni 2/568.