Hukum Haid
Klasifikasi
Full Description
Hukum Haid
[ Indonesia - Indonesian - إندونيسي ]
Diambil dari kitab:
"Masuliyatul Marah al Muslimah"
Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah
Terjemah : Tim Islamhouse.com
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2012 - 1433
حكم الحيض
« باللغة الإندونيسية »
مقتبسة من كتاب:
"مسؤولية المرأة المسلمة"
عبد الله بن جار الله بن ابراهيم الجار الله
ترجمة: فريق إندونيسي بموقع Islamhouse.com
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2012 - 1433
Hukum haid
Seorang wanita yang sedang haid mempunyai hukum yang sangat banyak, oleh karena itu, kami sebutkan di sini sebagianya saja yang dianggap cukup penting dan banyak dibutuhkan, di antaranya adalah:
- Sholat
Haram hukumnya bagi perempuan yang sedang haid mengerjakan ibadah sholat baik yang wajib maupun yang sunah, kalau ia tetap mengerjakan maka sholatnya tidak sah. Demikian juga tidak wajib baginya sholat melainkan apabila dirinya telah mendapati waktu sholat walau hanya sedikit, seukuran mendapati satu raka'at secara sempurna, maka pada saat seperti itu ia wajib untuk mengerjakan sholat baik ia mendapatinya di awal waktu maupun di akhir waktu.
Contoh mendapati di awal waktu, Perempuan keluar darah haidnya setelah tenggelam matahari seukuran yang ia masih bisa mengerjakan satu raka'at, maka wajib baginya apabila telah suci untuk mengqodho sholat maghrib pada hari itu, karena dirinya telah mendapati waktu sholat sebanyak satu raka'at sebelum keluar darah haidnya.
Sedangkan contoh mendapati di akhir waktu, Kalau ada perempuan yang suci dari haidnya sebelum terbit matahari seukuran dia mendapati satu raka'at, maka wajib baginya apabila telah suci untuk mengqodho sholat subuh pada hari itu, karena dirinya telah mendapati sebagian dari waktu sholat shubuh yang mencukupi untuk satu raka'at.
Adapun jika perempuan yang sedang haid mendapati bagian dari waktu sholat namun tidak mencukupi satu raka'at secara sempurna, semisal perempuan yang haid pada contoh yang pertama setelah tenggelam matahari dalam jangka waktu yang sangat sedikit atau suci dari haid seperti pada contoh yang kedua sebelum terbit matahari dengan tersisa waktu yang sangat sedikit, maka sholat yang ketinggalan seperti itu tidak wajib baginya untuk di qodho berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة » [رواه البخاري ومسلم]
"Barangsiapa yang mendapati (waktu sholat) mencukupi satu raka'at, sungguh dirinya telah mendapati (kewajiban) sholat". HR Bukhari dan Muslim.
Maka pengertian dari hadits ini, bahwa barangsiapa yang mendapati sholat kurang dari satu raka'at maka dirinya tidak di katakan sebagai orang yang telah mendapati sholat.
Dan apabila mendapati satu raka'at dari waktu sholat ashar, apakah wajib baginya untuk mengerjakan sholat dhuhur dengan di jamak bersama ashar? Atau mendapati akhir waktu sholat Isya seukuran satu raka'at, apakah juga wajib baginya untuk mengerjakan sholat maghrib bersama isya tersebut?
Dalam masalah ini terjadi perselisihan panjang di kalangan para ulama, adapun pendapat yang kuat dan benar adalah yang mengatakan tidak wajib baginya kecuali sholat yang dirinya telah mendapati waktunya yaitu sholat ashar dan isya saja. Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر» ]رواه البخاري ومسلم[
"Barangsiapa yang mendapati (waktu sholat) mencukupi satu raka'at, dari sholat ashar sebelam tenggalam matahari sungguh dirinya telah mendapati sholat ashar". HR Bukhari dan Muslim.
Di dalam hadits ini Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan: "Sungguh dirinya telah mendapati sholat dhuhur dan ashar". Dan tidak di sebutnya kewajiban sholat dhuhur menunjukan bahwa asal baginya adalah telah terlepas dari beban kewajiban tersebut.
Masalah selanjutnnya: Apakah perempuan yang sedang haid boleh membaca al-Qur'an?
Telah tejadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama di dalam masalah ini, adapun yang seharusnya di ingatkan serta di nasehatkan kepada perempuan yang sedang haid adalah:
Pertama, agar tidak membaca al-Qur'an dengan mengeluarkan suara dari bibirnya kecuali kalau memang ada kebutuhan untuk melakukan hal tersebut, semisal seorang guru yang memang membutuhkan untuk menuntun murid-muridnya, atau ketika sedang ujian yang membutuhkan siswa atau murid untuk membaca dan mengulang pelajaran guna untuk persiapan ujian tersebut atau kebutuhan yang lainnya.
Adapun jika dirinya membaca hanya dengan melihat atau memperhatikan dengan hati tanpa mengeluarkan suaranya maka hal itu tidak mengapa.
- Puasa
Bagi perempuan yang sedang haid haram baginya untuk berpuasa baik puasa wajib maupun sunah dan tidak sah puasanya kalau dirinya tetap berpuasa, namun yang menjadi kewajibanya adalah mengqodho puasa wajib saja, berdasarkan haditsnya Aisyah radhiyallahu 'anha,di mana beliau pernah mengatakan: "Adalah kami sering kedatangan haid, sedangkan kami hanya di perintah (oleh Nabi) untuk mengqodho puasa dan tidak di suruh untuk mengqodho sholat". HR Bukhari dan Muslim.
Maka apabila ada seorang perempuan yang sedang berpuasa kemudian keluar darah haidnya maka puasanya secara otomatis menjadi batal walaupun keluarnya hanya kurang sedikit sebelum matahari tenggelam, kemudian yang menjadi kewajibanya adalah mengqodho puasanya dengan mengganti pada hari yang lain, apabila puasa yang di lakukannya adalah puasa wajib.
Adapun jika dia hanya merasa akan keluar darah haidnya pada saat sebelum tenggelam matahari, akan tetapi darahnya tidak keluar kecuali setelah tenggelam matahari maka puasanya tetap sempurna sebagaimana wudhu tidak bisa menjadi batal kecuali apabila keluar hadats.
Apabila fajar kedua telah masuk sedangkan darah haidnya masih keluar walaupun sedikit maka tetap saja tidak boleh dan tidak sah puasanya, walaupun ia suci setelah melewati sedikit saja dari waktu fajar tersebut. Dan apabila dirinya telah suci menjelang fajar kemudian dirinya berniat puasa maka puasanya sah walaupun dirinya belum bisa mandi suci kecuali setelah waktu fajar, hal ini seperti orang yang terkena junub di malam hari, kemudian ia berniat puasa namun dirinya belum bisa mandi janabah melainkan setelah terbit fajar, maka puasanya tetap sah.
- Thowaf di Ka'bah
Perempuan yang sedang haid tidak boleh untuk melakukan thowaf di sekeliling ka'bah baik thowaf wajib maupun thowaf sunah, dan tidak sah thowafnya kalau dirinya tetap melakukanya, hal itu berdasarkan sabdanya Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah tatkala dirinya terkena haid manakala beliau sedang ihram, Nabi bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « افعلي ما يفعل الحاج غير أن لاتطوفي بالبيت حتى تطهري» (رواه البخاري ومسلم)
"Lakukanlah semua seperti apa yang di lakukan orang haji, kecuali kamu jangan thowaf di ka'bah sampai kamu suci (dari darah haid)". HR Bukhari dan Muslim.
Adapun semua amalan ibadah haji dan umrah maka tidak mengapa ia kerjakan walaupun darah haidnya masih keluar, maka berdasarkan ini, kalau sekiranya ada perempuan yang melakukan thowaf, dalam keadaan suci kemudian darah haidnya keluar setelah selesai dari thowafnya atau keluar darahnya ketika sedang melaksanakan sa'i maka darah haidnya tersebut tidak berpengaruh terhadap thowafnya dan ia tetap sah.
Dan bagi perempuan yang darah haidnya masih tetap keluar ketika ia sudah menyelesaikan semua manasik hajinya maka gugur kewajiban untuk mengerjakan thowaf wada' (thowaf perpisahan), adapun thowaf haji dan umrah maka keduanya tidak bisa gugur dengan sebab keluar darah haidnya, namun dirinya tetap menunggu sampai suci dari haidnya baru setelah itu melakukan thowaf haji maupun umrahnya tersebut.
- Tinggal di dalam masjid
Haram hukumnya bagi seorang perempuan yang sedang haid untuk duduk dan tinggal di dalam masjid, demikian juga tempat sholat i'ed, maka ia tidak boleh tinggal di dalamnya, karena ada hadits shahih yang secara tegas melarang perempuan haid untuk menetap di dalam masjid:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « ويعتزل الحيض المصلى » (رواه البخاري ومسلم)
"Dan hendaknya perempuan yang sedang haid meninggalkan tempat sholat". HR Bukhari dan Muslim.
- Melakukan hubungan suami istri
Tidak boleh bagi seorang suami menggauli istrinya yang sedang haid, demikian juga tidak boleh bagi perempuan untuk memberi kesempatan untuk itu bagi suaminya. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ ﴾ ( سورة البقرة : 222)
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi wanita ketika sedang haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci". (QS al-Baqarah: 222).
- Bercerai
Haram hukumnya bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid, sehingga perceraian yang di lakukan tatkala wanitanya sedang haid maka itu tidak di bolehkan, dan perceraian seperti itu termasuk jenis perceraian yang bid'ah, sedangkan setiap bid'ah adalah sesat. Demikian juga perceraian di saat sedang suci namun sudah di gauli maka ini juga tidak boleh.
Adapun tholaq (cerai) yang sesuai dengan sunnah adalah apabila seorang suami yang mencerai istrinya tatkala istrinya sedang hamil atau dalam keadaan suci namun dirinya tidak menggaulinya, maka jika itu di lakukan ia terhitung sebagai tholaq satu. Dan di kecualikan haramnya mencerai istri di saat haid pada tiga masalah:
a. Apabila tholaq di ucapkan sebelum berduaan di dalam kamar atau menyentuhnya maka tidak mengapa mencerainya dalam keadaan haid karena pada kasus seperti itu tidak ada lagi waktu iddah baginya.
b. Jika haidnya terjadi pada saat sedang mengandung maka tidak mengapa mencerainya karena iddahnya selesai dengan sebab melahirkan, sehingga tatkala mencerainya dalam keadaan seperti itu maka ia termasuk tholaq yang benar bukan termasuk tholaq bid'ah.
c. Apabila tholaq terjadi dengan ganti rugi maka ini juga tidak mengapa di lakukan manakala istrinya sedang haid.
- Terhitungnya masa iddah dengan sebab tholaq pada saat haid
Apabila seorang suami mencerai istrinya setelah mempergaulinya atau sudah berduan di dalam kamar maka wajib baginya untuk menghitung masa iddahnya dengan tiga kali haid secara sempurna, jika istrinya termasuk orang yang masih mendapatkan haid dan tidak sedang dalam keadaan hamil, hal itu berdasarkan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ ﴾ ( سورة البقرة: 228)
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali haid". (QS al-Baqarah: 228). Maksudnya tiga kali terkena haid.
Dan bila istrinya dalam keadaan mengandung maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan, dan hukumnya sama apakah masa iddahnya bertambah lama atau lebih sedikit, maka waktu selesai masa iddahnya adalah ketika melahirkan, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ﴾ ( سورة الطلاق: 4)
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya". (QS ath-Thalaaq: 4).
Dan apabila istrinya termasuk perempuan yang tidak mendapatkan haid dikarenakan masih kecil atau sudah menopause maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan, berdasarkan firman Allah Azza wa jalla:
قال الله تعالى : ﴿ وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ ﴾ ( سورة الطلاق: 4)
"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid". (QS ath-Thalaaq: 4).
- Wajib mandi suci
Wajib bagi perempuan yang sudah selesai dari haidnya untuk segera mandi berdasarkan sabdanya Nabi Shalallah 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubais, beliau mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغتسلي وصلي» (رواه البخاري)
"Apabila masa haidmu datang maka tinggalkan sholat, dan jika telah suci maka mandi dan sholatlah". HR Bukhari.
Apabila ada seorang wanita yang haid lalu ia suci dari haidnya setelah masuk waktu sholat, maka wajib baginya untuk segera mandi kemudian sholat, dan jika dirinya dalam perjalanan lalu ia tidak mempunyai air atau membawa air namun takut nanti di butuhkan atau dirinya sakit yang akan menambah sakit bila terkena air maka pada kondisi-kondisi seperti di atas ia boleh bertayamum sebagai ganti dari mandi sucinya, sampai penghalang-penghalang tersebut hilang, kemudian setelah itu baru ia mandi.