×
Makalah yang menjelaskan tentang cara menjaga ukhuwah islamiyah diantara saudara-saudara muslim, penulis menasehatkan kita dengan ungkapannya: Jagalah ukhuwah yang hakiki, ukhuwah yang tidak ada cacian, makian, ghibah (gosip), namimah (adu domba), qil wal qal (katanya dan katanya/isu) dan berita-berita bohong….

    Menjaga Ukhuwah Tanpa

    Cacian & Ghibah

    [ Indonesia - Indonesian - إندونيسي ]

    Prof. Dr. ‘Abdul-’Azîz al-Ahmadi

    Terjemah: Tim Redaksi majalah As-Sunnah

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2012 - 1433

    المحافظة على الأخوة الإسلامية

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ الدكتور عبد العزيز الأحمدي

    مترجم: القسم العلمي مجلة السنة

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2012 - 1433


    Menjaga Ukhuwah Tanpa

    Cacian & Ghibah


    Segala puji bagi Allâh Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allâh Ta'âla yang telah mengumpulkan kita di tempat yang baik ini -dengan izin Allâh- laksana satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita menjadi saudara-saudara yang saling mencintai. Alhamdulillâh, segala puji bagi Allâh Ta'âla yang telah memberikan taufik, serta menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i), (yang) telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.

    Saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa kepada Allâh Ta'âla. Sebab, takwa kepada Allâh Ta'âla merupakan himpunan segala kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap Muslim, khususnya bagi setiap da'i. Takwa merupakan bekal yang sejati bagi setiap Muslim.

    قال الله تعالى : ﴿ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٧ ﴾ (سورة البقرة: 197)

    Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa
    dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Qs al-Baqarah/2:197)

    Takwa merupakan sebab pertama di antara faktor dimudahkannya rezeki. Barangsiapa menghendaki keluasan rezeki yang baik, berupa harta benda, ilmu, isteri shalihah, anak-anak shalih, taufiq, ataupun kebahagiaan dunia dan akhirat yang semua ini merupakan rezeki, akan Allâh Ta'âla anugerahkan rezeki-rezeki ini, jika ia bertakwa kepada Allâh Ta'âla.

    Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " مَنْ يَتَّقِ الله يَجْعَلْ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مخرجا وَ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِب " [ رواه البخاري ومسلم ]

    Barangsiapa bertakwa kepada Allâh,
    niscaya Allâh membuatkan baginya jalan keluar
    dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan,
    dan Allâh akan menganugerahkan rezeki kepadanya
    dari arah yang tidak ia duga. [1]


    Jadi, takwa kepada Allâh Ta'âla merupakan pondasi bagi kehidupan ini. Namun, takwa kepada Allâh Ta'âla bukanlah kalimat yang hanya sekadar diucapkan dengan lidah. Ia merupakan perkara yang ada di dalam hati.

    Setiap Muslim, bahkan setiap penuntut ilmu, wajib menghiasi diri dengan takwa dalam semua urusan hidupnya. Sebab takwa kepada Allâh Ta'âla adalah benteng bagi seorang Muslim dari segala perkara yang mengotorinya dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana telah kita baca dalam Al-Qur‘an surah al-Ahzâb:

    قال الله تعالى : ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١ ﴾ (سورة الأحزاب: 71-70)

    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allâh
    dan katakanlah perkataan yang benar,
    niscaya Allâh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
    dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allâh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Qs al-Ahzâb /33:70-71)

    Seorang penuntut ilmu, jika ia pertama kali dapat mewujudkan takwa pada dirinya serta dapat memegangnya (komitmen) dengan teguh dalam semua sisi kehidupannya, niscaya –dengan idzin Allâh– ia akan dapat mewujudkan takwa ini pada diri orang lain. Akan tetapi amat disayangkan, sebagian penuntut ilmu mengajak orang lain untuk bertakwa, namun ia sendiri mengabaikan takwa kepada Allâh Ta'âla. Dia mengajak orang lain untuk bertakwa, selalu mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan orang supaya bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia tekankan kepada orang lain.

    Hal paling penting lainnya dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi takwa, ialah harus ada hubungan persaudaraan yang kuat, khususnya antar para penuntut ilmu. Ukhuwah diniyah (Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan ini. Setiap orang akan memiliki pengaruh bagi kawannya dalam hidup. Apabila seorang muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini akan berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang tidak baik, orang yang kegiatannya tidak mendekatkan diri kepada Allâh Ta'âla serta tidak dekat dengan (ajaran) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, maka hal-hal buruk ini pun akan berpengaruh pada dirinya.

    Maka, setiap orang hendaknya memperhatikan, siapa yang akan ia jadikan kawan dekatnya. Ukhuwah Islamiyah yang hakiki diserukan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Begitu juga Al-Qur‘an pun memerintahkannya.

    Allâh Ta'ala berfirman:

    قال الله تعالى : ﴿ إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ ﴾ (سورة الحجرات: 10)

    Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah ikhwah (bersaudara);
    karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu. (Qs al-Hujurat/49:10)

    Kata “ikhwah” (bersaudara), ketika kita mengatakan “sesungguhnya orang-orang mukmin itu ikhwah (bersaudara), adalah kalimat yang tidak mudah. Maksudnya, seakan-akan Anda dalam hubungan (persaudaraan antar mukmin) ini mempunyai pertalian yang sangat erat. Hubungan persaudaraan ini bisa lebih kuat dari persaudaraan nasab. Apakah gerangan yang mengikat persaudaraan ini? Yang mengikatnya, ialah dinul-Islam yang hakiki, ukhuwah Islamiyah yang benar dan hakiki, serta persahabatan yang hakiki. Sebab banyak orang mengikat persaudaraan dengan orang lain, atau berkawan dan bersahabat dengan orang lain disebabkan oleh kepentingan tertentu. Persahabatan tersebut akan terwujud jika kepentinganya muncul.

    Namun, jika tidak ada kepentingan, (maka) ia tidak kenal lagi, atau bahkan mencaci-makinya. Seorang shadiq (sahabat), ialah seorang yang sungguh-sungguh jujur terhadap sahabatnya dalam semua urusan hidupnya dan tidak berbasa-basi. Jika aku (misalnya) melihat suatu kesalahan pada diri sahabatku, maka aku harus menasihatinya dengan nasihat hakiki, bukan nasihat yang membuatnya lari dariku, atau menyebabkannya tidak mau berkumpul lagi denganku. Misalnya, dengan nasihat yang berbentuk caci-maki atau celaan. Tetapi haruslah dengan nasihat yang sungguh-sungguh, nasihat yang ia butuhkan.

    Jika aku lihat ia tidak taat kepada Allâh Ta'âla, atau suka membicarakan ulama, atau suka mencaci-maki seseorang, atau ia tidak memiliki prinsip yang jelas dalam hidupnya, maka aku akan segera menasihatinya, aku ajak duduk, aku ajak bicara dengan lemah lembut, dengan menggunakan istilah-istilah yang bagus, dan dengan cara-cara yang indah, sehingga persahabatan ini tidak rusak.

    Ada kaidah agung yang termasuk kaidah agama dalam berukhuwah. Demi Allâh, jika kaidah ini tidak terwujud pada diri kita masing-masing, niscaya kita akan memiliki cacat dalam menjalin tali ukhuwah. Yaitu, jika seseorang tidak berusaha mewujudkan dan tidak menimbang dirinya berdasarkan petunjuk ukhuwah yang ada dalam hadits. Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama, yaitu sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لاَيُــؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ" [ رواه البخاري ومسلم ]

    sempurna iman seseorang di antara kalian,
    sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya
    apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh dirinya. [2]

    Sayang sekali, kebanyakan orang sekarang bersikap sebaliknya dari hadits itu. Ia menyukai untuk dirinya, apa yang tidak ia sukai jika diperoleh orang lain. Ia pertama-tama menyukai jika sesuatu itu ia peroleh, kemudian baru memikirkan orang lain. Ia tidak menyukai kebaikan diperoleh oleh orang lain. Ia hanya menyukai jika kebaikan itu ia peroleh. Ia hanya mementingkan dirinya.

    Sebenarnya kita memiliki suri tauladan yang baik pada para salafush-shalih, tentang bagaimana persaudaraan mereka, bagaimana mereka menjalin persaudaraan, bagaimana mereka mengutamakan orang lain, bagaimana mereka mempraktekkan perkataan-perkataan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan berpegang pada setiap atsar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.

    Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah memberikan contoh nyata dalam berukhuwah, dalam bermu’amalah, dan dalam segala hal yang menyangkut semua urusan hidup.

    Demi Allâh, tidak ada sesuatu pun kecuali Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkannya kepada kita. Tidaklah beliau meninggalkan kita, kecuali menjadikan kita berada pada jalan yang demikian jelas, malam harinya laksana siang harinya; tidak akan menyimpang dari jalan ini kecuali orang yang binasa.

    Demikianlah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam semua urusannya, dalam masalah ekonomi, masalah ilmiah, ibadah, ketika keluar, ketika masuk, dalam masalah berpakaian, dan dalam segala hal. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam tidak meninggalkan kita kecuali telah mengajarkannya kepada kita. Dan sekarang, tidaklah kaum Muslimin meninggalkan apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam kecuali akan dijadikan lemah oleh Allâh Ta'âla, dan akan dikuasai oleh musuh.

    Oleh sebab itu, saya anjurkan kepada saudara-saudaraku supaya bersatu secara sungguh-sungguh dan menjalin ukhuwah sejati. Ukhuwah, yang di dalamnya ada pertalian kokoh, ada saling mengingatkan dengan sesungguh-sungguhnya, dan di dalamnya berisi orang-orang yang senang jika saudaranya mendapatkan apa yang mereka sendiri senang untuk mendapatkannya. Inilah hal terpenting dalam hidup. Dalam suasana ini, hidup akan menjadi sempurna, taufiq serta kebahagiaan dunia-akhirat juga menjadi sempurna.

    Demikian pula, saudara-saudara, berpegang teguh pada Sunnah (ajaran) Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam juga akan mewujudkan ukhuwah yang sesungguhnya. Jika Anda melihat seseorang yang baik dan ia Ahlu Sunnah, maka hendaklah Anda segera jalin persaudaraan dengannya. Jika Anda melihat seorang Ahlu Sunnah dan pengikut Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, maka Anda harus akrabi dia.

    Demi Allâh, para penuntut ilmu tidak menjadi lemah, bid’ah tidak semakin banyak, kaum Muslimin tidak dilemahkan oleh Allâh Ta'âla, dan para musuh tidak dijadikan berkuasa atas kaum Muslimin, kecuali karena kaum Muslimin sudah terlalu jauh dari petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.

    Kalian semua mengetahui, bahwa amal perbuatan seseorang tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat. Apakah dua syarat itu? Pertama, ikhlas. Yaitu jika amal perbuatan dilakukan secara murni untuk mencari wajah (keridhaan) Allâh. Tetapi apakah ini cukup? Banyak orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa mereka ikhlas dalam beribadah kepada Allâh. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan di tempat-tempat ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi ikhlas benar-benar terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!

    Jika demikian, kapankah ikhlas dapat diterima? Yaitu (yang kedua, Pent.) apabila amal perbuatan yang sudah dilakukan dengan ikhlas itu, dilakukan dengan mengikuti Sunnah Rasûlullâhshallallâhu 'alaihi wasallam, atau selaras dengan apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.

    Namun bagaimanakah kenyataan kaum Muslimin sekarang? Bagaimanakah kenyataan kita dewasa ini? Ya, amalan ikhlas, akan tetapi menyelisihi ajaran Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh sebab itu, Allâh melemahkan kaum Muslimin dan menjadikan musuh-musuh Islam berkuasa atas kaum Muslimin. Lihatlah bermacam bid’ah, khurafat dan ta’ashub (fanatisme golongan) merajalela. Bahkan banyak orang dibikin menjauh dari pengikut Sunnah. Seseorang akan mengatakan “orang ini keras, tidak umum, menentang arus … dan seterusnya”.

    Ibnul-Qayyim rahimahullâh mempunyai ungkapan menakjubkan dalam masalah ini. Beliaurahimahullâh mengatakan bahwa menjaga Sunnah (ajaran) Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, mendakwahkannya, memeganginya dengan kuat dan menghidupkannya (sekarang) lebih utama daripada mengarahkan anak-anak panah ke leher musuh.

    Perhatikanlah, Ibnul-Qayyim rahimahullâh sampai mengatakan kalimat demikian! Sekarang, orang-orang mulai bermalas-malasan terhadap Sunnah. Bahkan mereka berbuat dengan berbagai amal perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh sebab itu, kaum Muslimin menjadi lemah. Bahkan sayang sekali, sebagian penuntut ilmu, orang-orang yang memahami Sunnah, memahami banyak persoalan Sunnah, (mereka) tidak melaksanakan Sunnah dan sering memilih bertoleransi dengan meninggalkan Sunnah untuk tujuan berbasa-basi terhadap seseorang.

    Maka, demi Allâh, wahai saudara-saudara, bersemangatlah kalian untuk menerapkan Sunnah (ajaran) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Demi Allâh, (di samping ikhlas), amal perbuatan tidak akan diterima kecuali sesudah amal itu selaras dengan tuntunan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Seseorang tidak dapat dipuji agama dan semua urusannya kecuali jika ia sudah menjadi pengikut Sunnah.

    Karena itu, bersemangatlah terhadap perkara-perkara Sunnah ini. Bersemangatlah untuk meningkatkan kekuatan beragama secara hakiki di antara sesama kalian. Kalian janganlah saling berseteru. Jika seorang penuntut ilmu melihat kesalahan pada diri saudaranya (sesama Ahlus-Sunnah), jangan menyebabkan orang lain menjauh darinya, jangan memusuhinya, dan jangan mengisolirnya. Tetapi, tunjukkanlah kesalahannya dengan cara-cara dan nasihat yang baik, dengan kata-kata yang baik. Sebab, inilah ajaran Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam; kata-kata yang baik. Kita membutuhkan tata pergaulan yang baik. Islam merupakan agama yang menganjurkan tata pergaulan yang baik.

    Setiap kita mungkin memiliki kepedulian terhadap urusan agama, namun terkadang tidak memiliki cara bergaul yang baik. Cara bergaul yang baik sangat penting dalam kehidupan ini. Dengannya, kita bisa mengajak orang lain. Dan dengannya, kita bisa mendapat pahala. Apa ruginya jika engkau tersenyum kepada saudaramu? Salah seorang sahabat pernah mengatakan: “Saya tidak pernah melihat wajah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam kecuali dalam keadaan tersenyum”.

    Tersenyum itu berpahala, wahai saudaraku. Perkataan baik yang keluar dari lisanmu, ada pahalanya. Tidak masuk akal jika seseorang, terutama penuntut ilmu, ternyata cara bergaulnya jelek, kata-katanya keras dan kotor. Padahal ia seorang penuntut ilmu yang dikenal. Maka harus baik dalam tata pergaulan, sebagai salah satu wujud dari penerapan terhadap Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Jadi, kalian harus melaksanakan Sunnah.

    Sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ini harus diperhatikan dan dihormati. Memang tidak selayaknya menfitnah manusia dengan persoalan-persoalan ini, tetapi (masing-masing penuntut ilmu harus berfikir bahwa) saya harus bersemangat mengajarkan Sunnah kepada orang lain.

    Jagalah ukhuwah yang hakiki, ukhuwah yang tidak ada cacian, makian, ghibah (gosip), namimah (adu domba), qil wal qal (katanya dan katanya/isu) dan berita-berita bohong. Demikian pula hendaklah seorang penuntut ilmu, bila mendengar fatwa tentang seorang Syaikh, bila mendengar tentang suatu hal, hendaklah mencari kejelasan dan kepastiannya. Tidak menelan berita mentah-mentah.

    كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ ] ]

    Cukuplah seseorang berdosa bila ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.[3]

    Sebagian orang, setiap mendengar berita, langsung disampaikannya; Si Anu begini, begitu, melakukan ini, itu dan seterusnya. Kebiasaan ini bukan sifat penuntut ilmu.

    Pertama kali, kewajiban seorang Muslim atau penuntut ilmu ialah husnuzhan (berbaik sangka) terhadap para ulamanya dan terhadap kawan-kawannya. Selamanya, ia (mesti) berbaik sangka terhadap mereka. Tidak berburuk sangka kepada orang lain. Tidak melancarkan tuduhan kepada orang lain, sebab ia tidak mengetahui isi hati mereka. Bila kita melihat seorang saudara berjalan bersama pelaku bid’ah, jangan langsung menghukuminya. Sebab siapa tahu, ia sedang menasihati, atau menghendaki sesuatu darinya, atau ingin melakukan pendekatan kepadanya untuk suatu urusan. Jika kita langsung menghukuminya bahwa “orang ini serupa, sama-sama ahli bid’ah”, maka ini tidak benar. Apakah kita mengetahui hatinya?

    Seperti sahabat yang membunuh orang yang mengucapkan 'Lâ ilaha Illallâh' tatkala orang yang dibunuhnya terdesak dalam peperangan. Ketika Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menanyakannya, mengapa ia bunuh orang yang mengucapkan kalimat 'Lâ Ilaha Illallâh'?

    Ia menjawab,”Sebab orang ini hanya bermuslihat untuk menyelamatkan diri,” maka Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: “Apakah engkau membelah dadanya?”.

    Demikianlah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menegur. Padahal orang yang dibunuh ini awalnya jelas-jelas musuh yang kafir. Sedangkan ini adalah muslim yang shalat, puasa dan melakukan ibadah kepada Allâh Ta'âla. Tiba-tiba engkau langsung menuduhnya dengan tuduhan semacam ini.

    Jelaslah, itu bukan pekerjaan yang semestinya bagi penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu hendaklah memiliki akhlak mulia, memiliki cara bergaul yang baik, memberi nasihat yang baik dan berpegang kepada Sunnah secara hakiki. Ia tidak layak terlalu keras seraya mengatakan “sayalah satu-satunya pengikut Sunnah, orang lain bukan pengikut Sunnah”.

    Jadi, semestinya ia mengajak orang lain menuju Sunnah, agar setiap orang berpegang dengan teguh terhadap Sunnah, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam tidak meninggalkan kita kecuali beliau shallallâhu 'alaihi wasallam telah mengajarkan segala sesuatu kepada kita, termasuk tata cara bergaul dengan orang lain dan melakukan pergaulan dengan orang kafir. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita bagaimana bergaul dengan orang-orang munafik dan dengan pengikut bid’ah, serta mengajarkan banyak hal kepada kita dalam urusan hidup kita.

    Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita kapan harus berjihad, kapan kita boleh mengatakan bahwa suatu perkara menyebabkan seseorang menjadi kafir. Misalnya engkau melihat seseorang tidak shalat di masjid. Melihat ini, ada orang yang langsung menghukumi bahwa ia tidak shalat, berarti kafir. Tentu jika sudah jelas berdasarkan bukti bahwa ia meninggalkan shalat, maka meninggalkan shalat adalah kufur.

    Tetapi, apa engkau boleh langsung menghukumi ia kafir? Tentu tidak, sebab siapa tahu ia shalat tetapi engkau tidak mengetahuinya, atau ia baru masuk Islam, atau alasan-alasan lainnya. Banyak orang meremehkan masalah seperti ini.

    Seorang penuntut ilmu harus menggali ilmu secara mengakar, menggali masalah ‘aqidah, membaca kitab-kitab ‘aqidah dengan benar. Kalian telah mengetahui bahwa jalan pertama menuju surga ialah tauhid. Demi Allâh, seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan tauhid yang bersih. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam berada di Mekkah selama 13 tahun mendakwahkan tauhid. Jadi, seseorang harus belajar ‘aqidah yang benar.

    Ada sebagian orang dari penuntut ilmu dan dai, jika ditanya tentang definisi iman, ia tidak tahu. Ditanya tentang makna iman menurut Murji‘ah, ia tidak tahu. Ia tidak memiliki modal ilmu. Ditanya tentang kaidah takfir (hukum mengafirkan orang), ia tidak tahu. Tentang pedoman jihad, ia tidak tahu. Apa arti wala‘ wal-bara‘, ia tidak tahu. Apa perbedaan antara muwâlah dan mu’amalah, ia tidak paham.

    Padahal ia berdakwah mengajak manusia menuju Islam. Oleh sebab itu, harus menggali ilmu secara benar sampai mengakar. Supaya ia mengetahui, kapan persoalan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allâh yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir. Ada orang yang menghukumi kafir kepada setiap orang, terutama penguasa yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allâh. Ini tidak benar!

    Saya termasuk salah satu dari anggota komisi yang bertugas memberikan nasihat kepada para pemuda pelaku penyimpangan. Pemuda yang memiliki pola pikir menyimpang, yang melakukan peledakan di tempat-tempat pemukiman. Para penjahat yang menghabisi diri sendiri dan menghabisi orang lain. Pelaku-pelaku itu tidak memiliki bekal ilmu yang cukup. Mereka hanya memiliki semangat dan emosi. Mereka bersemangat terhadap banyak hal menyangkut kepentingan agama, tetapi tidak memiliki dasar ilmiah, kosong!.

    Demi Allâh, jika mereka memahami agama ini secara hakiki, tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan anarkhis tersebut. Andaikata mereka memahami wala‘ wal-bara‘ dan bisa membedakan antara muwâlah (setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’âmalah (tata pergaulan yang baik), tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan itu.

    Saudaraku, andaikata penguasa betul-betul kafir, selama engkau berada di dalam wilayah kekuasaannya, maka ia memiliki hak yang wajib engkau laksanakan. Apalagi jika penguasa itu seorang muslim.

    Orang tidak bisa membedakan antara muwâlah (setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’amalah (tata pergaulan yang baik). Sehingga sekedar engkau bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang kafir, engkau akan dianggap telah mencintai dan bersetia kawan dengan orang kafir tersebut.

    Wahai saudaraku, padahal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah menjelaskan makna muwâlah kepada kita. Al-Qur‘an juga telah menjelaskannya kepada kita. Sementara itu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tetap bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang-orang kafir di Madinah. Beliau –misalnya- mempergauli orang Yahudi, ziarah ke tempat seorang Yahudi yang sedang sakit, sehingga dengan sebab itu orang Yahudi tersebut masuk Islam.

    Lalu bagaimanakah dengan kita (kaum Muslimin) sekarang ini? Mengapa kita mempersulit diri kita sendiri dan mempersulit orang lain? Mengapa banyak di antara kita (kaum Muslimin) yang menjadikan orang lain antipati terhadap Islam disebabkan oleh tindakan keras yang tidak bedasarkan petunjuk dari Allâh? Mengapa demikian? Terutama yang berkaitan dengan cara memberikan nasihat dan pemahaman wala‘ wal-bara‘, mengapa tidak mengikuti manhaj Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ?

    Demikianlah untaian nasehat Syaikh ‘Abdul- ’Aziz -hafizhahullâh- selanjutnya memberikan contoh tentang sikap para ulama yang lemah lembut dalam mempergauli orang lain, seperti Syaikh bin Baz rahimahullâh dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullâh.

    Begitu pula pada bagian-bagian akhir dari nasihatnya, Syaikh ‘Abdul-’Aziz -hafizhahullâh- menekankan agar setiap penuntut ilmu bersungguh-sungguh mengkaji dan menggali ilmu sampai mendalam melalui bimbingan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebab dengan ilmu itulah, seseorang akan dapat mengikuti Sunnah dan ajaran Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam secara benar. Sehingga tidak akan melakukan penyimpangan-penyimpangan, termasuk tindakan anarkhis dan merugikan orang lain, yang menyebabkan citra Islam menjadi buruk, bahkan di kalangan kaum Muslimin awam.

    Kandungan bagian akhir dari nasihat Syaikh ‘Abdul-’Aziz -hafizhahullâh- terpaksa kami ringkas, karena nasihat tersebut masih agak panjang. Semoga bermanfaat bagi kaum Muslimin.

    Wallahu Waliyyu at-Taufiq.

    Sumber: (Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (06-07)/Tahun XI)