×
Disamping shalat wajib lima kali sehari semalam, Allah swt mensyari’atkan shalat-shalat sunnah sebagai pendekatan diri kita kepada Allah swt. Makalah ini membahas tentang disyariatkan salat malam secara umum berdasaran al-Qur`an, sunnah dan pendapat para ulama salaf.”

    Anjuran Untuk Shalat Malam

    DR. Muhammad bin Fahd al-Furaih

    Dinukil dari Buku Masalah-Masalah Shalat Malam

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2012 - 1433

    ﴿ مشروعية قيام الليل ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    د.محمد بن فهد بن عبد العزيز الفريح

    مقتبسة من كتاب مسائل قيام الليل : (ص: 11-18)

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2012 - 1433

    Anjuran Untuk Shalat Malam

    Al-Qur`an, sunnah dan ijma’, semuanya menunjukkan disyari’atkan shalat malam. adapun al-Qur`an, maka sudah dijelaskan ayat-ayat yang menunjukkan hal itu.

    Adapun dari sunnah maka sangat banyak, di antaranya:

    1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan shalat malam di masjid di bulan Ramadhan hingga malam ke empat, sebagaimana dalam al-Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.

    2. Dalam hadits al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Mughirah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam hingga bengkak kedua kakinya. Dikatakan kepada beliau: ‘Allah subhanahu wa ta’ala sudah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan kemudian.’ Beliau bersabda: ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang bersyukur.’

    3. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa dia shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    4. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Abdullah adalah laki-laki yang shalih jika ia shalat malam.” Muttafaqun ‘alaih dari hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha.

    5. Diriwayatkan dalam keistimewaan bulan Ramadhan, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama: “Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya diampuni dosanya yang terdahulu.”Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

    Para ulama menceritakan ijma’ dan mengutipnya dalam disyari’atkan shalat malam, terutama di bulan Ramadhan. Ibnu Abdil Barr berkata: shalat malam bulan Ramadhan adalah sunnah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memulainya kemudian meninggalkannya karena khawatir diwajibkan kepada umatnya, dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu mensunnahkannya di hadapan para sahabat, maka tidak ada yang mengingkarinya dan mereka ijma’ untuk mengamalkannya.[1]

    An-Nawawi berkata: Shalat Tarawih hukumnya sunnah dengan ijma’ para ulama.[2] Dan ia berkata: para ulama sepakat mensunnahkannya.[3] Ibnu Rusyd berkata: Mereka (Ulama) ijma’ bahwa shalat bulan Ramadhan dianjurkan melebihi semua bulan.[4]

    Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan secara berjamaah hukumnya sunnah. Al-Baghawi berkata: Shalat malam di bulan Ramadhan secara berjama’ah hukumnya sunnah, bukan bid’ah.[5] Bahkan as-Sarakhsi berkata: Shalat Tarawih adalah sunnah, tidak boleh meninggalkannya.[6]

    Faidah: Shalat malam di bulan Ramadhan secara berjamaah lebih utama dari pada melakukannya sendirian di rumah.

    Ibnu Mundzir berkata: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya apabila seorang laki-laki berdiri (shalat) bersama imam sehingga ia (imam) berpaling niscaya ditulis untuknya malamnya yang tersisa.’ Merupakan dalil bahwa shalat dalam jamaah bersama imam di bulan Ramadhan lebih utama dari pada shalat sendirian.[7]

    An-Nawawi berkata: Mereka berbeda pendapat dalam masalam bahwa yang lebih utama melaksanakan shalatnya sendirian di rumahnya atau berjamaah di masjid. Asy-Syafii, jumhur sahabatnya, Abu Hanifah, Ahmad dan sebagian ulama Maliki dan selain mereka berkata: Yang lebih utama adalah melaksanakannya secara berjamaah, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat. Perbuatan kaum muslimin terus berlanjut karena ia termasuk syi’ar yang nampak, maka ia menyerupai shalat ied.

    Imam Malik, Abu Yusuf, sebagian ulama Syafii dan selain mereka berkata: Yang lebih utama adalah sendirian di rumah.[8]

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah shalat malam di bulan Ramadhan, apakah melakukannya berjamaah di masjid lebih utama atau di rumah lebih utama? Ada dua pendapat yang masyhur, keduanya adalah dua pendapat bagi imam Syafii dan imam Ahmad. Satu golongan mengutamakan melakukannya di masjid berjamaah, termasuk di antara mereka imam Laits. Dan satu golongan mengutamakan melakukannya di rumah dan berhujjah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أَفْضَلُ الصَّلاَةِ صَلاَةُ اْلمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوْبَةَ)) (متفق عليه)

    “Shalat paling utama adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu.” Muttafaqun ‘alaih.

    Imam Ahmad dan yang lainnya berhujjah dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Dzarr:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( اَلرَّجُلُ إِذَا قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللّه لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ )) (رواه أحمد)

    “Apabila seseorang shalat bersama imam sehingga ia berpaling niscaya Allah subhanahu wa ta’ala menulis untuknya shalat satu malam.”

    Adapun sabdanya: “Shalat paling utama adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu.” Maksudnya adalah selama tidak disyari’atkan berjamaah, adapun yang disyari’atkan berjamaah seperti shalat gerhana (kusuuf) maka melakukannya di masjid lebih utama dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir dan kesepakatan para ulama. Mereka berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat malam karena khawatir menjadi wajib, dan hal ini sudah terhindar dengan wafatnya beliau, maka hal ini sama seperti mengumpulkan al-Qur`an dan yang lainnya. Apabila shalat berjamaah disyari’atkan padanya maka melaksanakannya berjamaah lebih utama.

    Adapun ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu: ‘Dan yang kamu tidur darinya lebih utama’ maksudnya adalah akhir malam dan manusia melaksanakan shalat di permulaannya. Ini adalah pendapat yang shahih. Maka sesungguhnya akhir malam lebih utama, sebagaimana shalat isya di permulaannya lebih utama, dan waktu yang tidak utama terkadang ditentukan amal ibadah padanya padahal yang lebih utama adalah di waktu yang lain. Sebagaimana menjama’ di antara dua shalat di Arafah dan Muzdalifah lebih utama dari pada memisahnya karena suatu sebab yang mengharuskan hal itu. Sekalipun asalnya: bahwa shalat dalam waktunya dan mendinginkan shalat (Zhuhur) di saat cuaca sangat panas lebih utama.

    Adapun hari Jum’at maka shalat setelah gelincir matahari lebih utama dan tidak disunnah ibrad(menunggu agak dingin) di hari Jum’at karena hal itu menyusahkan manusia. Dan menunda shalat isya hingga sepertiga malam lebih utama kecuali bila manusia sudah berkumpul dan menunggu menyusahkan mereka, maka melaksanakannya sebelum hal itu lebih utama. Demikian pula berkumpul di bulan Ramadhan di separo malam yang kedua (setelah tengah malam) apabila menyusahkan manusia.

    Di dalam sunnah, dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Shalat seseorang bersama seorang laki-laki lebih utama dari pada shalatnya sendirian, shalatnya bersama dua orang laki-laki lebih utama dari pada shalatnya bersama satu orang laki-laki, dan yang lebih banyak maka ia lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

    Karena alasan inilah, imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya:disunnahkan melakukan shalat Subuh apabila sudah mulai terang karena lebih banyak jamaah, sekalipun di saat masih gelap (setelah terbit fajar) lebih utama. Berdasarkan nash dan ijma’: Sesungguhnya waktu yang tidak utama, terkadang ditentukan melakukan padanya hukumnya lebih utama.

    Catatan: Apakah disyari’atkan berjamaah untuk shalat sunnat di luar bulan Ramadhan? Segolongan ulama menyebutkan bahwa shalat sunnah boleh dilaksanakan berjamaah, dengan syarat bahwa hal itu jangan dijadikan kebiasaan, berdasarkan dalil:

    1. Dalam Shahihain, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Anas berkata: ‘Maka aku shalat di belakang beliau bersama seorang yatim, dan Ummu Sulaim di belakang kami.”

    2. Hadits ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu saat meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berkunjung ke rumahnya lalu shalat di rumahnya, maka ia menjadikannya sebagai tempat shalat.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkunjung kepadanya, lalu shalat di rumahnya dan para sahabatnya shalat di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. HR. Al-Bukhari.

    3. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dalam shalatnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Muttafaqun ‘alaih.

    4. Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dan Jabbar radhiyallahu ‘anhu dalam shalat mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat malam. HR. Muslim.

    Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa boleh shalat sunnah berjamaah dan al-Bukhari menyebutkan satu bab dalam shahihnya: ‘Bab shalat sunnah berjamaah’, disebutkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dan Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Ibnu Quddamah berkata: ‘Boleh shalat sunnah secara berjamaah dan sendirian, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan keduanya, dan sebagian besar shalat beliau adalah sendirian. Beliau shalat dengan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu satu kali, dengan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu satu kali, dengan Anas, ibunya dan anak yatim satu kali, shalat bersama sahabatnya di rumah Itban sekali, mengimami mereka di malam-malam bulan Ramadhan tiga kali...dan semuanya shahih dan baik.[9] Akan tetapi hal itu disyaratkan dengan syarat yang sudah disebutkan, yaitu: jangan dijadikan sebagai sunnah ratibah (terus menerus), agar tidak menyerupai shalat yang disyari’atkan berjamaah.

    Syaikhul Islam berkata: Berkumpul untuk shalat sunnah terkadang termasuk yang disunnahkan berjamaah padanya apabila ia tidak menjadikannya sebagai kebiasaan, demikian pula apabila untuk mashlahat, seperti tidak bisa shalat sendirian atau tidak rajin sendirian, maka jama’ah lebih utama bila tidak dijadikan sebagai ratibah, dan melakukannya di rumah lebih utama kecuali untuk mashlahat yang lebih utama.[10]

    Dan ia berkata: ‘Tidak dimakruhkan shalat sunnah berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menjadikan hal itu sebagai sunnah ratibah.[11]

    Shalat sunnah berjamaah ada dua macam: salah satunya: yang disunnahkan berjamaah secara rutin seperti shalat gerhana, istisqa dan shalat bulan Ramadhan, maka ini selalu dilakukan berjamaah, sebagaimana disebutkan dalam sunnah.

    Kedua, yang tidak disunnahkan berjamaah secara rutin, seperti shalat malam, sunah rawatib, shalat dhuha, tahiyatul masjid dan semisalnya, maka semua ini bila terkadang dilaksanakan berjamaah tidak mengapa. Adapun berjamaah secara rutin dalam hal itu maka tidak disyari’atkan, bahkan termasuk bid’ah. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, dan para tabi’in tidak membiasakan berkumpul untuk hal itu. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang melakukan hal itu dalam jamaah yang sedikit, beliau biasanya shalat malam sendirian. Akan tetapi tatkala Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menginap, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersamanya. Di malam yang lain beliau shalat bersama Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Di malam yang lain beliau shalat bersama Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Demikian pula beliau shalat di sisi ‘Itban bin Malik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu di satu tempat untuk dijadikan sebagai tempat shalat. Juga beliau shalat bersama Anas radhiyallahu ‘anhu, ibunya, dan anak yatim, dan shalat sunnah beliau secara umum dilakukan sendirian.[12]

    Di dalam syarah al-Muntaha[13]: Shalat sunnah secara tersembunyi lebih utama, tidak mengapa berjamaah padanya. Al-Majd dan yang lainnya berkata: kecuali dijadikan sebagai kebiasaan dan sunnah (maka tidak dibolehkan).

    Syaikhul Islam berkata: ‘Kamu harus mengetahui bahwa bila disunnahkan shalat sunnah mutlak di waktu tertentu dan dibolehkan shalat sunnah berjamaah, tidak berarti boleh shalat sunnah secara berjamaah secara turin yang tidak disyari’atkan, bahkan harus dibedakan di antara dua bab. Dan penjelasan hal itu bahwa berkumpul untuk shalat sunnah, atau mendengarkan al-Qur`an, atau dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan semisal yang demikian itu, apabila hal itu dilakukan sewaktu-waktu maka ini sesuatu yang baik.

    Diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sunnah berjamaah sewaktu-waktu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi para sahabatnya, dan di tengah mereka ada yang sedang membaca al-Qur`an dan yang lain mendengarkan, lalu beliau duduk bersama mereka ikut mendengarkan. Apabila para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul, mereka menyuruh salah seorang membaca (al-Qur`an) dan mereka mendengarkan... hingga ia berkata: adapun menjadikan berkumpul secara rutin yang terus berulang dengan berputarnya minggu atau bulan atau tahun selain berkumpul yang disyari’atkan, maka hal itu menyerupai berkumpul untuk shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat dua hari raya dan haji, dan hal itu adalah bid’ah yang baru.

    Maka berbeda di antara yang dijadikan sebagai sunnah dan kebiasaan, maka hal itu menyerupai yang disyari’atkan. Perbedaan inilah yang disebutkan dari imam Ahmad dan para imam yang lainnya.[14]

    Imam Ahmad ditanya: Shalat sunnah berjamaah selain bulan Ramadhan? Ia menjawab: Aku tidak pernah mendengar.[15]

    [1] Al-Kafi hal. 74.

    [2] Al-Majmu’ 3/363.

    [3] Syarah Shahih Muslim 6/282.

    [4] Bidayah Mujtahid 1/287.

    [5] Syarh Sunnah 4/119.

    [6] Al-Mabsuth 2/197.

    [7] Al-Ausath 5/187.

    [8] Syarah Shahih Muslim 6/282.

    [9] Al-Mughni 2/567 dan lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab 2/392.

    [10] Mukhtashar Fatawa Mishriyah hal 109.

    [11] Al-Fatawa 23/112 dan lihat 23/132

    [12] Al-Fatawa 23/413-414.

    [13] 1/541 dan lihat: al-Inshaaf 4/203.

    [14] Iqtidha’ush shirathil mustaqim 2/139-140.

    [15] Masa`il Abu Daud hal 90 no. 439.