Apakah Kaum Muslimin Puasa Dan Berbuka Dengan Satu Rukyah?
Klasifikasi
Full Description
Apakah Kaum Muslimin Puasa dan Berbuka dengan Satu Rukyah?
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2011 - 1432
﴿ هل يصوم المسلمون ويفطرون برؤية واحدة؟ ﴾
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ محمد بن صالح العثيمين
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2011 - 1432
Apakah Kaum Muslimin Puasa Dan Berbuka Dengan Satu Rukyah?
Pertanyaan : Apakah semua kaum muslimin di berbagai belahan dunia wajib berpuasa dengan satu rukyah? Bagaimana cara berpuasa kaum muslimin yang tinggal di sebagian negara kafir, sementara di sana tidak ada rukyah secara syar’i?
Jawaban : Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, maksudnya bila hilal dilihat di satu negara Islam dan ditetapkan rukyahnya secara syar’i, apakah kaum muslimin yang lain wajib mengamalkan rukyah ini ?
Di antara ulama ada yang berpendapat : bahwa mereka harus mengamalkan rukyah ini dan berdalil dengan umumnya firman Allah subhanahu wa ta’ala :
قال الله تعالى: {فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ } [البقرة: 185]
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah:185)
Dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا)) [متفق عليه]
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Apabila kamu melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah. ‘[1] Mereka berkata : Perintah ini ditujukan kepada semua kaum muslimin. Dan sudah jelas diketahui bahwa maksudnya bukan setiap orang harus melihat hilal satu persatu, karena hal ini tidak mungkin. Namun maksudnya adalah apabila hilal sudah dilihat oleh seseorang yang ditetapkan masuknya bulan dengan rukyahnya. Ini berlaku di setiap tempat.
Para ulama yang lain berpendapat : bahwa apabila tempat munculnya hilal berbeda-beda, maka bagi setiap tempat mengikuti rukyah tersendiri. Dan apabila tempat munculnya berbeda, maka apabila rukyah sudah ditetapkan, wilayah lain yang berdekatan (satu mathla’) yang belum melihatnya wajib berpuasa mengamalkan rukyah ini.
Mereka berhujjah dengan dalil yang sama dengan golongan pertama, mereka berkata : Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
قال الله تعالى: {فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ } [البقرة: 185]
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah:185)
Sudah jelas bahwa maksudnya bukan setiap orang melihat hilal satu persatu, maka diamalkan dengannya di tempat yang dilihat hilal padanya dan di setiap tempat yang berdekatan (maksudnya satu tempat munculnya hilal). Adapun wilayah yang berbeda tempat munculnya hilal, maka ia tidak melihatnya secara hakikat dan tidak secara hukum.
Mereka berkata : demikian pula kami katakan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا))
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Apabila kamu melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah dan apabila kamu melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah.’ Maka sesungguhnya orang yang berada di satu tempat yang tidak sama munculnya hilal dengan yang melihat hilal, ia pada hakikatnya tidak melihatnya dan tidak pula secara hukum. Dan mereka berkata: penentuan waktu bulan sama seperti penentuan waktu hari. Sebagaimana negara-negara saling berbeda waktu imsak dan ifthar (berbuka) setiap hari, demikian pula harus berbeda dalam ifthar dan imsak yang terkait bulan, dan sudah jelas bahwa perbedaan hari ada pengaruhnya dengan kesepakatan kaum muslimin. Orang-orang yang berada di Timur, mereka imsak sebelum orang-orang yang berada di Barat dan berbuka sebelum mereka pula. Apabila kita memutuskan berbeda mathla’ dalam waktu sehari-hari, maka sesungguhnya dalam penentuan waktu bulan juga sama seperti itu.
Tidak mungkin seseorang berkata: sesungguhnya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: {فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ} [البقرة: 187]
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, … (QS. 2:187)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ)) [متفق عليه]
‘Apabila malam datang dari sini dan siang pergi dari sini dan terbenam matahari, maka sungguh berbuka orang yang berpuasa.’[2] Tidak mungkin seseorang berkata bahwa ini bersifat umum bagi semua kaum muslimin di berbagai belahan dunia.
Demikian pula kami katakan dalam umumnya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: {فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ} (البقرة: 185)
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…(QS. Al-Baqarah:185)
Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا))
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Apabila kamu melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah dan apabila kamu melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah.’
Pendapat ini –seperti yang engkau lihat- mempunyai kekuatan dari sisi lafazh dan pandangan yang shahih serta qiyas (analogi) yang benar pula: qiyas penentuan waktu bulan atas penentuan waktu hari.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perkara bergantung kepada pemerintah dalam masalah ini, apabila ia berpendapat wajibnya puasa atau berbuka berpedoman kepada sandaran syar’i, maka sesungguhnya diamalkan sesuai tuntutannya supaya manusia tidak berbeda-beda dan bercerai berai di bawah satu pemerintahan. Mereka berdalil dengan umumnya hadits :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ)) [رواه أبو داود والترمذي]
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Puasa adalah di hari kamu berpuasa dan berbuka adalah di hari kamu berbuka.’[3]
Ada pula pendapat lain yang disebutkan para ulama yang mengutip perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Adapun bagian kedua dari pertanyaan : yaitu bagaimana kaum muslimin berpuasa di sebagian negara kafir yang tidak ada rukyah syari’iyah ? Sesungguhnya mereka bisa menetapkan hilal lewat cara yang syar’i, dan hal itu dengan cara mengamati hilal apabila mereka bisa melakukan hal itu. Jika hal itu tidak bisa mereka lakukan, maka apabila hilal sudah terlihat di negara Islam (terdekat) maka mereka mengamalkan berdasarkan rukyah ini, sama saja mereka melihatnya atau tidak melihatnya.
Dan jika kita mengambil pendapat kedua, yaitu setiap kota berdasarkan rukyah tersendiri, apabila berbeda dengan kota yang lain pada tempat munculnya hilal dan mereka tidak bisa mewujudkan rukyah di kota tempat tinggal mereka, maka sesungguhnya mereka mengikuti kota Islam yang terdekat kepada mereka, karena hal ini adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin- kitab Dakwah (5) 2/152-156.
[1] HR. al-Bukhari 1900 dan Muslim 1080, 1081.
[2] HR. al-Bukhari 1954 dan Muslim 1600.
[3] HR. Abu Daud 2344, at-Tirmidzi 697 dari hadits Abu Hurairah ra, dan at-Tirmidzi dengan semisalnya 802 dari hadits Aisyah ra dan at-Tirmidzi berkata di tempat pertama: hadits gharib hasan dan di tempat kedua: hadits hasan gharib shahih.