×
Pertanyaan yang dijawab oleh para ulama Lajnah Daimah yang berbunyi: ” Di sebagian masyarakat – wahai Syaikh- ada tradisi, yaitu saat ada yang meninggal dunia, maka keluarga mayit mendirikan kemah besar dan menerima ta’ziyah padanya dan sebagian yang lain menyiapkan sarapan pagi dan makan siang sepanjang hari, mereka duduk untuk menyantap sarapan pagi dan makan siang bersama keluarga mayit, banyak senda gurau dan tawa di antara mereka, seolah-olah mereka datang untuk bergembira, bukan ta’ziyah.. apakah hukumnya? Kami mengharapkan pengarahan dan nasehat dalam hal itu dan kami haturkan terima kasih atas hal itu.”.

    Bid’ah Berkumpul Untuk Ta’ziyah dan Menghidangkan Makanan Kepada yang Datang

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2011 - 1432

    ﴿ بدعية الاجتماع للعزاء ووضع الطعام للحاضرين ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2011 - 1432

    Bid’ah Berkumpul Untuk Ta’ziyah dan

    Menghidangkan Makanan Kepada yang Datang

    Pertanyaan : Di sebagian masyarakat – wahai Syaikh- ada tradisi, yaitu saat ada yang meninggal dunia, maka keluarga mayit mendirikan kemah besar dan menerima ta’ziyah dan sebagian yang lain menyiapkan sarapan pagi dan makan siang sepanjang hari, mereka duduk untuk menyantap sarapan pagi dan makan siang bersama keluarga mayit, banyak senda gurau dan tawa di antara mereka, seolah-olah mereka datang untuk bergembira, bukan ta’ziyah.. apakah hukumnya? Kami mengharapkan pengarahan dan nasehat dalam hal itu dan kami haturkan terima kasih atas hal itu.

    Jawaban : Lajnah sudah pernah menjawab pertanyaan seperti ini, berikut ini adalah teks fatwa no 16552 tanggal 6/12/1414 H.

    Setelah mempelajari pertanyaan yang diajukan, Lajnah menjawab sebagai berikut :

    Pertama : sesungguhnya ta’ziyah kepada yang mendapat musibah disyari’atkan untuk menghiburnya dan meringankan bebannya, dengan cara memohon ampunan untuk mayit dan untuk keluarga dan teman-temannya, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menggantikan musibah mereka, menganjurkan mereka supaya sabar. Diriwayatkan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ta’ziyah kepada putrinya (yang meninggal):

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إِنَّ لِلّهِ تَعَالَى مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَي وَكُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى) رواه البخاري ومسلم

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya bagi Allah subhanahu wa ta’ala apa yang Dia ambil dan bagi -Nya apa Dia berikan, dan segala sesuatu di sisi -Nya dengan ajal yang telah ditentukan.’[1] Dan beliau menyuruhnya agar sabar dan mengharapkan pahala. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Doa apa saja yang diucapan kepada mereka hukumnya boleh, seperti: ahsanallahu ‘azaa`aka (semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi kebaikan pada musibahmu), semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi pahala terhadap musibahmu dan menggantikan bagimu yang lebih baik darinya. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ: إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ, اَللّهُمَّ أْجُرْنِي فِى مُصِيْبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا, إِلاَّ آجَرَهُ اللهُ فِى مُصِيْبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا) رواه مسلم

    ‘Tidak ada seorang hamba yang mendapat musibah lalu membaca:

    إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ, اَللّهُمَّ أْجُرْنِي فِى مُصِيْبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا

    ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala pada musibahku dan gantikanlah baginya yang lebih baik darinya’ melainkan Allah subhanahu wa ta’ala memberi pahala dalam musibahnya dan menggantikan baginya yang lebih baik darinya.’ Ia (Ummu Salamah) berkata: Tatkala Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu wafat, aku membaca sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah subhanahu wa ta’ala menggantikan untukku yang lebih baik darinya: yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’[2]

    Kedua : ta’ziyah bukan dengan menyembelih sapi atau kambing atau semisalnya, atau berkumpul satu waktu, akan tetapi ta’ziyah adalah dengan ungkapan yang baik untuk menambah sabar dan ridha terhadap taqdir serta menenteramkan hati kepada keputusan Allah subhanahi wa ta’ala karena mengharapkan pahala dan takut terhadap siksa.

    Ketiga : ta’ziyah dilakukan di mana saja yang dia bertemu saudaranya yang terkena musibah, maka seorang muslim mengucapkan ta’ziyah kepada keluarga yang mendapat musibah di tempat dimana dia bertemu mereka. Sama saja baik itu di masjid saat shalat jenazah, atau di pemakaman, atau di jalan, atau di pasar atau di rumah mereka, atau menelepon mereka.

    Keempat : mengucapkan ta’ziyah kepada seorang muslim yang terkena musibah, laki-laki atau perempuan adalah sama. Mereka tidak berkumpul saat datang berta’ziyah bagi perempuan, tetapi mereka pergi satu persatu dan tidak mendirikan kemah untuk hal itu. Demikian pula bagi laki-laki yang dita’ziyahi, tidak boleh mendirikan tenda atau membatasi hari tertentu untuk ta’ziyah, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari para sahabatnya yang mulia atau para khalifah rasyidah atau salah seorang imam, bahwa ia duduk khusus untuk menerima ta’ziyah, atau membatasi hari, atau waktu atau tempat untuk ta’ziyah, atau mengumpulkan manusia untuk ta’ziyah. Jika hal itu boleh niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu, beserta sepupunya Ja’far bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu telah terbunuh, putranya Ibrahim wafat, serta putrinya Zainab radhiyallahu ‘anhuhiyallahu wafat, para sahabat terbaik wafat pada masa beliau, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun wafat, padahal kaum muslimin sangat mencintai beliau dan para sahabat yang paling mencintainya, jikalau berkumpul untuk ta’ziyah disyari’atkan niscaya mereka pasti melakukannya. Demikian pula Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhuhiyallahu ‘anhum wafat, istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan semua sahabat, dan tidak diketahui bahwa ada seseorang yang melaksanakan ta’ziyah untuk mereka, atau berkumpul untuk hal itu. Maka hal itu menunjukkan bahwa berkumpul untuk ta’ziyah dan menyediakan makanan untuk yang datang adalah bid’ah munkar yang tidak ada dasarnya dalam agama, bahkan wajib mengingkarinya dan berdosa orang yang membantu melakukannya.

    Dan tatkala generasi berikut memulai berkumpul dan membuat makanan untuk orang-orang yang berkumpul : seorang sahabat yang agung Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu berkata : ‘Sesungguhnya kami –para sahabat- menganggap berkumpul kepada keluarga mayit dan membuat makanan setelah menguburnya termasuk niyahah (meratap). ‘[3] diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad yang jayyid. Adapun menghidangkan makanan kepada keluarga mayit dari para tetangga dan kerabatnya, maka ini adalah sunnah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud, dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : ‘Tatkala datang berita kematian Ja’far radhiyallahu ‘anhu saat terbunuh (sebagai syahid), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (ِاصْنَعُوْا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُمْ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجة

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, telah datang kepada mereka yang menyibukkan mereka.”[4] Diriwayatkan oleh imam Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh at-Tirmidzi. Memberi makanan kepada keluarga mayit di rumah mereka, bukan untuk orang-orang yang berkumpul di tenda atau kemah, karena tujuan dari hal itu karena rasa berduka cita menyibukkan keluarga mayit dari memasak makanan mereka, maka diberikanlah makanan kepada mereka. Wabillahit taufiq. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

    Lajnah Daimah – fatwa no. 16559 pada tanggal 6/12/1414 H. Majalah Dakwah edisi 1669

    [1] HR. al-Bukhari 1284, 7377, 7448 dan Muslim 923.

    [2] HR. Muslim 918.

    [3] HR. Ahmad 2/204, Ibnu Majah 1612, ath-Thabrani dalam al-Kabir (2279). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah 1308.

    [4] HR. Ahmad 1/205, Abu Daud 3132, at-Tirmidzi 998 dan ia berkata: Hasan shahih, Ibnu Majah 1610, al-Hakim 1/372 (1377), ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.