Hukum Shalat Sendirian Di Belakang Shaf
Klasifikasi
- Hukum Shalat << Shalat << Ibadah << Fikih
- Hukum-Hukum Terkait Imam << Shalat << Ibadah << Fikih
- Fatwa << Fikih
Full Description
Hukum Shalat Sendirian
Di Belakang Shaf
﴿ حكم صلاة المنفرد خلف الصف ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2011 - 1432
﴿ حكم صلاة المنفرد خلف الصف ﴾
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2011 - 1432
بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Shalat Sendirian Di Belakang Shaf
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Pertanyaan: Telah terjadi perdebatan di antara jamaah masjid, bahwa apabila seseorang terlambat masuk masjid. Ternyata shalat telah dimulai dan shaf telah penuh serta tidak ada tempat shaf untuknya. Bolehkan ia menarik seseorang dari shaf yang telah penuh itu supaya ia bisa shalat di shaf? Apakah ia shalat di belakang shaf sendirian? Atau apa yang harus ia lakukan?
Jawaban: Masalah ini ada tiga cara, apabila seseorang datang ke masjid dan shaf telah penuh:
- Bisa jadi ia shalat sendirian di belakang shaf.
- Bisa jadi ia menarik seseorang dari shaf, lalu ia shalat bersamanya.
- Dan bisa jadi ia maju, lalu shalat di sebelah kanan imam.
- Tiga sifat ini apabila ia telah masuk di dalam shalat. Dan bisa jadi meninggalkan shalat bersama jamaah ini. Maka sikap yang sebaiknya dipilih dari empat perkara ini?
Kami katakan: yang dipilih dari empat perkara ini adalah: ia bershaf (berbaris) sendirian di belakang shaf dan shalat bersama imam (sebagai makmum). Penjelasannya adalah bahwa yang wajib adalah shalat berjamaah, dan shalat di dalam shaf ini, adalah dua kewajiban, apabila terhalang salah satunya –yaitu berdiri bersama shaf- maka masih tersisa satu kewajiban, yaitu shalat berjamaah. Ketika itu kita katakan: shalatlah bersama jamaah di belakang shaf supaya engkau mendapat keutamaan shalat berjamaah. Dan berdiri di dalam shaf dalam kondisi ini tidak wajib atasnya karena tidak bisa melakukan dan Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. at-Taghabun:16)
Dan menguatkan pendapat ini bahwa perempuan berdiri di belakang shaf sendirian apabila tidak ada perempuan yang lain, karena tidak ada tempat baginya secara syara' di dalam shaf laki-laki. Ketika tidak ada tempatnya secara sya'i di dalam shaf laki-laki, maka ia shalat sendirian.
Laki-laki yang datang ke masjid ini, sedangkan shaf telah penuh dan tidak ada lagi tempat baginya di dalam shaf, gugurlah saat itu kewajiban bershaf darinya dan ia tetap wajib shalat berjamaah, hendaklah ia shalat di belakang shaf.
Adapun menarik seseorang agar shalat bersamanya, ini tidak pantas karena berakibat pada tiga perkara:
Pertama: membuka jarak di dalam shaf, ini menyalahi perintah Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam dalam merapatkan dan menutup celah di antara shaf.
Kedua: memindah yang ditarik dari tempat yang utama ke tempat yang tidak utama, dan ia merupakan salah satu tindakan kriminal kepadanya.
Ketiga: mengganggu kekhusyu’an, orang yang shalat tersebut, apabila ditarik tentu di hatinya ada gerakan, ini juga termasuk tindakan yang tidak baik kepadanya.
Cara ketiga: ia berdiri bersama imam: maka tidak sepantasnya baginya, karena imam harus berbeda tempatnya dengan makmum. Sebagaimana ia berbeda dari mereka dengan lebih dulu dengan bacaan dan perbuatan. Ia bertakbir sebelum mereka, sujud sebelum mereka, ia harus berbeda tempat dari mereka.
Dan inilah petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya imam berdiri di depan para makmum. Ini adalah kondisi yang nampak karena ia berbeda dari mereka, sendirian di tempatnya. Apabila sebagian makmum berdiri bersamanya, hilanglah keistimewaannya, karena memang seorang imam harus berada sendirian di depan makmum.
Adapun yang keempat, yaitu meninggalkan shalat: maka ini tidak ada jalannya, karena shalat jamaah adalah wajib dan bershaf wajib. Bila tidak bisa salah satunya niscaya tidak gugur yang lain karena yang pertama.,
Syaikh Muhammad al-Utsaimin – Majmu' Fatawa wa Rasail (15/204).