×
Sakit merupakan satu bagian kehidupan yang tidak terpisahkan dari umat manusia. Lalu, bagaimanakah cara bersuci dan shalat bagi orang yang sedang sakit? Fatwa dari Lajnah Daimah ini menjelaskan secara rinci tentang tata cara tersebut.

Cara Bersuci dan Shalat Orang yang Sakit

﴿ كيفية طهارة وصلاة المريض ﴾

] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa

Terjemah :Muhammad Iqbal A.Gazali

Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

2010 - 1431

﴿ كيفية طهارة وصلاة المريض ﴾

« باللغة الإندونيسية »

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

2010 - 1431

بسم الله الرحمن الرحيم

Cara Bersuci Dan Shalat Orang Yang Sakit

Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa

Pertanyaan: Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa telah mempelajari surat yang sampai kepada Mufti Umum dari salah seorang penanya, yang kemudian surat dialihkan kepada Lajnah Daimah dari Sekretaris Jenderal Lembaga Ulama Besar dengan no. 4531 pada tanggal 25-12-1414 H. Dalam suratnya ia menjelaskan apa yang dilihatnya dari kejahilan sebagian orang yang sakit di beberapa rumah sakit berupa cara menunaikan shalat dan cara bersuci di saat mereka tidak mampu. Ia meminta fatwa secara terperinci tentang hukum bersuci dan shalat bagi orang yang sakit.

Jawaban: Setelah mempelajari pertanyaan tersebut, Lajnah menjawab sebagai berikut:

Pertama: Bersuci orang yang sakit:

  1. Orang yang sakit wajib melakukan kegiatan bersuci seperti orang yang sehat berupa bersuci dengan air dari hadats kecil dan besar, berwudhu dari hadats kecil dan mandi dari hadats besar.
  2. Sebelum berwudhu, ia harus terlebih dahulu beristinja dengan air atau istijmar dengan batu, atau yang serupa dengan batu terhadap orang yang kencing atau buang air besar.

- Istijmar harus dengan tiga biji batu yang suci

- Istijmar tidak boleh dengan kotoran, tulang, makanan dan segala sesuatu yang dihormati.

- Yang paling utama adalah istijmar dengan batu atau yang serupa seperti tissu (sapu tangan), tanah, dan semisalnya, kemudian diteruskan dengan air, karena batu menghilangkan benda najis dan air mensucikannya, maka lebih sempurna.

- Manusia diberi pilihan di antara istinja dengan air atau istijmar dengan batu dan semisalnya. Jika ia ingin salah satunya maka air lebih utama karena ia lebih mensucikan tempat dan menghilangkan benda ('ain) atau bekas. Ia lebih membersihkan.

- Jika ia hanya ingin memakai batu saja, cukup tiga biji batu apabila sudah bisa membersihkan tempat. Jika belum membersihkan, ia menambah empat dan lima hingga benar-benar bersih dan yang utama adalah dalam bilangan ganjil.

- Tidak boleh istijmar dengan tangan kanan, kecuali Jika tangan kiri terputus atau patah atau sakit atau yang lainnya maka, istijmar dengan tangan kanannya diperbolehkan.

- Apabila orang yang sakit tidak mampu berwudhu dengan air karena lemah atau karena takut bertambah sakit, atau terlambat sembuhnya, maka ia boleh bertayammum.

- Tayammum: adalah memukul kedua telapak tangannya di atas tanah yang suci satu kali pukulan, kemudian mengusap mukanya dengan bagian dalam telapak tangannya, dan mengusap kedua telapak tangannya.

- Boleh bertayammum dengan sesuatu yang suci yang ada debunya, sekalipun tidak berada di atas tanah. Maka jika debu beterbangan di dinding atau semisalnya, maka ia boleh bertayammum pada dinding tersebut.

- Jika ia masih suci dari tayammum yang pertama, ia boleh shalat (yang kedua) dengannya sama seperti wudhu, sekalipun beberapa kali shalat. Ia tidak wajib mengulangi tayammumnya, karena ia adalah pengganti wudhu, dan pengganti sama seperti hukum yang diganti.

- Tayammum batal dengan segala hal yang membatalkan wudhu, mampu menggunakan air atau adanya air bagi yang tidak mendapatkan air.

  1. Apabila sakitnya ringan dan berwudlu menggunakan air atau bisa menggunakan air hangat tidak berbahaya atasnya dan tidak menyebabkan terlambat sembuh, bertambah sakit dan tidak khawatir sesuatu yang jelek, seperti sakit kepala, sakit gusi dan semisalnya, maka tidak boleh bertayammum baginya, karena boleh dan tidaknya bertayamum di karenakan untuk menolak bahaya atasnya, dan jika ia sudah menemukan air maka ia harus menggunakan air.
  2. Apabila orang yang sakit susah berwudhu atau bertayammum sendiri, ia diwudhukan atau ditayammumkan oleh orang lain dan cukuplah hal itu baginya.
  3. Orang yang terluka, dengan luka bernanah, atau patah, yang berbahaya jika terkena air, lalu ia dalam keadaan junub, ia boleh bertayammum. Jika ia bisa membasuh yang sehat dari tubuhnya, ia harus melakukan hal itu dan bertayammum untuk yang lain.
  4. Barangsiapa yang luka di salah satu anggota bersuci (seperti di tangan), maka ia membasuhnya dengan air. Jika ia merasa sulit membasuhnya atau berbahaya, ia mengusapnya dengan air saat membasuh anggota wudhu yang ada luka menurut urutan tertib wudhu. Jika ia susah mengusapnya atau berbahaya, ia boleh bertayammum dan cukuplah untuknya.
  5. Orang yang memakai pembalut (karena luka atau patah), yaitu orang yang di salah satu anggota tubuhnya ada yang patah yang sedang di Gips, maka ia cukup mengusapnya dengan air, sekalipun ia tidak meletakkan dalam keadaan suci (maksudnya: tidak berwudhu saat memakainya).
  6. Apabila orang yang sakit ingin shalat, ia harus bersungguh-sungguh menjaga kesucian badan, pakaian, dan tempat shalatnya dari segala najis. Jika ia tidak mampu, ia shalat apa adanya dan tidak mengapa atasnya.
  7. Apabila orang sakit menderita silsil baul (kencing terus menerus) dan belum sembuh dengan pengobatannya, maka ia harus ber istinja, berwudhu untuk setiap shalat setelah masuk waktunya, mencuci yang mengenai badannya dan menjaga pakaiannya tetap suci untuk shalat jika tidak memberatkannya. Dan jika tidak bisa niscaya dimaafkan darinya, dan ia menjaga semaksimal mungkin agar air seninya tidak mengenai pakaian, tubuhnya atau tempat shalatnya dengan membungkus zakarnya dengan sesuatu yang bisa menahan air seni.

Kedua: Shalat orang yang sakit:

1. Orang yang sakit harus shalat berdiri tegak sebatas kemampuannya.

2. Siapa yang tidak mampu shalat berdiri, ia shalat dengan posisi duduk, dan yang utama adalah bersila di setiap tempat berdiri.

3. Jika ia tidak mampu shalat duduk, ia shalat di atas lambungnya sambil menghadap kiblat dengan wajahnya, dan yang sunnah adalah di atas lambungnya yang kanan.

4. Jika tidak mampu shalat di atas lambungnya, ia shalat bertelentang.

5. Barangsiapa yang mampu berdiri dan tidak bisa ruku' atau sujud, kewajiban berdiri tidak gugur darinya, tetapi ia shalat berdiri lalu memberi isyarat dengan ruku', kemudian ia duduk dan memberi isyarat dengan sujud.

6. Jika ada penyakit di matanya, dan dokter yang dipercaya berkata: Jika engkau shalat bertelentang niscaya bisa mengobatimu, dan jika tidak maka tidak (bisa mengobatimu). Maka ia boleh shalat bertelentang.

7. Barangsiapa yang lemah melakukan ruku' dan sujud, ia memberi isyarat dengannya dan menjadikan sujud lebih rendah dari ruku'.

8. Jika ia hanya tidak bisa sujud, ia ruku' dan memberi isyarat dengan sujud.

9. Jika ia tidak bisa menundukkan punggungnya hingga lehernya, jika punggungnya melengkung, maka jadilah ia seolah-olah ruku', maka jika ia ingin ruku', ia menambah tunduknya sedikit dan mendekatkan wajahnya sedikit ke bawah di dalam sujud sebatas kemampuannya.

10. Jika ia tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya, ia bertakbir dan membaca, berniat dengan hatinya ruku, bangkit darinya, sujud, bangkit darinya, duduk di antara dua sujud, dan duduk untuk tasyahhud serta membaca zikir-zikir yang mesti dibaca. Adapun yang dilakukan sebagian orang yang sakit berupa isyarat dengan jemarinya maka hal itu tidak ada dasarnya.

11. Apabila orang yang sakit mampu di saat shalatnya melakukan sesuatu yang sebelumnya ia tidak mampu melakukannya berupa berdiri atau duduk atau ruku' atau sujud atau memberi isyarat, ia berpindah kepadanya dan meneruskan shalatnya.

12. Apabila orang yang sakit atau selainnya ketiduran atau lupa shalat, ia harus segera shalat saat bangun dari tidur atau saat teringatnya, dan ia tidak boleh meninggalkannya hingga masuk waktu yang lain untuk melaksanakan shalatnya.

13. Tidak boleh meninggalkan shalat dalam kondisi apapun. Begitu juga dengan setiap mukalaf, ia harus bersungguh-sungguh terhadap shalat dalam segala kondisinya, saat sehat dan sakitnya, karena ia adalah tiang Islam dan rukun yang paling penting setelah dua kalimah syahadah. Bagi seorang muslim, tidak boleh meninggalkan shalat wajib, sekalipun ia sakit, selama akalnya sehat. Bahkan ia harus melakukannya tepat waktu menurut kadar kemampuannya menurut cara yang telah disebutkan. Adapun yang dilakukan sebagian orang sakit berupa menunda shalat hingga sembuh dari sakitnya, maka hal itu tidak boleh, dan tidak ada dasarnya dalam syari'at yang suci.

14. Apabila orang yang sakit merasa susah menunaikan shalat tepat waktu maka ia boleh menjama' di antara zuhur dan ashar, di antara maghrib dan isya secara jama' taqdim atau ta'khir menurut yang termudah baginya. Jika ia menghendaki, ia mendahulukan ashar (dari waktunya) bersama zuhur dan jika menghendaki ia boleh mendahulukan isya (dari waktunya) bersama shalat maghrib. Dan jika ia menghendaki, ia bisa menunda maghrib (dari waktunya) bersama shalat isya. Adapun shalat fajar maka tidak bisa digabungkan dengan shalat sebelum dan sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.

Wabillahittaufiq, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa dari kitab al-Fatawa al-Muta'alliqah bith thib hal 29-66