Berserah Diri Kepada Allah
Klasifikasi
Full Description
Berserah Diri Kepada Allah
﴿ التسليم لأمر الله ﴾
Buku Masyarakat Muslim Dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Muhammad Ali al-Hasyimi
Terjemah : Mudzaffar Sahidu
Editor : Muhammad Iqbal Ghazali
2009 - 1430
﴿ التسليم لأمر الله ﴾
من كتاب المجتمع المسلم كما يبنيه الإسلام في الكتاب والسنة
« باللغة الإندونيسية »
محمد على الهاشمي
ترجمة: مظفر شهيد محصون
مراجعة: محمد اقبال غزالي
2009 – 1430
Berserah Diri Kepada Allah
Arti menyerahkan kekuasaan kepada Allah
Ibadah kepada Allah merupakan tujuan utama diciptakannya jin dan manusia: (Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.) (QS. adz Dzariyaat: 56).
Ibadah ini tidak bisa dilaksanakan dengan benar kecuali apabila kekuasaan (terhadap manusia ini) diserahkan kepada Allah ﷻ: (Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.") (QS. Yusuf: 40)
Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, tidak ada perintah kecuali perintah Allah, dan Allah telah memerintahkan agar tidak menyembah kecuali kepadaNya. Terlihat bahwa, pada saat redaksi ayat di atas membatasi tentang kebijakan menentukan hukum hanya kepada Allah kemudian menegaskan hal tersebut dengan dengan perintahNya, Allah tidak mengatakan: "Dia telah memerintahkan agar kalian tidak berhukum kecuali kepadaNya", akan tetapi Dia berfirman: (Dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia) ini adalah dalil bahwa menerapkan hukum Allah adalah ibadah, dan ibadah adalah menerapkan hukum Allah. Jadi ibadah kepada Allah tidak benar apabila hukum dan perundang-undangan diserahkan kepada selain Allah. Dan hakikat ini termasuk masalah yang telah maklumi secara aksiomatis di dalam urusan agama ini.
Islam telah mencabut hak untuk membuat sebuah aturan dari tangan manusia; karena Allahlah yang berhak membuat syari'at, dan ini termasuk salah satu keistimewaan masyarakat muslim. Hal ini, karena masyarakat yang syari'atnya dari Allah, di mana semua manusia adalah hamba Allah, tidak mungkin di dalam syari'atNya ada kekurangan, atau kezaliman satu kelompok atas yang lain, atau satu golongan atas golongan yang lain, karena Allah tidak mungkin memihak kepda salah satu golongan.
Namun apabila hak membuat undang-undang ada di tangan manusia, maka tidak ada seorangpun yang bisa menjamin kalau para pembuat undang-undang tersebut terbebas dari pengaruh tendensi, kepentingan, ambisi dan hawa nafsu, baik para pembuat undang-undang itu adalah kapitalits, komunis, sosialis, sekuler atau yang lainnya, dan apakah mereka dari kelas atas maupun kelas menengah.
Faktor inilah yang akan menciptakan terwujudnya keadilan dalam bentuknya yang paling tinggi, yang akan tercermin di dalam masyarakat muslim, yaitu sebuah masyarkat di mana Allahlah yang membuat undang-undang untuk para hambaNya, bukan manusia membuat undang-undang untuk golongan manusia lainnya.
Inilah wujud penyerahan kekuasaan kepada Allah, yaitu kekuasaan dalam membuat perundang-undangan yang memerintah dan melarang, yang menghalalkan dan mengharamkan. Yang mempunyai hak prerogatif dalam memerintah dan mewajibkan kepada seluruh makhluk. Ia adalah kewajiban yang bersifat pasti dan mutlak yang tidak boleh dilanggar oleh seorang muslim, yang baik pemahamannya terhadap Islam dan hatinya penuh dengan iman.
Keraguan yang dibuat oleh orang-orang kafir dan bodoh
Orang-orang sekuler, ateis, dan orang-orang Islam yang bodoh berusaha menciptakan keraguan terhadap hakikat ini, mereka menganggap bahwa dia bersumber dari pendapat dan ijtihad para pemikir Islam moderen.
Anggapan mereka ini telah dibantah oleh Dr. Yusuf al Qardhawi dalam bukunya: Malamihul Mujatama'il Muslimi lazdi Nunsyiduhu[1] beliau berkata: "Sebagian orang menyangka bahwasanya pemikiran ini merupakan hasil pemikiran al Maududi di Pakistan, atau sayyid Quthb di Mesir, sebenarnya pemikiran ini bersumber dari ilmu (ushul fiqh) Islam. Para ulama ushul fiqh telah menyebutkan masalah ini dalam pembahasan tentang ( الحكمatau Hukum) di dalam pengantar ilmu ushul fiqh, dan pada pembahasan tentang ( الحاكم atau al hakim) siapa Dia?. Mereka semua sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata al hakim (pembuat undang-udang) adalah Allah, yakni satu-satunya Zat yang memiliki hak secara mutlak untuk membuat aturan bagi para hambaNya, bahkan golongan muktazilahpun tidak berbeda pendapat dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh komentator buku (musallam ats tsubuut), buku ini termasuk di antara buku-buku ushul fiqh yang terkenal.
Bukti bahwa prinsip ini ditetapkan dengan al-Qur'an dan hadits sangat jelas. Sebagian telah kami sebutkan di dalam penjelasan tentang wajibnya menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah. Dan menerapkan hukum yang datang dari Allah bukan berarti menghilangkan peran manusia, karena manusialah yang memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya, mengambil kesimpulan darinya, dan mengisi kekosongan yang terdapat pada masalah yang tidak ada nash padanya, yang juga disebut dengan (Manthiqotul Afwu atau wilayah yang dimaafkan) ia adalah sebuah wilayah pembahasan yang luas, yang sengaja dibiarkan oleh Allah karena kasih sayangNya kepada kita dan bukan karena lupa. Di sisi inilah akal manusia bebas bergerak, dan berijtihad dalam batas-batas (yang telah ditetapkan oleh ) nash-nash dan prinsip-prinsip syara'" ([2]).
Wujud penyerahan kekuasaan kepada Allah
Masyarakat muslim yang benar adalah masyarakat yang meyakini bahwa kekuasaan hanya milik Allah, dimana komunitasnya tunduk kepada ajaran tauhid, aqidah Islam, yaitu aqidah yang tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya. Dan Masyarakat muslim ini menghormati serta mensucikan aqidah tersebut, juga hukum-hukumnya tertanam di dalam akal, hati dan ruh. Di atas pondasi inilah generasi muslim dididik. Sementara nilai-nilai, hukum-hukum dan norama-normanya tercermin jelas di dalam berbagai lembaga kemasyarakatan, seperti mesjid, sekolah-sekolah, media cetak, siaran radio dan telivisi serta berbagai media massa lainnya. Dia diterapkan di dalam tata peradilan, di mana hukum-hukumnya berlaku dalam segala segi kehidupan baik pendidikan, pemikiran, sosial, politik dan ekonomi, sehingga setiap penduduk dalam masyarakat muslim merasa bahwasanya ia diatur dengan syari'at Islam dan bernaung di bawahnya.
Kewajiban menerapkan hukum Allah
Ayat-ayat al-Qur'an datang silih berganti menegaskan tentang kewajiban menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah, di antaranya, firman Allah I:
(Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, ) (QS. an Nisaa': 105)
(Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. ) (QS. al Maidah: 49)
(Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? ) (QS. al Maidah: 50)
Kewajiban menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah telah berlaku sejak dahulu kala, yang telah diserukan oleh semua rasul kepada kaum mereka. Ketika al-Qur'an berbicara tentang ahli kitab, dia menetapkan hukum kafir secara umum bagi setiap orang yang tidak menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah:
(… Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. ) (QS. al Maidah: 44)
(Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. ) (QS. al Maidah: 45)
(Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. ) (QS. al Maidah: 47)
Dan penggunaan kata (al kafiruun) (adz dzalimuun) (al fasiquun) menunjukkan bahwa makna antara kata-kata di atas saling berdekatan, karena Allah I berfirman: (Dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim. ) (QS. al Baqarah: 254)
Di ayat lain Allah berfirman: (Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. ) (QS. an Nuur: 55)
Dihukumi kafir karena mengingkari ketuhanan Allah pada saat syari'atnya ditolak. Dan dihukumi zalim karena membawa manusia kepada selain syari'at Allah serta menyebarkan kerusakan dalam kehidupan mereka. Juga disebut fasik karena keluar dari manhaj Allah dan mengikuti jalan yang lain. Semua ini adalah sifat yang bisa membawa seseorang kepada kakafiran.
Taat kepada rasul termasuk taat kepada Allah
Di dalam masyarakat muslim, menerapkan hukum dengan apa yang disyari'atkan oleh Allah melalui wahyu kepada rasulNya merupakan kewajiban yang pasti, maka dengan demikian ketaatan kepada rasulullah termasuk ketaatan kepada Allah ﷻ: (Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah.) (QS. an Nisaa': 80)
Dan perintah Rasul bersifat wajib bagi orang-orang yang beriman, karena hal itu perintah Allah: (Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.) (QS. al Ahzab: 36)
Bahkan Allah I menjadikan menerima keputusan Rasulullah ﷺ adalah syarat keimanan bagi orang-orang yang mengadukan persoalan mereka kepada beliau ﷺ, dan sikap tidak merasa keberatan dan tidak ragu-ragu dalam menerima keputusan beliau: (Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa di dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya) (QS. an Nisaa': 65)
Kebutuhan manusia pada syari'at rabbani
Hal ini karena syari'at Islamlah yang mengatur perjalanan hidup di dalam masyarakat muslim dan dialah yang menciptakan keadilan di antara manusia, menjamin bagi mereka keamanan, keselamatan dan ketentraman:
(Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan) (QS. al Hadid: 25)
(Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, ) (QS. an Nisaa': 105)
Kebutuhan manusia kepada manhaj rabbani yang bersih dari kesesatan, kebodohan, hawa nafsu dan syahwat manusia sangatlah tinggi, namun semua itu tidak bisa dicapai kecuali dengan menegakkan syari'at ini, syari'at yang dipelihara oleh Allah dari pengaruh revisi dan perubahan, sebagaimana diakui oleh para peneliti yang obiektif, yang berasal dari berbagai macam bangsa, madzhab dan agama.
Tidak ada paksaan dalam beragama
Walaupun syari'at Islam mempunyai kedudukan yang tinggi, yang telah dianugrahkan oleh Allah bagi syari'at yang toleran ini, dan memiliki nilai suci yang meliputinya, akan tetapi Allah tidak memaksa seseorangpun dari makhlukNya untuk memeluknya tanpa (dilandasi) sikap yakin, ridha dan menerima. Allah I berfirman: (Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.) (QS. al Baqarah: 256)
Penguasa di dalam masyarakat muslim
Seorang penguasa di dalam masyarakat muslim, bagaimanapun kedudukan dan posisinya secara konstitusional bukanlah pembuat undang-undang, akan tetapi ia hanya pelaksana bagi syari'at Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan hadits Nabi, kekuasaannya pada sebagai eksekutif bukan legislatif; karena di dalam Islam, kekuasaan membuat perundang—undangan hanya dimiliki oleh Allah I.
Segala bentuk Penambahan, penggantian, perubahan, membuat kalimat yang mutlak dan terbatas di dalam nash-nash syari'at telah terhenti setelah sayri'at ini disempurnakan, berdasarkan firman Allah I: (Pada hari ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu … ) (QS. al Maidah: 3) di akhir hidup nabi ﷺ, menjelang berpulangnya beliau kepada Allah I, serta terputusnya wahyu. Para khalifah, prisiden dan semua pejabat negara di dalam Islam tidak lain hanyalah pelaksana dan penerap perintah Allah dan rasulNya yang tertuang di dalam nash-nash syari'at yang khusus maupun yang umum dari al-Qur'an dan hadits. Bahkan, ijtihad yang baru pada beberapa persoalan dan perkara yang baru muncul, yaitu perkara yang tidak ada nashnya di dalam syari'at, tidak dikatakan membuat syari'at di dalam pandangan Islam, akan tetapi dia merupakan penerapan bagi nash-nash syari'at yang umum, dan kaidah-kaidah qiyas, istihsan dan istishlah yang bersumber dari nash-nash syari'at. Ia merupakan implementasi bagi kaidah syari'at dan tujuan syari'at sesuai dengan tuntutan zaman, yang mana sarana dan metode bisa berubah antara satu waktu dengan yang lain.
Ijtihad harus dilakukan pada persoalan-persoalan yang tidak ada nashnya, baik di dalam kehidupan induvidu maupun masyarakat, dan pada masalah yang nashnya merupakan pedoman yang umum dan kaidah yang bersifat universal, yang bisa di manfaatkan untuk berijtihad, serta meliputi masalah yang kecil dan rinci. Dan ijtihad ini harus dilakukan dalam bingkai petunjuk al-Qur'an dan hadits serta tujuan syari'at yang mulia, dan dilakukan oleh orang-orang khusus, yaitu para ulama yang memenuhi syarat untuk berijtihad, dan tidak boleh dikuasai (secara negatif) oleh orang-orang yang memegang kekuasaan. Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka diputuskan dengan musyawarah setelah persoalannya dikembalikan kepada Allah dan rasulNya: (Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),) (QS. an Nisaa': 59)
Syari'at Islam adalah hukum-hukum yang bersifat objektif, dimana setiap muslim bisa merujuk kepadanya, ia tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu. Di dalam Islam tidak ada istilah rijal diin (tokoh agama) seperti yang terdapat di dalam agama Kristen, ia adalah syari'at yang jelas dan mudah, tidak ada teka-teki dan misteri, ia disampaikan oleh al-Qur'an yang mulia dan hadits yang suci, tidak ada tempat bagi seseorang untuk memonopoli pemahaman dan penafsirannya, baik pemerintah maupun para ulama, setiap insan muslim yang memiliki kunci ilmu agama bisa memahami hukum Allah yang tertuang di dalam syari'atnya.
Hubungan yang mengikat masyarakat muslim
Apabila Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, setelah membekali mereka dengan kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk, sebagaimana membekali mereka dengan kebebasan untuk memilih, bekehendak dan berilmu pengetahuan, maka Allah telah menjadikan orang-orang mukmin sebagai khlaifah bagi agama Allah untuk melaksanakan syari'atNya, agama Allah yang terakhir adalah Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan umat Islam adalah umat yang dijadikan oleh Allah sebagai khalifah untuk menegakkan Islam di muka bumi. Dan negara Islam ditegakkan untuk mewujudkan kekhalifahan ini agar mendapat ridha Allah dan menjadi kebahagiaan bagi manusia.
Oleh karena itulah, maka hubungan yang mengikat masyarakat muslim adalah hubungan akidah dan agama, bukan hubungan tanah dan debu, dimana di dalam negara tersebut telah melebur semua ras, tanah air, bahasa, warna kulit dan semua ikatan yang tidak ada hubungannya dengan hakikat manusia.
Hubungan yang mengikat masyarakat muslim adalah hubungan yang bersifat komitmen kepada akidah keimanan dan syari'at yang telah bumikan, bukan hubungan nasab, kabilah, dan ras. Oleh karena itulah, negara Islam adalah negara aqidah dan syari'at, yaitu sebuah negara yang terbuka bagi setiap orang yang beriman kepada kebenaran aqidah dan syari'at ini, bukan negara yang dibentuk karena ikatan kebangsaan, tanah air, dan bukan pula negera yang dibentuk karena ada ikatan jenis dan kesukuan. Dia adalah negera yang merupakan wujud pilihan manusia terhadap sistem robbani.
Perbedaan antara system pemerintahan di dalam masyarakat dan system pemerintahan lainnya
Dengan demikian, system pemerintahan (yang diberlakukan) di dalam masyarakat muslim berbeda dengan system pemerintahan di dalam masyarakat lainnya, dia bukanlah kekuasaan mutlak yang pernah dianut oleh bangsa-bangsa timur dan barat di masa lalu, dan bukan pula seperti sistem demokrasi serta tidak pula sistem modern yang tegak di atas satu partai. Dalam ketiga sistem ini, individu atau partai yang menjadi rujukan mutlak dalam melegislasi perundang-undangan. Dan legislasi semacam ini termasuk kesyirikan, karena dalam ketiga sistem ini manusia telah menempatkan dirinya pada posisi ketuhanan, dan kekuasaan dalam ketiga sistem ini ada di tangan manusia bukan Allah.
Dalam sebuah pemerintahan di mana kedaulatan hanya ada di tangan Allah, masyarakat berdiri di atas akidah, syari'at, akhlak, nilai-nilai dan konsep Islam.
Oleh karenanya, masyarakat muslim meyakini bahwa menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah termasuk salah satu kewajiban agama, dan menjadikan agama dan negara sebagai satu kesatuan, yang tidak terpisahkan antara keduanya. Karena, suatu kepemimpinan, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama merupakan jabatan agama dan politik secara bersama, dan penanggung jawab umum dalam urusan agama dan dunia. Di dalam Islam, politik tidak terpisahkan dari akidah, syari'at dan akhlak. Namun, semuanya saling berkaitan.
Menerapkan hukum dalam segala aspek kehidupan harus disosialisasikan dalam masyarakat muslim, setiap individu merasa bahwa dirinya diatur dengan agama Allah, mengamalkan petunjuknya, agar ia mendapa ridha dan pahala dariNya. Oleh karena itulah, datang perintah al-Qur'an dari Allah kepada rasulNya: (Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik". Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".) (QS. al An'am: 161-163)
Menerapkan hukum Islam adalah tujuan, bukan sarana untuk menancapkan kedudukan, sensai atau promosi untuk suatu negara, keluarga, partai, masa jabatan, perundang-undangan atau madzahab, akan tetapi pelaksanaan hukum Islam merupakan konsekwensi keimanan kepada Allah, patuh pada hukumaNya dan hukum rasulNya, dengan penuh keridhaan, kepasrahan dan penerimaan.
(Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.) (QS. an Nisaa': 65)
(Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.) (QS. al Ahzab: 36)
(Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.) (QS. an Nuur: 51)
Sumber hukum perundang-undangan di dalam masyarakat muslim
Sumber hukum perundang-undangan di dalam masyarakat muslim adalah syari'at Allah yang telah diwahyukan kepada Rasulullah ﷺ, bukan rakyat sebagaimana yang dianut oleh sistem demokrasi, bukan pula penguasa tunggal seperti yang diberlakukan sistem diktator, dan bukan pula partai penguasa sebagaimana yang dianut oleh sistem totaliter.
Di dalam Islam, penguasa adalah pelaksana bagi syari'at Allah yang telah diturunkanNya dan Dia memerintahkan untuk mengikutinya. Dia dibangun dalam rangka mewujudkan kekhalifahan manusia di muka bumi, dengan menegakkan hukum Allah, menebarkan keadilan, keamanan, persamaan dan kebebasan antara manusia, membangun masyarakat dimana penghambaan hanya kepada Allah, dan seorang peminpin muslim berhak mendapat ketaatan dari rakyat, selama dia taat kepada Allah, namun jika sang peminpin melanggar maka ia tidak mempunyai hak untuk ditaati oleh rakyat. Inilah makna perkataan Abu Bakar t di waktu beliau dibai'at menjadi khalifah: "Ta'atlah kepadaku selama aku ta'at kepada Allah, namun jika aku tidak menta'atiNya maka kalian tidak wajib menta'atiku " ([3]).
Pemilihan kepala negara di dalam masyarakat
Pemilihan kepala negara di dalam masyarakat muslim mempunyai dua kaidah yang tidak pernah dikenal oleh manusia di dalam sejarah perpolitiknya:
Pertama: Menentukan kriteria obyektif atau sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan dipilih menjadi kepala Negara Masalah ini disimpulkan oleh para ulama dari al-Qur'an dan hadits, pada aspek yaitu:
1- Akidah: yang merupakan keyakinan umat dan menjadi dasar negara.
2- Keilmuan dan pengetahuan: Harus bagi seorang peminpin dan penguasa kaum muslimin, di mana mereka rujukan utama di dalam negara harus memiliki penguasaan yang cukup tentang Islam, akidah, dan syari'at serta kemampuan di dalam menguasai pengetahuan umum modern, agar dia bisa memecahkan persoalan-persoalan negara dalam bingkai akidah Islam dan syari'atnya.
3- Pengalaman politik dan administrasi: Peminpin umat Islam harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam mengurusi masalah politik dan administrasi. Semua ini telah diungkapkan oleh al Mawardi dengan penjelasannya: "kecerdasan dan pengalaman yang memungkinkan penguasa untuk memimpin rakyat dan mengatur negara"([4])
4- Kepribadian yang baik: Maksudnya adalah dia berakhlak mulia seperti amanat, istiqamah, sopan, berani, perkasa dan cinta kepada kebaikan dan berbagai akhlak serta kepribadian yang baik lainnya.
5- Laki-laki: Syarat ini sama sekali tidak berarti meremehkan kemampuan wanita. Dia hanya pembagian tugas antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan ini. Hal ini karena Islam tidak membebani wanita untuk bekerja demi menafkahi dirinya, namun Islam membebani laki-laki untuk memberi nafkah kepada keluarga, memikulkan pada dirinya tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga, agar wanita berkonsentrasi menunaikan tugas keluarga dan sebagai ibu rumah tangga. Maka ia menjadi ratu di dalam rumah, membuat keindahan dan kegembiraan di dalam rumah, dia menjadi pengatur rumah tangga, memenuhi rumah dengan kasing sayang, dan kegembiraan bagi anak-anak.
Oleh karena itu, wanita muslimah yang mengerti tidak berambsi mencari pekerjaan di luar rumah kecuali jika keadaan memaksanya, yaitu jika tidak ada yang menanggung biaya hidupnya, atau ia diperlukan oleh masyarakatnya untuk melakukan pekerjaan tertentu yang sesuai dengan kodrat kewanitaannya, dengan tetap menjaga kehormatannya serta memelihara agama dan akhlaknya ([5]).
Inilah pandangan Islam terhadap wanita dan pekerjaannya di dalam kehidupan secara umum, hal ini merupakan pandangan yang bijaksana, dimana ia tidak membebani wanita untuk bekerja dan bersusah payah mencari penghidupan kecuali dalam kondisi darurat, maka bagaimana mungkin Islam mencampakkan wanita untuk memperebutkan posisi tertinggi di dalam umat, dan tidak ada bukti yang lebih nyata dari perjalanan sejarah panjang manusia dimana jumlah wanita yang memangku jabatan tertinggi negara sangat sedikit sekali, dibandingkan jumlah para raja dan kepala negara dari laki-laki.
Kaidah kedua: dalam memilih kepala negara di dalam masyarakat muslim adalah: Seorang kepala negara dipilih oleh umat, dan inilah yang dinamakan bai'at, yang dilaksanakan oleh ahlul halli wal aqdi, dan diterima oleh rakyat, serta berdasarkan musyawarah dan pemilihan yang bebas.
Kedua kaidah ini yang diambil dari al-Qur'an dan hadits oleh umat Islam sejak masa negara Islam pertama, yaitu memilih peminpin yang memenuhi kriteria, dan legalitas kepemimpinannya adalah bai'at umat Islam terhadap dirinya, dan keridhaan mereka atas dirinya sebagai pemimpin, kedua kaidah ini merupakan perubahan bagi perjalanan sejarah perpolitikan dalam kehidupan manusia, dan sebuah kemajuan besar di dalam sejarah sistem pemerintahan dan hak konstitusi, dimana Islam sebagai pelopor di dalam hal ini.
Posisi penguasa di dalam masyarakat muslim
Dalam masyarakat muslim, seorang penguasa tunduk pada dua batasan: syari'at dan syura, yakni dengan hukum Allah dan pendapat (yang disepakati oleh) umat. dia bertanggung jawab kepada Allah dan kepada manusia, ia tidak mempunyai kekebalan hukum, di depan pengadilan dia seperti rakyat biasa. Di dalam sejarah Islam, terdapat banyak bukti-bukti tentang menampakkan yang benar sebagai kebenaran dan keadilan antara rakyat dan peminpin, dan kepala negara. Seperti dakwaan amirul mukminin, Ali bin Abi Thalib kepada seorang hakim, Syuraih di masa pemerintahannya terhadap baju besi (milik Ali bin Abi Thalib) yang diambil oleh seorang Nasrani. Di mana pada saat hakim meminta bukti dan ternyata setelah amirul mukminin tidak mempunyai bukti maka hakim memenangkan orang Nasrani tersebut, padahal baju besi tersebut miliki amirul mukminin. Kejadian yang luar biasa ini sangat berkesan di hati orang Nasrani tersebut. Akhirnya, ia segera menyatakan masuk Islam. ([6])
Tanggung jawab seorang penguasa dalam masyarakat muslim
Tanggung jawab pemerintah di dalam masyarakat muslim adalah di hadapan Allah ﷻ, bisa jadi (jabatan itu) mengangkatnya ke derajat yang paling tinggi, dan bisa jadi pula menjerumuskannya ke derajat yang paling rendah; jika dia berbuat adil terhadap rakyatnya, dan menunaikan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah terhadap rakyatnya, yaitu melindungi orang yang teraniaya, orang lemah, mengurus kepentingan umat, membela negara, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian ia akan mendapat derajat yang paling tinggi yang tidak didapatkan oleh para ahli ibadah yang hanya menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah. Namun, jika dia berlaku zalim, curang dan berbuat buruk, maka ia akan mendapat balasan buruk pula yang tidak didapatkan oleh para penjahat seperti pencuri, pembunuh, dan orang-orang fasik.
Ia bertanggung jawab di hadapan umat manusia yang telah memberikannya amanat untuk mengurusi jiwa, harta, agama dan tanah air mereka. Mereka telah memilihnya untuk meminpin mereka, kemudian mereka berbai'at untuk menta'atinya dengan sebuah ikrar bahwa dia berjanji akan menegakkan keadilan, melaksanakan hukum-hukum syari'at dan menjadikannya sebagai undang-undang bagi mereka, dan setiap orang dari mereka berhak menasihatinya, dan mereka wajib melakukan amar makruf nahi mungkar.
Umat adalah pengawas bagi penguasa, sebagaimana mereka memilihnya melalui ahlul halli wal aqdi, dan sebagaimana kesempurnaan legitimasi kekuasaan mereka terwujud melalui bai'at mereka, maka masayarakt muslim juga memiliki hak mencopotnya dari kursi jabatannya jika sang peminpin tidak melaksanakan amanat yang diamanatkan oleh rakyat, menurut pendapat para ulama ([7]).
Dalam masyarakat muslim, kekuasaan bukanlah suatu keangkuhan dan kesombongan di muka bumi dan suatu keistimewaan, al-Qur'an telah menyebutkan sifat Fir'aun sebagai contoh bagi penguasa tirani yang sangat angkuh dan sombong, Allah berfirman: (Sesungguhnya Fir'aun Telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. ) (QS. al Qashash: 4)
Allah berfirman: (Kemudian kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa tanda-tanda (kebesaran) kami, dan bukti yang nyata, Kepada Fir'aun dan pembesar-pembesar kaumnya, Maka mereka Ini takbur dan mereka adalah orang-orang yang sombong.) (QS. al Mukminun: 45, 46)
Di dalam Islam, kekuasaan adalah amanat, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah ﷺ kepada Abu Dzarr:
"Wahai Abu Dzarr, engkau adalah orang yang lemah, dan jabatan itu adalah amanat, dan pada hari kiamat ia menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali yang memegangnya dengan baik, dan menunaikan haknya" (HR. Muslim)
Dan Nabi ﷺ mengatakan bahwa seorang penguasa mesti bertanggung jawab: "Setiap kalian adalah peminpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipinpinnya, penguasa adalah peminpin dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, wanita adalah peminpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, pembantu adalah pemelihara harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas pekerjaannya, dan kalian semua adalah pempimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya" (Muttafaq alaih).
Dia adalah tanggung jawab yang bersifat menyeluruh, yang dipikulkan oleh Islam di atas pundak setiap umat, dan tidak ada seorangpun terlepas dari tanggung jawab, dan Allah menjadikan tanggung jawab tertinggi adalah tanggung jawab penguasa atas rakyatnya, ia adalah tanggung jawab terbesar yang dipikulkan oleh Allah kepada hambaNya dalam kehidupan ini. Hal ini telah ditegaskan oleh Umar bin Khattab t dalam suratnya yang ditujukan kepada Abu Musa al Asy'ari, salah seorang gubernurnya, dimana di antara isi surat tersebut: "Engkau hanyalah salah satu dari mereka, akan tetapi Allah menjadikanmu orang yang paling berat tanggung jawabnya" ([8]).
Penguasa dan kekayaan negara di dalam masyarakat muslim
Di antara hal yang dipelopori oleh Islam, di mana dia merupakan kemajuan baru di dalam bidang hak kepemilikan secara konstitusional adalah terpisahnya secara indefenden hak milik rakyat atau masyarakat atau umat Islam secara umum dari hak milik penguasa pribadi. Hal ini, karena umat mempunyai kepemilikan tersendiri dimana penguasa tidak berhak mengeksploitasinya kecuali dengan cara yang sesuai menurut syari'at dan hukum Islam, yang juga dinamakan dengan harta umum yang ada di baitul mal umat Islam. Setiap bentuk eksploitasi atas harta ini oleh al-Qur'an dan hadits disebut kecurangan, yaitu mengambil harta rakyat, Allah berfirman: (Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.) (QS. Ali Imran: 161)
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
«Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan jarum atau lebih darinya maka itu merupakan pengkhianatan yang akan ia bawa nanti di hari kiamat» (HR. Muslim).
Yakni siapa yang aku beri tugas suatu pekerjaan dan telah kami tentukan gajinya, lalu ia mengambil lebih dari itu maka itu merupakan pencurian dan khianat.
Sikap wara' para penguasa yang bertakwa
Oleh karena itulah, kita melihat kehati-hatian para penguasa yang bertakwa agar tangan mereka tidak sedikitpun menyentuh harta milik umum. Para khulafa' ar rasyidin dan gubernur-gebernur mereka telah sampai pada tingkat tauladan yang luar biasa di dalam hal ini, mata mereka tidak melirik kepada apa yang diluar gaji yang telah ditentukan bagi mereka, terkadang gaji mereka tidak lebih dari gaji rakyat biasa, bahkan mereka bertindak sangat tegas terhadap diri mereka sendiri, mereka sangat hati-hati agar tidak terjatuh kepada harta yang haram karena takut pada murka dan siksa Allah. Seperti itu pulalah riwayat hidup kebanyakan para khalifah dan penguasa di dalam pentas sejarah islam.
Ketaatan kepada penguasa dalam masyarakat muslim
Penguasa mempunyai hak-hak atas rakyat, sebagaimana dia mempunyai kewajiban (atas rakyatnya). Hak tersebut didapatkan sebagai balasan atas komitmennya dalam melaksanakan hukum syari'at, dan dan konsisten dengan musyawarah, bersifat amanat, berani memikul beban tanggung jawab terbesar di dalam negara dan masyarakat. Dia berhak mendapat ketaatan rakyat agar bisa menegakkan kebenaran, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, membela harga diri umat dan agamanya. Dan rakyat wajib taat kepadanya dalam batas syari'at dan kepentingan umum, sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakar ash shiddiq t ketika beliau dilantik menjadi khalifah: "Ta'atlah kepadaku selama aku ta'at kepada Allah dalam memimpin kalian, jika aku tidak menta'ati Allah maka kalian tidak wajib ta'at kepadaku" ([9]). Dan Rasulullah ﷺ bersabda:
لا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
«Tidak ada ketaan di dalam kemaksiatan, ketaatan hanyalah pada kebaikan» (HR. Bukhari Muslim)
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
«Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukainya dari pemimpinnya hendaklah bersabar, karena tidak ada seorangpun yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal lalu mati pada saat itu kecuali mati dengan kematian jahiliyah» (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan Nabi ﷺ bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
«Wajib bagi setiap muslim mendengar dan ta'at pada apa yang disukainya dan yang tidak disukai, selama tidak disuruh berbuat maksiat, jika disuruh bermaksiat maka ia tidak wajib mendengar dan ta'at kepadanya» (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam shahih Bukhari sebutkan:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
«Dengarkan dan ta'atilah, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang hamba Habasyah yang kepalanya ibarat kismis, selama ia menegakkan kitab Allah dalam meminpin kalian» (HR. Bukhari)
Ketaatan bersyarat yang telah disebutkan di dalam nash-nash di atas menjelaskan tentang perintah Allah untuk taat (kepada penguasa) karena Allah dan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Imam at Thabari di dalam menafsirkan firman Allah I: (Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.) (QS. an Nisaa': 59)
Dalam masyarakat muslim, kekuasaan hanya ada di tangan Allah, baik dalam urusan yang bersar maupun kecil, dan wajib taat kepada Allah, dan di antara hak ketuhanan Allah adalah membuat syari'at, maka syari'atnya wajib dilaksanakan, dan orang-orang yang beriman wajib ta'at kepada Allah dan ta'at kepada Rasulullah yang telah diutus untuk membawa syari'at ini.
Dan ulil amri di antara kamu, yakni orang-orang mukmin yang memenuhi syarat Islam dan Iman. Nash di atas menjadikan ketaatan kepada Allah dan kepada Rasul sebagai dasar dan ketaatan kepada penguasa mengikuti ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Sebab, kata perintah untuk ta'at (kepada penguasa) tidak diulangi ketika menyebutkan mereka, sebagaimana kata perintah tersebut diulangi ketika ayat di atas menyebut nama Rasulullah ﷺ. Hal ini untuk menegaskan bahwa ketaatan kepada mereka mengikuti ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Batasan kekuasaan seorang penguasa di dalam masyarakat
Sesunnguhnya syari'at islam sejak pertama diturunkannya datang dengan tuntunan yang membatasi kekuasan pemimpin, dia adalah undang-undang pertama yang membatasi kekuasaan pemimpin, membatasi kebebasan tindakan mereka, dan memaksa mereka memimpin dalam batas tertentu yang tidak boleh dilanggar, dan menjadikan mereka bertanggung jawab atas kesalahan mereka sendiri.
Sebelum turunnya syari'at Islam kekuasaan peminpin bersifat mutlak, tidak ada batasannya, dan hubungan antara penguasa dengan rakyat tegak di atas kekuatan kekuasaan semata. Dengan kekuatan itulah seorang penguasa mengambil kekuasaanya. Kekuasaan mereka sebatas kekuatan mereka. Apabila dia kuat maka kekuasaannya meluas meliputi segala sesuatu, namun jika lemah, maka kekuasaannya bekuarang. Rakyat mentaati penguasa bukan karena mereka sebagai peminpin bagi rakyat, akan tetapi karena dia lebih kuat dari mereka, dan rakyat ibarat pembantu dan budak bagi penguasa, baik dia meraih kekuasaan tersebut karena warisan maupun karena kemenangan dan usaha.
Syari'at Islam datang dan mengganti kondisi yang buruk ini dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan manusia, dan hajat masyarakat yang tinggi. Dia menjadikan landasan hubungan antara rakyat dan penguasa adalah terciptanya kemaslahatan umum, bukan kekuatan penguasa dan lemahnya rakyat, ia memberikan hak bagi rakyat untuk memilih pempinpin dengan musyawarah, dan menjadikan batasan bagi kekuasaannya yang tidak boleh dilanggar, jika dilanggar maka perbuatannya batil, dan rakyat berhak mencopotnya dan menggantinya dengan orang lain.
Dalam syari'at Islam, kekuasaan seorang peminpin tidak mutlak di dalam (meminpin) masyarakat muslim, ia tidak boleh berbuat dan meninggalkan sesuatu secara semena-mena, dia tidak lain hanyalah salah satu komponen umat yang dipilih untuk mempimpin umat ini. Hal ini tergambar dengan indah dalam sebuah perkataan Abu Bakar ketika beliau dilantik menjadi khalifah: "Sesungguhnya aku telah dipilih untuk memimpin kalian, dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, jika kalian melihatku di dalam kebenaran maka bantulah aku, namun jika aku dalam kebatilan maka luruskanlah diriku, taatlah kepadaku selama aku ta'at kepada Allah, jika aku bermaksiat kepadaNya maka kalian tidak wajib menta'atiku. Ketahuilah bahwa orang yang paling kuat di antara kalian bagiku adalah orang lemah sehingga aku mengambil sesuatu yang menjdi hak bagi dirinya, dan orang yang paling lemah di antara kalian bagiku adalah orang yang kuat sehingga aku mengambil hak darinya, inilah yang aku komitmenku kepada kalian dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian"([10]).
Umar pernah berkata dalam salah satu pidatonya:
"Wahai segenap umat Islam, apakah yang akan kalian katakan jika aku memalingkan kepalaku kepada dunia seperti ini", lalu dia memiringkan kepalanya, kemudian bangkitlah seseorang lelaki sambil menghunuskan pedangnya, ia berkata: "Ya, seperti inilah yang akan kami lakukan dengan pedang ini". Lelaki tersebut mengisyaratkan dengan memenggal (leher), Umar berkata: "Apakah aku yang engkau maksudkan dengan perkataanmu itu?" ia berkata: "Engkaulah yang aku maksudkan dengan perkataanku ini ", maka Umar menghardiknya tiga kali, dan ia menghardik Umar, lalu Umar berkata: "Semoga engkau dirahmati oleh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di dalam rakyatku terdapat orang yang mau meluruskanku jika aku bengkok"([11]).
Sesungguhnya suatu masyarakat dimana penguasanya meminta rakyatnya untuk meluruskan dirinya pada saat melihat peminpinnya bertindak tidak benar, dan suatu masyarakat dimana rakyatnya berani mengatakan kepada orang pertama di dalam suatu negara: "Seandainya, kami melihat tindakanmu tidak lurus, maka kami meluruskanmu dengan pedang, lalu sang kepala negara senang dengan jawaban ini, dan memuji Allah yang telah menjadikan di antara rakyatnya pribadi yang berani meluruskannya.
Sesungguhnya masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang selamat, bersih dan kuat, tidak mungkin diperdaya oleh pribadi yang hipokrit, tidak akan tersebar kemunafikan di dalamnya, dan tidak akan dihinggapi oleh kelemahan dan kehinaan.
Jika kita membandingkan antara masyarakat ini dengan masyarakat-masyarakat arab dan muslim sekarang ini, maka kita menyaksikan bahwa kritik apapun yang ditujukan kepada penguasa akan mengancam nyawa pengkritiknya, atau menjebloskannya ke dalam penjara seumur hidup. Setelah itu, barulah kita menyadari penyebab utama hancurnya kuwalitas (sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia) menjadi (buih, seperti buih di lautan).
Apabila di dalam masyarakat muslim sang penguasa mempunyai hak dan kewajiban, maka kewajiban dan haknya tetap dibatasi agar tidak keluar dari nash-nash syari'at dan ruhnya, sebagaimana firman Allah I: (Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah… ) (QS. al Maidah: 49).
Dan firmanNya: (Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.) (QS. al Jatsiyah: 18)
Di dalam masyarakat muslim kekuasaan seorang penguasa terikat dengan nash-nash syari'at, apa yang dibolehkan oleh syari'at boleh dilakukan, dan apa yang diharamkan oleh syari'at maka tidak boleh dilakukan.
Syari'at Islam telah mendahului semua undang-undang buatan manusia dalam mambatasi kekuasaan seorang penguasa, dan mencanangkan baginya suatu pedoman yang menjadi pijakannya dalam membentuk hubungan antara penguasa dengan rakyat, dan di dalam mengokohkan kekuasaan umat terhadap para penguasa.
Undang-undang pertama setelah syari'at Islam yang mengakui kekuasaan umat atas penguasa adalah undang-undan Inggris pada abad ketujuh belas masehi, yaitu sepuluh abad setelah syari'at Islam menetapkan kaidahnya, kemudian datanglah revolusi prancis di akhir abad ke delapan belas, maka berangkat dari sinilah prinsip ini menyebar memasuki perundang-undang buatan manusia.
Kekuatan hubungan antara penguasa dan rakyat di dalam masyarakat muslim
Demikianlah sistem pemerintahan di dalam Islam, yang menjamin terjalinnya hubungan yang kuat antara penguasa dan rakyatnya di dalam masyarakat muslim. Dia berdiri di atas pondasi kebebasan, keadilan, ketenangan dan kepercayaan; Sebab seorang penguasa tidak akan sampai pada puncak jabatannya kecuali melalui satu jalan, yaitu: keinginan rakyat secara mutlak dan pemilihan yang bebas. Kekuasaannya tidak akan bisa bertahan kecuali dengan satu jalan: yaitu taat kepada Allah dan menjalankan syari'atNya.
Sungguh, kekuasaan yang tegak di atas ridha dan kebebasan memilih, yang diwujudkan setelah bermusyarawah dan izin rakyat atasnya, serta tidak memimpin kecuali dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka sungguh kepemimpinan inilah yang akan menebarkan kepercayaan dan ketenangan di dalam jiwa, dan memberikan ketentraman di dalam hati, tidak ada tempat untuk merasa muak, membenci dan berpikir untuk menentang, selama ia memimpin dengan jalan yang telah digariskan oleh Islam, dan batas yang telah ditentukan oleh syari'at Islam.
Ia adalah pemerintahan Islam yang baik dan tegak di atas musyawarah: (Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; ) (QS. as Syuura: 38)
(Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu) (QS. Ali Imran: 159)
Apabila syari'at tidak menentukan tehnik tertentu di dalam bermusyawarah, maka ini berarti urusannya diserahkan kepada tuntutan kebutuhan di setiap masa dan caranya tersendiri (masa tersebut), akan tatapi dasar dan tehniknya sudah ditententukan. maksudnya adalah umat Islam disertakan berperan di dalam mengatur urusan mereka sendiri, sehingga mereka tidak bisa marah karena mereka ikut berperan aktif di dalam mengatur kekuasaan.
Sesunnguhnya, penerapan undang-undang ilahi yang terwujud di dalam syari'at Islam, tidak membedakan siapapun, dan tidak memberikan keistimewaan kepada orang-orang tertentu atau golongan tertentu, baik penguasa maupun individu atau rakyat biasa, baik golongan kaya maupun miskin. Syari'at ini menjamin keamanan, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, karena ia memimpin seluruh rakyat untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Nikmat Allah yang sangat besar kepada umat Islam nampak ketika mereka dinaungi oleh syari'at Allah, mereka memimpin dengan apa yang diturunkan oleh Allah, jika dibandingkan dengan masyarakat Amerika dan barat pada umumnya yang menganut sistim demokrasi barat, dan pemilihan umum dipengaruhi beragam kepentingan, maka orang-orang yang memiliki uang yang banyak, yang mendanai kampanye pemilu yang akan meraup banyak keuntungan, mereka tukar menukar keuntungan dan kepentingan dengan calon prisiden, dan kepentingan merugikan rakyat yang banyak.
Banyak perusahaan-perusahaan besar yang mempuyai kepentingan memenangkan calon ini atau itu, mengorbankan uang yang banyak untuk mendanai kampanye pemilu, dan melakukan peliputan yang luas bagi orang yang dikehendakinya. Sementara di sisi lain, prisiden terpilih membalas jasa perusahan tersebut dengan memberikan berbagai pelayanan khusus. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Frederick Thayer, guru besar jurusan administrasi publik di Amerika. Dan pelayanan khusus tersebut terwujud dalam bentuk penurunan pajak, atau memberikan hak istimewa bagi perusahaan yang bersangkutan, atau memberi izin bagi perusahaan untuk mengadakan kontrak dagang dengan negara luar, atau memberikan rute penerbangan baru bagi perusahaan penerbangan dan sebagainya. ([12])
Ketinggian derajat penguasa yang shalih di sisi Allah
Sesungguhnya fitnah kekuasaan, jabatan dan pangkat termasuk fitrnah terbesar yang dihadapi oleh manusia di dalam kehidupannya, bahkan dia adalah godaan duniawi yang paling berat, sebab apabila seorang penguasa telah terjerat di dalamnya, maka dunia akan berdatangan kepadanya dengan semua godaan, kesenangan, hawa nafsu dan daya tariknya. Semuanya telah tersedia di tangannya.
Tidak mudah bagi seseorang untuk menghiraukannya demi mengharap ridha Allah, karena hawa nafsu selalu mengajak kepada keburukan, apalagi dalam posisi sebagai prisiden yang berpotensi bisa menguasai semua kesenangan ini. Agar sesorang tidak tergoda dengan semua ini memerlukan sayap seekor burung rajawali, bukan sayap kupu-kupu sebagaimana dikatakan oleh Dr. Mustafa as siba'I rahimahullah ([13]).
Oleh karena itulah, Allah I memberikan balasan kepada para penguasa yang mampu bertahan terhadap semua godaan ini, Allah menyediakan bagi mereka kedudukan yang tinggi, menempatkan mereka pada tempat yang mulia, mereka adalah naungan Allah di muka bumi dan kekasihNya di hari kiamat, sebagaimana sabda rasulullah ﷺ:
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ
«Sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan orang yang paling dekat kedudukannya kepada Allah adalah pemimpin yang adil, dan orang yang paling dibenci oleh Allah pada hari kiamat dan yang paling jauh tempatnya dari Allah adalah pempimpin yang zalim» (HR. Tirmidzi)
Cukuplah sebagai balasan bagi penguasa yang adil, yang selamat dari godaan ini, bahwa dia termasuk salah satu tujuh golongan orang-orang pilihan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naunganNya pada hari dimana tidak ada naungan selain nauganNya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits muttafaq alaih:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
«Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naunganNya pada hari yang tidak ada naugan selain nauganNya, mereka adalah: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah ﷻ, seorang yang hatinya selalu terpaut kepada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu dan berpisah dalam kecintaan kepada Allah, dan seorang lelaki yang dipanggil oleh wanita cantik (untuk berbuat maksiat) lalu ia berkata: Aku takut kepada Allah, dan seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan orang yang menyendiri untuk berdzikir kepada Allah lalu matanya berlinang» (Muttafaq alaih).
Sikap umat Islam terhadap penguasa yang lalim
Terkadang, umat Islam diuji dengan lenyapnya hukum Allah lalu digantikan dengan hukum buatan manusia, ketika kekuasaan dipegang oleh para penguasa tirani, mereka mengabaikan musyawarah, mengklaim (secara apriori) hak mereka untuk membuat undang-undang sendiri, mengubur kebebasan berpikir, berpendapat dan mengkritik. Dengan cara ini, mereka telah mengangkat diri mereka sebagai tuhan, terkadang mereka keluar dari manhaj Islam dalam akidah atau syari'atnya, dan inilah yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ: «Kafir dengan tarang-terangan» seabgaimana disebutkan di dalam sebuah riwayat ketika beliau berwasiat agar bersabar untuk menghindari fitnah, beliau bersabda:
إِلا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
«Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, dan kalian mempunyai bukti dari Allah» ([14]).
Dalam kondisi seperti ini, wajib bagi umat Islam bersikap bijaksana dan bertindak yang baik. Maka mereka berusaha menghilangkan kemungkaran ini dengan syarat tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika meyakini bahwa usaha mereka ini akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka wajib bagi mereka bersabar atas kemungkaran yang lebih kecil untuk menghindarkan diri agar tidak terjatuh pada kemungkaran yang lebih besar. Hal ini didasarkan pada sebuah kaidah fiqh yang menjelaskan bahwa boleh melakukan bahaya yang lebih ringan, dan keburukan yang lebih mudah, dan mencukupkan diri dengan kritik dan nasihat dengan lisan maupun tulisan. Namun, jika cara ini tidak efektif, maka wajib mengingkarinya dengan hati. Ini tingkatan iman yang paling lemah, sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
«Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu pula maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman» (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi harus berusaha menghilangkan kerusakan dengan cara-cara yang memungkinkan. Semua ini termasuk jihad yang diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ di dalam sebuah sabdanya:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ، وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ، يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لا يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
«Tidak ada seorang nabipun yang diutus oleh Allah dalam suatu umat sebelumku kecuali di antara umat tersebut terdapat hawariyyun (orang yang dekat dan setia) dan sahabat yang mengikuti sunnahnya, melaksanakan perintahnya. Kemudian, datanglah pengganti setelah mereka orang-orang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Berangsiapa yang berjihad melawan mereka maka dia adalah orang yang beriman, dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya maka dia orang yang beriman, dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka dia adalah mukmin, dan tidak iman walau seberat biji sawi (bagi orang yang tidak mengingkarinya dengan hatinya) » (HR. Muslim)
Di antara ujian yang paling berat bagi masyarakat adalah sampainya orang-orang zalim kepada pucuk kekuasaan, dan sebgaian manusia menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan baginya. Di dalam realitas seperti ini hukum Allah akan diabaikan, syari'atnya disingkirkan, dan makna "Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah" akan terhapus. Orang-orang musyrik bangsa Arab telah mengerti hakikat ini, mereka mengerti makna "Tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan sebenarnya) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah". Mereka memahaminya sebagai perubahan dari kehidupan jahiliyah, pengumuman tentang lahirnya kehidupan baru, pembuat hukum adalah Allah dengan syari'atNya, yang diwahyukan kepada Muhammad ﷺ. Sementara, manusia yang mejabat sebagai pemimpin hanyalah pelaksana dan pemegang amanat bagi perintah Allah.
Oleh karena itu, orang-orang Arab di bawah pimpinan bangsa Quraisy menolak dakwah Islam, mereka mengumpulkan segenap kekuatan untuk memeranginya dan menghalanginya. Sebab Islam akan mencabut kekuasaan dan arogansi mereka dari tangan mereka sendiri. Tidak ada yang lebih tegas membuktikan tentang pemahaman ini selain dari keteguhan paman Rasulullah Abu Thalib untuk tetap menolak masuk Islam. Dia menolak mengabulkan harapan keponakannya, Muhammad ﷺ, sehingga beliau sangat sedih karena pamannya yang menjaga dan memeliharanya tetap dalam kesyirikan, beliau berkata padanya: "Wahai paman, ucapkanlah syahadah, katakanlah di telingaku walau dengan berbisik, agar aku bisa bersksi untukmu di hari kiamat, namun Abu Thalib tetap enggan, lalu ia menjawab keponakannya: "Aku takut dicela oleh bangsa Arab. Hal ini karena dia melihat bahwa mengucapkan kesaksian tentang keesaan Allah dan kerasulan Muhammad ﷺ berarti meninggalkan cara hidup yang lama, dengan segala adat dan budayanya, kemudian masuk pada kehidupan baru, dimana syahadah ini akan menimbulkan perubahan di dalam kehidupannya dalam aspek pola berpikir, status sosial dan politiknya.
Al-Qur'an telah mencela penguasa yang sewenang-wenang dan mengaku tuhan seperti Fir'aun dengan perkataannya: ("Akulah Tuhanmu yang paling tinggi".) (QS. an Nazi'at: 24)
dan perkataannya yang lain: (Aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain Aku.) (QS. al Qashash: 38) dan ucapan Fir'aun: ("Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang Aku pandang baik; ) (QS. Ghafir: 29)
Sebagaimana Allah juga mencela mereka yang membangun dan mendukung penguasa zalim, menjadi pembantunya untuk menundukkan rakyat dan menindas mereka: (Sesungguhnya Fir'aun dan Ha- man beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.) (QS. al Qashash: 8)
dan mencela kaum dan bangsa yang menerima pemerintah yang zalim, yang menerima kezaliman mereka, yang diam atas kerusakan mereka, Allah berfirman tentang Fir'aun dan kaumnya: (54. Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.) (QS. az Zukhruf: 54)
dan berfirman tentang kaum 'Aad kaumnya nabi Huud: (Dan mereka menuruti perintah semua Penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia Ini dan (begitu pula) di hari kiamat.) (QS. Huud: 59, 60)
Yang paling ditakuti oleh para penguasa tirani dan dictator adalah bangkitnya kesadaran islam dalam masyarakat, karena dengan kesadaran pemahaman ini hukum Allah akan dikembalikan dalam masyarakat muslim, kedaulatan yang mereka rebut ketika mereka memproklamirkan diri sebagai dewa sebagai pengganti tuhan, oleh karena itu mereka tidak enggan melaksanakan acara-acara keagamaan dan khurafat seperti merayakan peringatan maulud, halaqah dzikirnya para sufi, dimana suara dikeraskan, badang bergoyang, lagu-lagu dilantunkan, dan acara-acara lainnya yang menghipnotis umat islam, dan memalingkan mereka agar tidak berpikir u ntuk membangun insan muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim yang menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah, pelaksanaan ibadah hanya untuk Allah, kedaulatan hanya miliki Allah, dalam segala aspek kehidupan; karena acara-acara keagamaan tidak mengancam kekuasaan dan kezaliman mereka.
Dorongan dan peringatan dalam masyarakat muslim
Masyarakat muslim yang mendapat pencarahan hidayah islam, yang bernaung di bawah naungan syari'at islam adalah masyarakat yang diliputi rasa aman, bersih dan mulia dalam akhlak dan perilakunya; hal ini karena manusia dalam masyarakat muslim tunduk dan patuh pada tarbiyah, bimbingan, dorongan dan peringatan; mereka mempelajari halal dan haram, ditanamkan dalam jiwa mereka cinta yang halal dan membenci yang haram, sebagaimana ditanamkan dalam jiwa mereka nila-nilai yang luhur, akhlak yang tinggi yang dianjurkan oleh islam, dan yang membedakannya dengan hewan.
Dalam waktu yang sama dalam masyarakat muslim manusia mendengar syari'at yang mencegah dan melarang, disertai dengan janji dan ancaman dalam kehidupan dunia dan akhirat, menakut-nakuti dan memberi harapan, pengarahan dan pendidikan, menganjurkan bertobat dan memperbaiki diri, mengingatkan pada nama-nama Allah yang baik: Yang maha perkasa jika memerintah, yang maha bijaksana dalam syari'atnya, yang maha pengampun dan penyayang bagi siapa yang bertobat dan memperbaiki diri.
Dalam masyarakat muslim manusia bukanya hanya diberi dorongan, dan bukan hanya diberi ancaman, akan tetapi mereka diberi dorongan dan ancaman dalam waktu yang sama, oleh karena itu syari'at islam terdiri dari didikan dan arahan, aturan dan undang-undang.
Islam telah datang untuk semua manusia: ia mendorong manusia agar waspada supaya tidak terjatuh pada perbuatan jahat, dan menjelaskan bahwa orang-orang yang rusak dan tidak hati-hati akan mendapat siksa, mereka adalah manusia aneh dalam masyarakat dan jumlahnya sangat sedikit.
Jika kita melihat pada kejahatan zina misalnya, kita dapatkan bahwa al-Qur'an menyebutkan hukumannya dalam satu ayat di awal surat an Nuur, yaitu firman Allah I: (Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,) (QS. an Nuur: 2)
Dalam waktu yang sama dalam ayat itu pula berisi puluhan ayat-ayat lain yang mengarahkan manusia agar menjahui perbuatan zina, sebagaimana firman Allah I: (Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.) (QS. an Nuur: 19)
Dan firmannya: (Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.) (QS. an Nuur: 30, 31)
Demikian pula kejahatan-kejatah lain dan hukumannya yang ditangani oleh islam dengan dorongan dan peringatan.
Kesimpulannya: bahwasanya masyarakat yang menerapkan hukum Allah I merasakan keadilan dalam bentuk yang paling sempurna, keamanan dengan pemahaman yang paling luas, persamaan dalam kondisi yang paling baik, kebebasan dan musyawarah dalam maknanya yang paling jelas, manusia merasa mendapat kehormatan sebagai manusia, mendapat haknya dalam kehidupan yang mulia, semua anggota masyarakat merasa bahwa kekayaan Negara terjaga baik di tangan-tangan yang amanat, dikembalikan untuk tanah air dan rakyat, dikembangkan untuk kepentingan semua, tidak dikuasai oleh seorang penguasa dictator, dan tidak dihabiskan oleh sekelompok orang yang dekat dengan penguasa, dengan demikian masyarakat mendapat kehidupan yang sejahtera ekonomi yang cukup, kesengsaraan dan kemelaratang menghilang dan sirna. Ini semua tidak terjadi kecuali karena masyarakat terlepas dari penghambaan kepada manusia, dan tidak mau kecuali kekuasaan ada di tangan Allah.
Lebih dari itu semua ini merupakan pelaksanaan terhadap perintah Allah dalam menciptakan penghambaan kepada Allah, dan inilah yang dibawa oleh islam sebagaimana ditegaskan oleh rasulullah ﷺ, dan sebagaimana dipahami oleh para sahabat dahulu, bahwasanya melaksanakan syari'at dan hukum Allah adalah ibadah, dimana orang-orang yahudi dan nasrani menjadi musyrik karena mereka melanggar perintah menyembah hanya kepada Allah.
Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Adi bin Hatim t bahwasanya takala dakwah rasulullah ﷺ sampai kepadanya, ia lari ke Syam, pada masa jahiliyah ia telah masuk agama nasrani. Kemudian saudara perempuannya tertawa bersama beberapa orang kaumnya, kemudian rasulullah ﷺ melepaskan saudarinya dan memberinya hadiah, lalu ia kembali kepada saudaranya dan mengajaknya masuk islam, dan pergi menemui rasulullah ﷺ, maka orang-orang berbicara tentang kedatangannya. Ia masuk menemui rasulullah ﷺ sedangkan di lehernya tergantung salib dari perak, rasulullah ﷺ membaca ayat ini: (Mereka menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah), ia berkata: aku berkata: mereka tidak menyembahnya, maka nabi ﷺ bersabda:
اجل ولكن يحلون لهم ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم
«benar, akan tetapi mereka menghalalkan kepada mereka apa yang diharamkan oleh Allah, lalu mereka menghalalkannya, dan mengharamkan kepada mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, lalu mereka mengharamkannya, itulah ibadah mereka»
Penafsiran rasulullah terhadap ayat ini merupakan nash yang jelas bahwa mengikuti dalam syari'at dan hukum selain yang diturunkan oleh Allah merupakan ibadah yang mengeluarkan manusia dari agama, dan bahwasanya itulah yang namanya menjadikan sebagian orang sebagai tuhan atas sebagian yang lain, dan itulah yang dihapuskan oleh agama islam, dan mengumumkan pembebasan manusia di muka bumi dari penghambaan kepada selain Allah, dan membiarkannya bebas dalam memilih akidah yang diinginkan tanpa ada tekanan dan paksaan, karena ( Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)).
Membebaskan manusia di muka bumi dari penghambaan kepada selain Allah merupakan tujuan yang tertanam dalam pikiran sahabat yang berjihad, ini tidak tercapai kecuali dengan menyebarkan kekuasaan Allah di muka bumi dengan melaksanakan syari'atnya, dan mengusir kekuasaan para thaghut yang merampas kekuasaan ini, oleh karena itu apabila mereka ditanya untuk apa berjihad? Mereka tidak mengatakan: kami berjihad untuk membela tanah air kami yang terancam, atau kami berjihad untuk melawan Persia dan romawi yang menyerang kami, atau kami berjihad untuk memperluas kekuasaan dan memperbanyak harta rampasan perang. Akan tetapi mereka berkata seperti yang dikatakan oleh Rib'I bin Amir, Hudzaifah bin Muhshin dan al Mughirah bin Syu'bah kepada Rustum panglima tentara Persia di al Qadisiyah ketika ia bertanya kepada mereka satu persatu selam tiga hari berturut-turut sebelum terjadi peperangan: untuk apa kalian datang? Maka jawab mereka adalah sebagaiana dijelaskan oleh salah seorang dari mereka yaitu Rib'I bin Amir: "Allah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa yang dikehendaki dari hambanya dari penyembahan kepada manusia kepada penyembahan kepada Allah, dan dari sempitnya dunia kepada keluasannya, dan dari kezaliman agama-agama kepada keadilan islam, Allah mengutus kami dengan agamanya kepada makhluknya untuk mengajak mereka kepadanya, siapa yang menerima hal itu dari kami maka kami menerimanya, dan kami akan kembali, dan siapa yang enggan, maka kami akan memeranginya hingga kami sampai kepada janji Allah. Mereka berkata: apa janji Allah? Ia berkata: surga bagi yang meninggal karena memerangi orang yang enggan, dan keberuntungan bagi yang hidup"([15]).
Itulah jihad di jalan Allah, bukan untuk mendapatkan dunia, akan tetapi karena satu motifasi yaitu menegakkan penghambaan kepada Allah dengan menegakkan kekuasaannya, menerapkan syari'atnya di muka bumi, dan menghancurkan kekuasaan thaghut yang memaksa manusia menyembah hamba.
[1] Terjemah judul buku di atas adalah: Karekteristik masyarakat muslim yang kita idamkan. Pen.
([2]) malamih al mujtama' al muslim alladzi nunsyiduhu: 25, 26.
([3]) Jamharat khitaab al arab: 1/180
([4]) Lihat: nidzam al islam oleh: Muhamad al mubarak: 63.
([5]) Lihat buku kepribadian wanita muslimah: 449
([6]) Lihat: al bidayah wa an nihayah: 8/4, 5.
([7]) Lihat buku: an nadzariyaat as siyaasiyah al islamiyah. Oleh Dr. Dhiyauddin arris: 294, cet. Cairo, 1960.
([8]) Jamharat rasaail al arab: 1/223.
([9]) Jamharat khutab al arab: 1/180.
([10]) Jamharah khutab al arab: 1/180.
([11]) Ar Riyadh an Nadhirah fi manaqib al asyrah, oleh Abu Ja'far yang dikenal dengan at Thabari: 2/381.
([12]) Amrika kama raituha, oleh Mukhtar khalil al maslati: 91, 92
([13]) Lihat buku: musthafa as siba'I addaiyah al mujaddid, oleh Dr. Adnan zarzuur hal: 17.
([14]) Muttafaq alaih, dari hadits Ubadah bin Shamit, lengkapnya: «Kami berbai'at kepada rasulullah ﷺ untuk mendengar dan menta'ati (pemimpin)dalam keadaan suka dan duka, susah dan mudah, dan diwaktu kami dikuasai, dan agar tidak merebut kepemimpinan dari orang yang memangkunya" beliau berkata: "kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kalian mempunyai bukti dari Allah» Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali, semuanya menunjukkan bahwa tidak boleh melawan penguasa, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata yang jelas ada dalilnya dari al-Qur'an dan hadits.
([15]) Al bidayah wa an Nihayah, oleh Ibnu Katsir: 7/40.