×
Isi makalah ringkas ini merupakan jawaban pertanyaan tentang kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan kaum muslimin terkait puasa Ramadhan yang perlu diketahui agar dapat dihindari untuk pelaksanaan ibadah yang lebih baik.

    Memperbaiki Kesalahan dalam Bulan Ramadhan

    ﴿ التنبيه على بعض الأخطاء الشائعة في رمضان ﴾

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Penyusun : Admin Darus Salaf

    Terjemah : Tim an-nashihah.com

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2009 - 1430

    ﴿ تصحيح بعض الأخطاء في رمضان ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    تأليف : القسم العلمي بدار السلف

    ترجمة: فريق الترجمة في موقع النصيحة

    مراجعة: إيكو هاريانتو أبو زياد

    2009 – 1430

    Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan


    Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan mendapatkan pahala serta ridho-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut. Sehubungan dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar ibadah pada bulan tersebut (khususnya ibadah puasa) lepas dari kesalahan, maka kami mohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan dilakukan orang di bulan Ramadhan ini.

    Terimakasih.

    Jawab:

    Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

    Maka kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulanRamadhan.
    Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :

    Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab.

    Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

    Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah : 186 :

    فمن شهد منكم الشهر فليصمه


    "Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa".

    Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam:


    إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا


    "Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah".

    Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.

    Berkata Al-Baajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab : "Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka". Lihat Subulus Salam 2/242.

    Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : "Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas". Lihat : Subulus Salam 2/242.

    Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : "Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda

    إناَّ أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ

    "Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)".

    Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga).
    Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :


    لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْه

    "Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa".

    Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : "Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)".

    Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : "…karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...".

    Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) : "Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…".

    Berkata Imam An-Nawawy : "Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah". Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.

    Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.

    Ketiga : Meninggalkan makan sahur.

    Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.

    Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.

    Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

    تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

    "Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”

    Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :

    · Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.

    · Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.

    sebagaimana dalam Shahih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

    فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْر

    "Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur".

    · Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.

    · Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.

    · Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.

    Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.