×
Makalah ini menjelaskan tentang keutamaan saling mencintai dan persaudaraan sesama muslim yang dilandasi kecintaan kepada Allah. Persaudaraan sesama muslim yang dilandasi ibadah kepada Allah swt dapat lebih kuat daripada hubungan persaudaraan kandung.

    PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM

    ﴿المؤاخاة بين المسلمين ﴾

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Penyusun : Mahmud Muhammad al-Khazandar

    Terjemah : Mohammad Iqbal Ghazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2009 - 1430

    ﴿ المؤاخاة بين المسلمين ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    تأليف: محمود محمد الخزندار

    ترجمة: محمد إقبال غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2009 - 1430

    Saling mencintai dan Persaudaraan sesama muslim

    Hubungan di antara cinta dan persaudaraan adalah hubungan yang sangat kuat. Maka setiap orang yang dipertalikan oleh Allah I di antara engkau dan dia dengan hubungan persaudaraan, niscaya ia mendapat hak untuk saling mencintai karena Allah I. Dan setiap orang yang bergaul denganmu dengan kecintaan iman, niscaya ia berhak mendapatkan hak persaudaraan Islam.

    Dalam larangan tentang sebagian gambaran perbuatan jahat terhadap muslim atau perintah sebagian gambaran kehidupan bersama, tolong menolong, dan saling berkasih sayang, Rasulullah ﷺ‬ melengkapi pengarahan beliau dengan sabdanya:

    وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

    "Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah I yang bersaudara."[1]

    Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan pengertian persaudaraan yang dimaksudkan dalam hadits tersebut dengan ucapannya: 'Berusahalah agar kamu menjadi seperti saudara senasab dalam kasih sayang, tolong menolong, saling membantu, dan memberi nasehat.'[2]

    Dan standar pemahaman ukhuwah (persaudaraan) dan yang tidak sempurna iman kecuali dengannya adalah yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ‬ dengan sabdanya:

    وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لاَيُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

    "Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman (yang sempurna) sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia mencintai untuk dirinya sendiri dari kebaikan."[3]

    Al-Karmani memberikan komentar dengan katanya, 'Dan termasuk iman pula, bahwa ia membenci untuk saudaranya keburukan yang dibencinya untuk dirinya, dan beliau tidak menyebutkannya, karena mencintai sesuatu memberikan konsekuensi membenci lawannya, lalu beliau ﷺ‬ tidak menyebutkan hal itu karena sudah cukup.'[4]

    An-Nawawi rahimahullah mendefinisikan mahabbah bahwa ia adalah kecenderungan kepada sesuatu yang sesuai orang yang mencintai.[5] Dan Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan: 'Maksud kecenderungan di sini adalah ikhtiyari (yang diusahakan), bukan alami, dan mahabbah adalah keinginan apa yang diyakininya sebagai kebaikan.'[6] Dan keinginan atas mahabbah dan persaudaraan, mendorong seseorang seperti Abu Hurairah t untuk mendapat doa dari Rasulullah ﷺ‬ untuk dirinya dan ibunya dengan mahabbah yang beredar bersama orang-orang yang beriman, maka Rasulullah ﷺ‬ mendoakan untuknya:

    اَللّهُمَّ حَبِّبْ عُبَيْدَكَ هذَا وَأُمَّهُ إِلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِيْنَ, وَحَبِّبْ إِلَيْهِمْ الْمُؤْمِنِيْنَ...

    "Ya Allah, cintakanlah hamba-Mu ini dan ibunya kepada hamba-hamba-Mu yang beriman, dan cintakanlah kepada mereka orang-orang yang beriman…"[7]

    Dan dasar dalam cinta dan benci bahwa ia adalah untuk sesuatu yang dicintai Allah I atau dibenci-Nya. Allah I mencintai (menyukai) orang-orang yang bertaubat dan bersuci, orang-orang yang berbuat baik dan bertaqwa, orang-orang yang sabar dan bertawakkal, orang-orang yang berbuat adil, dan orang-orang yang berjuang di jalan-Nya secara berbaris … dan tidak menyukai orang-orang zalim, melewati batas, israf (berlebih-lebihan), berbuat kerusakan, berkhianat, dan orang-orang yang sombong…

    Sebagaimana dasar dalam cinta bahwa ia berlaku umum untuk semua orang-orang yang beriman, bervariasi mengikuti keshalihan mereka. Maka kita tidak bisa menegakkan permusuhan bagi orang yang terjatuh dalam perbuatan maksiat yang dia telah bertaubat darinya, atau telah dilaksanakan hukuman had padanya, dan sekalipun ia berbuat maksiat, ia tetap dalam lingkungan Islam. Rasulullah ﷺ‬ melarang mencela sahabat yang dilaksanakan hukuman cambuk beberapa kali karena meminum arak, beliau bersabda:

    لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ, مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ

    "Janganlah kamu mengutuknya, demi Allah, aku tidak mengetahui, sesungguhnya ia mencintai Allah I dan Rasul-Nya."[8]

    Ibnu Hajar rahimahullah mengambil kesimpulan dari hadits tersebut: bahwa tidak ada kontradiksi di antara melakukan yang dilarang dan tetapnya rasa cinta kepada Allah I dan rasul-Nya di dalam hati pelaku… dan sesungguhnya orang yang berulang kali melakukan maksiat, rasa cinta kepada Allah I dan Rasul-Nya tidak dicabut darinya.[9]

    Dalam hadits yang lain, sebagian sahabat berdoa atas orang yang mabok agar Allah I menghinakannya, maka Nabi ﷺ‬ bersabda dengan rasa cinta dan persaudaraan:

    لاَ تَكُوْنُوْا عَوْنَ الشَّيْطَانِ عَلَى أَخِيْكُمْ

    "Janganlah kamu menjadi pembantu syetan atas saudaramu."[10]

    Agar memalingkan pandangan mereka untuk memohonkan ampunan baginya dan memberikan nasehat kepadanya, sebagai pengganti mendoakan celaka atasnya yang membuat syetan menjadi senang dan bertambah kuat.

    Dalam sebuat atsar disebutkan: sesungguhnya Abu ad-Darda` melewati seorang laki-laki yang telah melakukan dosa, maka mereka mencelanya, maka ia berkata, 'Bagaimana pendapatnya jika kamu menemukannya di dalam lobang, apakah kamu mengeluarkannya? Mereka menjawab, 'Tentu.' Ia berkata, 'Maka janganlah kamu mencela saudaramu, dan pujilah Allah I yang telah menyelamatmu (dari perbuatan dosa itu).' Mereka bertanya, 'Apakah engkau tidak membencinya?' Ia menjawab, 'Sesungguhnya aku membenci perbuatannya. Maka apabila ia telah meninggalkannya, maka ia adalah saudaraku."[11]

    Sudah berapa banyak ikat persaudaraan yang terputus. Berapa banyak hati yang ditikam permusuhan dan kebencian karena ijtihad yang salah. Padahal persoalannya luas untuk menjaga kasih sayang dan persaudaraan bersama orang yang terjerumus dalam perbuatan maksiat. Maka bagaimana dengan saudara-saudara yang terpeleset dalam pendapat atau tergelincir dalam ijtihad?... karena sumber persaudaraan dan cinta masih tetap ada, yaitu memuliakan aqidah iman yang dibawanya dan kalimah tauhid yang mengajak kepadanya.

    Sesungguhnya Allah I menjadikan cinta dan benci karena Allah I sebagai ikatan Islam yang paling kuat. Dan dalam satu riwayat:

    أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: اَلْمُوَالاَةُ فِى اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِى اللهِ, وَالْحُبُّ فِى اللهِ وَاْلبُغْضُ فِى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.

    "Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas karena Allah I dan saling memusuhi karena Allah I, cinta karena Allah I dan benci karena Allah I."[12]

    Sesungguhnya iman tidak sempurna kecuali dengan kebenaran perasaan ini dan mengikhlaskan ikatan ini:

    مَنْ أَحَبَّ فِى اللهِ وَأَبْغَضَ فِى اللهِ وَأَعْطَى ِللهِ وَمَنَعَ ِللهِ فَقَدْ اسْتَكْمَلَ اْلإِبْمَانَ

    "Barangsiapa yang mencintai karena Allah I, membenci karena Allah I, memberi karena Allah I, dan tidak memberi karena Allah I, berarti ia telah menyempurnakan iman."[13]

    Dan barangsiapa yang ingin merasakan kenikmatan mujahadah terhadap syetan dan manisnya bersih dari hawa nafsu serta keagungan sikap loyalitas kepada Allah I, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, maka inilah jalannya:

    ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ, وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ –بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ- كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُنْقَذَ فِى النَّارِ

    "Ada tiga perkara, barangsiapa yang ada padanya, niscaya ia mendapatkan manisnya iman: bahwa Allah I dan rasul-Nya lebih dicintai kepadanya dari pada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah I, dan bahwa ia benci kembali dalam kekafiran –setelah Allah I menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci dijermuskan di neraka."[14]

    Dan Rasulullah ﷺ‬ menjadikan kelebihan di antara dua orang yang bersaudara yang saling mencintai, dengan sejauh kecintaan setiap orang dari keduanya terhadap saudaranya:

    مَا تَحَابَّ اثْنَانِ فِى اللهِ تَعَالَى إِلاَّ كَانَ أَفْضَلُهُمَا أَشَدّهُمَا حُبًّا لِصَاحِبِهِ.

    "Tidak saling mencintai di antara dua orang karena Allah I, melainkan yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling mencintai terhadap saudaranya."[15]

    Dan jika pada suatu hari syetan menyusup di antara keduanya, maka hendaklah keduanya melakukan introfeksi terhadap hatinya masing-masing, berdasarkan sabda Nabi ﷺ‬:

    مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فِى اللهِ فَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا إِلاّ بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا

    "Tidaklah dua orang saling mencintai karena Allah I, lalu dipisahkan di antara keduanya, melainkan karena dosa yang dilakukan salah seorang dari keduanya."[16]

    Dan untuk mendorong cinta kepada Allah I, Dia I memberi kabar gembira dengan memuliakan mereka saat huru hara di hari kiamat dan hisab, dengan memberikan naungan kepada mereka di bawah naungan arsy, dan termasuk tujuh golongan yang diberikan keistimewaan dengan keutamaan ini, seperti yang tersebut dalam hadits:

    ... وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللهِ, فَاجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَافْتَرَقَا عَلَيْهِ...

    "… dan dua orang yang saling mencintai karena Allah I, maka keduanya berkumpul atas hal itu dan berpisah karenanya…'[17]

    Dan supaya masyarakat muslim saling tolong menolong di atas kebaikan dan menanam nilai-nilai kebajikan, banyak sekali hadist-hadits yang mendorong agar memberitahukan saudara yang mempunyai kedudukan khusus dalam dirinya, dan cinta yang berbeda di atas persaudaraan secara umum bagi semua orang-orang yang beriman –bahwa engkau mencintainya, di antara hal itu adalah sabda Rasulullah ﷺ‬:

    إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ فَلْيَأْتِهِ فِى مَنْزِلِهِ فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ ِللهِ.

    "Apabila salah seorang darimu mencintai saudaranya, maka hendaklah ia mendatanginya di rumahnya, lalu mengabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya ia mencintainya karena Allah I."[18]

    Dan di antara kebenaran persaudaraan dan murninya rasa cinta, bahwa engkau menghitung seperti perhitungan saudaramu dalam menarik manfaat untuk dirimu atau menolak bahaya darimu. Dan dalam wasiat Rasulullah ﷺ‬ kepada Abu Hurairah t:

    وَأَحِبَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِ بَيْتِكَ وَأَكْرِهْ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِ بَيْتِكَ, تَكُنْ مُؤْمِنًا ...

    "Dan cintailah untuk kaum muslimin dan mukminin apa saja yang engkau cintai untuk dirimu dan keluargamu, dan bencilah untuk mereka apa-apa yang engkau benci untuk dirimu dan keluargamu, niscaya engkau menjadi beriman…"[19]

    Dan di ancara cara mengungkapkan kebenaran rasa persaudaraan dan hakekat kasih sayang, sesuatu yang engkau berikan untuk saudaramu berupa doa-doa yang baik, di tempat ia tidak mendengar dan tidak melihatmu. Di tempat yang tidak ada campuran perasaan riya dan berpura-pura, seperti dalam sabda Nabi ﷺ‬:

    دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ, عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ. كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ قَالَ اْلمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ وَلَكَ مِثْل.

    "Doa seorang muslim untuk saudaranya dari belakang dikabulkan. Di sisi kepalanya ada malaikat yang ditugaskan, setiap kali ia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, malaikat yang ditugaskan dengannya berkata: Amin, dan untukmu semisalnya."[20]

    An-Nawawi rahimahullah berkata: Sebagian salafus shalih, apabila ingin berdoa untuk dirinya, ia berdoa untuk saudaranya yang muslim dengan doa tersebut, karena doa itu dikabulkan dan ia memperoleh hal serupa untuk dirinya sendiri.

    Dan untuk persaudaraan, ada hak-haknya di dunia, berupa mendokan yang bersin (apabila membaca hamdalah), mengunjungi yang sakit, memenuhi undangan, memberikan penghormatan, dan mengiringi jenazah.

    Sebagaimana syari'at mengharamkan saling tidak bertegur sapa lebih dari tiga hari, dan tidak diangkat amal keduanya sampai keduanya berdamai, dan Allah I tidak menjadikan ikatan persaudaraan bagi orang-orang beriman selain persaudaraan Islam. Dan Nabi ﷺ‬ telah memberikan isyarat bahwa jikalau ia menjadikan untuk dirinya seorang kekasih, niscaya ia adalah Abu Bakar t, akan tetapi beliau ﷺ‬ lebih mengutamakan persaudaraan Islam. Maka beliau bersabda:

    وَلكِنْ أُخُوَّةُ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ

    "Akan tetapi persaudaraan Islam lebih utama."[21]

    Apakah kita lebih mengutamakan fanatisme jahiliyah di atas persaudaraan Islam?

    Ikatan persaudaraan ini tetap berlangsung hingga ke negeri akhirat, di mana sebagian penghuni surga tidak melihat saudara mereka yang bersama mereka semasa di dunia. Maka mereka bertanya kepada Rabb I tentang saudara-saudara mereka. Nabi ﷺ‬ menggambarkan keadaan tersebut dengan sabdanya:

    فَمَا مُجَادَلَةُ أَحَدِكُمْ لِصَاحِبِهِ فِى الْحَقِّ يَكُوْنُ لَهُ فِى الدُّنْيَا أَشَدَّ مُجَادَلَةً مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ لِرَبِّهِمْ فِى إِخْوَانِهِمِ الَّذِيْنَ أُدْخِلُوْا النَّارَ. قاَلَ: يَقُوْلُوْنَ: رَبَّنَا! إِخْوَانُنَا كَانُوا يُصَلُّوْنَ مَعَنَا وَيَصُوْمُوْنَ مَعَنَا وَيَحُجُّوْنَ مَعَنَا فَأَدْخَلْتَهُمُ النَّارَ. فَقَالَ: اذْهَبُوْا فَأَخْرِجُوْا مَنْ عَرَفْتَهُمْ مِنْهُمْ...

    "Tidak ada perdebatan seseorang kamu bagi sahabatnya dalam kebenaran yang ada di dunia yang lebih kuat dari pada perdebatan orang-orang beriman kepada Rabb mereka tentang saudara-saudara mereka yang dimasukkan ke dalam neraka. Dia I bersabda, 'Mereka berkata, 'Rabb kami, saudara-saudara mereka shalat bersama kami, puasa bersama kami, berhaji bersama kami, lalu Engkau masukkan mereka ke dalam neraka.' Maka Dia I berfirman, 'Pergilah, lalu keluarkanlah orang yang kamu kenal dari mereka…"[22]

    Lalu mereka mengeluarkan mereka (orang beriman yang berada di dalam neraka). Kemudian Dia I memberi ijin bagi mereka, maka mereka mengeluarkan orang yang di hatinya ada iman seberat biji sawi. Sesungguhnya persaudaraan yang memiliki kedudukan seperti ini di sisi Allah I, dan sesungguhnya kecintaan yang mempunyai keutamaan seperti itu di dunia dan akhirat sudah seharusnya ditekuni, disempurnakan hak-haknya, dan meminta tambahan darinya:

    يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

    :"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang". (QS. Al-Hasyr:10)

    Kesimpulan:

    - Ikatan persaudaraan harus berdasarkan iman dan mengharuskan hak-hak bagi seorang muslim.

    - Persaudaraan iman sudah seharusnya berada di atas persaudaraan nasab.

    - Kriteria (standar) persaudaraan adalah bahwa engkau menyukai kebaikan untuk saudaramu, sebagaimana engkau menyukai untuk dirimu sendiri.

    - Dasar dalam cinta adalah:

    1. Memandang pada sesuatu yang dicintai Allah I.

    2. Berlaku umum bagi semua orang-orang beriman.

    3. Mencintai orang yang beriman dan membenci maksiatnya.

    - Cinta karena Allah I adalah ikatan iman paling kuat.

    - Orang yang paling utama di antara dua orang yang saling mengasihi adalah yang paling cinta di antara keduanya.

    - Di antara lorong-lorong syetan untuk memisahkan di antara dua orang yang saling mengasihi:

    1. Dosa yang dilakukan oleh salah seorang dari keduanya.

    2. masuknya perasaan cemburu.

    - Di antara keutamaan cinta karena Allah I: berhak mendapat cinta-Nya dan aman di bawah naungan arsy-Nya I.

    Wallahu A'lam.

    [1] HR. al-Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, Malik.

    [2] Dikutip dari hasyiyah al-Muwaththa`, ta'liq Muhammad Fu`ad Abdul Baqi hal. 908, kitab Husnul Khuluq no. 15.

    [3] Shahih al-Jami' no.7085 (Shahih).

    [4] Fath al-Bari 1/58. saat mensyarahkan hadits ke 13 dari kitab al-Iman bab ke-tujuh.

    [5] Fath al-Bari 1/58.

    [6] Fath al-Bari 1/58

    [7] Shahih Muslim, kitab keutamaan para sahabat, bab 35, hadits no. 158.

    [8] Shahih al-Bukhari, kitab al-Hudud, bab ke-lima, hadits no. 6780.

    [9] Fath al-Bari 12/78, Syarh hadits 6780

    [10] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Hudud, bab ke-Lima, no. 6781

    [11] Tetang kehidupan sahabat 3/413

    [12] Shahih al-Jami' 2539 (Shahih).

    [13] Shahih al-Jami' no 5965.

    [14] HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa`I (Jami' al-Ushul 1/237 no.20.)

    [15] Shahih al-Jami' no. 5594 (Shahih).

    [16] Shahih al-Jami' no. 5603 (Shahih).

    [17] HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan Malik (Jami' al-Ushul 9/564. no. 7317.

    [18] Shahih al-Jami' no. 281 (Shahih).

    [19] Shahih al-Jami' no. 7833 (Hasan)

    [20] Shahih Muslim, kitab Zikr, bab 23, hadits no. 88.

    [21] Dari beberapa riwayat al-Bukhari (Jami' al-Ushul 8/589 no. 6408)

    [22] Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh al-Albani, al-Muqaddimah, bab ke-9, hadits no. 51 (Shahih).