Fatwa-fatwa Penting Seputar Agama
Klasifikasi
Full Description
FATWA-FATWA PENTING SEPUTAR AGAMA
﴿ فتاوى مهمة في الأحكام الشرعية ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Penyusun : Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Terjemah : Mohammad Khairuddin
Editor : Eko Abu Ziyad
2009 - 1430
﴿ فتاوى مهمة في الأحكام الشرعية ﴾
« باللغة الإندونيسية »
تأليف: الشيخ محمد بن صالح العثيمين
ترجمة: محمد خير الدين
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2009 – 1430
بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA-FATWA PENTING SEPUTAR AGAMA
Seseorang bertanya tentang zakat perusahaan:
Saya adalah pemilik suatu perusahaan pribadi yang bergerak di bidang desain dan pembuatan kaca hias, pertanyaan saya tentang bagaimana cara mengeluarkan zakat, di mana saya mengeluarkannya dari keuntungan bersih setelah dipotong pajak yang jumlahnya mencapai 30 %, apakah saya mengeluarkan zakat dengan cara seperti ini sudah tepat?
Saya merasa bingung dalam masalah ini terutama setelah sebagian saudara menyampaikan kepadaku bahwa cara ini tidak sah. Perlu diketahui bahwa bentuk kerja di perusahaan adalah kontrak bersama konsumen (agen, klien, dealer) untuk mendesain dan membuat sebagian kubah dan jendela hias dengan kaca berwarna. Kami mengimpor bahan baku kaca, timah, las, (pateri, solder, ing) dan yang lainnya dari luar negeri dan menyimpannya di gudang kami, sisa pemakain, dan sebagian masih tersimpan di gudang hingga akhir tahun anggaran, di mana setelah di inventarisir dan membuat neraca keuangan perusahaan yang menjelaskan keuntungan tahun itu, setelah itu saya pengeluaran zakatnya berdasarkan daftar neraca keuntungan tersebut.
Pertanyaan saya:
Apakah zakat dikeluarkan dari keuntungan bersih? atau dari modal usaha? Atau dari hak pemilik yang menjelaskan daftar semua keuangan perusahaan? Apakah pajak yang diambil dari keuntungan dan diserahkan untuk kepentingan zakat dan pemasukan dipandang sebagai salah satu jenis zakat?
Saya berharap antum tidak keberatan menjelaskan kepadaku kepada jalan yang benar untuk mengeluarkan zakat. Maka saya berada dalam kebingungan dalam perkara saya. Dan aku berdoa kepada Allah I agar memberi petunjuk kepadaku menuju jalan yang benar untuk meluruskan kesalahan yang mungkin terjadi dariku di tahun-tahun yang lalu, atau untuk menenangkan hatiku jika yang kulakukan sudah benar.
Jawaban:
Segala puji bagi Allah I.
Kami memohon kepada Allah I agar membalas kebaikan kepadamu atas semangatmu untuk bertanya tentang hukum-hukum agamamu, dan yang wajib kepada setiap muslim untuk bertanya tentang agamanya, tanpa menunda atau ragu-ragu.
Pertama:
Perusahaanmu ini adalah perusahaan industri perdagangan, dan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang industri perdagangan, wajib padanya zakat perdagangan. Dan tidak wajib pada alat-alat, perangkat keras, mobil, bangunan, peralatan yang ingin digunakan dan tidak ingin dijual untuk mengambil keuntungan.
Atas dasar ini, maka cara menghitung zakat di akhir tahun adalah bahwa dihitung apa yang ada dalam simpangan perusahaan yang telah dibeli dan bertujuan untuk dijual, hal itu meliputi: kaca, timah, las (solder, Ing) …dst, dan dihitung nilainya di akhir tahun, tanpa memandang harga belinya.
Semua itu ditambah uang tunai yang ada di perusahaan atau yang engkau simpan di bank.
Ditambah lagi piutang yang ada di tangan manusia yang engkau harapkan bisa ditagih. Kemudian engkau keluarkan zakatnya sebanyak 2,5 %.
Kedua:
Adapun keuntungan perusahaan selama satu tahun, maka keuntungan ini bisa dibagi dua:
Pertama: keuntungan dari hasil penjualan kaca kepada para pelanggan. Keuntungan ini wajib dikeluarkan zakatnya, dan tidak dihitung baginya tahun yang baru, bahkan haulnya adalah haul modal harta yang engkau membeli dengannya, jika sudah mencapai nisab.
Al-Mughni: 4/75.
Kedua: keuntungan dari hasil merakit (bisa dikatakan: merakit dan membuat). Keuntungan ini wajib di keluarkan zakatnya, bila sudah mencapai nisab dan sudah berlalu satu tahun dari saat menerimanya.
Dalam praktiknya, mungkin susah membedakan di antara dua keuntungan ini, maka yang lebih utama adalah engkau mengeluarkan zakat dari semua keuntungan di akhir tahun anggaran. Maka apapun dari keuntungan perdagangan, maka engkau telah mengeluarkan zakatnya pada waktunya di akhir tahun. Dan yang berasal dari upah kerja, maka engkau telah mengeluarkan zakatnya lebih dahulu, dan mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum waktunya hukum boleh.
Ketiga:
Keuntungan yang telah dikeluarkan sepanjang tahun, dan tidak tersisa hingga akhir tahun, tidak ada kewajiban zakat padanya.
Keempat:
Haul (satu tahun) barang perdagangan bagi perusahaan bukan dihitung dari awal pendirian perusahaan atau dari membeli bahan baku, tetapi menyempurnakan (melengkapi) haul uang yang engkau membeli bahan baku dengannya.
Contohnya: jika permulaan engkau memiliki nisab di bulan Muharram dan pendirian perusahaan dimulai pada bulan Rajab, dan engkau membeli bahan baku dan memulai kegiatan kerja di perusahaan pada bulan Ramadhan, maka haul barang perdagangan bagi perusahaan adalah di bulan Muharram, bukan pada bulan Muharram.
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah berkata: 'Dan ketahuilah, sesungguhnya barang perdagangan, haulnya bukanlah setelah satu tahun dari saat membelinya. Tetapi, haulnya adalah haul harta asalnya. Karena ia hanyalah uang dari modalmu yang engkau pindah kepada barang perniagaan. Maka haulnya adalah haul hartamu yang pertama.'
Majmu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin (18/234).
Kelima:
Adapun perhitungan zakat setelah dipotong pajak, maka jika mengeluarkan pajak dan menyerahkannya selesai sebelum berakhir satu haul, maka tindakanmu benar. Karena harta yang diserahkan ini belum melewati satu tahun.
Adapun jika menyerahkannya setelah sempurna satu haul (tahun), maka yang lebih hati-hati dan lebih selamat adalah mengeluarkan zakatnya, dan mengambil harta ini darimu adalah secara zalim, tidak menggugurkan kewajiban darinya.
Keenam:
Adapun menghitung pajak termasuk dari zakat, maka hukumnya tidak boleh, karena zakat harus dikeluarkan di tempat tertentu yang telah ditentukan oleh Allah I dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {60}'
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. at-Taubah: 60)
Pajak tidak diperuntukkan untuk semua ini, karena pemerintah tidak mengambil pajak atas nama zakat.
Para ulama lajnah daimah berkata:
Tidak cukup mengambil pajak terhadap bangungan sebagai pengganti mengeluarkan zakat, dan hal itu tidak menggugurkan kewajibannya di dalamnya, apabila sudah mencapai nisab dan genap satu tahun.
Fatawa Lajnah Daimah (9/339).
Lajnah Daimah juga pernah ditanya:
Apa pendapat antum dalam tata cara mengeluarkan zakat, di mana saya memiliki tempat perdagangan untuk menjual kayu, dan sudah genap satu tahun atas barang-barang yang di toko itu. Ada hutang yang bergantung dengan barang yang ada dan yang dibeli secara bertempo, dengan cara dibayar sebagian harganya dan sisanya dibayar bertempo. Sebagaimana juga ada pengeluaran tahunan seperti menyewa tempat, pembayaran ijin tahunan, pajak, asuransi. Demikian pula gaji para karyawan.
Maka mereka memberikan jawaban:
Wajib mengeluarkan zakat pada barang dagangan yang dipajang untuk dijual, seperti kayu dan semisalnya, apabila sudah mencapai nisab dengan sendirinya, atau dengan uang yang ada padamu, atau barang perdagangan, dan genap satu tahun. Adapun hutang, biaya sewa, dan pembayaran, maka tidak menghalangi kewajiban mengeluarkan zakat .
Fatawa Lajnah Daimah (9/348)
Adapun yang berhubungan dengan zakat di tahun-tahun yang lalu, maka engkau harus memperkirakan zakat setiap tahun, dan mengeluarkan kewajiban yang masih tersisa darinya, karena jahil dalam tata cara pengeluaran zakat tidak menggugurkan kewajiban zakat tersebut. Ia merupakan hutang atasmu yang harus engkau keluarkan. Wallahu A'lam.
Perumahan untuk disewakan, apakah terkena kewajiban zakat?
Pertanyaan:
Apabila seseorang mempunyai perumahan yang diperuntukkan untuk disewakan, apakah terkena kewajiban zakat?
Jawaban:
Segala puji bagi Allah I.
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah berkata:
"Tidak ada kewajiban zakat terhadapnya atas perumahan ini, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
ليس على المسلم في عبده ولا فرسه صدقة
"Tidak ada kewajiban zakat terhadap seorang muslim pada hamba dan kudanya."
Dan zakat hanya diwajibkan pada sewaannya, apabila sudah genap satu tahun dari sejak kontrak sewa menyewa. Contohnya: seseorang menyewakan rumah ini seharga sepuluh ribu, dan ia menerima sepuluh ribu setelah genap satu tahun. Maka wajib zakat terhadapnya pada sepuluh ribu (10.000), karena sudah sempurna satu tahun sejak awal aqad sewa menyewa. Dan contoh yang lain: seorang laki-laki menyewakan rumahnya seharga sepuluh ribu (10.000). lima ribu diterimanya saat tanda tangan aqad dan dibelanjakan dalam waktu dua bulan, dan lima ribu sisanya diterima setelah enam bulan, maka ia mengambilnya dan membelanjakannya dalam waktu dua bulan, dan setelah genap satu tahun, tidak ada lagi sisa uang sewaan di tangannya, maka tidak wajib zakat atasnya, karena tidak sempurna satu tahun atasnya, dan syarat wajib zakat adalah genap satu tahun.
Majmu' Fatawa Ibn 'Utsaimin 20/18.
Saya menanam saham pada tanah, bagaimana caranya mengeluarkan zakat saham?
Pertanyaan:
Seseorang menanam saham pada tanah milik perusahaan real estate, dengan poin-poin dan nilainya, dan telah berlalu beberapa tahun. Maka, bagaimana berlaku zakatnya? Perlu diketahui bahwa kadar sahamnya senilai tiga puluh ribu real (SR. 30.000)?
Syaikh Muhammad bin 'Utsaimin rahimahullah berkata: Penanaman saham ini adalah barang dagangan, karena yang menanam saham di pertanahan ingin berdagang dan berusaha. Dan karena alasan ini, kepada mereka diwajibkan mengeluarkan zakatnya setiap tahun, di mana mereka menilainya dengan sesuatu yang sama, kemudian mengeluarkan zakat. Apabila ia menanam saham sebanyak tiga puluh ribu, dan saat sempurna satu tahun, saham ini sama dengan enam puluh ribu (60.000). Ia wajib mengeluarkan zakat enam puluh ribu. Dan apabila saat genap setahun (haul) saham sebanyak tiga puluh ribu tinggal hanya senilai sepuluh ribu, ia hanya terkena kewajiban zakat dari nilai sepuluh ribu.
Dan atas dasar inilah dianalogikan semua tahun yang disebutkan oleh penanya bahwa ia telah menetap. Maka ia mengeluarkan setiap tahun sekadar zakatnya. Akan tetapi apabila saham-saham belum terjual hingga sekarang, maka sesungguhnya apabila ia dijual dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi tidak semestinya manusia meremehkannya, tetapi ia menjualnya dengan nilai yang telah ditaqdirkan oleh Allah I, kemudian ia mengeluarkan zakatnya.
Majmu' al-Fatawa 18/226,
Pertanyaan:
Bagaimana tatacara mengerjakan shalat witir yang paling utama?
Jawaban:
Segala puji bagi Allah I.
Shalat witir merupakan ibadah yang paling agung di sisi Allah I. Sehingga sebagian ulama berpendapat –yaitu mazhab Hanafi-, bahwa shalat witir hukumnya wajib. Akan tetapi pendapat yang benar bahwa ia termasuk sunnat muakkad yang setiap muslim harus menjaganya dan tidak meninggalkannya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata; barangsiapa yang meninggalkan shalat witir, maka ia adalah seorang laki-laki yang buruk, tidak semestinya persaksiannya diterima.' Ini menunjukkan pentingnya shalat witir.
Dan kita bisa menyimpulkan bahasan tentang tatacara shalat witir pada poin-poin berikut ini:
Waktunya:
Mulai dari sejak manusia shalat isya, sekalipun shalat isya itu dijama' (digabungkan) dengan shalat magrib jama' taqdim, hingga terbit fajar. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
( إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلاةٍ وهي الْوِتْرُ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ
"Sesungguhnya Allah I mengulurkan kepadamu dengan shalat, yaitu shalat witir, Allah I menjadikannya untuknya di saat setelah shalat isya hingga terbit fajar. (HR. at-Tirmidzi no. 425 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi.
Apakah yang utama mengerjakannya di awal waktu atau menta`khirkannya?
Sunnah menunjukkan bahwa barangsiapa yang ingin bangun di akhir malam, maka yang utama adalah menundanya hingga akhir waktu, karena shalat di akhir malam lebih utama, ia disaksikan. Dan barangsiapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia shalat witir setelah tidur, berdasarkan hadits Jabir t, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ bersabda:
( مَنْ خَافَ أَنْ لا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
"Barangsiapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah ia shalat witir di awalnya, dan barangsiapa yang ingin bangun di akhir malam, maka hendaklah ia shalat witir di akhir malam. maka sesungguhnya shalat di akhir malam di saksikan, dan itu lebih utama." (HR. Muslim no. 755).
An-Nawawi rahimahullah berkata: ini pendapat yang benar, hadits lainnya yang muthlaq dibawakan kepada hadits shahih lagi jelas ini. di antaranya adalah hadits:
( أوصاني خليلي أن لا أنام إلا على وتر
'Dan kekasihku berpesan kepadaku agar aku tidak tidur kecuali setelah shalat witir.'
Yaitu dibawakan kepada orang yang tidak bisa bangun (di akhir malam) (Syarh Muslim: 3/277).
Jumlah rekaatnya:.
Sekurang-kurang witir adalah satu rekaat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ
"Witir adalah satu rekaat di akhir malam." HR. Muslim no. 752.
Dan sabda Nabi ﷺ:
صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
"Shalat malam itu (jumlah rekaatnya) dua rekaat-dua rekaat, maka apabila salah seorang darimu khawatir (sudah tiba waktu) shalat subuh, ia shalat satu rekaat mengganjilkan baginya shalatnya. HR. al-Bukhari no. 911 dan Muslim no. 749.
Apabila seorang manusia hanya mencukupkan atasnya (hanya satu rekaat), berarti ia telah melaksanakan sunnah. Shalat boleh dilaksanakan tiga rekaat, lima rekaat, tujuh rekaat, dan sembilan rekaat.
Apabila ia melaksanakan shalat witir tiga, ada dua cara dan keduanya disyari'atkan:
Pertama: melaksanakan langsung tiga rekaat dengan satu kali tasyahhud, berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, 'Nabi ﷺ tidak salam dalam dua rekaat witir.' Dan dalam satu lafazh: Beliau ﷺ shalat witir tiga rekaat, tidak duduk kecuali di akhirnya.HR. an-Nasa`i 3/234 dan al-Baihaqi 3/31. an-Nawawi berkata dalam al-Majmu' (4/7): diriwayatkan oleh an-Nasa`i dengan isnad yang hasan dan al-Baihaqi dengan isnad yang shahih.
Kedua: salam setelah dua rekaat, kemudian witir dengan satu rekaat. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar t: sesungguhnya ia memisahkan di antara shalat genapnya dan witirnya dengan satu kali salam. Dan ia mengabarkan bahwa Nabi ﷺ melakukan hal itu. HR. Ibnu Hibban (2435). Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fath (2/482): Isnadnya kuat.
Adapun apabila ia shalat witir dengan lima atau tujuh rekaat, sesungguhnya ia dilaksanakan bersambung, dan tidak tasyahhud kecuali satu kali tasyahhud di akhirnya dan salam. Berdasarkan riwayat 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ shalat malam tiga belas rekaat, melaksanakan witir dari hal itu dengan lima rekaat, tidak duduk kecuali di akhirnya.' HR. Muslim no. 737.
Dan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata, 'Nabi ﷺ shalat witir lima dan tujuh rekaat, dan beliau ﷺ tidak memisah di antaranya dengan salam dan tidak pula dengan ucapan.' HR. Ahmad 6/290, an-Nasa`i 1714. an-Nawawi berkata: sanadnya jayyid. Al-Fath ar-Rabbani (2/297, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i.
Dan apabila ia shalat witir sembilan rekaat, maka sesungguhnya ia dilaksanakan bersambung dan duduk untuk tasyahhud pada rekaat kedelapan, kemudian ia bangkit dan tidak salam, lalu tasyahhud di rekaat ke sembilan dan salam. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan 'Aisyah radhiyallahu 'anha, sebagaimana dalam Shahih Muslim (746), sesungguhnya Nabi ﷺ shalat sembilan rekaat, tidak duduk padanya kecuali pada rekaat ke delapan. Maka beliau ﷺ berzikir dan memuji Allah I, serta berdoa kepada-Nya. kemudian bangkit dan tidak salam. Kemudian beliau berdiri dan tidak salam. Kemudian beliau berdiri, lalu shalat rekaat ke sembilan. Kemudian duduk, berzikir kepada Allah I, memuji dan berdoa kepada-Nya. kemudian beliau salam yang kami mendengarnya.
Dan apabila dia shalat witir sebelas rekaat, maka sesungguhnya ia salam setiap dua rekaat dan witir dengan satu rekaat darinya.
Sekurang-kurang sempurna:
Sekurang-kurang sempurna dalam shalat witir bahwa ia shalat dua rekaat kemudian salam, kemudian shalat satu rekaat dan salam. Dan ia boleh menjadikannya dengan satu kali salam, akan tetapi hanya dengan satu kali tasyahhud, bukan dua kali tasyahhud, seperti yang sudah dijelaskan.
Dia membaca di rekaat pertama dari tiga rekaat surah al-A'la sampai selesai. Dan pada rekaat kedua surah al-Kafirun, dan pada rekaat ketiga surah al-Ikhlas.
An-Nasa`i meriwayatkan dari Ubai dan Ka'ab t, ia berkata: Rasulullah ﷺ membaca dalam shalat witir dengan surah al-A'la, al-Kafirun, dan al-Ikhlas.' Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa`i.
Semua sifat ini di dalam shalat witir disebutkan dalam Sunnah nabawiyah. Dan yang paling sempurna bahwa seorang muslim tidak menekuni hanya satu sifat/cara, tetapi ia melaksanakan cara ini pada satu saat dan cara yang itu di saat yang lain… dan seperti inilah, sehingga ia melaksanakan semua sunnah. Wallahu ta'ala a'lam.
Boleh mengeluarkan zakat harta perdagangan dari barang:
Pertanyaan no. 22449
Pertanyaan:
Saya mempunyai toko bahan makanan, di dalamnya adalah barang yang nilainya sekitar lima puluh ribu dinar. Saya mempunyai tanggungan hutang sebanyak dua puluh ribu dinar. Zakat toko wajib pada saat ini. bagaimana aku mengeluarkannya dan aku tidak mempunyai harta dalam simpanan toko kecuali sedikit sekali.
Jawaban:
Segala puji bagi Allah I.
Pertama:
Para ulama berbeda pendapat pada orang yang mempunyai nisab harta yang wajib zakat padanya, sedangkan ia mempunyai tanggungan hutang. Apakah zakat wajib pada kadar hutang dari harta atau tidak?
Yang rajih, sesungguhnya hutang tidak menghalangi kewajiban zakat. Dan atas dasar ini, sesungguhnya menilai barang yang ada di toko di akhir tahun. Kemudian engkau mengeluarkan zakat semua harta, dan tidak dikurang darinya kadar hutang yang wajib atasnya. (rujuk pertanyaan no. 22426.
Kedua:
Adapun mengeluarkan zakat, sedangkan engkau tidak mempunyai uang. Maka pendapat yang rajih (kuat) pada zakat barang dagangan bahwa mengeluarkannya dalam bentuk barang.
Dan atas dasar ini, maka jika engkau tidak mempunyai uang, maka engkau mengeluarkan zakat dari barang yang ada padanya di dalam toko. Dan hal itu sudah cukup bagimu insya Allah I. Dan engkau tidak boleh menunda zakat dari waktu wajibnya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: boleh mengeluarkan zakat barang dagangan dalam bentuk barang. (ikhtiyaraah hal. 101.
Syaikh bin Baz rahimahullah ditanya: Bolehkan mengeluarkan zakat dari kain?
Maka beliau menjawab:
'Hal itu boleh menurut pendapat paling kuat dari dua pendapat ulama. Yang baik dari yang lain, dan yang buruk dari semisalnya menurut nilai. Serta diusahakan atas sesuatu yang melepaskan tanggung jawab, karena zakat adalah tolong menolong dari orang kaya kepada fakir miskin, maka boleh baginya menolong mereka dari zakat kain dengan kain, sebagaimana menolong mereka dari biji-bijian, korma, dan binatang ternak dan bentuknya.' Fatawa Syaikh bin Baz (14/253).