×
Menjelaskan tentang hukum orang yang berelbih-lebihan terhadap orang shalih seperti meyakini bahwa Rasulullah ( Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ) bukan manusia dan sesungguhnya dia ( Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ) mengetahui yang gaib.

    الفتاوى الشرعية من

    فتاوى علماء البلد الحرام

    (ص: 82-88)

    FATWA-FATWA PILIHAN

    Hukum Ghuluw Terhadap Orang Shalih

    فتاوى حكم الغلو في الصالحين

    (21) Hukum orang yang meyakini bahwa Rasulullah ﷺ‬ bukan manusia dan sesungguhnya dia ﷺ‬ mengetahui yang gaib.

    Pertanyaan: Apabila seseorang wafat, sedangkan dia meyakini bahwa Rasulullah ﷺ‬ bukanlah manusia, sesungguhnya dia ﷺ‬ mengetahui yang gaib, dan sesungguhnya tawassul dengan para wali, orang yang sudah meninggal dunia dan yang masih hidup adalah ibadah kepada Allah I. Apakah dia masuk neraka dan termasuk orang musyrik? Perlu diketahui bahwa dia tidak mengetahui selain keyakinan ini, dan sesungguhnya dia tinggal di satu wilayah yang para ulama dan semua penduduknya menetapkan hal itu, apakah hukumnya? Dan apakah hukum bersedekah darinya dan berbuat baik kepadanya setelah matinya?

    Jawaban: Barangsiapa yang wafat di atas keyakinan ini, bahwa sesungguhnya Muhammad ﷺ‬ bukan manusia, maksudnya bukan termasuk keturunan nabi Adam u, atau meyakini bahwa dia mengetahui yang gaib, maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya adalah orang kafir kufur akbar. Dan seperti inilah apabila ia berdoa dan istighatsah kepadanya ﷺ‬, atau bernazar untuknya, atau kepada selainnya dari para nabi, atau orang-orang shalih, atau jin, atau malaikat, atau berhala. Karena ini termasuk jenis perbuatan orang-orang musyrik generasi pertama seperti Abu Jahal dan semisalnya. Ia adalah syirik besar, dan sebagian orang menamakan jenis syirik ini sebagai tawasul, dan sebenarnya ia adalah jenis syirik akbar. Ada jenis tawasul kedua yang bukan termasuk syirik, tetapi termasuk jenis bid'ah dan sarana menuju syirik, yaitu bertawasul dengan jaah (pangkat, kedudukan) para nabi dan orang-orang shalih, atau dengan haqq para nabi dan orang-orang shalih, atau dengan zat mereka. Maka yang wajib adalah berhati-hati dari keduanya. Barangsiapa yang wafat di atas jenis tawasul pertama (yang termasuk syirik akbar), ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin, tidak didoakan untuknya, dan tidak bersedekah untuknya, berdasarkan firman Allah I:

    مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُوْلِى قُرْبَى مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

    Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. at-Taubah:113)

    Adapun tawasul dengan asma (nama-nama) dan sifat Allah I, tauhid dan iman dengan-Nya, maka ia adalah tawasul yang masyru' (disyari'atkan) dan termasuk di antara sebab-sebab dikabulkan, berdasarkan firman Allah I:

    وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

    Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu (QS. al-A'raaf:180)

    Dan berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ‬ bahwa beliau mendengar orang yang berdoa dan berkata:

    اللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ, الفَرْدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًّا أَحَدٌ) فَقَالَ: لَقَدْ سَأَلَ اللهَ باِسْمِهِ اْلأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ

    "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa Engkau adalah Allah I, tidak Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau, Yang Maha Esa, Yang Maha Sempurna (bergantung kepada-Nya segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang setara dengan-Nya"). Maka dia ﷺ‬ bersabda: 'Sungguh ia telah memohon kepada Allah I dengan nama-Nya Yang Agung (ismul a'dzham) yang apabila diminta Dia I memberi dan apabila didoakan dengannya Dia I mengambulkan."[1]

    Dan seperti ini pula tawasul dengan amal shalih berupa berbakti kepada kedua orang tua, menunaikan amanah, menahan diri dari yang diharamkan oleh Allah I dan semisal yang demikian itu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits penghuni goa yang diriwayatkan dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim):

    Mereka ada tiga orang, kemalaman dan hujan membuat mereka bermalam di dalam goa. Maka tatkala mereka telah masuk ke dalamnya, batu besar jatuh dari atas gunung, lalu menutupi pintu goa. Maka mereka tidak bisa keluar, lalu mereka saling berkata: 'Sesungguhnya tidak ada yang bisa menyelamatkan kamu dari batu besar ini kecuali kamu memohon kepada Allah I dengan amal-amal shalihmu. Maka mereka bertawajjuh (menghadap) kepada Allah I dan memohon kepada-Nya dengan sebagian amal mereka yang baik. Salah seorang dari mereka berkata: 'Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai ayah ibu yang sudah tua dan aku tidak memberi minuman sebelum keduanya kepada keluarga (anak istri) dan harta (budak). Dan pada suatu hari aku terlalu jauh mencari pohon, maka tatkala aku pergi kepada keduanya dengan minuman keduanya, ternyata kedua sudah tidur. Maka aku tidak membangunkan keduanya dan aku tidak suka memberi minuman kepada keluarga dan harta sebelum keduanya. Maka aku terus seperti itu hingga terbit fajar, lalu keduanya terbangun dan meminum susu mereka. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu maka lapangkanlah dari kami apa yang ada pada kami. maka batu besar itu bergeser sedikit yang mereka tidak bisa keluar darinya.

    Adapun yang kedua, maka ia bertawasul dari sifat iffah (menahan diri) nya dari perbuatan zina, di mana dia mempunyai sepupu perempuan yang dia sangat mencintainya. Lalu ia (sepupunya) datang kepadanya meminta bantuan maka ia enggan kecuali ia menyerahkan dirinya (untuk berbuat zinah), lalu ia setuju karena kebutuhannya. Maka ia memberinya seratus dua puluh (120) dinar. Tatkala dia sudah duduk di antara dua kakinya, dia (sepupunya) berkata: 'Wahai Abdullah, takutlah kepada Allah I dan janganlah engkau memecahkan cincin kecuali dengan sebenarnya." Ia pun merasa takut kepada Allah I saat itu, berdiri darinya dan membiarkan emas (dinar) karena takut dari siksa Allah I. Ia berkata: 'Ya Allah, jika ia mengetahui bahwa aku melakukan hal ini karena mengharap ridha-Mu maka lapangkanlah dari kami apa yang ada pada kami.' Maka batu itu bergeser sedikit yang mereka tidak bisa keluar darinya. Kemudian yang ketiga berkata: 'Ya Allah, sesungguhnya aku mempunya beberapa karyawan, aku memberikan kepada setiap orang upahnya kecuali satu orang yang dia meninggalkan upahnya. Lalu aku mengembangkannya untuknya sehingga menjadi unta, sapi, kambing dan budak. Lalu ia datang meminta upahnya, maka aku berkata kepadanya: 'Semua ini adalah upahmu,' maksudnya unta, sapi, kambing, dan budak.' Ia berkata: Wahai hamba Allah, bertaqwalah kepada Allah I dan janganlah engkau mengolok olok aku.' Lalu kukatakan kepadanya: 'Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, sesungguhnya semuanya adalah hartamu.' Maka ia membawa semuanya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu karena mengharapkan ridha-Mu maka lapangkanlah dari kami apa yang kami alami.' Maka batu itu bergeser, lalu mereka semua keluar sambil berjalan."[2]

    Ini menunjukkan bahwa tawasul dengan amal shalih adalah perkara yang disyari'atkan dan sesungguhnya Allah I melapangkan kesusahan dengannya, seperti yang dialami tiga orang tersebut. Adapun tawasul dengan jaah fulan dan haqq fulan atau zat fulan, maka ini tidak disyari'atkan, bahwa termasuk bid'ah seperti yang sudah dijelaskan. Wallahu waliyut taufiq.

    Syaikh Bin Baaz –Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah (5/319).

    (22) Di antara gambaran ghuluw pada Nabi ﷺ‬

    Pertanyaan: Saya pernah membaca satu hadits, sejauh mana kebenarannya? Yaitu: Barangsiapa yang bernama muhammad maka janganlah engkau memukulnya dan jangan pula mencelanya.

    Jawaban: Hadits ini adalah palsu dan didustakan kepada Rasulullah ﷺ‬ dan tidak ada dasarnya dalam sunnah yang suci. Seperti ini pula ucapan orang yang berkata: Barangsiapa yang diberi nama muhammad maka baginya jaminan dari Muhammad dan hampir-hampir ia memasukkannya ke dalam surga dengan hal itu. Dan seperti inilah orang yang berkata: Barangsiapa yang namanya muhammad maka sesungguhnya rumahnya adalah baginya seperti ini dan seperti ini. Maka semua berita ini tidak ada dasarnya. Maka yang dipandang adalah mengikuti Muhammad ﷺ‬ dan bukan dengan namanya ﷺ‬. Berapa banyak orang yang bernama Muhammad sedangkan dia seorang yang jahat, karena dia tidak mengikuti Muhammad dan tidak tunduk kepada syari'atnya. Nama tidak bisa membersihkan manusia dan yang membersihkan mereka adalah amal shahih dan ketaqwaan mereka kepada Allah I. Maka barangsiapa yang bernama Muhammad, atau Ahmad, atau Abul Qasim, sedangkan dia seorang yang kafir atau fasik niscaya hal itu tidak berguna baginya. Tetapi yang wajib atas hamba adalah bertaqwa kepada Allah I, beramal dengan taat kepada Allah I, dan memelihara syari'at Allah I yang Dia I mengutus nabi-Nya dengannya. Inilah yang berguna baginya dan itulah jalan keselamatan. Adapun hanya semata-mata nama tanpa mengamalkan syara' maka tidak ada hubungannya dengan keselamatan dan siksaan. Dan al-Bushiri melakukan kesalahan dari 'Burdah'nya, di mana dia berkata:

    Maka sesungguhnya untukku ada jaminan darinya dengan namaku

    Muhammad, sedangkan dia ﷺ‬ adalah makhluk yang paling menepati jaminan

    Dan ia melakukan kesalahan lebih besar dari hal itu dengan ucapannya:

    Wahai makhluk paling mulia, aku tidak berlindung kepada siapapun -

    Selain kepadamu saat terjadinya bencana yang merata

    Jika engkau tidak mengambil tanganku di tempat kembaliku (akhirat) -

    Sebagai karunia, dan jika tidak maka katakanlah wahai orang yang tergelincir kaki (masuk neraka)

    Maka sesungguhnya termasuk kemurahanmu adalah dunia dan segala isinya -

    Dan di antara ilmu pengetahuanmu adalah mengetahui Lauh dan Qalam

    Maka si miskin ini menjadikan perlindungannya di akhirat dengan Rasulullah ﷺ‬, bukan kepada Allah I. Dan ia menyebutkan bahwa ia binasa jika dia ﷺ‬ tidak mengambilnya dengan tangannya ﷺ‬, dan ia lupa kepada Allah I yang di Tangan-Nya bahaya dan manfaat, pemberian dan halangan, Dia I yang menyelamatkan para wali dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Dan ia menjadikan Rasulullah ﷺ‬ sebagai pemilik dunia dan akhirat, dan sesungguhnya ia (dunia) adalah sebagian dari kemurahannya ﷺ‬. Ia menjadikannya ﷺ‬ mengetahui yang gaib dan di antara ilmunya adalah mengetahui apa yang ada di Lauhul Mahfuzh dan Qalam. Ini adalah kufur yang nyata dan ghuluw yang tertinggi. Kita memohon afiyat dan keselamatan kepada Allah I.

    Jika ia mati atas hal itu dan tidak bertaubat niscaya ia mati di atas kekafiran dan kesesatan. Maka setiap muslim wajib berhati-hati dari sifat ghuluw ini dan jangan terperdaya dengan Burdah dan pengarangnya. Wallahus musta'aan, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah I.

    Syaikh Bin Baaz -Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah (6/370-371).

    (23) Hukum meyakini bahwa Rasulullah berada ﷺ‬ di setiap tempat dan dia mengetahui yang gaib.

    Pertanyaan: Apakah Rasulullah ﷺ‬ berada di setiap tempat? Dan apakah dia mengetahui yang gaib?

    Jawaban: Sudah diketahui dengan mudah dalam agama dan dengan dalil-dalil syara' bahwa Rasulullah ﷺ‬ tidak berada di setiap tempat dan jasadnya hanya ada di kuburnya saja di Madinah al-Munawwarah. Adapun ruhnya maka berada di rafiqil a'la di surga. Hal itu ditunjukkan oleh riwayat darinya ﷺ‬ bahwa beliau ﷺ‬ berkata saat menjelang ajalnya: 'Ya Allah, pada rafiqil a'la.'[3] Tiga kali, kemudian beliau ﷺ‬ wafat.

    Para ulama islam dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya sepakat (ijma') bahwa Nabi ﷺ‬ dimakamkan di rumah Aisyah radhiyallahu 'anha yang berdampingan masjidnya yang mulia. Jasadnya masih ada di dalamnya hingga saat ini. Adapun ruhnya dan ruh para nabi dan rasul serta ruh orang-orang beriman maka semuanya ada di surga, akan tetapi di atas kedudukan dalam nikmat dan tingkatannya, menurut yang diberikan Allah I kepada semua berupa ilmu, iman dan sabar di atas memikul beban di jalan dakwah kepada kebenaran.

    Adapun perkara gaib maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah I semata. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ‬ dan makhluk yang lainnya mengetahui sebagian dari yang gaib hanya yang diperlihatkan oleh Allah I kepadanya dari yang terdapat dalam al-Qur`an al-Karim dan as-Sunnah yang suci berupa penjelasannya dari perkara-perkara surga, neraka, kondisi hari kiamat dan selain yang demikian itu, dari yang ditunjukkan al-Qur`an dan hadits shahih seperti berita tentang Dajjal, matahari terbit dari barat, keluarnya binatang, turunnya al-Masih Isa u di akhir zaman dan semisal yang demikian itu, berdasarkan firman Allah I dalam surah an-Naml:

    قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

    Katakanlah:"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. an-Naml:65)

    Dan firman-Nya:

    قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ

    Katakanlah:"Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib (QS. al-An'aam:50)

    Dan firman-Nya dalam surah al-A'raaf:

    قُل لآَّأَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَاشَآءَ اللهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَامَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

    Katakanlah:"Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. al-A'raaf:188)

    Dan ayat-ayat dalam pengertian ini sangat banyak.

    Dalam hadits shahih dari Rasulullah ﷺ‬ dari hadits-hadits yang menunjukkan bahwa dia ﷺ‬ tidak mengetahui yang gaib: Di antaranya dalam jawabannya ﷺ‬ untuk Jibril u saat ia menanyatakan tentang hari kiamat, beliau bersabda: 'Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.' Kemudian dia ﷺ‬ bersabda: "Dalam lima perkara yang tidak mengetahuinya selain Allah I, kemudian Nabi ﷺ‬ membaca:

    إِنَّ اللهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ

    Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, …. (QS. Luqman:34)[4]

    Di antaranya: Sesungguhnya ketika Aisyah radhiyallahu 'anha dituduh oleh para pembohong melakukan perbuatan keji, dia ﷺ‬ tidak mengetahui bebasnya dia (Aisyah radhiyallahu 'anha) dari tuduhan itu kecuali dengan turunnya wahyu, sebagaimana dalam surah an-Nuur. Di antaranya: tatkala kalung Aisyah radhiyallahu 'anha hilang di sebagian peperangan, dia ﷺ‬ tidak mengetahui tempatnya dan dia ﷺ‬ mengutus beberapa orang mencarinya namun tidak menemukannya. Maka tatkala untanya berdiri mereka menemukannya di bawahnya. Ini hanyalah sedikit dari sekian banyaknya hadits yang menunjukkan pengertian ini.

    Adapun yang diduga sebagian kaum shufi bahwa dia ﷺ‬ mengetahui yang gaib dan hadir di sisi mereka pada saat mereka merayakan maulid dan yang lainnya adalah batil yang tidak ada dasarnya. Hal itu hanyalah didorong oleh kebodohan mereka dengan al-Qur`an dan sunnah serta keyakinan salafus shalih. Maka kita memohon 'afiyat kepada Allah I untuk kita dan semua kaum muslimin dari apa yang Dia timpakan kepada mereka. sebagaimana kita memohon kepada Allah I agar memberi petunjuk kepada kita dan mereka semua ke jalan-Nya yang lurus, sesungguhnya Dia I Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

    Syaikh Bin Baaz – al-Mujahid 66/ tahun ketiga dua edisi 33 dan 34 – Muharram dan Shafar 1412 H.

    [1] HR. Abu Daud 1495, at-Tirmidzi 3475, dan ia berkata: Hasan gharib, an-Nasa`i 1300, Ibnu Majah 3858 dan yang lain. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1326.

    [2] Al-Bukhari 3465 dan Muslim 2743 dengan maknanya.

    [3] HR. al-Bukhari 4437 dan Muslim 87 dan 2444.

    [4] HR. al-Bukhari 50 dan Muslim 9 dari hadits Abu Hurairah t.