×
Buku ini menjelaskan tentang 15 faktor penopang yang menjadikan aqidah salafushalih ahlussunnah wal jamaah kokoh dan tidak berubah serta pudar sepanjang zaman .

 FAKTOR-FAKTOR PENOPANG MANTAPNYA AQIDAH

 DAFTAR ISI  MUQODDIMAH

Mengapa memperhatikan aqidah yang shahih

FAKTOR-FAKTOR MANTAPNYA AQIDAH DI DALAM JIWA

Pertama : Berpegang teguh dengan al-Kitâb dan as-Sunnah

Kedua : Keyakinan as-Salaf bahwa al-Kitâb dan as-Sunnah saling menjelaskan (menafsirkan)

Ketiga : Kembali kepada al-Kitâb dan as-Sunnah di saat berselisih

Keempat : Fithrah yang lurus

Kelima : Akal mereka yang sehat

Keenam : Wajib merasa tenang dengan aqidah ini

Ketujuh : Mengikat dengan pemahaman sahabat dan yang mengikuti mereka

Kedelapan : Bersikap moderat (wasath) dan pertengahan (i’tidal)

Kesembilan : Tidak mendahulukan akal daripada naql

Kesepuluh : Hubungan yang baik dengan Allôh

Kesebelas : Yakin secara sempurna terhadap aqidah ini

Kedua belas : Berkeyakinan bahwa mengimani Allôh, asmâ`dan shifat-shifat-Nya serta hari akhir, adalah yang didatangkan oleh wahyu

Ketiga belas : Aqidah yang jelas dan jauh dari ketidakjelasan

Keempat belas : Mengambil pelajaran tentang keadaanpara pengikut hawa nafsu terdahulu

Kelima belas : Mempersatukan kalimat tidak berpecah belah.

 BIOGRAFI RINGKAS PENULIS

Beliau adalah Syaikh yang mulia, Prof. Dr. ‘Abdur Razzâq bin ‘Abdil Muhsin bin Hamad bin ‘Utsmân al-‘Abbâd Alu Badr, putera dari seorang Ulama Senior, ahli hadits Madinah zaman ini, al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd al-Badr –semoga Allah memelihara beliau dan memberkahi amal dan lisan beliau-, dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Allah Azza wa Jalla. Alu Badr merupakan keturunan Alu Jalas dari Kabilah ‘Utrah salah satu kabilah al-‘Adnaniyah. Kakek tingkatan ketiga beliau adalah ‘Abdullah yang memiliki laqob (gelar) ‘Abbad, yang pada akhirnya keturunan beliau dikenal dengan intisâb (penyandaran) kepada laqob (julukan) ini. Nenek beliau adalah putri dari Sulaiman bin‘Abdullah Alu Badr.

Beliau lahir di Zulfa (300 km dari utara Riyadh) pada hari Rabu, 22 Dzulqo’dah 1382 yang bertepatan dengan 17 April 1963. Beliau tumbuh dan dewasa di desa ini dan belajar baca tulis di sekolah yang diasuh oleh ayah beliau sendiri.

Beliau mengambil pendidikan hingga sampai kepada tingkatan doktoral dalam bidang Aqidah. Beliau adalah salah seorang staff pengajar di Islamic University of Madinah jurusan Aqidah sampai hari ini.

 Beliau menimba ilmu dari beberapa ulama dan masyaikh, yang terdepan diantara mereka kepada :

1. Ayah beliau, al-Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd hafizhahullâhu.

2. Fadhîlatusy Syaikh ‘Alî Nâshir Faqîhî hafizhahullâhu

3. Fadhîlatusy Syaikh ‘Abdullâh al-Ghunaimân hafizhahullâhu.

Dan selain mereka, semoga Allôh menjaga mereka dan

membalas mereka semua dengan kebaikan yang berlimpah.

Syaikh ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd memiliki karya tulis yang

cukup banyak, diantaranya adalah :

1. Fiqhu ad-Da’iyah wal Adzkâr

2. Al-Hajj wa Tahdzîbun Nufūs

3. Tadzkirotul Mu`tasî Syarh ‘Aqîdah al-Hâfizh ‘Abdil Ghonî al-Maqdisî

4. Syarh Hâsiyah Abî Dâwud

5. Al-Atsar al-Masyhūr ‘anil Imâm Mâlik fî Shifatil Istiwâ`

6. Al-Qoulus Sadîd fîr Raddi ‘ala Man Ankara Taqsîmat Tauhîd

7. At-Tuhfatus Sanîyah Syarh Manzhūmah Ibnu Abî Dâwud al-Hâ`iyah

8. Tsabât Aqîdah as-Salaf wa Salâmatuhâ ’anit

Taghayirât (yang ada di hadapan pembaca) Dan lain-lain.

Beliau juga memiliki rekaman ceramah baik audio dan video yang tersebar. Syaikh sangat aktif memberikan ceramah baik di dalam negeri (Kerajaan Arab Saudi) maupun di luar negeri, seperti Afrika, Asia dan Eropa.

Semoga Allôh membalas segala amalan Syaikh dengan

kebaikan yang berlimpah, menganugerahi beliau ilmu,

amal shalih dan umur yang panjang, serta keistiqomahan

di dalam mendakwahkan dakwah salafiyah ini.

(Disadur dari beberapa sumber situs. Diantaranya dari sahab.net, islamway.com, alukaz.com, dan lain-lain).

بسم لله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، والصلاة والسلام على إمام المرسلين، نبينا

محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين .أما بعد:

Dengan nama Allôh yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Segala puji hanyalah milik Allôh Rabb (Pemelihara) Alam semesta, dan akibat yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Sholâwat dan Salâm senantiasa terlimpahkan kepada penghulu para rasūl, Nabî kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.

Adapun setelah itu :

Sesungguhnya, ‘Aqîdah Islâmîyah yang murni lagi suci, yang digali dari al-Kitâb dan as-Sunnah, memiliki kedudukan yang tinggi lagi teratas di dalam agama, bahkan kedudukannya bagaikan kedudukan suatu pondasi bagi bangunan, bagaikan kedudukan hati terhadap jasad dan kedudukan akar bagi pohon.

Allôh Ta’âlâ berfirman :

 “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS Ibrâhîm : 24).

Jadi, perkara aqidah ini merupakan perkara yang sangat besar, kedudukannya tinggi dan statusnya mulia. Perkaranya tertanam di dalam jiwa dan terpendam di dalam hati pemiliknya, sehingga dari aqidah-lah mereka beranjak dan condong kepadanya serta demi aqidah pula-lah mereka membela. Begitu tingginya kedudukan aqidah di dalam jiwa dan hati mereka, sehingga menyebabkan hati menjadi mantap dan jiwa menjadi kokoh. Hal ini membuahkan dan membentuk perangai yang baik, manhaj yang lurus, kesempurnaan di dalam amalan, ketekunan di dalam ketaatan dan ibadah, dan menetapi perintah Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Setiap kali aqîdah ini semakin kokoh tertanam di dalam jiwa dan semakin mantap terpendam di dalam hati mereka, pada

saat itulah aqidah akan membawa mereka kepada setiap kebaikan dan mendorong mereka kepada segenap keberhasilan, kebaikan dan keistiqomahan.

Begitulah, mereka mencurahkan perhatian yang besar terhadap aqidah, dan semakin bertambah perhatian dan pemeliharaan mereka terhadap aqidah melebihi semua hal yang urgen dan penting. Aqidah menurut mereka lebih urgen ketimbang makanan, minuman, pakaian dan seluruh kebutuhan mereka, karena aqidah merupakan hakikat hati mereka. Allôh Ta’âlâ berfirman :

 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS al- Anfâl : 24)

Aqidah adalah kehidupan hati mereka yang sejati merupakan pondasi tumbuhnya amalan, lurusnya perangai dan baiknya manhaj dan cara (beragama) mereka. Karena itulah, perhatian mereka semakin besar terhadap aqidah, baik secara keilmuan maupun keyakinan, sehingga membuahkan hasil berupa kesungguhan, ketekunan, keistiqomahan dan penjagaan di dalam mentaati Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.

Sesungguhnya, Aqidah Islâmiyah yang shahih (benar) lagi murni dan suci, merupakan perkara yang paling penting diantara hal-hal penting lainnya dan merupakan kewajiban yang paling ditekankan. Untuk itulah perhatian terhadap aqidah haruslah didahulukan daripada hal-hal yang penting dan urgen lainnya. Apabila kita memperhatikan sirah (sejarah) salaf (pendahulu) kita yang terbaik –semoga Allôh merahmati dan menempatkan mereka ke dalam surga, dan semoga Allôh membalas (segala jerih payah) mereka terhadap kaum muslimin dengan balasan yang baik- kita melihat bagaimana besarnya perhatian dan kesungguhan mereka

terhadap aqidah, dan bagaimana mereka mendahulukan masalah aqidah dengan perhatian dan kesungguhan melebihi semua hal. Karena aqidah adalah keinginan mereka terbesar, puncak ambisi dan semulia-mulianya tujuan mereka.

Bentuk perhatian mereka terhadap aqidah melalui upaya dan kesungguhan yang bermacam-macam. Diantara bentuk perhatian mereka terhadap aqidah yang merupakan faktor yang turut menjaga kokoh dan kekalnya aqidah adalah, karya tulis mereka yang sangat bermanfaat dan buku-buku berfaidah yang menetapkan, menjelaskan dan menerangkan masalah aqidah serta

menyebutkan argumentasi dan dalil-dalilnya.

Membelanya dari tipu daya para penipu, permusuhan para agresor, pengingkaran kaum atheis dan penyelewengan kaum kaum ekstremis serta semisalnya yang acap kali mengusik permasalahan seputar aqidah dan menjadi sasarannya.

Para salaf –rahimahumullâhu-menjalankan peran yang agung ini dengan kesungguhan yang luar biasa dan pengamalan yang besar, sebagai bentuk pengkhidmatan dan sokongan terhadap aqidah dan menegakkan kewajiban besar. Mereka menulis tentang aqidah sebagai penjelas dan penerang, berargumentasi dan berdalil dengan ratusan buku, bahkan ribuan buku baik yang panjang maupun yang ringkas, baik yang komprehensif mencakup segala bab maupun yang khusus hanya mencakup satu aspek dari aspek-aspek aqidah, baik yang meletakkan dasar bagi al-Haq dan kebenaran maupun yang membantah penyeleweng lagi pendusta

(yang tak dapat dipercaya). Kemudian, orang yang belakangan mengambil aqidah dari pendahulu mereka yang terang seterang matahari di siang hari bolong, yang begitu jelasnya tanpa ada kesamaran dan kekaburan, disebabkan argumentasinya, keselamatan dan kekuatan dalilnya, yang begitu terang dan jelasnya.

Kaum mu’minin ahli ittibâ’ mewarisinya dari generasi ke generasi dan dari waktu ke waktu. Setiap generasi menjaga dan memelihara aqidahnya dengan upaya yang begitu besar, kemudian menyampaikannya kepada generasi setelahnya apa adanya tanpa perubahan, penggantian maupun penyelewengan dan lain sebagainya. Generasi setelahnya menjaga dan memperhatikan aqidah sebagaimana pendahulu mereka menjaga dan memperhatikannya. Demikianlah aqidah ini terwarisi dari generasi ke generasi, dan akan senantiasa ada sekelompok dari ummat Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang berada di atas kebenaran dan mendapatkan pertolongan (kemenangan), tidaklah

mencederai mereka orang-orang yang mencerca dan menyelisihi mereka, sampai datangnya hari kiamat.

Tema pembahasan kita ini adalah tentang mantapnya aqidah as-Salaf ash-Shâlih –rahimahumullâhu- dan terbebasnya (selamatnya) dari segala bentuk perubahan, seiring dengan perubahan waktu dan zaman yang panjang. Ia adalah aqidah yang didakwahkan oleh Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan aqidah yang para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan lebih baik berada di atasnya, yang mana mereka saling menyampaikan satu dengan yang lainnya, dan saling mewariskannya hingga sampai di zaman kita dalam keadaan yang murni lagi suci.

Ironinya, banyak kaum dan mayoritas manusia menyimpang dan menyeleweng dari aqidah (yang benar). Jalan mereka saling berpecah belah dan merekapun menyimpang dari jalan yang benar lagi lurus.

Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm telah mengisyaratkan bahwa kejadian ini akan berlangsung dan terjadi. Beliau bersabda :

إنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافاً كثيراً، فعليكم بسنتي وسنن الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكو بها وعضا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور؛ فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة " رواه أبو داود ( 4607 )، والترمذي ( 2676 ).

 “Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian sepeninggalku nanti, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus lagi terbimbing setelahku. Genggamlah sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham.

Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan (di dalam agama) itu ada bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” [HR Abū Dâwud (4607) dan at-Turmudzî (2676)].

Beliau bersabda di dalam hadits yang lain :

وستفترق هذه الأمُة على ثلاث وسبعين فرقة، كلها في النار إلا واحدة ( رواه أحمد  4/102، و  وأبو داود 4597، وصححه الألباني في السلسلة الصحيحة ( 203 )

“Dan umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok dan semuanya masuk neraka kecuali satu.” [HR Ahmad (4/102) dan Abū Dâwud (4597).

Dishahihkan oleh al-Albânî di dalam as-Silsilah ash- Shahîhah (203)].

 Kelompok yang satu itu adalah kelompok yang selamat agamanya, lurus manhajnya dan shahih aqidahnya.

Karena mereka mengambilnya dari sumbernya yang masih murni dan mata airnya yang tidak tercemar dengan suatu kekeruhan sedikitpun. Mereka mengambilnya dari Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shalawâtullah wa Salâmuhu ‘alaihi. Keberuntungan mereka di dalam aqidah dan semua perkara agama terletak pada keselamatan, ilmu, hikmah dan kemuliaannya, sehingga mereka lebih berhak menjadi kelompok yang selamat itu dan sebagai ahlinya. Karena mereka mengambil aqidahnya dari sumbernya yang utama dan mata airnya, yaitu Kitâb Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Allôhpun menyelamatkan mereka sehingga mereka tidak direnggut oleh hawa nafsu dan tidak ditelan oleh syubuhât. Mereka tidak condong kepada akal, pemikiran, hati dan perasaan atau yang semisalnya dalam rangka mencari pengetahuan aqidah yang benar. Mereka hanya berpijak pada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.

Tidak diragukan lagi bahwa ada berbagai faktor yang menjadi penyebab langgengnya aqidah, keselamatan dan kemantapannya di dalam diri pemiliknya dengan taufik dari Allôh Subhanahu wa Ta’âlâ, karena hanya Allôh-lah sang pemberi taufik satu-satunya lagi maha lemah lembut. Di tangan-Nya berada segala keutamaan yang ia anugerahkan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan

Allôh adalah maha pemilik keutamaan yang agung.

Maka, taufik Allôh, petunjuk, hidayah dan pertolongan-Nya kepada ahlus sunnah merupakan perkara terbesar yang dapat mewujudkan keselamatan mereka, dan hal ini pulalah yang menjadikan aqidah ini kekal di dalam jiwa-jiwa mereka.Dan Allôh adalah maha pemelihara terbaik lagi yang paling welas asih.

Oleh karena itu, seharusnyalah bagi setiap muslim memperkuat hubungannya dengan Allôh, senantiasa memohon kepada-Nya agar diberikan pertolongan, taufik, petunjuk dan keselamatan, karena semua perkara ini berada di tangan-Nya Tabâroka wa Ta’âlâ :

”Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali.” (QS Hūd : 88)

Tidak diragukan lagi, bahwa ada banyak faktor setelah taufik dari Rabb Jalla wa ’Alâ dan penjagaan-Nya Subhânahu yang menjadi faktor penyebab yang dapat mengokohkan, melanggengkan dan memantapkan aqidah ini ke dalam jiwa pemiliknya serta selamatnya dari perubahan, ketidaktetapan dan penyelewengan.

Tidak diragukan pula bahwa termasuk hal yang bermanfaat dan berfaidah bagi seorang muslim di dalam hidupnya, adalah berupaya memahami faktor-faktor penyebab yang dapat mengokohkan dan menyelamatkan, memelihara dan menjaga aqidah di dalam dirinya dengan sebaik-baik penjagaan sembari

 tetap memohon pertolongan kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ atas semua hal ini.

Ada beberapa hal yang dapat saya ringkaskan setelah mencermati dan mengobservasi pendapat para ulama rahimahumullâhu di dalam bab yang agung ini, yaitu banyak faktor yang dapat menghantarkan kepada kemantapan dan langgengnya aqidah di dalam diri pemiliknya dan terbebasnya dari segala bentuk

perubahan dan penyimpangan. Saya ringkaskan beberapa hal yang mudah bagi saya tentang hal ini di dalam beberapa poin berikut :

Pertama : Berpegangteguhnya ahlus sunnah kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, keimanan mereka terhadap semua yang ada di dalam Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan keyakinan mereka secara totalitas bahwa tidak boleh meninggalkan sedikitpun sesuatu yang ada di dalam al-Kitâb dan as-Sunnah.

Namun wajib bagi setiap muslim untuk mengimani dan membenarkan segala hal yang ada di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm, sehingga mereka mengimani seluruh nash (teks) yang terdiri atas informasi-informasi tentang Allôh, namanama dan sifat-sifat-Nya, nabi-nabi-Nya, hari akhir, al-Qodar dan yang semisal dengannya. Mereka wajib mengimaninya secara ijmâl (global) dan tafshîl (terperinci), yaitu mengimani secara global tentang segala hal yang diberitakan oleh Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ dari perkara-perkara keimanan, dan mengimani secara terperinci setiap apa yang Ia sampaikan kepada

mereka berupa ilmu-Nya di dalam Kitabullâh dan Sunnah Nabi-Nya.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS al-Hujurât : 15)

Beginilah keadaan mereka terhadap semua nash-nash (teks) al-Kitâb da as-Sunnah, yaitu menerima dan mengimani keseluruhannya. Keadaan mereka ini sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian ulama salaf:

" من الله الرسالة، وعلى الرسول البلاغ، وعلينا التسليم "

“Dari Allôh-lah Risalah berasal, kewajiban Rasūl menyampaikannya dan kewajiban kita adalah menerimanya.”

Siapa saja yang berpegang teguh dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, menaruh kepercayaan dan bersandar pada keduanya, niscaya dia akan senantiasa mantap, selamat dan istiqomah serta jauh dari penyelewengan dengan izin Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:

جماع الفرقان بين الحق والباطل، والهدى والضلال، والرشاد والغي، وطريق السعادة والنجاة وطريق الشقاوة والهلاك؛ أن يجعل ما بعث الله به رسله وأنزل به كتبه هو الحق الذي يجب إتباعه، وبه يحصل الفرقان والهدى والعلم والإيمان، فيصدق بأنه حق وصد ق، وما سواه من كلام سائر الناس يعرض عليه، فإن وافقه فهو حق، وإن خالفه فهو باطل، وإن لم يعلم هل هو وافقه أو خالفه؛ لكون ذلك الكلام مجملاً لا يعرف مراد صاحبه، أو قد عرف مراده، ولكن لم يعرف هل جاء الرسول بتصديقه أو تكذيبه، فإنه يمسك فلا يتكلم إلا بعلم، والعلم ما قام عليه دليل، والنافع منه ما جاء به الرسول (مجموع الفتاوى لابن تيميه 13/135-136)

 “Al-Furqôn (pembeda) yang terhimpun (untuk membedakan) antara kebenaran dengan kebatilan, petunjuk dengan kesesatan, bimbingan lurus dengan penyelewengan, jalan kebahagiaan dan kesuksesan dengan jalan kesengsaraan dan kebinasaan, adalah untuk menjadikan risalah yang Allôh mengutus Nabi-Nya dengannya dan kitab-kitab yang Ia turunkan adalah sebagai kebenaran yang wajib diikuti. Dengannya akan diperoleh al-Furqôn, petunjuk, ilmu dan keimanan, sehingga dapat dibenarkan bahwa wahyu-Nya adalah haq dan benar (lurus) sedangkan selainnya baik itu perkataan semua manusia perlu ditimbang. Apabila selaras dengan wahyu Allôh maka ia adalah kebenaran dan apabila menyelisihi maka ia adalah kebatilan.

Apabila tidak diketahui apakah ucapan tersebut sesuai atau menyelisihi wahyu, bisa jadi karena ucapan tersebut adalah ucapan yang global sehingga tidak diketahui maksud orang yang mengucapkannya, atau diketahui maksud ucapannya namun tidak diketahui apakah Rasūlullâh membenarkan atau mendustakannya, maka ucapan tersebut ditahan (didiamkan) dan tidaklah dikomentari melainkan dengan ilmu. Ilmu adalah yang ditegakkan di atasnya dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah yang datang dari Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Majmū’ Fatâwâ karya Ibnu Taimiyah XIII:135-136).

هذه خلاصة طريقة أهل السنة والجماعةرحمهم اللهفي هذا الباب العظيم، يعولون على الكتاب والسنة، وذا التعويل نالوا السلامة والثبات، وكما قال شيخ الإسلامرحمه اللهفي مقام آخر؛ بل كان كثيراً ما يقول: " من فارق الدليل ضل السبيل، ولا دليل إلا ما جاء به الرسول (مفتاح دار السعادة لابن القيم  - ص: 90)

Inilah ringkasan manhajnya Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah rahimahumullâhu di dalam bab yang agung ini. Mereka

meletakkan kepercayaan terhadap al-Kitâb dan as-Sunnah, yang dengan kepercayaan inilah mereka memperoleh keselamatan dan kemantapan, sebagaimana ucapan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah pada tempat yang lain, bahkan cukup sering beliau mengatakan : “Barangsiapa menyelisihi dalil maka jalannya akan sesat, dan tidak ada dalil melainkan apa yang didatangkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Lihat : Miftâh Dâris Sa’âdah karya Ibnul Qoyyim hal. 90).

Ibnu Abîl Izz berkata di dalam Syarh (penjelasan) beliau

terhadap al-Aqîdah ath-Thohâwîyah : “Bagaimana mungkin menghendaki untuk memperoleh ilmu ushul (ilmu dasar ~ aqidah) selain dengan apa yang didatangkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Syarh al-‘Aqîdah ath-Thohâwîyah hal. 18)

Artinya, hal ini tidak mungkin dan mustahil. Jadi, kepercayaan mereka rahimahumullâhu tehadap segala apa yang ada di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan bersandarnya mereka kepada apa yang datang dari keduanya, merupakan penyebab utama mantapnya aqidah mereka. Tidaklah mungkin seorang dari ahlus sunnah wal jamâ’ah rahimahumullâhu mengada-adakan suatu aqidah dari dirinya sendiri, atau mendatangkan suatu keyakinan atau agama yang berasal dari akal, perasaan atau pemikirannya sendiri. Siapa saja yang melakukan hal seperti ini maka mereka adalah ahlul ahwâ` (pengikut hawa nafsu), yang dengannya mereka tidak memperoleh kemantapan (dalam aqidah) dan mayoritas keadaan mereka dalam keadaan berubah-ubah dan labil, sebagaimana akan datang penjelasan hal ini.

Adapun Ahlus Sunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang membuat-buat suatu aqidah dari diri mereka sendiri, namun mereka semua menaruh kepercayaan dan bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.

Di sini saya akan menukilkan perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu yang anggun, beliau berkata : “Tidaklah aqidah itu berasal dari diriku dan tidak pula dari mereka yang lebih senior daripadaku (Yaitu : Bukanlah wewenangku untuk mendatangkan suatu aqidah yang berasal dari diriku sendiri yang aku buat-buat dan ada-adakan, bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti Imam Ahmad, asy-Syâfi’î, Mâlik dan selainnya dari para Imâm Islâm. Tidak ada seorangpun dari mereka yang membuat-buat aqidah yang berasal dari diri mereka sendiri.) namun aqidah itu diambil dari Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ, Rasūl-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan Ijma’ (konsensus) salaf, diambil dari Kitâbullâh, dari hadits-hadits Bukhârî, Muslim dan selainnya dari hadits-hadits yang diketahui, juga dari yang telah tetap dari Salaful Ummah.” (Majmū` Fatâwâ III:203).

Beliau rahimahullâhu juga berkata :

“Aqidahnya asy-Syâfi’î radhiyallâhu ‘anhu dan aqidah para ulama salaf semisal Mâlik, ats-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibnul Mubârok, Ahmad bin Hanbal dan Ishâq bin Râhawaih, adalah aqidahnya para masyaikh teladan semisal al-Fudhail bin ‘Iyâdh, Abū Sulaimân ad-Dârônî, Sahl bin ‘Abdillâh at-Tusturî dan selain mereka.

Sesungguhnya tidak ada pada para imam dan orang semisal mereka adanya perselisihan di dalam ushūluddîn (pokok agama), demikian pula dengan Abū Hanîfah rahmatullahi ‘alaihi, karena sesungguhnya aqidah yang tsabit (tetap) dari beliau di dalam masalah tauhid, qodar dan semisalnya, adalah selaras dengan aqidah para imam, dan aqidah para imam tersebut adalah sebagaimana aqidahnya para sahabat dan tabi’in yang mengikuti mereka dengan cara lebih baik, yaitu aqidah yang diucapkan oleh al-Kitâb dan as-Sunnah.” (Majmū’ Fatâwâ V:25)

Jadi, inilah pokok dan poin pertama diantara faktor-faktor penyebab mantapnya aqidah di dalam jiwa pemiliknya, yaitu bersandar kepada al-Kitâb dan as-Sunnah. Tanpa bersandar kepada kedua ini tidak akan memperoleh kemantapan, keselamatan dan keistiqomahan.

Kedua : Keyakinan para salaf rahimahullâhu bahwa al- Kitâb dan as-Sunnah mencakup aqidah yang benar yang tidak ada cela pada keduanya di segala aspeknya.

Karena aqidah yang benar itu sangat terang dan sangat gamblang di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ : “Pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian”, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak, “dan Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian.” (QS al-Mâ`idah : 3)

Telah dijelaskan semuanya di dalam al-Kitâb dan as-Sunnah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berkaitan aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlaq dan tingkah laku. Sebagaimana di dalam sebuah hadits yang shahih dari Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :

إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقاً عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم، وينذرهم شر ما يعلمه لهم (صحيح مسلم:  ( 1844

 “Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui.” (Shahîh Muslim : 1844)

Ketika Ahlus Sunnah beriman dengan keimanan yang sempurna dan tunduk ridha dengan keridhaan yang totalitas bahwa agama mereka adalah aqidah, ibadah dan akhlaq yang dijelaskan di dalam al-Qur`ân dan as-Sunnah dengan sejelas-jelasnya, merekapun beriltizam (menetapi) dengan sebenar-benarnya dan menaruh kepercayaan mereka dengan sungguh-sungguh kepada

segala hal yang datang di dalam Kitabullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam serta mereka tidak butuh lagi merujuk kepada selain yang datang dari Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shalawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi dan mereka merasa mantap dengan sebenar-benarnya terhadap Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, maka akan termanifestasikan keselamatan kepada mereka secarasempurna.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata :

بين جميع الدين؛ أصوله وفروعه، باطنه وظاهره، علمه إن رسول الله وعملَه، فإن هذا الأصل هو أصل أصول العلم والإيمان، وكل من كان أعظم اعتصاماً ذا الأصل كان أولى بالحق علماً وعملاً " مجموع الفتاوى155/19))

“Sesungguhnya Rasulullah Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam telah menjelaskan segala hal di dalam agama, baik yang ushūl (pokok/dasar) maupun yang furū’ (cabang), yang bâthin maupun yang zhâhir, atau pada keilmuan (aqidah) maupun amalan. Karena dasar ini merupakan dasar dari pokok-pokok ilmu dan keimanan, dan setiap orang yang paling berpegang teguh dengan pokok ini,

maka ia adalah orang yang lebih utama di dalam kebenaran ini, baik ilmu (aqidah) maupun amalan.” (Majmū’ Fatâwâ XIX/155)

Yang dimaksud dengan pokok/dasar di sini adalah kepercayaan dan penyandaran yang sempurna terhadap Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, karena keduanya telah menjelaskan agama seluruhnya, baik aqidah, ibadah maupun akhlak.

Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh telah menjelaskan secara cermat lagi mudah hal yang berkaitan dengan Adab (etika), seperti adab buang hajat, adab bersuci, adab bermu’amalah (berinteraksi) dan semisalnya.

Apakah mungkin jika adab-adab ini dijelaskan di dalam Kitâbullâh dan Sunnah namun masalah keyakinan ditinggalkan tanpa dijelaskan?!

Hal ini suatu hal yang mustahil sebagaimana diutarakan oleh Imâm Mâlik bin Anas, yang bergelar Imâm Dârul Hijrah rahimahullâhu :

“Sungguh mustahil Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bagi ummatnya segala sesuatunya sampai dalam masalah buang air, namun beliau tidak menjelaskan tauhid kepada mereka.”

Dengan demikian, al-Qur`ân dan as-Sunnah mencakup segala kebaikan, petunjuk dan arahan yang lurus seluruhnya, baik di dalam aqidah, ibadah, mu’amalah ataupun akhlaq. Manusia memperoleh keberuntungan berupa keselamatan dan keistiqomahan sesuai dengan porsinya di dalam bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.

Sebagaimana ucapan Mâlik Rahimahullâhu :

" السنة سفينُة نوح، من ركبها نجا ومن تركها غرق "

“Sunnah itu bagaikan perahunya Nūh, barangsiapa menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan tenggelam (binasa).”

Ketiga : diantara faktor-faktor yang memantapkan aqidah di dalam jiwa pemiliknya, bahwasanya ahlus sunnah, berangkat dari penjelasan sebelumnya, telah menetapkan di dalam jiwa mereka bahwa di saat terjadi perdebatan atau perselisihan, mereka tidak condong dan mengembalikannya kepada sesuatupun melainkan kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengetahui secara pasti dan yakin bahwa perdebatan dan perselisihan atau yang semisalnya, tidak akan pernah beres dan sirna problematikanya melainkan dengan bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana firman Alloh Ta’âlâ :

 “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah kepada Alloh (Al-Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisâ`: 59)

Suatu hal yang tidak diragukan, bahwa siapa saja yang perhatiannya lebih condong kepada Kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi-nya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm di saat terjadinya perselisihan di tengah-tengah manusia, maka buahnya adalah kemantapan dan keselamatan, serta aqidahnya tidak akan goncang dan labil. Mereka senantiasa condong kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam perkara-perkara yang manusia bertikai dan berselisih didalamnya. Suatu hal yang diketahui bersama dan ditetapkan, bahwa setiap pertikaian dan perselisihan yang terjadi, tidak akan terurai di tengah-tengah manusia melainkan dengan berpegang kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.

Karena pemikiran dan akal itu beraneka ragam dan bermacam-macam, demikian pula dengan sisi pandang tiap orang itu saling berjauhan, maka tidak ada peran di kala bertikai dan mengangkat perselisihan melainkan dengan mengembalikan semuanya secara sebenar-benarnya kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Maka inilah faktor terbesar diantara faktor-faktor mantapnya ahli kebenaran di atas kebenaran.

Keempat : Fithrah mereka yang selamat. Fithrah merupakan nikmat dari Alloh Azza wa Jalla dan anugerah yang Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya. Allôh Jalla wa Ta‘alâ memberikan keutamaan kepada hamba-hamba-Nya dengan menciptakan mereka di atas fithrah, sebagaimana sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :

"كل مولود يولد على الفطرة، فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه "( صحيح البخاري:  ( 1385

 “Setiap (hamba) yang lahir dilahirkan di atas fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (Shahîh al-Bukhârî : 1385)

Maka Allôh ciptakan mereka di atas fithrah. Adapun Ahlus Sunnah, fithrah mereka tetap selamat tidak berubah-ubah. Allôh perlihara fithrah mereka (ahlus sunnah) dari segala bentuk perubahan, pergantian dan penyelewengan. Sedangkan manusia lainnya, fithrah mereka telah terkotori dan mengalami penyelewengan sesuai dengan yang melekat padanya, sedikit maupun banyak.

Di dalam sebuah hadits Qudsi, Allôh Ta’âlâ berfirman:

خلقت عبادي حنفاء كلهم، أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم (  صحيح مسلم رقم  2365)

“Aku ciptakan hamba-hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan hanif (lurus), kemudian syaithan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka.”

(Shahîh Muslim no. 2365).

Di dalam al-Qur`ân al-Karîm, Allôh Ta’âlâ berfirman: “Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS az-Zukhrūf : 37). Syaithan dan bala tentaranya memalingkan dan mengubah manusia dari fithrah

mereka.

Untuk itulah, termasuk diantara faktor yang memantapkan (aqidah) adalah, manusia perlu bersungguh-sungguh di dalam menjaga keselamatan fithrah mereka :

 (Tetaplah atas) fithrah Alloh yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rūm :30).

Fithrah yang selamat terikat dengan sumber (mashdar) yang selamat. Apabila seorang yang memiliki fithrah yang selamat menyandarkan dan berpegang dengan Kitâb Rabbnya dan Sunnah Nabinya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm, maka fithrahnya tidak akan berubah.

Namun jika fithrahnya tunduk kepada hawa nafsu yang membinasakan, syubuhat yang merusak, pemikiran yang menyimpang dan takalluf (sikap membenani diri) yang jauh, atau yang semisalnya, maka fithrahnya akan menyimpang.

Kelima : Akal mereka yang sehat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah manusia yang paling baik akalnya, dan paling selamat pendapat, pemikiran dan manhajnya.

Mereka memiliki akal yang rajih (kuat) yang tidak ada padanya ghuluw (berlebih-lebihan) atau jafa’ (menyepelekan) sebagaimana keadaan selain mereka dari kalangan ahli ahwa` dan ahli bida’. Ahlus sunnah tidak ada pada akal mereka sikap ghuluw sebagaimana yang tampak secara jelas pada ucapan-ucapan filsafat dan orang yang terselimuti dengan belitan mereka.

Manhaj mereka diikuti oleh orang-orang yang meninggalkan al-Kitâb dan as-Sunnah dan hanya berpegang seluruhnya kepada akal, pemikiran dan pendapatnya saja. Segala apa yang ia pandang benar dengan akalnya, ia berpegang dengannya, dan segala apa yang ia pandang menyelisihi akalnya, maka ia tinggalkan, walaupun hal itu adalah firman Allôh dan sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Karena sesungguhnya yang mereka percayai dan mereka anggap hanyalah akal dan pemikiran mereka.

Telah diketahui bersama bahwa akal manusia itu tidaklah berada di atas akal orang yang satu. Karena itulah, ketika banyak golongan manusia yang bersandar pada akal, hal itulah yang menjadi penyebab banyaknya penyelewengan dan banyaknya pemikiran dan madzhab.

 Karena akal itu bermacam-macam, sebagaimana ucapan sebagian salaf :

" لو كانت الأهواء هوى واحداً لقيل إنه الحق، ولكنها أهواء "

“Sekiranya hawa nafsu itu hanya satu saja, boleh jadi dikatakan hawa nafsu itu benar.

Tetapi kenyataannya hawa nafsu itu banyak.” Demikian pula dapat kita katakan : Sekiranya akal itu hanya satu saja, boleh jadi dikatakan akal itu benar. Tetapi kenyataannya akal itu banyak dan beraneka ragam.

Inilah sisi penyelewengan di dalam akal, yaitu sisi ghuluw (berlebih-lebihan) di dalam akal dan mengangkatnya melebihi porsinya. Ada pula sisi lain di dalam akal yang menyeleweng, yaitu sisi jafa` (menyepelekan). Hal ini banyak ditemui di dalam kesesatan shufiyah dan kalangan jahil mereka yang meninggalkan aspek akal. Kemudian mereka memasukkan dengan atas nama tashowwuf perkaraperkara yang sebagian mereka menyebutnya al-Jadzb (esktase), syahath (dibuai mabuk) dan junun (gila/tidak waras karena cinta) atau yang semisalnya dalam berbagai bentuk penyimpangan-penyimpangan yang menjijikkan, yang tidak diterima oleh akal (sehat), tidak diridhai oleh pikiran dan semua manusia enggan padanya. Mereka jatuh ke dalamnya disebabkan mereka meninggalkan akal mereka secara sempurna.

Ahlus Sunnah rahimahumullâhu adalah umat yang pertengahan dan moderat. Mereka tidak melebihkan akal di luar proporsinya dan tidak pula mengabaikan atau menyia-nyiakannya, namun ahlus sunnah menempatkan akal pada proporsinya dan koridornya yang terbatas.

Sebagaimana manusia yang memiliki batas pendengaran tertentu yang tidak mungkin dilampauinya, demikian pula dengan pengelihatan dan indera-indera lainnya,

termasuk juga akal.

Akal memiliki batasan tertentu. Barangsiapa yang mencoba untuk memaksakan akalnya di luar batas dan proporsinya, niscaya akan tersesat sebagaimana banyak kaum manusia yang tersesat. Untuk itulah akal ahlus sunnah wal jama’ah benar dan selamat dari penyimpangan, dikarenakan mereka mempergunakan akalnya sesuai dengan proporsinya dan tidak mengabaikannya begitu saja

 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali ‘Imrân : 191)

Mereka adalah Ūlūl Albâb dan pemilik akal yang shahih lagi rajih. Mereka menempatkan akal mereka pada batasannya dan proporsinya, tanpa ada ghuluw atau jafa`, ifrâth (berlebih-lebihan) atau tafrîth (meremehkan) dan ziyadah (menambah-nambahi) atau nuqshôn (mengurang-ngurangi). Inilah perkara besar yang merupakan faktor-faktor penyebab mantapnya aqidah mereka di atas kebenaran.

Keenam : diantara faktor yang memantapkan dan selamatnya aqidah di dalam jiwa ahlus sunnah adalah, bahwa jiwa ahlus sunnah merasa begitu tenang dengan aqidah ini. Setiap orang dari mereka merasakan kedamaian di dalam hatinya, ketenangan di dalam jiwanya, kesenangan dan kebahagiaan, bahkan juga kegembiraan dan kelezatan dengan aqidah yang haq ini, yang Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ anugerahkan kepadanya.

Hal ini tidak akan dapat ditemukan pada seorang pengikut hawa nafsu dan amatlah jauh dirinya. Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ berfirman :

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi

tenteram.” (QS ar-Ra’du : 28)

Di dalam jiwa mereka terdapat ketenangan yang sempurna dan kedamaian yang besar terhadap aqidah yang benar ini, yang mereka peroleh dari Kitab Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Berkenaan hal ini, Ibnul Qoyyim rahimahullâhu berkata di dalam kitabnya ash-Showâ’iqul Mursalah :

" سكون القلب إلى شيء ووُثوقه به، وهذا لا يكون إلا مع اليقين، هو اليقين بعينه، ولهذا تجد قلوب أصحاب الأدلة السمعيةيعني أهل السنةمطمئنة بالإيمان بالله وأسمائه وصفاته وأفعاله وملائكته واليوم الآخر، لا يضطربون في ذلك ولا يتنازعون فيه ". الصواعق المرسلة .(741/2)

 “Tetap dan mantapnya hati terhadap sesuatu, hal ini tidaklah akan terjadi melainkan disertai dengan keyakinan, bahkan dengan benar-benar yakin (‘ainul yaqîn). Karena itulah anda dapati hatinya ahlus sunnah, merasa tenang dengan iman kepada Allôh, Asmâ` dan Shifât-Nya, serta perbuatan-Nya, kepada malaikat-Nya

dan hari akhir. Tidak goyah ketenangan mereka di dalam keimanan ini dan tidak pula bimbang.” (Ash-Showâ’iqul Mursalah II/741)

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:

" وأما أهل السنة والحديث فما يعلم أحد من علمائهم ولا صالح عامتهم رجع قط عن قوله واعتقاده، بل هم أعظم الناس صبراً على ذلك، وإن امتحنوا بأنواع المحن، وُفتنوا بأنواع الفتن، وهذه حال الأنبياء وأتباعهم من المتقدمين " مجموع الفتاوى  (50/4)

 “Adapun ahlus sunnah dan ahli hadits, tidak ada seorangpun ulama atau orang awam mereka yang shalih, yang diketahui menarik kembali pendapat dan aqidahnya sama sekali. Bahkan mereka adalah manusia yang paling sabar dengan pendapat dan aqidahnya, walaupun mereka diuji dengan berbagai ujian dan fitnah. Dan demikian inilah keadaan para nabi dan para pengikut mereka terdahulu.”

‘Abdul Haq al-Isybîlî rahimahullâhu berkata :

" واعلم أن سوء الخاتمة أعاذنا الله تعالى منها لا تكون لمن استقام ظاهره وصلح باطنه، ما سمع ذا، ولا  علم به ولله الحمد، وإنما تكون لمن له فساد في العقد، أو إصرارٍ على الكبائر، وإقدام على العظائم" (نقله ابن القيم في الجواب الكافي ص: 198)

 “Ketahuilah, bahwasanya sū’ul khâtimah –semoga Allôh Ta’âlâ melindungi kita darinya- tidak pernah didengar dan diketahui terjadi pada orang-orang yang lurus zhahirnya dan baik bathinnya, dan hanya milik Allôhlah segala pujian. Sesungguhnya ia hanya terjadi kepada orang yang memiliki aqidah yang rusak, terus menerus di dalam dosa besar, dan mendahulukan keangkuhan.” (Dicuplik oleh Ibnul Qoyyim di dalam al-Jawâbul Kâfî hal.198).

Inilah diantara faktor utama yang dapat menghantarkan kepada mantapnya ahli kebenaran, jiwa dan hati mereka merasa tenang terhadap kebenaran, serta merasa enjoy secara sempurna dengannya. Lantas mengapa mereka menyeleweng darinya? Mengapa mereka masih mencari selainnya padahal mereka merasa tenang dan enjoy dengan sebenar-benarnya terhadapnya?

Ketujuh : Termasuk faktor mantapnya mereka di atas keyakinan yang haq adalah, mereka mengikatkan diri dengan pemahaman as-Salaf ash-Shâlih, para sahabat dan yang mengikuti mereka dengan lebih baik. Mereka disertai dengan perkara-perkara (yang disebutkan) sebelumnya, menyandarkan diri di dalam memahami

nash (teks dalil) dan pengetahuan akan dilâlah (penunjukan)-nya kepada pemahaman sahabat dan generasi yang mengikuti mereka dengan lebih baik.

Karena pemahanan itu terkadang sebagiannya doyong/miring dan sebagiannya lagi menyeleweng. Akan tetapi orang yang mengambil agamanya yang murni lagi segar dari Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam secara langsung dengan disertai dengan hati yang bersih, akal yang sehat dan keinginan serta tujuan yang baik, barangsiapa yang demikian ini keadaannya maka ia memperoleh ilmu, keselamatan dan hikmah yang sejati.

Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamâ’ah berpegang erat di dalam memahami nash-nash dan dalil dengan pemahaman sahabat. As-Sijzî rahimahullâhu berkata di dalam buku beliau yang berjudul Ar-Roddu ‘ala Man Ankaro al-Harf wa ash-Shout di dalam mensifati ahlus sunnah sebagai berikut :

 “Mereka adalah kaum yang mantap di atas aqidah yang para as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullâhu menukilkan kepada mereka dari Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam atau dari sahabat beliau radhiyallâhu ‘anhum mengenai perkara-perkara yang tidak disebutkan oleh nash al-Qur`ân dan (sunnah) Rasūl Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka adalah para imâm yang Allôh ridhâ kepada mereka, dan kita diperintahkan untuk mengikuti jejak (atsar) mereka dan meneladani tuntunan (sunnah) mereka. Hal ini memperlihatkan dengan jelas akan diperlukannya iqômatu burhân (menegakkan hujjah yang terang), mengambil sunnah dan berkeyakinan dengannya, merupakan sesuatu hal yang tidak ada

kebimbangan akan kewajibannya.” (Ar-Roddu ‘ala Man Ankaro al-Harf wa ash-Shout hal. 99)

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:

ولا تج د إماماً في العلم والدين، كمالك والأوزاعي والثوري وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، ومثل الفضيل وأبي سليمان ومعروف الكرخي وأمثالهم، إلا وهم مصرحون بأن أفضل علمهم ما كانوا فيه مقتدين بعلم الصحابة، وهم يرون أن الصحابة فوقهم في جميع أبواب الفضائل والمناقب " شرح العقيدة الأصفهانية ص128

“Anda tidak akan mendapatkan seorang imam pun di dalam ilmu dan agama, sebagaimana Mâlik, al-Auzâ’î, ats-Tsaurî, Abî Hanîfah, asy-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal dan Ishâq bin Rohawaih, atau semisal al-Fudhail dan Abu Mâlik atau yang lebih dikenal dengan al-Kurkhî, atau yang semisal mereka, melainkan mereka menjelaskan dengan tegas bahwa seutama-utama ilmu dan amal mereka adalah yang meniti ilmu dan amal para sahabat, mereka beranggapan bahwa para sahabat adalah kaum yang berada terdepan di atas mereka di segala bab keutamaan dan kemuliaan.” (Syarhul Aqîdah al-Ashfahânîyah hal. 128).

Al-Ajurrî rahimahullâhu berkata di dalam kitab beliau “Asy-Syarî’ah” :

" علامُة من أراد الله عز وجل به خيراً سلوك هذه الطريق، كتاب الله عز وسنن أصحابه رضي الله عنهم ومن تبعهم ، وجل وسنن رسوله بإحسان رحمة الله تعالى عليهم، وما كان عليه أئمة المسلمين في كل بلد، إلى آخر ما كان من العلماء؛ مثل الأوزاعي وسفيان الثوري ومالك بن أنس والشافعي وأحمد بن حنبل والقاسم بن سلام، ومن كان على مثل طريقتهم، ومجانبة كل مذهبٍ لا يذهب إليه هؤلاء العلماء " الشريعة .(301/1)

 “Tanda-tanda orang yang Allôh Azza wa Jalla kehendaki kebaikan baginya adalah, orang yang meniti di atas jalan Kitâbullâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasūl-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sunnah para sahabat beliau radhiyallâhu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan lebih baik rahmatullâhi Ta’âlâ ‘alaihim, juga (meniti) jalan yang dilalui oleh para imam kaum muslimin di seluruh negeri sampai generasi akhir para ulama, semisal al-Auzâ’î, Sufyân ats-Tsaurî, Mâlik bin Anas, asy-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal, al-Qâsim bin Sallâm, dan siapa saja yang berada di atas metode mereka dan menjauhi setiap madzhab yang tidak bermadzhab dengan para ulama tersebut.” (asy-Syarî’ah I:301).

Ibnu Qutaibah rahimahullâhu berkata dengan sebuah perkataan yang anggun di dalam bab ini :

" ولو أردنارحمك اللهأن ننتقل عن أصحاب الحديث، ونرغب عنهم إلى أصحاب الكلام، ونرغب فيهم؛ لخرجنا من اجتماعٍ إلى تشتت، وعن نظام إلى تفرق، وعن ُأنسٍ إلى وحشة، وعن اتفاق إلى اختلاف). تأويل مختلف الحديث ص (16

“Sekiranya kita menghendaki –semoga Allôh merahmati anda- beranjak dari (manhaj) ahli hadîts dan berpaling dari mereka menuju (manhaj) ahli kalâm dan mencintai mereka, niscaya kita pasti akan keluar dari persatuan menuju perselisihan, dari keteraturan menuju perpecahan, dari kebahagiaan menuju kesengsaraan dan dari kesepakatan menuju pertikaian.” (Ta’wîl Mukhtalafil Hadîts hal. 16).

Hal ini menjelaskan bahwa tidak mungkin kemantapan akan diperoleh melainkan dengan berpegang secara sempurna terhadap faham as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullâhu, Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ berfirman :

 “Dan barangsiapa yang menentang Rasūl sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisâ1 : 115).

Kedelapan : Termasuk faktor-faktor mantapnya ahlus sunnah di atas kebenaran dan konsisten di atasnya adalah : sikap mereka rahimamullâhu yang wasath (moderat) dan i’tidâl (sikap pertengahan), sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :

 “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang wasath (moderat).” (QS al-Baqoroh : 143), yaitu sebagai saksi yang adil. Mereka bersikap moderat tidak bersikap ghuluw (ekstrem) dan tidak jafâ` (sikap menyepelekan), tidak ifrâth (sikap berlebih-lebihan) dan tidak pula tafrîth (sikap meremehkan), serta tidak menambah-nambahi dan tidak mengurangi. Bentuk sikap wasath mereka adalah dengan berpegangteguhnya mereka terhadap kebenaran, konsisten dan mantap di atasnya serta menjauhi semua jalan yang menyimpang, tidak ada bedanya baik yang condong kepada sikap ghuluw ataupun jafâ`. Mereka senantiasa bersikap wasath di dalam kebenaran dan konsisten di atasnya, mereka kokoh di atasnya dengan pengokohan Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ bagi mereka.

Inilah faktor utama dari faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya mereka di atas kebenaran. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, tanpa diiringi sikap tafrîth dan tidak pula ifrâth. Setiap kali seseorang bersikap wasath dan i’tidâl, maka ia adalah orang yang paling layak dan paling utama dengan kebenaran.

‘Alî bin Abî Thâlib radhiyallâhu ‘anhu berkata :

" إن دين الله بين الغالي والمقصر، فعليكم بالنمرقة الوسطى؛ فإنها يحلق المقصر، وإليها يرجع الغالي ".

“Sesungguhnya agama Allôh itu berada diantara sifat berlebihan dan sifat kurang, maka wajib atas kalian untuk bersandar kepada sandaran yang pertengahan, karena dengan bersandar padanya akan memangkas sifat yang kurang dan kepadanya akan berpulang sifat berlebihan.”

Sikap wasath itu tidak akan bisa diperoleh selamanya melainkan dengan berpegang teguh terhadap kebenaran (al-Haq) tanpa menambah-nambahi atau mengurangingurangi.

Barangsiapa bersikap demikian maka ia adalah orang yang lebih utama dengan kebenaran dan orang yang paling jauh dari penyimpangan serta paling berhak dengan kemantapan dan keselamatan. Oleh karena itulah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

 “bersederhanalah, bersederhanalah, niscaya kalian akan mendapatkan” (HR Buhârî no. 6463)

Dan sabda beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm :

عليكم هدياً قاصداً، فإنه من يشاد الدين يغلبه

“Berpegangteguhlah dengan petunjuk yang pertengahan, karena sesungguhnya orang yang bersikap keras di dalam agama akan didominasi (dikalahkan) oleh agamanya.” (HR Ahmad 5/350-31, dishahîhkan oleh al-Albânî di dalam Shahîhul Jâmi’ no. 4086).

Ibnul Qoyyim rahimahullâhu berkata :

" فدي ن الله بين الغالي فيه والجافي عنه، وخير الناس النمط الأوسط، الذين ارتفعوا عن تقصير المفرطين، ولم يلحقوا بغلو المعتدين، وقد جعل الله سبحانه هذه الأمة وسطاً، وهي الخيار العدل، لتوسطها بين الطرفين المذمومين، والعدل هو الوسط بين طرفي الجور والتفريط، والآفات إنما تتطرق إلى الأطراف والأوساط محميٌة بأطرافها فخيار الأمور أوساطها" ( إغاثة اللهفان : 1/201)

 “Agama Allôh itu berada di antara orang yang berlebihan dan orang yang mengabaikan dan sebaik-baik manusia adalah kelompok yang pertengahan, mereka meninggikan dari peremehan orang-orang yang tafrîth (suka mengabaikan) dan tidak menambahkan dari sikap ghuluw-nya orang-orang yang melampaui batas. Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan umat ini (umat Islâm) sebagai umat pertengahan dan mereka adalah umat terbaik yang adil, oleh sebab sikap tawassuth (pertengahan) mereka di antara dua golongan yang tercela. Sikap adil adalah sikap pertengahan di antara dua golongan yang bersikap lalim (berlebihan) dan tafrîth. Segala hal yang merusak sesungguhnya menembus segala sisi dan yang paling pertengahan adalah yang terjaga pada segala sisinya, dan sebaik-baik perkara adalah yang paling pertengahan.” (Ighôtsatul Lahafân I/201).

Kesembilan : Termasuk diantara faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya mereka di atas al-Haq dan selamat dari penyimpangan dan perubahan adalah, mereka tidak mendahulukan akal dan perasaan mereka melebihi al-Kitâb dan as-Sunnah. Hal ini juga telah lewat penunjukan salah satu aspek tentangnya sebelumnya,

dan saya akan nukilkan di sini ucapan Abî Muzhoffar as-Sam’ânî yang dinukil dari at-Taimî di dalam kitabnya “al-Hujjah” dan Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya “ash-Showâ’iq”, dan ucapan beliau ini adalah ucapan yang agung lagi kokoh di dalam bab ini. As-Sam’ânî berkata :

 “Dan merupakan sebab bersatunya ahli hadits adalah, mereka mengambil agama dari al-Kitâb dan as-Sunnah serta jalur naql (penukilan riwayat) sehingga mereka mewarisi persatuan dan kesepakatan. Adapun ahli bid’ah, mereka mengambil agama mereka dari akal-akal mereka sehingga mereka mewarisi perpecahan dan perselisihan. Karena sesungguhnya, naql (penukilan) dan riwayat dari orang-orang yang tsiqât (kredibel) dan mutqîn (mantap hapalan dan ilmunya) sedikit sekali perselisihannya, walaupun lafazh dan kalimatnya berbeda-beda namun perbedaan ini tidaklah mencederai dan mencacat di dalam agama. Adapun produk akal, pemikiran dan pendapat maka sedikit sekali yang saling bersepakat, bahkan akal setiap orang atau pemikiran dan pendapatnya, difahami oleh orang yang berpendapat tersebut tidak sebagaimana yang difahami oleh orang

selainnya.” (Mukhtashor ash-Showâ’iq hal. 518).

Maka inilah diantara faktor-faktor tsabât (mantapnya) mereka, yaitu tidak mendahulukan akal, pendapat, perasaan dan semisalnya, melebihi Kitâb Rabb mereka dan sunnah nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.

Adapun ahli hawa (pengikut hawa nafsu), mereka lebih mendahulukan perkara-perkara ini di atas Kitâbullah dan Sunnah Rasūlullâh. Diantara mereka ada yang lebih mendahulukan akal, ada yang lebih mendahulukan pemikiran, ada yang lebih mendahulukan perasaan, ada yang lebih mendahulukan dongeng-dongeng dan mimpi, dan adapula yang lebih mendahulukan hawa nafsunya di atas perintah Rabb-Nya Tabâroka wa Ta’âlâ, saling berlainan dan setiap orang memiliki manhaj, metode dan jalannya masing-masing. Adapun ahlus sunnah, mereka terbebas dari semua penyakit ini, dan mereka menetapi Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya Sholawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi. Dan hal ini merupakan faktor terbesar diantara faktor-faktor mantapnya mereka.

Barangsiapa yang menimba dari sumber air pertama dan mata air yang murni, niscaya ia akan mendapatkan selain dari pada itu semua adalah sumber-sumber air yang telah keruh.

Kesepuluh : Hubungan mereka yang baik kepada Allôh, kuatnya ikatan mereka kepada-Nya dan bersandarnya mereka hanya kepada-Nya. Hal ini adalah perkara yang telah saya tunjukkan di dalam pembuka di awal. Oleh karena taufîq itu mutlak berada di tangan-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ, maka mereka membaguskan

hubungan mereka dengan Allôh, memperkuat bersandarnya mereka kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya, memohon pertolongan dan berdoa hanya kepada-Nya, serta meminta kepada-Nya kemantapan.

Mereka mencontoh hal ini dari jalan nabi mereka Sholawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi.

Termasuk doa nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam adalah :

 “Ya Allôh, aku memohon kepada-Mu petunjuk dan arahan yang benar”

Beliau juga pernah berdoa :

”Ya Allôh, aku meminta kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kecukupan.”

Beliau juga pernah berdoa :

”Ya Allôh anugerahkan kepada jiwa kami ketakwaannya, sucikan jiwa kami karena Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikan jiwa kami, Engkaulah yang menguasai jiwa kami dan mengaturnya.”

Beliau juga berdoa :

”Ya Allôh perbaikilah agamaku yang mana ia merupakan pelindung urusanku, perbaikilah duniaku yang merupakan tempat pencaharianku, perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, jadikanlah kehidupan sebagai tambahan bagiku di dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematian sebagai tempat istirahat bagiku dari segala keburukan.”

Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam juga berdoa :

 “Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”

Beliau juga berdoa “

 “Ya Allôh, hanya kepada-Mu-lah aku berserah diri, kepada-Mu-lah aku beriman dan kepada-Mu-lah aku bertawakkal. Hanya kepada-Mu aku bertawakkal dan kepada-Mu lah aku kembali serta dengan-Mu aku berdebat (dengan orang kafir). Ya Allôh, aku memohon perlindungan dengan keperkasaan-Mu, yang tiada sesembahan yang haq untuk disembah melainkan Engkau, dari ketergelinciran. Engkau adalah dzat yang maha hidup tidak pernah mati, sedangkan manusia dan jin pasti akan binasa.”

Beliau juga pernah berdoa :

 “Ya Allôh, yang maha membolak-balikkan hati. Mantapkan hati kami di atas agama-Mu.”

Beliau juga berdoa :

 “Ya Allôh, berikanlah kami pertunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk.”

Beliau juga pernah berdoa :

 “Ya Allôh hiasilah kami dengan perhiasan keimanan dan jadikanlah kami orang yang memberikan petunjuk lagi mendapatkan petunjuk.”

[Semua doa di atas diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahîh-nya kecuali tiga doa terakhir. Yang pertama dan kedua diriwayatkan Ahmad (/301) dan (1/200) dan ketiga diriwayatkan an-Nasâ`î (no. 1305).

Para pengikut nabi Sholawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi berpegang teguh dengan manhaj beliau, mereka senantiasa menambatkan (hati mereka) dengan Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ di setiap waktu dan kapan saja.

Mereka meminta kepada Allôh kemantapan, bimbingan, pertolongan dan taufiq, oleh karena itulah Allôh memberikan taufiq-Nya kepada mereka, menolong dan membimbing mereka, memelihara dan menjaga mereka dengan pemeliharaan dan pertolongan-Nya. Penjagaan dan taufiq Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ hanyalah mutlak berada di tangan-Nya semata.

Kemudian, sesungguhnya ikatan mereka kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ mewariskan kepada mereka, ibadah yang benar dan perangai serta akhlâq yang lurus. Oleh karena itulah, sesungguhnya diantara faidah aqidah yang terpuji dan pengaruhnya yang agung, ia akan terpancar di dalam perbuatan dan perangai seorang manusia, semakin kuat, tinggi, tumbuh berkembang dan semakin suci. Dan ini merupakan berkahnya aqidah yang benar dan termasuk manfaat serta faidahnya yang besar.

Adapun aqidah yang menyimpang, maka ia merupakan kecelakaan bagi pemiliknya. Oleh karena itulah, rusaknya aqidah berakibat kepada rusaknya perbuatan dan perangai, dan hal ini tentu saja merupakan keyakinan yang mencelakakan. Barangsiapa yang meneliti terutama terhadap para pembesar kebatilah dan penyeru kesesatan, ia akan mendapatkan ciri ini secara nyata dan jelas pada mereka. Tidak tampak pada mereka perhatian, kepedulian dan penjagaan kepada ibadah. Tidak tampak pula pada mereka perangai yang terang, sempurna lagi jelas. Sekiranya ia mendapatkan sedikit dari hal dari hal-hal ini, maka yang ada pada ahlus sunnah, berupa kebenaran dan keistiqomahan terhadapnya, lebih besar dan jauh lebih besar.

Dan ini merupakan pengaruh istiqomah di atas aqidah (yang benar) dan menambatkan (hati mereka) kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.

Kesebelas : Keyakinan mereka secara totalitas dengan aqidah ini yang mereka beristiqomah di atasnya serta jauhnya mereka dari memperlihatkan pertikaian dan perdebatan. Hal ini merupakan aspek tertinggi tentang urgennya kemantapan di dalam aqidah yang benar, yaitu pemiliknya akan menjadi orang yang yakin dengannya.

Ahlus sunnah memiliki kerelaan dan kepercayaan yang sempurna terhadap agama dan keyakinan yang mereka pegang. Oleh karena itulah ahlus sunnah, tidak seperti kelompok lainnya, tidak memerlukan produk yang ada pada mereka berupa pemikiran dan akal. Sedangkan pelaku hawa nafsu dan bid’ah, anda dapati mereka adalah orang yang labil gemar bepindah-pindah dari pendapat orang yang satu ke orang yang lain, bertanya dan meminta arahan kepada mereka dalam masalah agama, karena mereka merasa ragu, tidak mantap dan tidak tenang.

Adapun Ahlus Sunnah, mereka berada di atas keyakinan yang sempurna, mereka tidak mau menerima percekcokan dan perdebatan di dalam aqidahnya.

Mereka merasa mantap dan tenang dengan aqidahnya dengan kemantapan yang tinggi dan merasa terikat dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Kitâbullâh, yang tidak datang dari segala sisi dan tidak pula dari belakangnya kebatilan, dan sunnah nabi-Nya yang tidaklah diucapkan dari hawa nafsu, sehingga mereka menjadi tenang dan mantap dengan ketenangan dan kemantapan yang tinggi terhadap aqidah yang mereka yakini. Mereka tidak membutuhkan perdebatan, percekcokan dan sebagainya.

Namun mereka tetap di dalam aqidahnya di atas jalan dan cara yang satu, semenjak dari generasi awal hingga akhir, mereka tidak plin-plan dan tidak goyah, tidak labil dan tidak pula bimbang.

Adapun ahli bathil, maka keadaan mereka berbeda. Allôh Ta’âlâ berfirman :

“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS az-Zukhruf : 58)

Anda dapati mereka adalah orang yang goyah dan bimbang, lebih condong kepada pemikiran dan akal manusia dan banyak melakukan kelabilan di dalam agama.

Saya nukilkan di dalam pembahasan ini sejumlah atsar dari para salaf rahimahumullâhu yang sangat besar manfaatnya :

Abū Hudzaifah berkata kepada Abū Mas’ūd :

 “Sesungguhnya kesesatan yang paling sesat adalah, anda mengakui sesuatu yang anda ingkari dan mengingkari yang anda akui. Jauhilah sikap labil di dalam agama, karena agama Allôh itu hanya satu.” (al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/505).

‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz berkata :

  “Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya untuk perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”

Beliau rahimahullâhu juga berkata :

"من عمل بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح، ومن لم يعد كلامه من عمله كثرت خطاياه، ومن كثرت خصومته لم يزل يتنقل من دين إلى دين" الإبانة ( 2/504)  

 “Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka ia akan lebih banyak merusak daripada membenahi. Dan barangsiapa tidak memperhitungkan perkataannya sebagai amalnya, maka akan berlimpah dosa-dosanya.

Serta barangsiapa yang banyak berdebat, ia akan senantiasa bersifat labil berpindah-pindah dari satu agama ke agama lainnya.” (al-Ibânah II/504).

Mi’an bin Isâ berkata :

 “Pada suatu hari, Mâlik berangkat ke Masjid sedangkan beliau dalam keadaan bersandar pada tanganku.

Kemudian, seorang pria yang disebut dengan Abūl Juwairiyah menemui beliau dan dia adalah seorang yang tertuduh irjâ`, lalu ia berkata : “Wahai Abâ ‘Abdillâh (Imâm Mâlik), dengarkanlah sesuatu dariku, aku akan bicara kepada anda, berargumentasi dan menceritakan pemikiranku.” Imâm Malik bertanya, “Apabila engkau dapat mengalahkanku?”, dia menjawab, “Jika aku dapat

mengalahkan anda maka anda harus mengikutiku.”

Imâm Mâlik bertanya kembali : “Apabila ada orang lain yang berbicara kepada kita lalu mengalahkan kita?”, ia menjawab, “kita ikuti dia.” Lantas Imâm Mâlik berkata :

“Wahai hamba Allôh, Allôh telah mengutus Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi was Sallam dengan agama yang satu.

 Sedangkan aku melihatmu adalah orang yang labil berpindah dari satu agama ke agama lain.”

Perkara agama ini menjadi perkara yang labil menurut mereka berpindah-pindah dari orang yang satu ke orang lain dan dari pemikiran yang satu ke pemikiran lainya.

Dan inilah makna ucapan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz yang telah lewat sebelumnya, “Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya untuk perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”

 Mâlik berkata :

 “Adalah orang tersebut (beliau mengisyaratkan kepada salah satu imam salaf tanpa menyebut namanya), apabila datang kepadanya sebagian orang pelaku hawa nafsu, beliau berkata : “Adapun saya, maka saya berada di atas keterangan dari Tuhanku, sedangkan anda dalam keadaan ragu dan mendatangi orang yang juga ragu

seperti anda lalu anda debat.” Imâm Mâlik melanjutkan :

“Imam tersebut berkata : mereka merasa bingung dengan keadaan mereka sendiri kemudian meminta tolong kepada orang yang mengetahui mereka.” (al-Ibânah II/509).

Yaitu (orang yang mengetahui) agama mereka. Merasa rancu dengan keadaan mereka yaitu dengan keraguan dan dugaan para pelaku hawa nafsu dan sebagainya.

Kemudian mereka memohon kepada orang yang mengetahui agama mereka, yang akan menghilangkan keragu-raguan yang menyelimuti mereka, namun mereka datangkan dari pendapat dan hawa nafsu akal seseorang.

Ishâq bin Isâ ath-Thobâ’ berkata :

 “Mâlik bin Anas adalah orang yang mencela perdebatan di dalam agama, beliau berkata, “Tiap kali datang kepada kami seseorang yang gemar berdebat dengan orang lain. Kami berkeinginan membantah dengan apa yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (al-Ibânah II/507).

Hasan al-Bashrî berkata :

“Perbendahaaran harta paling bernilai seorang mukmin adalah agamanya. Apabila hartanya ini hilang, maka hilanglah agamanya besertanya. Ia tidak akan mau meninggalkannya untuk orang lain dan tidak pula mempercayakannya.” (al-Ibânah II/509)

Beginilah keadaan ahlus sunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang menyandarkan agama dan aqidahnya kepada akal, hawa nafsu dan pemikiran manusia. Mereka hanya berpegang erat dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabî-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, menurut timbangan pemahaman salaful ummah.

Dzakwân berkata :

 “Hasan al-Bashrî melarang perdebatan di dalam agama, beliau mengatakan bahwa berdebat itu kerjanya orang yang ragu dengan agamanya.” {al-Ibânah II/519).

Adapun orang yang tidak memiliki keraguan di dalam agamanya, maka ia tidak butuh sedikitpun dengan berbagai bentuk perdebatan.

 Hisyâm bin Hasan berkata :

‘Wahai Abâ Sa’îd, kemarilah, saya ingin berdiskusi (baca: berdebat) dengan anda tentang masalah agama.’

Hasan al-Bashrî berkata, “Aku adalah orang yang jelas agamaku, sedangkan anda adalah orang yang sesat agamanya sehingga menjadi kabur.”

Maksudnya adalah, pergilah dan carilah agamamu.

Adapun saya adalah orang yang mantap dengan agamaku, tenang dan mengenalnya. Jadi, aku tidak butuh dengan pedebatan dan percekcokan.

Ahmad bin Sinân berkata :

" جاء أبو بكر الأصم إلى عبد الرحمن بن مهدي فقال: جئت أناظرك في الدين، فقال: إن شككت في شيءٍ من أمر دينك فقف حتى أخرج إلى الصلاة، وإلا فاذهب إلى عملك، فمضى ولم يثبت " الإبانة ( .(538/ 2

“Abū Bakr al-Ashom mendatangi ‘Abdurrahman bin Mahdî lalu berkata, ‘Saya datang untuk berdiskusi dengan anda tentang masalah agama.’ Ibnu Mahdî menjawab, ‘Jika engkau merasa ragu dengan sesuatu dari agamamu, berhentilah sampai aku keluar untuk untuk sholât, apabila tidak, kembalilah bekerja’, lalu orang tersebut berlalu dan tidak mau menetap.” (al-Ibânah II/538)

Di dalam kisah di atas, menunjukkan bahwa ahlus sunnah menyibukkan diri dengan kebenaran yang mereka pegang, dengan beribadah kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Ibnu Mahdî berkata kepada Abū Bakr al-Ashom, ‘Jika kamu merasa ragu dengan sesuatu dari agamamu berhentilah sampai aku keluar untuk

untuk sholât’, maksudnya adalah, ‘Saya terlalu sibuk dengan ketaatan kepada Allôh, saya mau sholat dulu, berhentilah (di situ) sampai aku keluar untuk sholât dan aku tidak punya urusan denganmu. Jika kau tidak mau kembalilah ke pekerjaanmu. Kemudian orang itu berlalu dan tidak mau menetap.”

Demikianlah sejumlah nukilan yang bermanfaat yang aku nukil dari kitab al-Ibânah karya Ibnu Baththah al-‘Ukburî rahimahullâhu. Buku ini adalah buku yang agung di dalam pembahasan ini, dan kesemua nukilan dari ulama salaf rahimahullâhu ini menjelaskan akan mantapnya agama mereka, stabilnya jiwa mereka dan kuatnya penjagaan dan perhatian mereka terhadap agama.

Mereka tidak menyandarkan agamanya kepada perdebatan dan percekcokan, atau pemikiran yang menyimpang dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadikan faktor utama mantapnya mereka terhadap kebenaran.

Kedua Belas : Keyakinan kaum salaf bahwa masalah keimanan kepada Allôh, nama-nama dan sifat-Nya serta hari akhir, juga perkara-perkara aqidah lainnya yang datang dari para Rasūl yang mereka bersepakat atasnya, kesemuanya ini adalah perkara yang baku yang tidak dimasuki naskh (penghapusan hukum) maupun perubahan dan semisalnya. Karena aqidah itu bukanlah bidang yang bisa dimasuki an-naskh, oleh karena itulah para nabi dari yang awal sampai yang akhir bersepakat di atas aqidah yang sama, sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah hadîts yang shahîh dari Nabî Shallâllâhu’alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :

" الأنبياءُ إخوةٌ من علات، وأمهم شتى، ودينهم واحد " صحيح مسلم.(1837/4)

”Para Nabi itu bersaudara tiri dan ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka satu.” (Shahîh Muslim IV/1837).

Ketiga Belas : Terang, mudah dan jauhnya aqidah ahlus sunnah dari kerancuan, sedang selain ahlus sunnah, anda dapati aqidahnya diliputi oleh kerancuan dan ketidakjelasan, serta dipenuhi oleh syubuhât.

Adapun aqidah ahlus sunnah wal jamâ’ah sangat terang, seterang matahari di tengah hari bolong, yang mana terangnya ini diperoleh dari mata air dan sumbernya yang jelas.

Imâm Ibnul Qoyîm berkata di dalam kitab beliau ash-Showâ`iq ketika menjelaskan aqidah yang benar ini, yang terangnya seterang sumbernya :

" مثل ضوء الشمس للبصر، لا يلحق إشكال، ولا يغير في وجه دلالتها إجمال، ولا يعرضها تجويز واحتمال، تلج الأسماع بلا استئذان، وتحل من العقول محل الماء الزلال من الصادي الظمآن، فضلها على أدلة العقول والكلام كفضل الله على الأنام، لا يمكن أ حد أن يقدح فيها قدحاً يوقع في اللبس، إلا إن أمكنه أن يقدح بالظهيرة صحواً في طلوع الشمس " الصواعق المرسلة ((1199/3

”Bagaikan cahaya matahari bagi pengelihatan, yang tidak memiliki penghalang. Yang secara umum tidak berubah sisi pendalilannya, tidak pula memiliki kelemahan dan probabilitas, merasuk ke pendengaran tanpa izin, dan memenuhi akal dengan air yang segar yang membasahi dahaga orang yang kehausan, keutamaannya dibandingkan dalil-dalil akal dan kalam bagaikan keutamaan Allôh dibandingkan makhluk-Nya.

Tidak mungkin ada seorangpun yang bisa mencela aqidah ini seakan-akan memiliki kerancuan, melainkan dirinya bagaikan mencela hari yang cerah di tengah terbitnya matahari.” (ash-Showâ`iqul Mursalah III/1199)

Orang yang ingin mencela aqidah yang shahîh lagi lurus ini, yang diambil dari Kitâbullâh dan Sunnah, keadaannya serupa dengan seorang lelaki yang mendatangi manusia di tengah hari dan berkata kepada mereka: saya jelaskan kepada kalian bahwa sekarang ini adalah malam hari bukan siang. Beginilah keadaan orang yang datang dan ingin membuat keragu-raguan terhadap

kebenaran aqidah yang shahîh lagi lurus ini, yang diambil dari Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Keadaannya sebagaimana yang difirmankan oleh Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ:

”Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS al-Hajj : 46)

Keempat Belas : Diantara (penyebab) mantapnya aqidah ahlus sunnah dan selamatnya dari penyimpangan adalah, mereka mau mengambil ibrah dan pelajaran dari keadaan ahli hawa terdahulu. Dikatakan di dalam sebuah pepatah, ”Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”. Ahli hawa yang meninggalkan Kitâbullâh dan Sunnah, menyebabkan mereka menjadi plin plan, menyimpang, labil (berubah-ubah) dan goyah, serta jauh dari kemantapan dan kekokohan. Tidak pernah anda dapati ada seorang ahli hawa yang mantap dan kokoh sikapnya, karena mereka ini terus menerus dan selamanya dalam keadaan labil. Saya nukilkan di sini keterangan dari para ulama tentang pensifatan keadaan ahli ahwâ`: Syaikhul Islâm berkata :

Ahli kalam adalah manusia yang paling sering berubah-ubah (labil) pendapatnya dari pendapat yang satu ke pendapat yang lain. Mereka menetapkan suatu pendapat di suatu tempat, namun di tempat lain mereka membantahnya dan mengkafirkan orang yang berpendapat dengannya. Ini merupakan dalil bahwa mereka tidak memiliki keyakinan, karena sesungguhnya iman itu sebagaimana yang dikatakan oleh Kaisar (Heraklius) ketika bertanya kepada Abū Sufyân tentang siapa saja yang turut masuk Islâm bersama nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, ia berkata : ”Adakah seorang diantara mereka yang kembali dari agamanya disebabkan karena ia murka kepadanya setelah ia masuk ke dalamnya?” Abū Sufyân menjawab, ”Tidak”. Kaisar berkata, ”Demikianlah keimanan itu, apabila telah merasuk ke dalam sanubari hati seseorang, tidak ada seorangpun yang murka padanya.” (Majmū’ Fatâwâ IV/50).

Di dalam kisah di atas terhadap ibrah dan pelajaran tentang keadaan ahli ahwâ` bahwa mereka tidak memiliki kemantapan dan keajegan, namun mereka senantiasa berada di dalam kelabilan dan kegoncangan.

Termasuk sifat yang dijelaskan oleh para ulama tentang keadaan ahli ahwâ` adalah, ucapan Abū Muzhoffar as-Sam’ânî yang dinukil olehh at-Taimî dan Ibnul Qoyyim, beliau berkata :

”Apabila anda memperhatikan keadaan ahli ahwâ`, anda dapati mereka ini dalam keadaan berpecah belah dan berselisih, bergolong-golongan dan berpartai. Tidak mungkin anda temukan ada dua orang diantara mereka yang berada di atas satu manhaj di dalam masalah aqidah, mereka saling membid’ahkan satu dengan lainnya. Bahkan mereka sampai jatuh kepada pengkafiran, seorang anak sampai mengkafirkan ayahnya, seorang mengkafirkan saudaranya dan tetangganya. Anda lihat mereka senantiasa dalam keadaan saling bertikai, membenci dan berselisih. Habis umur mereka namun mereka tidak pernah bersatu.” (Mukhtashor ash-Showâ`iq al-Mursalah karya Ibnul Qoyyim hal. 518).

Syaikhul Islâm berkata menjelaskan sifat ahli ahwâ`:

”Mereka juga senantiasa menyelisihi ahli hadits, mereka adalah tempatnya kerusakan amal, bisa jadi berasal dari aqidah yang jelek dan nifaq, dan bisa jadi pula dari hati yang sakit dan iman yang lemah. Diantara mereka ada yang meninggalkan perkara wajib, melanggar batas, meremehkan hak dan hati yang kesat, yang tampak pada setiap orang dari mereka. Secara umum guru-guru mereka gemar melakukan dosa besar, walaupun ada diantara mereka yang dikenal dengan kezuhudan dan ibadahnya. Sesungguhnya, zuhud dan ibadahnya orang awam ahlus sunnah lebih baik daripada mereka. Suatu hal yang telah diketahui bersama, bahwa ilmu itu adalah pondasinya amal, dan benarnya suatu pondasi mengharuskan benarnya furu’ (cabang amal). (Majmū’ Fatâwâ IV/53)

Ibrâhîm an-Nakho’î berkata :

"كانوا يرون التلون في الدين من شك القلوب في الله عز وجل" الإبانة لابن بطة .(505/2)

”Para salaf memandang bahwa bersikap plin plan di dalam agama merupakan keraguan hati terhadap Allôh Azza wa Jalla.” (al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/502)

Mâlik bin Anas berkata :

”Penyakit yang paling mematikan adalah, sikap labil di dalam agama.” Beliau berkata, ”Seorang pria berkata :

Aku tidak pernah bermain-main dengan agama maka janganlah kamu sekali-kali bermain-main dengan agamamu.” (al-Ibânah II/506)

Barangsiapa memperhatikan keadaan ahli ahwâ`, niscaya ia akan mendapati bahwa realita keadaan mereka adalah sedang bermain-main dengan agama dan labil (berubah-ubah pendirian). Pendapat, akal, pemikiran dan bentuk kelompok ini bermacam-macam dan berbeda-beda, tidak pernah mantap dan ajeg.

Sampai-sampai ada seorang lelaki dari ahlis sunnah datang kepada salah satu pembesar ulama ahli kalâm yang sedang dirundung kebimbangan, keraguan dan kegoncangan. Ahli Kalâm itu bertanya (kepada ahlus sunnah tadi) : ”Apa yang anda yakini?”, pria itu menjawab, ”saya meyakini apa yang diyakini oleh kaum muslimin, yaitu yang datang dari Kitâbullâh dan Sunnah Rasūl-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.” Ahli Kalâm itu bertanya kembali, ”Apakah anda merasa mantap dengan keyakinan itu dan berlapang dada?”, pria itu menjawab, ”Iya”. Kemudian ulama ahli kalâm itu berkata, ”Adapun saya, demi Allôh saya tidak tahu apa yang saya yakini? demi Allôh saya tidak tahu apa yang saya yakini? Demi Allôh saya tidak tahu apa yang saya yakini?” sembari

menangis tersedu-sedu hingga basah jenggotnya. (Lihat Syarhul Aqîdah ath-Thohâwiyah hal. 246).

Hal ini disebabkan karena urusan mereka adalah berdebat, berdiskusi dan sebagainya. Siapa saja yang memperhatikan keadaan ahli ahwâ`, ia akan dapat memetik pelajaran dan ibrah dari mereka, sebagaimana perkataan pepatah sebelumnya,

السعيد من اتعظ بغيره

”Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”. Ahlus sunnah dengan segala pujian bagi Allôh adalah berada di atas sunnah, ia senantiasa meminta kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ supaya memantapkannya di atas sunnah.

Kelima Belas : Diantara faktor mantapnya ahlus sunnah di atas keyakinan yang benar adalah : mereka senantiasa bersatu padu dan tidak berpecah belah.

Adapun ahli ahwâ`, mereka telah memecah belah agama mereka dan mereka bergolong-golongan. Setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang mereka miliki.

Qotâdah berkata :

" لو كان أمر الخوارج هدى لاجتمع، ولكنه كان ضلالاً فتفرق " تفسير الطبري .(178/3)

”Sekiranya khowarij itu berada di atas petunjuk niscaya mereka akan bersatu, namun mereka berada di atas kesesatan sehingga mereka saling berpecah belah.”

(Tafsîr ath-Thobarî III/178).

Hal yang seperti ini tidaklah sedikit terjadi pada ahli bid’ah. Adapun ahlus sunnah, mereka saling bersatu padu dan berhimpun, tidak ada pada mereka perpecahan ataupun perselisihan di dalam agama Allôh. Mereka berada di atas jalan yang lurus, saling berjanji, berwasiat dan bersabar di atasnya.

Abūl Muzhoffar as-Sam’ânî berkata :

”Diantara hal yang menunjukkan bahwa ahli hadits itu berada di atas kebenaran adalah, sekiranya anda menelaah semua kitab-kitab mereka yang tertulis baik dari awal sampai akhir, baik yang terdahulu maupun yang kontemporer, walaupun negeri dan zaman mereka berbeda dan saling berjauhan, dan tempat tinggal setiap orang dari mereka tersebar di seluruh penjuru dunia, anda dapati bahwa mereka di dalam menjelaskan masalah aqidah berada pada satu manhaj dan jalan.

Mereka berjalan di atas jalan ini, tidak menyimpang dan berpaling darinya. Hati mereka satu di dalam keyakinan tersebut, dan tidak anda dapati perselisihan dan perpecahan sedikitpun di dalam transmisi (penukilan) mereka kecuali hanya sedikit sekali. Bahkan, sekiranya anda mengumpulkan semua yang mereka ucapkan dan yang mereka nukil dari pendahulu (salaf) mereka, anda dapati seakan-akan berasal dari hati dan lisan yang satu.

Apakah benar ada dalil lain yang lebih terang daripada ini? Allôh Ta’âlâ berfirman :

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`ân? kalau kiranya Al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allôh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS an-Nisâ` :82)

Dan firman-Nya :

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS Âli

’Imrân : 103) [Mukhtashor ash-Showâ`iqul Mursalah karya Ibnul Qoyyim hal. 518)

Hal ini juga merupakan diantara faktor-faktor besar yang dapat menghantarkan ahlus sunnah mantap di atas kebenaran dan konsisten di atas aqidah yang benar serta selamat dari penyimpangan, keplinplanan dan perubahan.

Inilah poin terakhir yang hendak kupaparkan penjelasannya, akan tetapi saya cukupkan sampai di sini dan akan saya jelaskan sebagian aspek lain dari aqidah yang menjelaskan persatuan ahlus sunnah wal jamâ’ah di atas aqidah dan jalan mereka yang satu, dari orang pertama hingga orang terakhir mereka, apabila anda perhatikan pendapat-pendapat mereka di zaman ini dan pendapat mereka di zaman awal, yaitu zaman Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, anda dapati bahwa mereka berada di atas perkara yang satu, karena mereka mengambilnya dari sumber yang satu pula.

Imâm Mâlik rahimahullâhu berkata :

”Segala sesuatu yang pada zaman nabi tidak termasuk agama, maka tidak akan termasuk agama pula pada hari ini dan tidak pula termasuk agama hingga hari kiamat.

Tidak akan baik keadaan akhir umat ini melainkan dengan baiknya umat generasi awal.”

Apabila anda memperhatikan aqidah mereka di zaman ini juga di zaman-zaman sebelumnya, anda dapati mereka berada di atas aqidah yang satu. Akan saya berikan beberapa contoh hal ini :

Contoh 1 : Apabila anda mencermati aspek tauhîd dan ikhlâsh, yaitu mengikhlaskan (memurnikan) amal hanya untuk Allôh Ta’âlâ semata, anda dapati bahwa mereka dari generasi awal sampai akhir adalah para penyeru tauhîd, semuanya menyeru kepada pemurnian perbuatan hanya bagi Allôh semata dan semuanya memperingatkan dari kesyirikan dan segala bentuk peribadatan selain kepada Allôh. Tidak akan anda dapati ada diantara mereka yang mengajak kepada kesyirikan atau menyelisihi tauhîd, sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas ahli ahwâ`, yang menyeru kepada berbagai bentuk penyimpangan ini dan memberikan nama dengan selain namanya. Mereka menamakan berbagai macam kesyirikan dengan tawassul atau syafâ’at atau selainnya.

Contoh 2 : Mereka semua bersepakat untuk mendorong berpegang kepada sunnah dan melarang dari segala bentuk bid’ah dan hawa nafsu. Anda tidak akan melihat seorangpun dari mereka melainkan menyeru kepada sunnah dan memperngatkan dari bid’ah. Anda tidak akan dapati ada diantara mereka yang menganggap baik hawa nafsunya dan mendorong kepada bid’ah, atau ada orang yang menjelaskan bahwa ada suatu bid’ah yang baik (hasanah), atau yang semisalnya. Hal ini tidak akan pernah ditemukan pada ahlis sunnah. Karena seluruh ahlus sunnah dari generasi awal sampai akhir mereka memperingatkan dari bid’ah dan hawa nafsu, dan menyeru manusia untuk berpegang teguh dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa

Sallam.

Contoh 3 : Keimana mereka kepada Asmâ dan Shifât Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Anda dapati bahwa mereka dari generasi pertama hingga akhir berada di atas manhaj yang satu, menetapkan nama dan sifat bagi Allôh sebagaimana apa yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam untuk diri-Nya. Mereka menafikan (menolak) segala apa yang Allôh dan Rasūl-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam nafikan bagi diri-Nya, berupa kekurangan dan sifat cela, tanpa melakukan tahrîf (merubah makna), ta’thîl (meniadakan), takyîf (mempertanyakan kaifiyatnya) dan tamtsîl

(menyerupakan dengan makhlūq). Kaidah mereka di dalam hal ini adalah sebagaimana yang Allôh beritakan :

”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Ia adalah Maha Mendengar lagi Melihat.” (asy-Syūrâ : 11).

Mereka semua di dalam pembahasan ini berada di atas manhaj yang satu.

Adapun selain mereka, anda dapati mereka melakukan tahrîf, ta’thîl, takyîf dan tamtsîl atau selainnya dari metode-metode yang beraneka ragam yang dimiliki oleh setiap madzhab dari madzhab-madzhab (yang menyimpang) ini.

Contoh 4 : Manhaj mereka yang satu di dalam metode ber-istidlâl (menggali dalil). Hal ini telah lalu penjelasannya. Intinya, metode mereka di dalam istidlâl adalah satu dan sandaran mereka juga satu, yaitu Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.

Sebagai penutup risalah ini, saya memohon kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar mejadikanku dan anda sekalian sebagai hamba-hamba-Nya yang shâlih, mengkaruniakan kita semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan sunnah dan meneladani atsar salaful ummah, menjauhkan kita dari hawa nafsu dan bid’ah, menganugerahkan kita aqidah yang benar, iman yang selamat, perangai yang lurus dan adab serta akhlaq yang baik, memberikan kita semua taufiq-Nya, memberikan petunjuk kepada kita semua kepada jalan yang lurus dan menjadikan kita termasuk orang yang memberikan petunjuk dan diberi petunjuk, orang yang mendengarkan suatu ucapan dan mengikuti yang terbaik darinya, karena sesungguhnya Allôh adalah berkuasa dan mampu untuk melakukan hal ini.

Semoga Sholawât, Salam, keberkahan dan kenikmatan Allôh senantiasa terlimpahkan kepada utusan dan hamba-Nya Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.

[Risalah ini asalnya merupakan ceramah yang saya sampaikan pada tanggal 7/3/1420 H, kemudian ditranskrip dari kaset dan dilakukan beberapa pembenahan ringan dan saya biarkan dalam ushlub (gaya) ceramah. Hanya Allôh sematalah yang maha memberikan taufiq.]