×
Di antara rahmat Allah -azzawajalla- kepada hamba-hamba-Nya, Dia berikan kepada kita amalan-amalan mudah yang pahalanya menyamai pahala shalat malam. Siapa yang luput melakukan shalat malam atau lemah melaksanakannya, janganlah melewatkan amalan-amalan tersebut agar berat timbangan amalnya. Ini bukanlah ajakan untuk meninggalkan shalat malam, \”Salafusshalih\” -rahimahumullah- (generasi terdahulu kita) tidak memahami seperti itu, mereka giat dalam setiap medan kebaikan.

 Amalan-Amalan Berpahala Seperti Shalat Malam

Amalan-Amalan Berpahala Seperti Shalat Malam[1]

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada penutup para nabi dan rasul, nabi kita  Muhammad -shalallahu alaihi wasallam-, kepada keluarganya serta seluruh sahabatnya.

Adapun selanjutnya:

"Qiyamul lail" (shalat malam) mempunyai kedudukan yang agung di sisi Allah -azzawajalla-. Ia adalah shalat yang paling utama setelah shalat "fardu" (wajib). Keistimewaannya tidak hanya menghapus dosa, tetapi juga mencegah pengamalnya terjatuh ke dalam dosa. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili -radiallahu'anhu- dari Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,

[عليكم بقيام الليل، فإنه دأب الصالحين قبلكم، وقربة إلى ربكم، ومكفرة للسيئات، ومنهاة للإثم] رواه الترمذي وابن خزيمة والحاكم وصححه الألباني

“Hendaklah kalian melaksanakan shalat malam, karena shalat malam adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, pendekat kepada Tuhan kalian, penghapus kejelekan dan pencegah berbuatan dosa.”[2]

Dahulu para Salafusshalih -rahimahumullah- bahkan kakek-kakek kita pada waktu belakangan tidak melalaikan shalat malam. Namun sekarang, kebanyakan manusia telah membalikkan malam menjadi siang dengan bergadang, sehingga luput dari mereka kelezatan bermunajat kepada Allah di tengah malam, hingga sampai pada meninggalkan shalat Fajar (subuh).

Ketika Thâwus Ibn Kaisân[3] –rahimahullah- hendak menemui seseorang menjelang subuh, dikatakan kepadanya bahwa orang itu masih tidur. Thâwus berkata, “Aku tidak menyangka bahwa ada orang yang tidur menjelang subuh.[4] Jika Thâwus Ibn Kaisan mengunjungi kita sekarang ini, kira-kira apa yang akan dikatakannya tentang kita?!

Sesungguhnya di antara rahmat Allah -azzawajalla- kepada hamba-hamba-Nya, Dia berikan kepada kita amalan-amalan mudah yang pahalanya menyamai pahala shalat malam. Siapa yang luput melakukan shalat malam atau lemah melaksanakannya, janganlah melewatkan amalan-amalan tersebut agar berat timbangan amalnya. Ini bukanlah ajakan untuk meninggalkan shalat malam, "Salafusshalih" -rahimahumullah- (generasi terdahulu kita) tidak memahami seperti itu, mereka giat dalam setiap medan kebaikan.

Nabi -shalallahu alaihi wasallam- telah menunjukkan kepada para sahabatnya yang mulia beberapa amalan-amalan mudah bagi siapa yang tidak dapat memaksa dirinya melakukan shalat malam. Motivasi dari Nabi -shalallahu alaihi wasallam- agar berbuat banyak kebaikan sehingga banyak pula pahala kebaikannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili -radiallahu'anhu-, katanya, "Rasul -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ من هاله الليل أن يكابده  أو بخل بالمال أن ينفقه  أو جبن عن العدو أن يقاتله  فليكثر من سبحان الله وبحمده  فإنها أحب إلى الله من جبل ذهب ينفقه في سبيل الله عز وجل ] رواه الطبراني في الكبير (7795)، وقال الألباني في صحيح الترغيب والترهيب: صحيح لغيره (1541).

“Siapa yang dicegah oleh istirahat malamnya untuk melakukan ibadah atau kebakhilannya terhadap harta untuk berinfak atau ketakutannya kepada musuh untuk memeranginya, hendaknya memperbanyak mengucap: "subhanallah wa bi hamdihi" (Maha Suci Allah dan dengan segala pujian milik-Nya). Karena yang demikian itu lebih disukai oleh Allah dari gunung emas yang diinfakkan di jalan-Nya -azzawajalla-.” [5]

Hadits-Hadits yang saya paparkan tadi sebetulnya adalah amal-amal yang pahalanya seperti pahala shalat malam. Rasul kita menunjukkannya kepada kita untuk menambah kebaikan-kebaikan kita dan memberatkan timbangan kita. Marilah kita amalkan. Di antara yang terpenting:

 1. Melaksanakan shalat Isya dan Fajar berjamaah.

Utsman ibn ‘Affan -radiallahu'anhu- berkata, "Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ  وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ ] رواه الإمام مالك (371) ، وأحمد –الفتح الرباني- (5/168) ، ومسلم (656) ، والترمذي (221) ، وأبو داود واللفظ له (555) ، والدارمي (1224) .

'Siapa yang shalat Isya berjamaah maka seperti shalat setengah malam dan siapa yang shalat Isya dan Fajar berjamaah maka seperti shalat semalam suntuk.”[6]

Oleh sebab itu semestinya loba dalam melaksanakan shalat fardu di masjid secara berjamaah dan tidak melewatkannya sama sekali, karena pahalanya sangat agung, khususnya shalat ‘Isya dan Fajar. Keduanya adalah shalat yang paling berat bagi orang–orang munafik. Sekiranya mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya niscaya akan mendatanginya walaupun dengan merangkak sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi -shalallahu alaihi wasallam-. Pahala kedua shalat di atas masing-masingnya seperti pahala shalat setengah malam.

 2. Melaksanakan shalat empat rakaat sebelum shalat Zuhur.

Dari Abi Shalih -rahimahullah-[7] bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ يَعْدِلْنَ بِصَلاَةِ السَّحَرِ ] رواه ابن أبي شيبة في مصنفه (5940) ، وحسنه الألباني في السلسلة الصحيحة (1431) .

“Empat rakaat sebelum Zuhur menyamai shalat menjelang subuh.”[8]

Di antara keistimewaan empat rakaat ini dibukakan pintu-pintu langit, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari -radiallahu'anhu-  bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ أربع قبل الظهر تفتح لهن أبواب السماء ] رواه أبو داود (3128) ، والترمذي في الشمائل ، وقال الألباني في صحيح الترغيب والترهيب: حسن لغيره (585)

“Shalat empat rakaat sebelum Zuhur dibukakan dengannya pintu-pintu langit.”[9]

Karenanya Nabi -shalallahu alaihi wasallam- konsisten melaksanakannya. Jika terluput karena ada kepentingan yang tiba-tiba, beliau menggantinya dengan dilaksanakan setelah shalat fardu, tidak meninggalkannya. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah -radiallahu'anha-, beliau berkata,

“Dahulu Nabi -shalallahu alaihi wasallam- jika belum melaksanakan shalat empat rakaat sebelum Zuhur beliau laksanakan setelahnya.”[10]

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata,

“Dahulu jika Nabi terluput melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur beliau laksanakan setelah Zuhur.”[11]

Oleh sebab itu, siapa yang terlewatkan shalat empat rakaat atau tidak sempat melaksanakannya karena kepentingan pekerjaan, seperti sebagian para pengajar, maka tidak mengapa menggantinya setelah selesai pekerjaannya dan pulang ke rumahnya.

Abu ‘Isa at-Tirmidzi –rahimahullah- berkata,

Hadits (di atas) menunjukkan disyariatkannya menjaga pelaksanaan shalat-shalat sunnah sebelum fardu. Waktunya lapang sampai berakhir waktu shalat fardu. Yang demikian karena, jika waktunya usai bersama usainya pelaksanaan shalat fardu tentu pelaksanaan setelahnya menjadi "qodho" (pengganti) sehingga mustinya dilakukan sebelum shalat sunnah bakda Zuhur. Namun dari hadits yang valid, jelas bahwa beliau melaksanakannya setelah shalat sunnah dua rakaat ba'da Zuhur. Pengertian yang seperti itu disebutkan oleh al-'Irâqi dan mengatakan, 'Inilah yang benar menurut Madzhab Syafi'iah.[12]

 3. Melaksanakan shalat tarawih bersama imam sampai selesai.

Abu Dzar al-Ghifari -radiallahu'anhu- berkata,

"Kami berpuasa bersama Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- pada bulan Ramadhan. Beliau tidak shalat malam bersama kami hingga tersisa tujuh hari. Waktu itu beliau shalat bersama kami sampai sepertiga malam. Pada sisa hari yang ke enam beliau tidak shalat bersama kami. Pada sisa hari yang ke lima beliau shalat bersama kami sampai tengah malam. Aku pun bertanya,

“Wahai Rasulullah, sudilah kiranya mengimami kami shalat semalam penuh!”

Rasul bersabda:

[ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (5/11) ، وأبو داود واللفظ له (1375) ، والترمذي (806) ، والنسائي (1364) ، وابن ماجه (1327) ، وصححه الألباني في صحيح الجامع (1615) .

'Sesungguhnya seorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai dicatat baginya pahala shalat semalam suntuk.” [13]

Perkara ini sering diingatkan oleh imam-imam masjid pada bulan Ramadhan. Engkau melihat imam-imam itu memotivasi para jamaah agar melaksanakan shalat tarawih bersama imam sampai selesai, namun sebagian mereka meninggalkan syiar ini, yang merupakan keistimewaan bulan Ramadhan dari bulan-bulan lain. Mengenai hal ini Nabi -shalallahu alaihi wasallam- telah bersabda,

[ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (9/220) ، والبخاري (37) ، ومسلم (759) ، والترمذي (808) ، والنسائي (1602) ، وأبو داود (1371) .

“Siapa yang menegakkan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan berharap pahala, diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lalu.”[14]

Demikian juga halnya dengan Lailatul Qadr. Mendirikan shalat pada malam itu keutamaannya seperti shalat seribu bulan, sebagaimana firman Allah -azzawajalla-,

 “Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan.”(QS.al-Qodr:3)

Akan tetapi aneh sungguh aneh, banyak orang menyia-nyiakan malam yang sangat agung ini.

 4. Membaca seratus ayat al-Quran pada malam hari

Tamim ad-Dari berkata, "Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ مَنْ قَرَأَ بِمِئَةِ آيَةٍ فِي لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ ] رواه الإمام أحمد واللفظ له –الفتح الرباني- (18/11) ، والدارمي (3450) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6468)

'Barang siapa membaca seratus ayat al-Quran pada malam hari dicatat baginya "qunut" (berdoa) malam suntuk.”[15]

Membaca seratus ayat adalah perkara yang mudah, tidak akan menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit. Jika waktumu sempit engkau bisa mendapatkan keutamaan ini dengan membaca empat halaman pertama dari surat as-Shaffat misalnya atau membaca surat al-Qalam dan al-Haqqah.

Jika terlewatkan membacanya pada malam hari, gantilah pada waktu antara shalat fajar sampai shalat Zuhur. Jangan malas melakukannya karena akan engkau dapati pahalanya dengan izin Allah, sebagaimana yang diriwayatkan Umar ibn Khattab -radiallahu'anhu-, katanya, "Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:

[ مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ  فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاةِ الْفَجْرِ وَصَلاةِ الظُّهْرِ  كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنْ اللَّيْلِ ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (18/29) ، ومسلم واللفظ له (747) ، والترمذي (581) ، والنسائي (1790) ، وأبو داود (1313) ، وابن ماجه (1343) ، والدارمي (1477).

“Siapa yang tertidur dari  "hizb"nya (membaca zikir, doa dan al-Quran) pada suatu malam atau sesuatu darinya, hendaknya dibaca setelah shalat Fajar dan Zuhur. Dicatatkan baginya seperti membaca pada malam hari.” [16]

Mubarakfuri -rahimahullah- berkata berkaitan dengan Hadits Umar ibn Khattab -radiallahu'anhu- ini:

"Hadits tersebut menunjukkan disyari’atkannya membaca wirid pada malam hari dan disyari’atkan menggantinya jika terlewatkan karena tertidur atau berbagai halangan. Barang siapa mengerjakannya di antara shalat Fajar sampai shalat Zuhur maka seperti yang mengerjakannya pada malam hari. Telah "tsabit" (valid) dari 'Aisyah dalam riwayat Muslim, at-Tirmidzi dan selain keduanya bahwa jika Nabi -shalallahu alaihi wasallam- terluput melaksanakan shalat malam karena tertidur atau sakit, beliau menggantinya pada siang hari sebanyak dua belas rakaat."[17]

Semoga Hadits ini mendorongmu selalu membaca wirid harian khususnya dari al Quran pada malam hari.

Tidakkah engkau tahu bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasallam- mendorong kita untuk membaca sedikitnya sepuluh ayat pada malam hari agar tidak tercatat sebagai orang yang lalai?!

Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash -radiallahu'anhuma- katanya, "Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ من قام بعشر آيات لم يُكتب من الغافلين  ومن قام بمئة آية كُتب من القانتين  ومن قام بألف آية كُتب من المقنطرين ] رواه أبو داود اللفظ له (1398) ، وابن حبان (2572) ، وابن خزيمة (1144) ، والدارمي (3444) ، والحاكم (2041) ، وقال الألباني في صحيح الترغيب والترهيب: حسن صحيح (639)

“Siapa yang membaca sepuluh ayat al-Quran tidak dicatat sebagai orang yang lalai. Siapa yang membaca seratus ayat dicatat sebagai orang yang taat dan siapa yang membaca seribu ayat dicatat sebagai almuqantarin[18].” [19]

Apakah kita termasuk yang loba membaca kitab Allah -azzawajalla-? Seyogianya kita mengkhatamkannya, dan tidak sebatas pada bulan Ramadhan saja, tetapi juga dilakukan sepanjang tahun.

Mudah-mudahan kekonsistenan dalam membaca seratus ayat setiap hari guna mendapatkan pahala qiyamul lail menjadi titik tolak yang menjadi berkah, pendorong kita untuk mempelajari kitab Allah -azzawajalla- .

 5. Membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah pada malam hari.

Abi Mas’ud -radiallahu'anhu- berkata, "Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (18/99) ، والبخاري واللفظ له (5010) ، ومسلم (807) ، والترمذي (2881) ، وأبو داود (1397) ، وابن ماجه (1369) ، والدارمي (1487).

“Barang siapa membaca dua ayat akhir surat al-Baqarah pada malam hari maka keduanya telah mencukupkannya.” [20]

An-Nawawi -rahimahullah-  berkata,

"Ada yang mengatakan bahwa makna Hadits: mencukupkannya dari 'qiyamul lail’ (melakukan shalat malam)’. ada juga yang mengatakan, perlindungan dari gangguan setan. Yang lain mengatakan, melindunginya dari keburukan". Seluruh makna memiliki kemungkinan.[21]

Ibnu Hajar -rahimahullah- menguatkan pendapat ini dengan mengatakan,

"Atas dasar inilah aku katakan, 'Boleh memaksudkan semua makna yang telah disebutkan tadi –wallahu a’lam-. Makna pertama dengan jelas disebutkan dari jalan periwayatan ‘Ashim dari ‘Alqamah dari Abi Mas’ud secara tersambung:

 [ مَنْ قَرَأَ خَاتِمَة الْبَقَرَة أَجْزَأَتْ عَنْهُ قِيَام لَيْلَة ] فتح الباري بشرح صحيح البخاري لابن حجر العسقلاني (8/673 ح 5010)

“Siapa yang membaca ayat penutup surat al-Baqarah, sudah cukup menggantikan 'qiyamul lail' (shalat malam).” [22]

Membaca dua ayat tersebut merupakan sesuatu yang mudah sekali, karena kebanyakan orang menghafalnya –segala puji bagi Allah-. Sudah semestinya seorang muslim senantiasa membacanya setiap malam. Tidak pantas melalaikannya karena mudah dilakukan, termasuk amalan lainnya yang pahalanya sama dengan qiyamul lail. Karena target terbesar seorang mukmin adalah mengumpulkan sebanyak mungkin pahala kebaikan, karena dia tidak tahu amalnya yang mana yang akan diterima.

Abdullah ibn Umair -rahimahullah- berkata,

“Janganlah dirimu merasa puas dengan sedikit ketaatan kepada Allah -azzawajalla- dari amal remeh lagi sepele. Tetapi bersungguh-sungguhlah mengerjakannya dengan lobak dan diam-diam.[23]

 6. Akhlak yang baik.

‘Aisyah -radiallahu'anha- berkata,

"Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ قَائِمِ اللَّيْلِ صَائِمِ النَّهَارِ] رواه الإمام مالك (1675) ، وأحمد واللفظ له –الفتح الرباني- (19/76) ، وأبو داود (4798) ، وابن حبان (480) ، والحاكم (199) ، وصححه الألباني في صحيح الجامع (1620) .

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan mencapai derajat orang yang senantiasa shalat di malam hari dan puasa di siang hari.” [24]

Abu Thayib Muhammad Syamsuddin Âbadi -rahimahullah- berkata,

"Orang yang berakhlak baik diberi keutamaan agung ini karena, orang yang berpuasa dan shalat malam melawan keinginan dirinya yang berat melakukannya, sedangkan orang yang mempergauli manusia dengan akhlak yang baik dengan keragaman tabiat dan akhlak mereka seperti melawan banyak jiwa, sehingga mendapatkan apa yang didapatkan oleh orang  yang senantiasa berpuasa dan shalat malam. Menjadi samalah derajatnya bahkan mungkin lebih.[25]

Berakhlak baik yaitu dengan memperbagus muamalah dengan manusia dan menahan diri dari mengganggu mereka.

Sesungguhnya manusia tidaklah diberi sesuatu setelah iman yang lebih baik dari pada akhlak yang baik. Nabi -shalallahu alaihi wasalam- memohon kepada Tuhan-Nya -azzawajalla-  diberi akhlak yang baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdillah -rahimahullah- bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasalam- jika membaca "istiftah" (bacaan pembuka shalat setelah takbir) membaca:

[ إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين  لا شريك له  وبذلك أمرت وأنا من المسلمين  اللهم اهدني لأحسن الأعمال وأحسن الأخلاق  لا يهدي لأحسنها إلا أنت  وقني سيئ الأعمال وسيئ الأخلاق  لا يقي سيئها إلا أنت ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (3/181) ، ومسلم (771) ، والترمذي (3421) ، والنسائي واللفظ له (897) ، وأبو داود (760) ، والدارمي (1238) ، وابن خزيمة (462) ، والبيهقي (2172) ، وأبو يعلى (285).

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu baginya. Demikianlah aku diperintahkan dan aku termasuk orang yang berserah diri. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku sebaik-baik amal dan sebaik-baik akhlak, tidak ada yang menunjukkan kepada kebaikannya kecuali Engkau, peliharalah aku dari seburuk-buruk amal dan seburuk-buruk akhlak, tidak ada yang memelihara dari keburukan kecuali Engkau.[26]

Demikian pula yang dilakukan Rasul -shalallahu alaihi wasalam- ketika melihat ke cermin sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud -radiallahu'anhu- katanya,

"Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- jika melihat ke cermin berdo’a:

[ اللهم كما حسنت خَلْقِي فحسن خُلُقِي ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (14/281) ، وابن حبان (959) ، وأبو يعلى (5075) ،  والطيالسي واللفظ له (374) ، وصححه الألباني في صحيح الجامع (1307)

“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperbagus penciptaanku maka perbaguslah akhlakku.” [27]

Orang yang berakhlak baik adalah manusia yang paling mencintai Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dan yang paling dekat majelisnya pada hari kiamat. Jabir -radiallahu'anhu- meriwayatkannya kepada kita bahwa Raasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda,

[ إن من أحبكم إلي  وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة  أحاسنكم أخلاقًا ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (23/13) ، والترمذي واللفظ له (2018) ، والطبراني في الكبير (10424) ، والبخاري في الأدب المفرد (272) ، وصححه الألباني في صحيح الترغيب والترهيب (2649) .

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majelisnya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.” [28]

Allah -azzawajalla- akan memberikan istana bagi yang berakhlak baik di surga yang paling tinggi, karena begitu besar pahalanya, dan sebagai penghormatan baginya. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili -radiallahu'anhu- bahwa Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda,

[ أنا زَعِيمٌ ببيت في رَبَضِ الجنة لمن ترك الْمِرَاءَ وإن كان محقا  وببيت في وسط الجنة لمن ترك الكذب وإن كان مازحا  وببيت في أعلى الجنة لمن حَسَّنَ خُلُقَهُ ] رواه أبو داود واللفظ له (4800)، والبيهقي (20965)، والطبراني في الكبير (7488)، وحسنه الألباني في صحيح الجامع (1464).

"Aku adalah pemimpin pada rumah di dasar surga bagi yang meninggalkan riya (pamer), sekalipun benar dan di pertengahan surga bagi yang meninggalkan dusta walaupun bergurau dan di surga yang paling tinggi bagi yang memperbagus akhlaknya.” [29]

Berakhlak baik seyogianya tidak sebatas kepada orang-orang yang jauh saja, sementara orang-orang yang dekat terlupakan. Ia mencakup juga kedua orang tua dan setiap anggota keluargamu. Sebagian orang engkau dapati bertutur kata baik, lapang dada dan sopan santun dalam berakhlak kepada orang lain, tetapi sebaliknya jika kepada keluarga dan anak-anaknya.

 7. Berupaya berkhidmat kepada para janda dan orang-orang miskin.

Abu Hurairah -radiallahu'anhu- berkata, "Nabi -shalallahu alaihi wasalam-  bersabda,

[ السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ  كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (19/55) ، والبخاري واللفظ له (5353) ، ومسلم (2982) ، والترمذي (1969) ، والنسائي (2577) ، وابن ماجه (2140) ، وابن حبان (4245) ، والبيهقي (12444).

“Orang yang berupaya berkhidmat kepada para janda dan orang-orang miskin seperti mujahid di jalan Allah atau seperti orang yang shalat 'qiyamul lail' dan puasa di siang hari.” [30]

Mungkin sekali engkau dapatkan pahala yang banyak ini dengan berkhidmat kepada orang-orang fakir dalam membantu mendaftarkan mereka pada "jam’iyyah khairiah" (lembaga sosial) misalnya, agar di data kebutuhan-kebutuhan mereka dan diberi bantuan.

Mungkin juga mendapat pahala besar ini jika berusaha berkhidmat kepada para janda, yaitu wanita yang ditinggal mati suaminya sehingga menjadi fakir. Ini bukan perkara sulit karena jika engkau selidiki keluarga terdekatmu akan engkau dapati ada saja yang ditinggal mati suaminya dari bibi-bibimu atau dari garis nenek. Dengan berkhidmat kepada mereka dan membelikan kebutuhan-kebutuhannya engkau akan mendapat pahala jihad atau pahala qiyamul lail.

 8. Menjaga sebagian dari adab-adab Jumat.

Aus ibn Aus ats-Tsaqafi -radiallahu'anhu- berkata,

“Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:

[ مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ  ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ  وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ  وَدَنَا مِنْ الإِمَامِ  فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَل كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ  أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا ] رواه الإمام أحمد –الفتح الرباني- (6/51) ، والترمذي (496) ، وأبو داود واللفظ له (345) ، والنسائي (1381) ، وابن ماجه (1087) ، والدارمي (1547) ، والحاكم (1041) ، وابن خزيمة (1758) ، وصححه الألباني في صحيح الجامع (6405) .

“Barang siapa yang mandi pada hari Jumat kemudian bersegera (ke masjid) dengan berjalan kaki, tidak naik kendaraan, kemudian mendekat ke imam mendengarkan (khotbah Jumat), tidak bergurau, maka setiap satu langkahnya dihitung amal satu tahun pahala seperti pahala puasa dan shalat malam” [31]

Satu langkah menuju shalat Jumat bagi yang melaksanakan adab-adab yang disebutkan tidak menyamai pahala qiyamul lail satu kali, seminggu atau sebulan, akan tetapi menyamai pahala setahun penuh. Karenanya perhatikanlah besarnya pahala ini.

Adab-adab tersebut dalam bentuk: mandi pada hari Jumat, bersegera menuju masjid, berjalan kaki menuju masjid, mendekat pada imam, tidak menjauh ke barisan yang paling akhir, mendengarkan khotbah dengan baik dan tidak melakukan lagha (kesia-siaan) dan bergurau.

Perlu diketahui bahwa main-main saat khotbah berlangsung terhitung lagha (kesia-siaan). Siapa yang berbuat lagha (kesia-siaan), tidak ada pahala shalat Jumat baginya. Siapa yang memainkan batu atau kerikil berarti telah berbuat lagha. Siapa yang berkata: “diam!” berarti telah berbuat lagha. Berkata kepada teman atau anaknya yang masih kecil, “diam!” berarti telah berbuat lagha. Siapa yang memainkan tasbihnya atau handphonenya atau apa saja ketika khotbah tengah berlangsung berarti telah berbuat lagha.

Tidak seyogianya lalai dengan adab-adab Jumat sama sekali agar tidak merugi dengan pahala yang besar ini yang akan memberatkan timbanganmu dengan banyak dan memberimu pahala qiyamul lail bertahun-tahun.

 9. “Ribât” (Menjaga perbatasan) di jalan Allah -azzawajalla- siang dan malam.

Diriwayatkan oleh Salman al-Farisi -radiallahu'anhu-, katanya, “Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,

[ رباط يوم وليلة خير من صيام شهر وقيامه  وإن مات جرى عليه عمله الذي كان يعمله  وأُجري عليه رزقه  وأمِنَ الفتَّان ] رواه الإمام البخاري (2892) ، ومسلم واللفظ له (1913) ، والنسائي (3168).

“Menjaga perbatasan sehari semalam pahalanya lebih baik dari puasa dan qiyamul lail sebulan penuh. Jika meninggal (dalam tugasnya) mengalir kepadanya amalan yang selalu dia kerjakan dan diberikan kepadanya rezekinya dan aman dari “al-fattan” (pertanyaan-pertanyaan akhirat).” [32]

Al-Fattân yaitu ujian pertanyaan di dalam kubur.

 10. Meniatkan qiyamul lail sebelum tidur

Abu Darda -radiallahu'anhu- meriwayatkan secara marfu kepada Nabi -shalallahu alaihi wasallam-. Sabdanya,

[ مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ  فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ  كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى  وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ ] رواه النسائي (1787) ، وابن ماجه (1344) ، وحسنه الألباني في صحيح الجامع (5941).

“Siapa yang beranjak ke pembaringannya sedang dia berniat akan bangun melakukan shalat malam, namun kantuk mengalahkannya sampai tiba waktu subuh, maka dicatat baginya apa yang telah diniatkannya, sedang tidurnya sebagai sedekah dari Tuhan-nya -azzawajalla-.”[33]

Tahukah engkau pentingnya niat, bahwa ia menduduki kedudukan amal?! Karenanya kita dapati keriskanan orang yang tidur tanpa berniat akan melaksanakan shalat fajar pada waktunya, padahal untuk kerja dan sekolahnya engkau dapati mereka bersusah-payah memasang alarm. Orang seperti ini telah melakukan salah satu dosa besar. Jika meninggal dalam keadaan seperti itu, berarti telah “su’ul khâtimah” (buruk pengakhirannya) -kita berlindung kepada Allah dari padanya-.

Adapun orang yang meniatkan bangun untuk shalat fajar dan telah mencurahkan tenaga untuk sebab-sebab hal itu kemudian dia tidak bangun, maka tidak ada celaan atasnya karena tidak ada kelalaian dalam tidur. Kelalaian itu ada dalam keadaan terjaga.

 11. Mengajarkan kepada orang lain amalan-amalan yang pahalanya seperti qiyamul lail

Pengajaranmu kepada manusia tentang amalan-amalan yang pahalanya seperti qiyamul lail merupakan cara lain memperoleh pahala qiyamul lail. Orang yang menunjukkan kepada kebaikan mendapat pahala seperti yang mengerjakannya. Karenanya jadilah penyeru kepada kebaikan dan sebarkanlah maklumat ini, engkau akan mendapat pahala sebanyak orang yang belajar darimu dan mengamalkannya.

Segala pujian hanya untuk Allah Ta’ala.



[1] Bagian dari dua tulisan “Kaifa Tustkilu Mîzânak” (Bagaimana Menambah Berat Timbangan Amal).

[2] HR. aT-Tirmidzi no.3549, ibnu Khuzaimah no.1135, al-Hakim no.1156 dan al-Albani berkata dalam Shahih at-Targib wa at-Tarhib: hasan li gairihi.

[3] Seorang ulama al-Quran dari generasi tabi’in.

[4] Lihat kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqotul Ashfia` oleh Abu Nu’aim IV/6.

[5] HR. at-Thabarani dalam al-Kabir (7795) al-Albani mengomentari dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: shahih li ghairihi

[6]  HR. al-Imam Malik no.371, Ahmad al-Fathu ar-Rabani IV/168, Muslim no.656, at-Tirmidzi no.221, Abu Daud dan lafadznya no.555 dan ad-Darimi no.1224.

[7] Hadits ini marfu' mursal.

[8]  HR.Ibnu Abi Saibah dalam Mushannafah no.5940 al-Albani menghasankannya dalam as-Silsilah as-Shahihah no.1431.

[9]  HR. Abu Daud no.3128, at-Tirmidzi dalam asy-Syamail, al-Albani mengomentari dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: hasan li ghairihi no.585

[10]  HR.at-Tirmidzi no.426, al-Albani menghasankannya dalam Shahih at-Tirmidzi no.350

[11]  HR. al-Baihaqi, al-Albani menghasankannya dalam Shahih al-Jami’ (426)

[12] Jami' at-Tirmidzi oleh Ibnu 'Isa at-Tirmidzi.

[13]  HR. al-Imam Ahmad, lihat al-Fathu ar-Rabbani IV/11. Abu Dawud dan ini lafadznya no.1375. At-Tirmidzi no.806. An-Nasai  no.1364. Ibnu Maajah no.1327. Disahihkan oelh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1615.

[14]  HR. al-Imam Ahmad al-Fathu ar-Rabbani IX/220. Al-Bukhari no.37. Muslim no.759. At-Tirmidzi no.808. An-Nasai no.1602. dan Abu Dawud no.1371.

[15]  HR. Ahmad dan ini lafadznya. Lihat al-Fathu ar-Rabbani XVII/11. Ad-Darimi no.3450 dan al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’ no.6468.

[16]  HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani- XVIII/29, Muslim dan ini lafadznya no.747, at-Tirmidzi no.581, an-Nasai no.1790, Abu Dawud no.1313, Ibnu Majah no.1343 dan ad-Darimi no.1477.

[17] Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi karya al-Mubarakfuri III/185 no.581.

[18] Yang memiliki segunung kebaikan.

[19] HR. Abu Dawud dan ini lafadznya no.1398, Ibnu Hibban no.2572, Ibnu Khuzaimah no.1144, ad-Darimi no.3444, al-Hakim no.2041 dan al-Albani mengomentari dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: hasan shahih no.639.

[20] HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu Rabbani- XVIII/99, al-Bukhari dan ini lafadznya no.5010, Muslim no.807, at-Tirmidzi no.2881, Abu Dawud no.1397, Ibnu Majah no.1369 dan ad-Darimi no.1487.

[21] Shahih Muslim Syarh an-Nawawi VI/340 no.807.

[22] Fathul Bâri Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani XIII/673 no.5010.

[23] Hilyah al Aulia wa  Thabaqat al-Ashfia karya Abi Nuaim III/354.

[24] HR. Imam Mâlik no.1675. Ahmad dan ini lafadznya, lihat kitab al-Fathur Rabbani XIX/76. Abu Dawud no.4798, Ibnu Hibban no.480, al-Hakim no.199. Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’ no.1620.

[25] ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Abu Thayib Muhammad Syamsuddin al-Haq al-‘Adzhim Abadi XIII/154 no. 4798.

[26] HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani- III/181, Muslim no.771, at-Tirmidzi no.3421, an-Nasai dan ini lafadhznya no.897, Abu Dawud no.760, ad-Darimi no.1238, Ibnu Khuzaimah no.462, al-Baihaqi no.2172 dan Abu Ya’la no.285.

[27] HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani- XIV/281, Ibnu Hibban no.959, Abu Ya’la no.5075, at-Thayalisi dan ini lafadhznya no.374 dan al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’ no.1307.

[28] HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani- XXIII/13, at-Tirmidzi dan ini lafadhznya no.2018, at-Thabarani dalam al-Kabir no.10424, al-Bukhari dalam al-Adab al-mufrad no.272 dan al-Albani menshahihkannya dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no.2649.

[29] HR. Abu Dawud dan ini lafadhznya no.4800), al-Baihaqi no.20965, at-Thabarani dalam al-Kabir no.7488, dan al-Albani menghasankannya dalam Shahih al-Jami’ no.1464.

[30] HR. Imam al-Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani- XIX/55, al-Bukhari dan ini lafadhznya no.5353, Muslim no.2982, at-Tirmidzi no.1969, an-Nasai no.2577, Ibnu Majah no.2140, Ibnu Hibban no.4345 dan al-Baihaqi no.12444.

[31] HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani VI/51, at-Tirmidzi no.496, Abu Dawud dan ini lafadhznya no.345, an-Nasai no.1381, Ibnu Majah no.1087, ad-Darimi no.1547, al-Hakim no.1041, Ibnu Khuzaimah no.1758 dan al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’ no.6405.

[32] HR. al-Imam al-Bukhari no.2892, Muslim dan ini lafadhznya no.1913 dan an-Nasai no.3168.

[33] HR. an-Nasai no.1787, Ibnu Majah no.1344 dan al-Albani menghasankannya dalam Shahih al-Jami’ no.5941.