Ada Apa Dengan Cinta Pada Ibu
Klasifikasi
Full Description
Ada Apa Dengan Cinta Pada Ibu
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Abu Ahmad Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A.
Editor : Tim islamhouse.com Divisi Indonesia
2014 - 1436
البر بالأمهات
« باللغة الإندونيسية »
أبو أحمد سعيد يائي
مراجعة: الفريق الإندونيسي بموقع دار الإسلام
2014 - 1436
Ada Apa Dengan Cinta Pada Ibu
“Nina bobo’, o Nina bobo’, kalau tidak bobo’ digigit nyamuk.“ Sedih juga rasanya mendengar kalimat-kalimat itu, mengingatkan kita pada perngorbanan ibu saat membesarkan kita, sewaktu mengandung, melahirkan, menyusui, sampai kita menjadi besar. Kasih sayang ibu masih terasa sampai sekarang.
Bertahun-tahun telah berlalu, semakin banyak orang yang melupakan ibunya, melupakan jasa-jasanya.padahal sudah tak terhitung lagi berapa dosa yang telah diperbuat pada sang ibu. Akan tetapi, ibu selalu sabar, tabah dan mendoakan kebaikan pada anaknya.
Begitu menyayat di hati, begitu pekak di telinga, begitu menusuk di mata, ketika melihat dengan mata kepala sendiri seorang anak berbicara kasar pada ibunya, memakinya, menghinanya bahkan sampai memukulnya. Inikah ang dinamakan balas budi?
Allah ta’ala berfirman :
] فلا تقل لهما أف [
Artinya : “Janganlah kamu katakan pada mereka berdua uf (ah)!”(QS Al-Isra’ :23)
Ungkapan ah yang dianggap remeh oleh manusia ternyata telah dinilai suatu kedurhakaan oleh Allah, apalagi sampai memakinya dan memukulnya.
Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam :
(( الجنة تحت أقدام الأمهات ))
Artinya : “Surga di bawah telapak kaki ibu.” Tapi sayang hadits ini sangat lemah (dha’if jiddan).[1]
Jika diartikan bahwa dengan berbakti kepada ibu dapat memasukkan orang ke surga, maka hadits di atas memiliki banyak pendukung. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
(( رغم انف ثم رغم انف ثم رغم انف من ادرك ابويه عند الكبر احدهما او كلاهما فلم يدخل الجنة ))
Artinya : “Sungguh hina/sungguh rendah/sungguh merugi orang yang hidup bersama orangtuanya yang sudah lanjut usia, salah satu atau kedua-duanya, tapi tidak masuk kedalam surga.” (Muslim)
‘Irafah bin Iyas berkata, “Saya melihat Al-Harits Al-Akali di dekat kubur ibunya sedang menangis, kemudian dia ditanya, “Kamu menangis?” Dia menjawab, “Bagaimana tidak, sebuah pintu dari pintu-pintu surga telah ditutup bagiku.“[2]
Jihad atau berbakti pada orang tua?
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam “Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah? Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Saya berkata, “Kemudian apa?”Beliau menjawab, “Berbakti pada kedua orangtua.” Saya bertanya lagi,”Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Allah lebih mencintai bakti kepada orangtua dibanding seseorang berjihad di jalan Allah sedang orang tuanya membutuhkannya. Hal itu juga dengan tegas dinyatakan oleh Rasulullahh ﷺ ketika menolak salah seorang sahabat yang tidak mendapatkan izin dari orangtuanya dan menyuruhnya kembali ke orangtuanya karena di keduanya terdapat jihad. Begitu juga terdapat atsar dari ‘Umar radhiyallahu’anhu dan yang lain.
Ada apa dengan cinta pada ibu?
Cinta pada sang ibu lebih diutamakan daripada ayah. “Untuk ibu tiga perempat bagian dari kebaikan,” kata Imam Ahmad.[3]hal ini dikarenakan ibu adalah orang yang paling dekat dengan anaknya dan paling banyak mengorbankan waktunya dibandingkan dengan ayah.
Kebanyakan tindakan durhaka terjadi pada sang ibu. Ibu adalah seorang wanita dan wanita itu lemah dari segi fisik dan perasaan. Ketika seorang anak sudah merasa besar dan cukup dewasa, bisa saja dia melawan ibunya dengan lisannya atau dengan fisiknya.
Penulis pernah mengunjungi suatu desa. Di desa itu seolah-olah anak laki-laki sudah biasa berkata kasar pada ibunya, membantahnya dan tidak patuh. Akan tetapi,, terhadap ayahnya dia bisa berbicara sopan, patuh dan tunduk. Hati ibu mana yang tidak sakit jika diperlakukan seperti itu?
Al-jaza’u min jinsil’amal (Balasan itu semisal dengan perbuatan), ini adalah salah satu kaidah di dalam agama kita. Apabila seorang anak durhaka pada orangtuanya, maka dia harus bersiap-siap untuk didurhakai oleh anak-anaknya. “Telah banyak cerita-cerita nyata di antara manusia, siapa yang berbakti pada orangtuanya, maka anak-anaknya juga berbakti padanya. Demikian pula dengan perbuatan durhaka. Seseorang yang durhaka pada orangtuanya, maka anak-anaknya akan mendurhakainya,” kata Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin.[4] Maukah kita didurhakai oleh anak-anak kita?
Mulai detik ini dan seterusnya mari kita menghitung berapa banyak kesalahan yang telah kita perbuat pada kedua orangtua kita terutama pada sang ibu. Entah itu berupa perbuatan, perkataan atau bahkan ejekan kita di dalam hati.
Taat kepada orangtua merupakan ketaatan pada Allah ta’ala. Sudah semestinya kita membahagiakan hati mereka dan tidak melukainya.
Muhammad bin Al-Munkadir berkata,”Saya pernah semalaman memijat-mijat kaki ibuku sedangkan pamanku mengisi malamnya dengan shalat.Tapi malamnya itu tidak sesenang malamku (bersama ibuku-pent).”[5]
Adz-dzahaby menceritakan tentang Ibnu ‘Aun,”Suatu saat ibunya memanggil, dan dia pun menyahut panggilan itu. Akan tetapi, suaranya lebih keras dari suara ibunya maka dia pun memerdekakan dua orang budaknya.”[6]
Penulis terkesan setelah mendengar cerita dari seorang teman (guru TPA), dia mengisi kajian anak-anak TPA di suatu desa tentang wajibnya berbakti pada orangtua. Setelah kajian anak-anak TPA itu kembali ke rumahnya masing-masing dan dengan segera menjabat tangan orangtuanya dan meminta maaf pada keduanya. Mereka itu adalah anak-anak yang notabene belum dibebani hekum syar’i (gairu mukallaf), bagaimana dengan kita?
Demikian jangan sampai air susu dibalas dengan air tuba. Na’udzu billahi mindzalik.
" رب اغففرلي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا "
[1] Musnad Asy-Syihab :119, disanadnya ada Manshur bin Al-Muhajir dan Abu An-Nadhar al-Abar keduanya majhul. Lihat Biirrulwallidain li Ath-Tharthusyi, muhaqqiq Muhammad bin Al-Hakam Al-Qadhi hal. 70
[2] Birrulwalidain li Ibnu Aljauzi hal. 78
[3] Jami’uladab li Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah jilid IV hal. 179
[4] Makarimulakhlak hal. 41
[5] Al-adab asy-syar’I li Ibnu Muflih Al-Maqdisy jilid II hal. 83
[6] Siyar A’lam An-Nubala’ jilid VI hal. 366 dan Aina nahnu min akhlaqissalaf hal. 107
Sumber : http://kajiansaid.wordpress.com