Haid dan Ibadah Puasa
Klasifikasi
- Haid dan Nifas << Bersuci dan Hukum-hukumnya << Ibadah << Fikih
- Hukum Puasa << Puasa << Ibadah << Fikih
Full Description
Haid dan Ibadah Puasa
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Editor : Tim islamhouse.com Divisi Indonesia
2014 - 1435
الحيض والصيام
« باللغة الإندونيسية »
أم إسحاق الأثرية
مراجعة: الفريق الإندونيسي بموقع دار الإسلام
2014 - 1435
Haid dan Ibadah Puasa
Membaca judul di atas, mungkin ada yang akan spontan menjawab, “Ya… semua juga tahu kalau wanita haid nggak boleh puasa!”
Tentu saya sangat maklum dengan jawaban spontan ini, karena semua orang memang tahu bahwa wanita haid tidak diperkenankan puasa. Lalu untuk apa dibahas lagi? Tunggu dulu…! Dalam beramal kan kita butuh ilmu. Karenanya, Al-Imam Al-Bukhari radhiyallohu ‘anhu membuat satu bab dalam Kitab Al-Ilm dari kitab Shahihnya; Bab Al-Ilm qablal qauli wal ‘amali (bab Ilmu itu sebelum berucap dan beramal). Kemudian beliau membawakan dalil firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan mintalah ampun atas dosamu.” (Muhammad: 19)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala memulai dengan perintah berilmu (sebelum beramal).
Nah, kita pun butuh ilmu tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa bila diperhadapkan pada wanita haid. Jadi, tak ada salahnya bila kita membahasnya. Semoga jadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penyusun dan bagi pembaca.
Hukum puasa ketika haid
Ulama sepakat puasa wajib maupun sunnah haram dilakukan wanita haid. Bila dia tetap berpuasa maka puasanya tidaklah sah. (Maratibul Ijma’, hal. 72)
Ibnu Qudamah berkata, “Ahlul ilmi sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak halal untuk berpuasa, bahkan keduanya harus berbuka di bulan Ramadhan dan mengqadhanya. Bila keduanya tetap berpuasa maka puasa tersebut tidak mencukupi keduanya (tidak sah)….” (Al-Mughni, kitab Ash-Shiyam, Mas’alah wa Idza Hadhatil Mar’ah au Nafisat)
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak wajib shalat dan puasa dalam masa haid dan nifas tersebut.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/250)
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para wanita yang mempertanyakan tentang maksud kurangnya agama mereka:
((ألَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِ وَلَمْ تَصُمْ ، قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا)) [ رواه البخاري ]
“Bukankah wanita itu bila haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” Para wanita menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Maka itulah dari kekurangan agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 304)
Ada dua pendapat tentang hikmah pelarangan puasa bagi wanita haid tersebut:
1. Perkaranya ta’abbudi (sudah menjadi ketentuan dalam ibadah). Karena kalau alasannya harus thaharah (suci) ketika memulai puasa, maka ini bukanlah syarat. Terbukti dengan sahnya puasa bagi orang yang berpagi hari dalam keadaan junub (sudah terbit fajar dalam keadaan belum mandi janabah).
2. Keluarnya darah akan melemahkan tubuh, maka bila ditambah puasa tentunya lebih bermudarat bagi tubuh. (Al-Bahr Ar-Raiq, 1/204)
Apapun hikmahnya, yang jelas segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan syariat maka kita menerimanya dengan penuh ketundukan.
Qadha’ hari-hari yang luput
Ahlul ilmi pun sepakat wajibnya wanita haid menqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkannya karena haidnya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallohu ‘anha:
((كاَنَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ)) [ رواه البخاري ]
“Dulunya kami ditimpa haid, maka kami diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 761, lafadz di atas menurut lafadz Al-Imam Muslim)
Al-Imam An-Nawawi menukilkan dalam Al-Majmu’ (6/259) maupun dalam Al-Minhaj (3/250) adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa wanita haid harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya.
Ibnu Hazm juga menetapkan hal tersebut. Beliau berkata, “Wanita haid mengqadha puasa hari-hari yang melewatinya dalam masa haidnya. Ini merupakan nash yang disepakati. Tak ada seorang pun yang menyelisihinya.” (Al-Muhalla, 1/394)
Mendapati suci di siang hari Ramadhan
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang wanita yang semula haid kemudian suci di siang hari Ramadhan, apakah ia harus imsak (menahan diri dari makan dan minum) ataukah tidak? Mereka terbagi dalam dua pendapat:
1. Si wanita harus imsak di sisa harinya dan tetap mengqadha puasa hari tersebut.
Demikian pendapat dalam madzhab Hanafiyyah (Al-Mabsuth2, 3/54), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Hasan bin Shalih, dan Al-Anbari. (Al-Mughni kitab Ash-Shiyam, fashl Hal Yalzamul Imsak ala Man Yubahu lahu Al-Fithr)
Argumen mereka adalah bila si wanita tetap makan dalam keadaan tidak ada lagi uzur padanya untuk tidak puasa, orang yang melihat akan menuduhnya dengan tuduhan jelek (tidak puasa di bulan Ramadhan), sementara menjauhi tempat-tempat tuduhan itu wajib. (Al-Mabsuth, 3/54)
Namun argumen ini bisa dibantah bahwa wanita haid yang makan di siang hari Ramadhan pun bisa dituduh macam-macam oleh orang yang melihatnya dalam keadaan tidak tahu atau bisa jadi tidak percaya bila si wanita sedang haid. Kemudian, si wanita yang telah suci di siang hari Ramadhan tadi toh bisa makan dan minum dengan sembunyi-sembunyi.
Argumen lainnya adalah si wanita dibolehkan tidak puasa karena adanya penghalang (berupa haid) dan sekarang penghalangnya sudah hilang/berakhir. Sementara al-hukmu yazulu bi zawali ‘illatihi, hukum itu hilang dengan hilangnya penyebabnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 6/335)
2. Si wanita tidak harus imsak (menahan makan dan minum)
Demikian pendapat dalam madzhab Malikiyyah (Al-Kafi, 1/295), Syafi’iyyah (Al-Majmu’, 6/259), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad (Asy-Syarhul Mumti’, 6/335), dan pendapat Zhahiriyyah (Al-Muhalla).
Argumen mereka:
a. Dibolehkan bagi wanita yang semula haid untuk berbuka/tidak puasa di awal siang secara lahir dan batin. Dihalalkan baginya di awal siang untuk makan, minum, dan melakukan pembatal puasa yang mungkin dikerjakannya. Maka bila dari awal siang ia tidak puasa, diperkenankan baginya untuk tidak puasa sampai akhir siang walaupun uzurnya telah hilang. Sementara imsak (menahan diri dari makan dan minum) tidak ada faedahnya baginya sedikitpun. (Al-Mughni kitab Ash-Shiyam, fashl Hal Yalzamul Imsak ala Man Yubahu lahu Al-Fithr, Asy-Syarhul Mumti’, 6/335)
b. Semua orang sepakat bahwa si wanita wajib mengqadha hari tersebut (hari di mana ia mendapati dirinya suci di waktu siangnya), berarti boleh baginya tidak puasa di hari tersebut. Bila statusnya sedang tidak puasa, lalu apa maknanya ia imsak (menahan diri dari makan dan minum)? Toh ia bukan orang yang diperintah puasa pada awal harinya, sehingga ia tidaklah dianggap bermaksiat karena meninggalkan puasa. (Al-Muhalla)
c. Tanpa diragukan ia boleh makan di awal siang, maka boleh pula baginya makan di tengah harinya atau di sisa harinya. (Al-Isyraf, 1/207)
d. Puasa di satu hari merupakan ibadah yang satu. Buktinya, bila di akhir siang seseorang melakukan perbuatan yang membatalkan puasa, seperti makan dengan sengaja, maka puasanya batal termasuk tentunya puasanya di awal siang. Maka yang namanya puasa/menahan diri dari makan dan minum tidak mungkin diwajibkan di akhir siang saja sementara di awal siang tidak wajib. (Al-Isyraf, 1/207)
Diriwayatkan ucapan dari Ibnu Mas’ud radhiyallohu ‘anhu, “Siapa yang makan di awal siang maka hendaklah ia makan di akhirnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/54)
Maksud ucapan beliau, siapa yang halal untuk makan di awal siang berarti halal pula baginya untuk makan di akhir siang. (Asy-Syarhul Mumti’, 6/335)
Ibnu Juraij berkata kepada Atha’, “Seorang wanita di pagi hari Ramadhan masih haid kemudian suci pada sebagian siang yang tersisa. Apakah ia harus menyempurnakan hari tersebut dengan berpuasa?”
Atha’ menjawab, “Tidak. Dia mengqadha puasa hari tersebut.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 1292)
Dari perbedaan pendapat yang ada, kata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, yang paling kuat/rajih adalah pendapat yang kedua ini, yaitu si wanita tidak perlu imsak. (Asy-Syarhul Mumti’, 6/336)
Mendapati fajar dalam keadaan belum mandi
Bila ada wanita haid yang suci sebelum terbit fajar, namun ia menunda mandi sucinya sampai fajar telah terbit, apakah sah bila ia puasa pada hari tersebut dalam keadaan di waktu malam atau sebelum terbit fajar ia telah meniatkan puasa?
Ada tiga pendapat ahlul ilmi dalam masalah ini:
1. Puasanya sah.
Demikian pendapat jumhur ulama. (Al-Mughni, Mas’alah: Wa kadzalik Al-Mar’ah idza Inqatha’a Haidhuha minal Lail)
Argumen mereka adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Maka sekarang gaulilah mereka (para istri) dan carilah apa yang Allah tetapkan untuk kalian, dan makan minumlah kalian sampai jelas/terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala memperkenankan suami istri melakukan jima’ sampai jelas datangnya waktu fajar/subuh (telah masuk waktu subuh). Berarti, suami istri tersebut mendapati fajar dalam keadaan masih junub karena baru saja selesai dari aktivitas jima’ dan mereka baru mandi setelah terbit fajar. Ini menunjukkan bolehnya menunda mandi ketika telah terbit fajar di hari-hari Ramadhan (ataupun selain Ramadhan) bagi orang yang junub dan juga bagi wanita yang suci dari haid/nifas. (Al-Mughni, Mas’alah: Wa kadzalik Al-Mar’ah idza Inqatha’a Haidhuha minal Lail)
2. Bila ia sengaja mengulur-ulur waktu untuk mandi tanpa ada alasan maka ia harus mengqadha puasa di hari tersebut. Tapi kalau tidak, maka tidak pula wajib baginya mengqadhanya. Demikian pendapat Muhammad bin Maslamah dari kalangan Malikiyyah. Namun wallahu a’lam, apa argumennya. (Al-Kafi, 1/294)
3. Ia harus mengqadha hari tersebut, sama saja apakah ia sengaja menunda-nunda mandi ataupun tidak. Al-Auza’i t berpendapat seperti ini. Demikian pula Al-Hasan ibnu Hay, Abdul Malik ibnu Al-Majisyun, dan Al-Anbari. (Al-Mughni, Mas’alah: Wa kadzalik Al-Mar’ah idza Inqatha’a Haidhuha minal Lail)
Argumen mereka: hadatsnya haid menghalangi puasa, beda halnya dengan janabah. Namun argumen ini bisa disanggah dengan pernyataan yang disebutkan dalam Al-Mughni pula bahwa wanita yang telah suci dari haid berarti ia tidak lagi dalam keadaan haid. Hanya saja karena belum mandi suci berarti dia masih menanggung hadats yang mewajibkannya mandi. Dengan begitu, dia seperti orang yang junub, karena jima’ mengharuskan mandi. Seandainya jima’ dilakukan di tengah-tengah waktu puasa niscaya akan rusak/batal puasa tersebut sebagaimana haid membatalkan puasa. Namun jima’ sudah berlalu, dilakukan saat belum masuk waktu puasa. Ketika terbit fajar, yang tersisa tinggallah kewajiban mandi sebagaimana tersisanya kewajiban mandi bagi wanita haid.
Wallahu a’lam, dari silang pendapat yang ada maka kami memegang pendapat jumhur sebagai pendapat yang lebih kuat, yaitu puasanya sah, sama saja apakah si wanita sengaja menunda mandinya ataupun tidak, karena sudah hilang penghalang dari dirinya untuk tidak berpuasa yaitu haid.
Al-Imam Abdurrahman ibnul Qasim berkata, “Aku pernah bertanya kepada Al-Imam Malik tentang seorang wanita yang melihat dirinya telah suci pada pengujung malamnya dari malam-malam Ramadhan. Al-Imam menjawab, ‘Jika si wanita melihat dirinya telah suci sebelum terbit fajar maka ia mandi setelah fajar dan puasanya (pada hari itu) mencukupinya. Namun bila ia melihat dirinya suci setelah terbit fajar maka ia tidak teranggap orang yang puasa (tidak sah puasanya pada hari itu) dan hendaknya ia makan di hari tersebut’.” (Al-Mudawwanah, 1/276)
Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika menyebutkan pendapat jumhur bahwasanya boleh orang yang puasa mendapati pagi hari dalam keadaan masih junub (belum mandi janabah saat fajar telah terbit), beliau menyatakan bahwa wanita haid dan nifas sama hukumnya dengan orang yang junub, bila telah berhenti darahnya pada waktu malam (sebelum terbit fajar) dan ia meniatkan puasa maka sah puasanya walau ia mendapati fajar dalam keadaan belum mandi suci. Kemudian Al-Hafizh menukilkan ucapan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim, “Madzhab ulama seluruhnya menyatakan sahnya puasa si wanita, kecuali pendapat yang dihikayatkan dari sebagian salaf namun tidak diketahui benar atau tidak penghikayatan itu darinya.” (Fathul Bari, 4/190)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber : www.asysyariah.com