Namimah Perilaku Buruk Yang Harus Segera DiHilangkan
Klasifikasi
Full Description
Namimah, Sebuah Perilaku Buruk
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi
Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2013 - 1435
خطرالنميمة
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ أمين بن عبد الله الشقاوي
ترجمة: عارف هداية الله أبو أمامة
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2013 - 1435
Namimah, Sebuah Perilaku Buruk Yang Harus Dijauhi
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Namimah (mengadu domba) merupakan dosa besar yang telah di peringatkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya. Perilaku jelek ini termasuk penyakit hati yang mematikan, virus ganas yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat serta melahirkan permusuhan dan pertikaan dikalangan umat manusia. Allah ta'ala berfirman mengingatkan bahaya namimah ini dalam firman -Nya:
﴿ وَلَا تُطِعۡ كُلَّ حَلَّافٖ مَّهِينٍ ١٠ هَمَّازٖ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٖ ١١ ﴾ [ القلم: 10-11]
"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kesana kemari menghambur fitnah". (QS al-Qolam: 10-11).
Berkata Ibnu Katsir didalam tafsirnya, "Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla, "Yang kesana kemari menghambur fitnah". Yaitu orang yang berjalan kesana kemari dikalangan orang banyak, menabur benih permusuhan dikalangan mereka, menukil pembicaran dengan tujuan mengadu domba di antara sesama, perilaku jelek seperti ini adalah pemangkas".[1]
Yang dimaksud dengan namimah sebagaimana definisi yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah menukil ucapan sebagian orang pada orang lain dengan tujuan merusak hubungan keduanya. Itulah definisi namimah dalam kaca mata syari'at, sebagaimana dijelaskan dalam hadist shahih yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ. هِىَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ » [أخرجه مسلم]
"Maukah aku beri tahu kalian apa perkara buruk itu? Yaitu namimah, (sifatnya) senang menukil ucapan orang". HR Muslim no: 2606.
Abu Sa'adah ketika menjabarkan hadits diatas mengatakan: "Sabdanya (Senang menukil ucapan orang". Artinya banyak bicara dan menabur benih permusuhan dikalangan manusia". Ibnu Abdil Barr menyebutkan, menukil perkataanya Yahya bin Abi Katsir yang mengatakan, "Para penabur benih permusuhan dan pendusta mampu merusak (manusia) hanya dalam waktu yang singkat, sesuatu yang tidak dijumpai pada penyihir dalam setahun".[2]
Ancaman bagi orang yang berperilaku semacam ini:
1. Orang yang senang mengadu domba akan terancam dengan dijerumuskan ke dalam neraka.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hamam bin Harits, beliau menceritakan: "kami pernah duduk-duduk bersama Hudzaifah di dalam masjid. Lalu ada seseorag datang kemudian duduk bersama kami, sembari mengadu pada Hudzaifah, "Sesungguhnya orang ini telah mengadu beberapa hal pada sulthan (penguasa)". Maka Hudzaifah menyergah, ingin memberi peringatan pada orang tadi, "Aku pernah mendengar Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Tidak akan masuk surga tukang (fitnah) pengadu domba". HR Bukhari no: 6056. Muslim no: 105.
Al-Hafidh Ibnu Hajar menjelaskan maksud hadits diatas, "Yang di maksud dengan Qattaat adalah tukang fitnah pengadu domba. Sebagaimana dijelaskan dalam redaksinya Abu Wail dari Hudzaifah dengan redaksi, "Pengadu domba", seperti dalam riwayat Muslim.
Dan ada pendapat yang mengatakan, "Perbedaan antara Qottaat dan Namam (pengadu domba) ialah kalau Namam tersebut hadir secara langsung pada saat terjadinya pembicaraan tersebut lalu menyebarkan pada orang lain, sedang Qottaat ialah hanya dengar dari orang lain, yang mana dia tidak mengetahui kejadian pastinya kemudian dia sibuk menyebarkan berita yang didengarnya itu".[3]
2. Orang yang kerjaannya suka mengadu domba akan mendapat adzab dalam kuburnya sebelum hari kiamat.
Hal itu, berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, yang menceritaka: "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati dua kubur, lantas beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَسْعَى بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ قَالَ ثُمَّ أَخَذَ عُودًا رَطْبًا فَكَسَرَهُ بِاثْنَتَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى قَبْرٍ ثُمَّ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang diadzab, dan keduanya diadzab karena perkara yang besar". Kemudian beliau melanjutkan, "Benar, adapun salah satunya diadzab karena sering melakukan namimah, adapun yang satunya lagi karena tidak mengambil penutup tatkala kencing".Ibnu Abbas melanjutkan, "Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah, lalu membelah menjadi dua, kemudian beliau meletakan pada kedua penghuni kubur tersebut, lalu beliau bersabda, "Mudah-mudahan Allah meringankan adzab keduanya selagi daun ini masih basah". HR Bukhari no: 1378. Muslim no: 292.
3. Termasuk dalam golongan hamba Allah Shubhanahu wa ta’alla yang paling buruk kelakuannya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari Abdurahman bin Ghamam radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « خِيَارُ عِبَادِ اللَّهِ الَّذِينَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللَّهُ وَشِرَارُ عِبَادِ اللَّهِ الْمَشَّاءُونَ بِالنَّمِيمَةِ الْمُفَرِّقُونَ بَيْنَ الْأَحِبَّةِ الْبَاغُونَ الْبُرَآءَ الْعَنَتَ » [أخرجه أحمد]
"Hamba-hamba pilihan Allah ialah orang-orang yang kalau (kalian) lihat (sedang) berdzikir kepada Allah, dan hamba Allah yang paling buruk kelakuannya adalah para penebar fitnah (tukang) mengadu domba, yang membikin orang saling bermusuhan, para perusak yang berusaha berlepas diri dari dosa". HR Ahmad 29/521 no: 17998.
Perbedaan Ghibah dan Namimah:
Perbedaan antara ghibah dan namimah. Ghibah itu adalah membicarkan orang lain tanpa sepengetahuanya dengan omongan yang dia tidak suka bila mendengarnya. Adapun naminah adalah menukil pembicaran orang lain dengan tujuan menabur benih permusuhan. Sehingga bila dicermati, ghibah itu sifatnya pembicaraanya asli muncul dari redaksi orang yang mengunjing, sedang namimah hanya menukil ucapan orang lain saja. Diantara perbedaannya pula, ghibah itu bisa menjadi boleh pada kondisi-kondisi mendesak sesuai dengan tujuan syar'i. Adapun namimah maka tidak ada seorangpun ulama yang mengatakan bolehnya pada kondisi tertentu.
Hukum Namimah:
Imam adz-Dzahabi menjelaskan: "Namimah termasuk dosa besar, hukumnya haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sebagaimana telah nampak jelas keharamannya dalam dalil-dalil syar'i dari al-Qur'an dan Sunah. Adapun bantahan bagi orang yang mengatakan namimah itu hanya dosa kecil, terbantah dengan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, "Dan tidaklah keduanya diadzab melainkan karena dosa besar". Yang dimaksud dalam hadits bukan besar ketika meninggalkannya atau bukan besar dalam persangkaan keduanya. Oleh karena itu dijelaskan dalam riwayat lain, "Bahkan sesungguhnya itu adalah dosa besar".[4]
Al-Hafidh Ibnu Hajar menjelaskan: "Sisi pengambilan hukum kalau namimah itu termasuk dosa besar karena didalamnya terdapat kerusakan sebagai akibat dari namimah, serta mengantarkan pada permusuhan, sehingga menyimpulkan bahwa naminah termasuk dosa besar dan perkara ini sangat jelas sekali".[5] Sedangkan Ibnu Hazm menyatakan: "Para ulama telah bersepakat atas haramnya perbuatan ghibah dan namimah kalau diletakan bukan pada perkara nasehat yang diwajibkan, maka hal ini sekaligus sebagai dalil yang menunjukan bahwa keduanya termasuk dosa besar".[6]
Imam Dzahabi menjelaskan, "Setiap orang yang memikul namimah, seperti halnya mengatakan pada orang, kamu dikatakan sama si fulan begini dan begitu. Maka bagi orang semacam ini terkumpul padanya enam kondisi:
1. Jangan dipercaya omongannya dikarenakan dirinya tukang mengadu domba yang fasik, sehingga beritanya tertolak.
2. Mencegah orang tadi supaya tidak mengadu domba sambil dibarengi nasehat dan diingatkan akan nistanya perbuatan semacam itu.
3. Membencinya karena Allah azza wa jalla. Karena orang seperti itu dibenci disisi Allah Shubhanahu wa ta’alla, sehingga membencinya karena -Nya adalah perkara wajib.
4. Jangan mengedepankan persangkaan yang buruk dalam menghadapi berita semacam itu. Berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ ٞ ١٢﴾[ الحجرات: 12]
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari persangkaan itu dosa". (QS al-Hujuraat: 12).
5. Tidak menjadikan berita itu sebagai alasan untuk memata-matai dan menyelidikinya untuk membuktikan kebenaran berita tersebut, berdasarkan larangan Allah ta'ala:
﴿ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ ٞ ١٢﴾ [ الحجرات: 12]
"Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain". (QS al-Hujuraat: 12).
6. Tidak menuruti apa yang dicegah oleh tukang pengadu domba dengan tidak rela kalau terjadi pada dirinya, dan tidak turut serta menyebarkan berita fitnah tersebut.
Dan dikarenakan perkaranya sangat tersamar sehingga menjadikan bahaya namimah ini sangat sulit untuk dihindari, karena namimah ini muncul dalam bentuk seperti orang yang sedang memberi nasehat yang tulus. Lalu jika engkau mempercayainya tercapailah maksud dari tujuan pengadu domba tadi yaitu menebar benih permusuhan.
Imam Ibnu Hazm menyatakan, "Kalau ada seseorang yang datang padamu dengan perkara bathil terkadang bisa dianggap benar oleh dirimu. Dikarenakan orang yang membawa berita bohong tentang seseorang akan menyulut tabiatmu untuk mempercayainya sehingga kamu menyetujui lalu menganggapnya menjadi suatu hal yang bisa diterima. Ingat baik-baik akan hal ini, sehingga tidak wajib bagimu untuk menerima beritanya kecuali jika berita tersebut kamu dengar langsung dari sumbernya". [7]
Dan para pengadu domba ini sangatlah banyak, dan yang paling berbahaya diantara sekian banyak tersebut ialah kelompok yang menjadikan pekerajaannya tersebut untuk mencari kedudukan di hati para ulama dan penguasa. Disebutkan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan: "Tatkala usai dari perang Hunain Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan beberapa orang dalam pembagian rampasan perang. Beliau mengasih Aqra' bin Habis seratus onta, dan memberi Uyainah semisal itu, beliau juga memberi pada pemimpin kabilah Arab dan mendahulukan mereka-mereka itu dalam pembagian.
Kemudian ada seseorang yang berkata, "Demi Allah, sesungguhnya pembagian semacam ini tidak adil, pembagian yang tidak mengharap wajah Allah Shubhanahu wa ta’alla". Abdullah mengatakan, "Demi Allah, akan saya sampaikan hal ini pada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam". Abdullah melanjutkan, "Maka aku segara mendatangi beliau dan mengabarkan apa yang dikatakan orang tadi, seketika itu rona wajah beliau berubah merah padam, lantas bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « فَمَنْ يَعْدِلُ إِنْ لَمْ يَعْدِلِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ . قَالَ: ثُمَّ قَالَ : يَرْحَمُ اللَّهُ مُوسَى قَدْ أُوذِىَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ . قَالَ: قُلْتُ: لاَ جَرَمَ لاَ أَرْفَعُ إِلَيْهِ بَعْدَهَا حَدِيثًا » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Lantas siapa yang akan berbuat adil jika sekiranya Allah dan Rasul -Nya sudah tidak adil lagi". Abdullah melanjutkan, lantas beliau bersabda kembali, "Semoga Allah merahmati Musa, sungguh dirinya lebih banyak disakiti (kaumnya) namun beliau tetap bersabar". Maka setelah kejadian itu aku tidak pernah menukil ucapan orang lagi pada beliau". HR Bukhari no: 3150. Muslim no: 1062.
Atas makna inilah atsar Ibnu Mas'ud menunjukan, sebagaimana datang dalam penjelasan sebuah hadits yang di lemahkan oleh sebagian para ulama, dijelaskan dalam riwayat tersebut, "Janganlah kalian menceritakan (keburukan) seorangpun dari para sahabatku pada orang lain, sungguh aku lebih senang jika aku keluar pada kalian sedangkan hatiku dalam keadaan bersih". HR Abu Dawud no: 4860.
Kelompok lain dari para pengadu domba ialah orang-orang yang hatinya sudah termakan oleh penyakit hasad. Sehingga tatkala dia melihat ada pasangan suami istri yang harmonis atau teman karib yang erat kecuali dirinya sangat bernafsu untuk memisahkan antara keduanya dengan cara namimah ini. semua itu dia lakukan dalam bingkai nasehat dan kepedulian. Diriwayatkan dari Umar bin Abdil Aziz, bahwsannya pernah ada seseorang yang masuk ruangannya lalu menyebutkan pada beliau tentang seseorang. Maka beliau bertanya padanya, "Kalau kamu setuju biar kami pelajari kasusmu dan jika dirimu dusta maka kamu masuk dalam kelompok orang yang disebut dalam ayat ini:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ ٦ ﴾ [ الحجرات: 6]
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti". (QS al-Hujurat: 6).
Dan jika sekiranya kamu jujur maka engkau termasuk golongan orang-orang ini:
﴿ هَمَّازٖ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٖ ١١ ﴾ [ القلم: 11]
"Yang banyak mencela, yang kesana ke mari menghambur fitnah". (QS al-Qolam: 11).
Dan bila engkau mau akan kami maafkan". Lantas orang tersebut menjawab, "Dimaafkan saja wahai Amirul mukminin dan saya berjanji tidak akan mengulangi kembali".[8] Imam Hasan Bashri menasehati kita dengan petuahnya, "Barangsiapa yang mengadukan padamu perkara namimah maka tidak tertutup dia juga akan mengadu kamu dengan yang lain".
Penawar penyakit Namimah:
Diantara hal yang bisa mengobati penyakit namimah ini ialah hendaknya sang pelaku mengetahui bahwa dia sedang mengantarkan dirinya pada kemurkaan Allah Shubhanahu wa ta’alla serta hukuman -Nya. Dan menginggat bahwa namimah akan menghapus amal kebajikan yang pernah dilakukan. Demikian juga hendaknya ia selalu mengaca pada kekurangan yang ada pada dirinya lalu berusaha untuk memperbaikinya. Dan hendaknya dia paham kalau menyakiti orang lain baik dengan ghibah maupun namimah sama seperti halnya dia menyakiti jasadnya, lalu bagaimana mungkin dia rela perbuatan tersebut menimpa dirinya. Seorang penyair mengatakan:
Jangan turuti namimah ketika dia mengodamu
Karena namimah itu akan menghapus tiap kebajikan
Dirinya akan ditemani oleh semua kejelekan
Dan kenistannya akan terbongkar dihadapan makhluk
Sejatinya bunuh diri dan kegelapan yang sedang ia raih
Bukanlah kehormatan yang sedang dia sematkan
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.