×
Pertanyaan yang dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- yang berbunyi: “Apakah hukumnya menghilangkan rambut di tangan dan kaki?”

    Hukum Menghilangkan Rambut (Bulu) di Tangan dan Kaki

    [ Indonesia - Indonesian - إندونيسي ]

    Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

    Dinukil dari Buku Kumpulan Fatwa Untuk Wanita Muslimah

    (hal. 879-880)

    Disusun oleh : Amin bin Yahya al-Wazzan

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2012 - 1434

    حكم إزالة شعر اليدين والرجلين

    «باللغة الإندونيسية»

    الشيخ محمد بن صالح العثيمين

    مقتبسة من كتاب فتاوى الجامعة للمرأة المسلمة : (ص:879-880)

    جمع وترتيب: أمين بن يحيى الوزان

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2012 - 1434

    Hukum Menghilangkan Rambut (bulu) Di Tangan Dan Kaki

    Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya:

    Apakah hukumnya menghilangkan rambut di tangan dan kaki?

    Jawaban: Jika banyak maka tidak mengapa menghilangkannya karena ia ‘merusak pemandangan’. Dan jika biasa saja, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa tidak boleh menghilangkannya, karena menghilangkannya termasuk merubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa boleh menghilangkannya karena ia termasuk yang didiamkan darinya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala diam darinya maka ia dimaafkan.’ Maksudnya tidak wajib kepadamu dan tidak haram. Mereka berkata: Sesungguhnya rambut terbagi tiga:

    Bagian pertama: yang ditegaskan haram mengambilnya.

    Bagian kedua: yang disuruh mengambilnya.

    Bagian ketiga: yang didiamkan darinya.

    Sesuatu yang ditegaskan oleh syara’ haram mengambil maka tidak boleh diambil seperti jenggot bagi laki-laki dan mengambil bulu alis bagi wanita dan laki-laki. Dan sesuatu yang disuruh mengambilnya maka dianjurkan menghilangkannya seperti bulu ketiak, bulu kemaluan, dan kumis bagi laki-laki. Dan yang didiamkan darinya maka ia dimaafkan, karena jika ia termasuk yang tidak dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala keberadaannya tentu Dia subhanahu wa ta’ala menyuruh menghilangkannya, dan jika ia termasuk yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala keberadaannya tentu Dia subhanahu wa ta’ala menyuruh untuk dibiarkan, maka tatkala Dia subhanahu wa ta’ala diam darinya niscaya hal ini kembali kepada pilihan manusia, jika ia menghendaki ia boleh menghilangkannya dan jika ia menghendaki ia boleh membiarkannya.[1]

    [1] Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Syaikh Muhammad al-Utsaimin 4/134