Hukum Menghindari Dari Jabatan Agama
Klasifikasi
Full Description
Hukum Menghindar dari Jabatan Agama
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2012 - 1433
﴿ حكم التورُّع عن المناصب الدينية ﴾
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2012 - 1433
بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Menghindar dari Jabatan Agama
Pertanyaan: Banyak sekali penuntut ilmu yang menghindar dari jabatan keagamaan, apa penyebabnya? Apakah ada nasihat bagi para hadirin? Sebagaimana bisa diperhatikan bahwa sebagian besar mahasiswa fakultas syari’ah –mencari berbagai cara untuk menghindar dari jabatan pengadilan (qadhi, hakim), apa nasihat Syaikh untuk mereka?
Jawaban: Jabatan keagamaan seperti qadhi (hakim), mengajar, dan khutbah merupakan jabatan mulia dan sangat penting, dan kaum muslimin sangat membutuhkannya. Apabila para ulama menghindar darinya niscaya akan dipegang oleh orang-orang jahil (bodoh) dan mereka sesat menyesatkan.
Bagi para ulama dan ahli agama yang sangat dibutuhkan wajib memegang jabatan ini, karena perkara-perkara ini berupa qadha, mengajar, khutbah dan dakwah serta yang serupa maka termasuk fardhu kifayah. Apabila ditentukan kepada seseorang yang punya kemampuan niscaya wajib atasnya dan ia tidak boleh menghindari dan menolaknya.
Kemudian, jika ada seseorang yang menempati jabatan tersebut dan itu sudah cukup, niscaya tidak wajib bagi yang lain. Maka semestinya ia melihat yang lebih baik, sebagaimana Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan tentang Nabi Yusuf ‘alaihissalam. bahwa ia berkata kepada raja Mesir:
قال الله تعالى: )قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ اْلأَرْضِ إِنِّي حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ( [سورة يوسف: 55]
Dia (Yusuf) berkata: “Jadikanlah aku berdaharawan negeri (Mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55).
Manakala ia melihat mashlahat dalam memegang jabatan itu, maka ia meminta jabatan itu. Dia seorang nabi dan rasul yang mulia, dan para nabi adalah manusia paling utama. Ia memintanya untuk perbaikan: perbaikan bagi penduduk negeri Mesir dan mengajak mereka kepada kebenaran.
Maka penuntut ilmu, apabila ia melihat mashlahat dalam hal itu, ia meminta jabatan itu dan ridha dengannya, baik jabatan qadha` atau mengajar atau departemen atau yang lainnya, dengan catatan bahwa tujuannya adalah untuk perbaikan dan kebaikan, dan tujuannya bukan dunia semata, namun tujuannya adalah karena Allah Shubhanahu wa ta’alla dan untuk bekal di hari akhirat kelak, memberi manfaat kepada manusia dalam agama mereka –yang pertama-tama-, kemudian dalam urusan dunia mereka, dan ia tidak ridha jabatan-jabatan tersebut dipegang oleh orang-orang jahil dan fasik. Maka apabila dia ditawari jabatan yang baik dan dia merasa dirinya mampu dan berkompeten atas jabatan tersebut, maka ia harus menerimanya. Dan hendaklah ia memperbaiki niatnya, mengerahkan kemampuannya dalam hal itu, jangan mengatakan saya takut, saya khawatir seperti ini dan itu.
Disertai niat yang benar dan jujur dalam pekerjaan niscaya hamba diberikan taufik dan diberi pertolongan atas hal itu. Apabila niatnya ikhlas karena Allah Shubhanahu wa ta’alla dan ia mengerahkan kemampuannya dalam kebaikan niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla memberi taufik kepadanya.
Dan dari bab ini terdapat hadits Utsman bin Abil Asya ats-Tsaqafi bahwa ia berkata: Ya Rasulullah, jadikanlah aku pemimpin kaumku.’ Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
((أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لاَ يَأْخُذُ عَلَى آذَانِهِ أَجْرًا))؛ رواه أحمد، وأبو داود، وابن ماجة
‘Engkau imam/pemimpin mereka, ikutilah yang paling lemah dari mereka, dan angkatlah muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya.’[1]
Ia meminta untuk menjadi pemimpin kaumnya untuk kepentingan syara’, memberikan bimbingan, mengajar, amar ma’ruf, dan nahi mungkar kepada mereka, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Para ulama berkata, "Sesungguhnya dilarang meminta jabatan apabila tidak diperlukan, karena berbahaya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang melarang tentang hal itu. Akan tetapi apabila diperlukan dan kepentingan syara’ mengharuskan memintanya, niscaya boleh memintanya berdasarkan cerita Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan hadits Utsman yang telah disebutkan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Majalah Buhuts edisi 47 hal. 161-162.
[1]HR. Ahmad 4/21, 217, Abu Daud 531, an-Nasa`i 672, Ibnu Majah 987, al-Hakim 1/199, 201 (715,722), ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 497.