×
Pertanyaan yang dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- yang berbunyi: “Apakah bersalaman dan berciuman dalam ta’ziyah merupakan sunnah?“

    Hukum Bersalaman Dan Berciuman

    Dalam Ta’ziyah

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2011 - 1432

    ﴿ حكم المصافحة والتقبيل في التعزية ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ محمد بن صالح العثيمين

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2011 - 1432

    Hukum Bersalaman Dan Berciuman

    Dalam Ta’ziyah

    Pertanyaan : Apakah bersalaman dan berciuman dalam ta’ziyah merupakan sunnah?

    Jawaban : Bersalaman dan berciuman dalam ta’ziyah bukan merupakan sunnah, bersalaman disunnahkan saat bertemu. Apabila engkau bertemu orang yang mendapat musibah, engkau memberi salam kepadanya dan menyalaminya, maka ini adalah sunnah. Bersalaman karena bertemu, bukan karena ta’ziyah. Akan tetapi masyarakat sudah menjadikannya sebagai kebiasaan (tradisi), jika mereka meyakini bahwa ia adalah sunnah maka seharusnya mereka mengetahui bahwa ia bukan sunnah. Adapun bila ia merupakan tradisi tanpa meyakininya sebagai sunnah maka tidak mengapa. Saya sendiri merasa gelisah dan meninggalkannya lebih utama tanpa diragukan lagi.

    Kemudian, di sini ada satu masalah yang perlu dipahami, yaitu : sesungguhnya ta’ziyah ditujukan untuk memberikan dukungan moral kepada yang mendapat musibah untuk sabar dan mendapat pahala dari Allah Shubhanahu wa ta’alla, dan bukan seperti memberi ucapan selamat yang dilakukan kepada setiap orang yang mendapat nikmat. Apabila seseorang mendapat musibah kematian, ia diberi ta’ziyah dengan sesuatu yang menguatkan kesabarannya dan agar ia mengharap pahala dari Allah Shubhanahu wa ta’alla. Di sisi kebanyakan manusia, ta’ziyah ini telah berubah seperti memberi ucapan selamat yang mereka datang kepadanya berbondong-bondong. Keluarga mayit menyediakan tempat untuk menunggu yang memberi ta’ziyah padanya. Terkadang mereka menyusun kursi dan menyalakan lampu listrik. Semua ini menyalahi petunjuk salafus shalih. Mereka tidak pernah berkumpul untuk ta’ziyah atau melakukan sesuatu yang tidak biasanya berupa penerangan lampu atau lainnya. Para ulama kita[1] –rahimahullah- menegaskan makruhnya duduk untuk ta’ziyah. Berkata dalam al-Muntaha[2] dan syarahnya : Dimakruhkan duduk untuk ta’ziyah, yaitu orang yang berduka duduk untuk menerima ta’ziyah. Dan berkata dalam Kasyf Qinaa’ dan syarahnya seperti itu. An-Nawawi berkata dalam Syarh al-Muhazzab [3]: Adapun duduk untuk ta’ziyah, maka imam Syafi’i, pengarang[4] dan para ulama mazhab[5] menegaskan makruhnya…mereka berkata, maksudnya duduk untuk ta’ziyah yaitu keluarga mayit berkumpul di rumah agar orang yang ingin ta’ziyah mendatangi mereka, mereka berkata : semestinya mereka berpaling pada kebutuhan mereka (bekerja seperti biasa), maka siapa yang bertemu mereka untuk memberi ta’ziyah kepadanya, tidak ada perbedaan di antara laki-laki dan wanita pada makruhnya duduk untuk ta’ziyah. Hingga di sini ucapannya.

    Syaikh Ibnu Utsaimin – Fatawa fi ahkamil Janaiz hal. 341-342- dikumpulkan dan disusun oleh Fahd alu Sulaiman.

    [1] Maksunya, para ulama mazhab Hanbali. (Pent.)

    [2] Syarh Muntahal Iradat (1/382).

    [3] Yang dinamakan al-Majmu’ 5/270-271.

    [4] Maksudnya pengarang kita Muhazzab, yaitu asy-Syairazi. (pent.)

    [5] Para ulama mazhab Syafii. (pent.)