×
Pertanyaan yang dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh yang berbunyi: Apakah cukup bagi wanita yang istihadhah hanya membersihkan kemaluan, membalutnya dan berwudhu untuk shalat? Atau harus mandi untuk setiap shalat seperti mandi junub?”

Wanita Istihadhah Cukup Hanya

Berwudhu Untuk Setiap Shalat

] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh

Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

2011 - 1432

﴿ يكفي للمستحاضة أن تتوضأ لكل صلاة ﴾

« باللغة الإندونيسية »

الشيخ محمد بن إبراهيم آل الشيخ

ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

2011 - 1432

بسم الله الرحمن الرحيم

Wanita Istihadhah Cukup Hanya Berwudhu Untuk Setiap Shalat

Pertanyaan: Apakah cukup bagi wanita yang istihadhah[1] hanya membersihkan kemaluan, membalutnya dan berwudhu untuk shalat? Atau harus mandi untuk setiap shalat seperti mandi junub?

Jawaban: Wanita yang istihadhah wajib mandi satu kali saat selesai masa haidhnya dan ia tidak wajib mandi setelah itu sampai datang waktu,[2] dan ia wajib berwudhu untuk setiap shalat. Dasar hal itu adalah hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: 'Fatimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: 'Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang selalu haid, maka aku tidak pernah suci, apakah aku harus meninggalkan shalat? Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لاَ, إِنَّمَا ذلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ, فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاَةٍ حَتَّى يَجِيْئَ ذلِكَ اْلوَقْتُ)) (متفق عليه)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Tidak, sesungguhnya itu adalah urat (pembuluh darah), bukan haid. Oleh karena itu bila tiba masa haidmu maka tinggalkanlah shalat, dan apabila berlalu (masa haidmu) maka bersihkanlah darah darinya, kemudian berwudhu untuk setiap shalat sampai datang waktu itu (tiba masa kebiasaan haid)."[3]

Dan diriwayatkan pula dalam Shahihain, dari Aisyah radhiyallahu 'anha: 'Sesungguhnya Ummu Habibab istihadhah selama tujuh tahun. Ia bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, beliau menyuruh dia mandi seraya bersabda: 'Ini adalah urat (pembuluh darah).' Maka ia mandi untuk setiap shalat.'[4]

Sisi pengambilan dalil dari dua hadits ini adalah bahwa hadits Ummu Habibab radhiyallahu 'anha bersifat muthlaq dan hadits Fathimah radhiyallahu 'anha muqayyad, maka yang muthlaq dibawakan kepada yang muqayyad. Maka ia harus mandi saat berakhir masa haidnya dan berwudhu untuk setiap shalat. Maka tetaplah mandinya (Ummu Habibab) untuk setiap shalat atas asalnya yaitu tidak wajib.

Jika hukumnya wajib pasti Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam menjelaskannya dan ini adalah waktu untuk menjelaskannya, dan tidak boleh bagi Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam menunda penjelasannya dari saat dibutuhkan dengan ijma' para ulama.

An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim berkata[5] setelah memaparkan dua hadits ini: Ketahuilah, sesungguhnya wanita yang istihadhah tidak wajib mandi untuk setiap shalat kecuali hanya satu kali saat berakhirnya masa haidnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan salaf dan khalaf. Yaitu diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Aisyah radhiyallahu 'anhum. Juga pendapat Urwah bin Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad. Hingga di sini yang dimaksudkan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh – Fatawa Wa Rasail (2/100-101).

[1] Istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar masa haid dan nifas. (pent.)

[2] Seperti inilah dari sumbernya. Dalam susunan kalimatnya ada yang terletak di depan dan ada yang dibelakang. Dan susunan jawabannya adalah: Ia wajib berwudhu untuk setiap shalat sehingga tiba waktu (haid) yang sesudahnya, sebagaimana dalam lafazh hadits (dikutip dari hasyiyah al-Fatawa).

[3] HR. al-Bukhari 320, 325, 331 dan Muslim 333.

[4] HR. al-Bukhari 327 dan Muslim 334

[5] Shahih Muslim dengan Syarh an-Nawawi 4/19.