Pengaruh Riya Dalam Ibadah
Klasifikasi
- Bentuk-bentuk Syirik << Syirik << Akidah
Full Description
Pengaruh Riya Dalam Ibadah
﴿ أثر الرياء في العبادة ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2011 - 1432
﴿ أثر الرياء في العبادة ﴾
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2011 - 1432
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengaruh Riya Dalam Ibadah
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Pertanyaan 1: Apakah hukumnya ibadah yang disertai riya?
Jawaban 1: Hukum ibadah apabila disertai riya bisa dikatakan: riya ada tiga macam:
Pertama: bahwa pendorong ibadah tersebut pada dasarnya adalah karena ingin dilihat manusia. Seperti orang yang berdiri shalat karena riya kepada manusia, karena ingin dipuji manusia terhadap shalatnya, maka ini membatalkan ibadah.
Kedua: bahwa riya itu menyertai ibadah di pertengahan, maksudnya bahwa pendorongnya dalam beribadah pada awal mulanya adalah karena Allah Shubhanhu wa ta’alla, kemudian datang riya di saat beribadah, maka ibadah ini tidak terlepas dari dua perkara:
a. Bahwa permulaan ibadah tidak berkaitan dengan akhirnya, maka yang pertama sah dalam kondisi apapun dan yang terakhir batal (tidak ada pahala). Contohnya seseorang yang mempunyai seratus riyal, ia ingin bersedekah dengannya. Ia pun bersedekah lima puluh riyal dengan ikhlas. Kemudian datanglah penyakit riya pada lima puluh riyal yang tersisa. Maka yang pertama adalah sedekah yang shahih diterima, dan lima puluh sisanya adalah sedekah batil karena ikhlas bercampur dengan riya.
b. Bahwa permulaan ibadah berkaitan dengan akhirnya, maka saat itu manusia tidak terlepas dari dua perkara:
Pertama: ia menolak riya dan tidak membiarkannya, bahkan ia berpaling dan membencinya, maka riya ini tidak memberi pengaruh sedikitpun, berdasarkan hadits yang berbunyi:
قال رسول الله e : (إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ)
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla memaafkan dari umatku sesuatu yang dibicarakan oleh jiwanya selama ia tidak melakukan dan tidak berbicara."[1]
Kedua: bahwa ia membiarkan riya ini dan tidak menghindarinya. Maka ketika itu batal semua ibadah, karena awalnya berkaitan dengan akhirnya. Contohnya: ia memulai shalat ikhlas karena Allah Shubhanhu wa ta’alla, kemudian datang penyakit riya atasnya di rekaat kedua, maka batallah shalatnya karena awal shalat terkait dengan akhirnya.
Ketiga: bahwa riya datang setelah selesai ibadah, maka ia tidak mempengaruhinya dan tidak membatalkannya, karena ia telah selesai dengan benar maka datangnya tidak merusaknya setelah itu. Dan bukan termasuk riya bahwa seseorang merasa senang manusia mengetahui ibadahnya, karena hal ini datang setelah selesai ibadah. Dan bukan termasuk riya bahwa seseorang merasa senang dengan melakukan taat, karena hal itu merupakan bukti imannya.
قال رسول الله e : (مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَذلِكُمُ الْمُؤْمِنُ)
Rasulullah bersabda: 'Barangsiapa yang disenangkan oleh kebaikannya dan keburukan menyedihkannya maka itulah orang yang beriman."[2]
Nabi Muhammad Shalallahu’alii wa sallam ditanya tentang hal itu, beliau menjawab:
قال رسول الله e : (تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ)
Rasulullah bersabda: "Itulah berita gembira yang dipercepat bagi orang yang beriman."[3]
Syaikh ibnu Utsaimin – Fatawa Aqidah hal 200-201.
[1] HR. Al-Bukhari 5269 dan Muslim 127.
[2] Dari hadits Umar t: HR. Ahmad 1/18, 26, at-Tirmidzi 2165 dan ia berkata: Hasan shahih gharib, an-Nasai dalam dalam al-Kubra 9226, Ibnu Hibban 7254, al-Hakim 1/114, 115 (387, 390) ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dan dalam bab ini dari Abu Umamah dan Abu Musa t.
[3] HR. Muslim 2642.