×
Di masa sekarang, banyak sekali yang bertanya tentang hukum aborsi di semua fasenya dan hukum-hukum yang terkait dengannya setelah keguguran. Fatwa ini menjelaskan tentang hukum aborsi dan hukum-hukum yang terkait setelah keguguran tersebut.

Menggugurkan Kandungan (Aborsi) dan Hukum-Hukum Terkait

﴿ حكم إسقاط الحمل (الإجهاض) والأحكام بعد سقوطه ﴾

] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa

Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

2010 - 1431

﴿ حكم إسقاط الحمل (الإجهاض) والأحكام بعد سقوطه ﴾

« باللغة الإندونيسية »

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

2010 - 1431

 بسم الله الرحمن الرحيم

Hukum Menggugurkan Kandungan (Aborsi) dan Hukum-Hukum Terkait

Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa

Pertanyaan: Merujuk konfirmasi yang ditujukan kepada departemen kesehatan dari beberapa kantor dinas kesehatan dari berbagai wilayah tentang usia kandungan yang dianggap meninggal dan usia yang dianggap sebagai aborsi, dan karena persoalan ini masuk di dalam kategori syari'at dan undang-undang.

Saya mengharapkan penjelasan anda dengan memberikan fatwa kepada kami tentang usia janin saat masa kehamilan, dan yang dipandang masa sebagai aborsi dan dianggap sudah meninggal, agar kami bisa memberikan penjelasan kepada beberapa kantor dinas kesehatan untuk mengambil tindakan sebagaimana mestinya.

Jawaban Pertama: Hukum Menggugurkan kandungan:

  1. Pada dasarnya, menggugurkan kandungan di berbagai fase usia kandungan yang berbeda hukumnya tidak boleh secara syara'.
  2. Menggugurkan kandungan di fase yang pertama, yaitu saat berusia kurang dari empat puluh hari hukumnya tidak boleh, kecuali karena menolak bahaya yang diperkirakan, atau merealisasikan kepentingan syara', setiap kondisi diperkirakan dari para ahli dalam bidang medis dan syara'. Adapun menggugurkannya di masa ini karena khawatir kesusahan mendidik anak, atau khawatir tidak mampu memberi nafkah atau pendidikan, atau untuk masa depan mereka, atau merasa cukup dengan anak-anak yang sudah ada, hukum tidak boleh.
  3. Tidak boleh menggugurkan kandungan apabila sudah menjadi segumpal darah atau segumpal daging, sehingga satu tim medis yang dipercaya menetapkan: Sesungguhnya membiarkan kandungan berbahaya terhadap keselamatan ibunya, seperti dikhawatirkan berbahaya terhadap ibunya jika dibiarkan, boleh menggugurkannya setelah melakukan berbagai usaha untuk menghindari bahaya tersebut.
  4. Setelah fase ketiga dan setelah sempurna usia kandungan empat bulan, tidak boleh menggugurkannya sehingga sejumlah dokter spesialis yang dipercaya menetapkan: bahwa membiarkan kandungan di perut ibunya bisa menyebabkan kematiannya. Dan hal itu setelah melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan kehidupan janin tersebut. Sesungguhnya diberikan rukhshah (keringanan) melakukan aborsi dengan syarat-syarat ini karena menghindari bahaya yang lebih besar dan menarik mashlahat yang lebih baik.

Kedua: Hukum-hukum setelah gugurnya kandungan: Yaitu berbeda-beda menurut masa dari empat masanya, yaitu:

Hukum pertama: Apabila gugur kandungan di dua fase yang pertama: fase setetes air mani yang bercampur dari dua air mani, yaitu empat puluh (40) hari yang pertama berupa bergantungnya air mani di rahim, dan fase segumpal darah, yaitu fase perubahannya menjadi darah beku di empat puluh (40) hari yang kedua hingga genap delapan puluh (80) hari. Dalam kondisi ini, tidak berdampak apapun atas gugurnya –baik mani atau darah- terhadap hukum syara' tanpa ada perbedaan. Wanita yang keguguran meneruskan puasa dan shalatnya seolah-olah tidak ada keguguran. Dan ia harus berwudhu ketika masuk waktu shalat apabila ada darah seperti orang yang keluar darah istihadhah.

Hukum kedua: Apabila keguguran terjadi di masa yang ketiga, fase mudhghah –yaitu segumpal daging- dan padanya diperkirakan anggota tubuhnya, rupanya, bentuknya, yaitu di usia empat puluh (40) hari yang ketiga, dari usia delapan puluh satu (81) hari hingga seratus dua puluh (120) hari, maka baginya ada dua:

  1. Bahwa gumpalan daging itu tidak mempunyai bentuk yang nampak bagi penciptaan manusia dan tidak samar, tidak ada persaksian ahli kandungan bahwa ia merupakan permulaan manusia. Maka hukum gugurnya gumpalan darah ini sama seperti gugurnya di dua fase pertama dan tidak ada kaitan hukum apapun.
  2. Bahwa gumpalan darah itu sudah sempurna bagi bentuk manusia, atau padanya ada gambaran yang nampak dari penciptaan manusia, tangan, atau kaki atau semisal yang demikian itu, atau gambaran yang samar atau persaksian ahli kandungan bahwa ia merupakan permulaan manusia, maka hukum gugurnya gumpalan darah di sini berdampak pada hukum: nifas dan berakhirnya masa iddah.

Hukum Ketiga: Apabila gugur kandungan di fase keempat, maksudnya setelah ditiup ruh, yaitu di permulaan bulan ke lima dari berlalunya seratus dua puluh satu (121) hari di atas kehamilan dan sesudahnya, maka ada dua bagian, yaitu:

1. Bahwa ia tidak berteriak, maka baginya sama seperti hukum kondisi kedua bagi segumpal daging yang baru disebutkan, dan ditambah: bahwa ia dimandikan, dikafani, dishalatkan, diberi nama dan diaqiqahkan.

2. Bahwa ia berteriak, maka hukumnya sama seperti bayi yang dilahirkan sempurna. Di antaranya sama seperti kondisi sebelumnya, dan tambahan di sini adalah: bahwa ia memiliki harta dari wasiat dan warisan, maka ia mewarisi dan diwarisi serta selain yang demikian itu. Wallahu A'lam.

Wabillahit taufiq, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa dari kitab