×
Di masa sekarang, sudah menjadi tradisi di berbagai negara Islam dalam melaksanakan hari berkabung karena wafatnya seorang tokoh atau pemimpin yang disegani. Namun apakah tindakan seperti itu dibenarkan dalam syari’at Islam? dan apakah hal itu pernah dilakukan oleh para salaf? Fatwa ini menjelaskan tentang hukum melaksanakan hari berkabung.

Hukum Berkabung Atas Kematian Raja dan Pemimpin

﴿ حكم الإحداد على الملوك والزعماء ﴾

] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

Penyusun :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

2010 - 1431

﴿ حكم الإحداد على الملوك والزعماء ﴾

« باللغة الإندونيسية »

الشيخ عبدالعزيز بن باز رحمه الله

ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

2010 - 1431

 بسم الله الرحمن الرحيم

Hukum Berkabung Atas Kematian Raja Dan Pemimpin

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Segala puji hanya bagi Allahsubhanahuwata’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya serta yang mengikuti petunjuknya. Amma Ba'du:

Sudah menjadi tradisi beberapa negara Islam di masa sekarang dengan memerintahkan berkabung atas wafatnya seseorang dari kalangan para raja dan pemimpin selama tiga hari atau kurang atau lebih, disertai meliburkan kantor-kantor pemerintah dan menaikkan bendera setengah tiang. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini menyalahi syari'at Nabi Muhammad e dan termasuk perbuatan menyerupai musuh-musuh Islam. Diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah e yang melarang berkabung dan memperingatkan darinya kecuali pada istri, maka ia berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana diriwayatkan rukhshah (keringanan) dari beliau e khusus bagi wanita untuk berkabung terhadap kerabatnya selama tiga hari atau kurang. Adapun berkabung selain yang demikian itu maka dilarang secara syara'. Tidak ada dalam syari'at yang sempurna yang membolehkan berkabung terhadap kematian raja atau pemimpin atau selain mereka. Telah meninggal dunia di masa Nabi e putranya Ibrahim dan tiga orang putrinya serta para pemimpin yang lain, maka Nabi e tidak berkabung terhadap mereka. Telah terbunuh di masa beliau para pemimpin perang Mu'tah: Zaid bin Haritsah t, Ja'far bin Abu Thalib t, dan Abdullah bin Rawahah t, beliau e tidak melaksanakan hari berkabung terhadap mereka. Kemudian Nabi e wafat, sedangkan beliau e adalah makhluk paling mulia, nabi paling utama dan pemimpin umat manusia. Musibah dengan kematian beliau adalah musibah terbesar dan para sahabat tidak melaksanakan hari berkabung atasnya. Kemudian Abu Bakar t wafat dan ia adalah sahabat paling utama dan makhluk paling utama setelah para nabi, maka mereka tidak melaksanakan hari berkabung atasnya. Kemudian terbunuh Umar t, Utsman t dan Ali t, sedang mereka adalah makhluk paling utama setelah para nabi dan Abu Bakar t, para sahabat tidak melaksanakan hari berkabung terhadap mereka. Dan seperti inilah para sahabat meninggal dunia, maka para tabi'in tidak melaksanakan hari berkabung. Dan seperti ini pula wafat para pemimpin dan imam di dalam Islam dari kalangan ulama tabi'in dan generasi setelah mereka seperti Sa'id bin Musayyab, Ali bin Husain Zainal Abidin dan putranya Muhammad bin Ali, Umar bin Abdul Aziz, az-Zuhri, imam Abu Hanifah dan dua sahabatnya, imam Malik, Auza'i, at-Tsauri, imam Syafi'i, imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan para ulama lainnya, maka kaum muslimin tidak melaksanakan hari berkabung atas kematian mereka. Jika hal itu baik niscaya salafus shalih lebih dulu melakukannya dan semua kebaikan adalah dalam mengikuti mereka dan semua keburukan adalah dalam menyalahi mereka. Dan sunnah Nabi e yang telah kami sebutkan menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh salafus shalih berupa meninggalkan ihdad (hari berkabung) terhadap selain suami adalah yang benar dan yang dilakukan manusia di masa sekarang berupa melaksanakan hari berkabung terhadap para raja dan pemimpin merupakan perkara yang menyalahi syari'at yang suci disertai bahaya yang banyak dan menyerupai musuh-musuh Islam.

Dengan penjelasan tersebut bisa diketahui bahwa para pemimpin dan pemuka kaum muslimin wajib meninggalkan hari berkabung ini dan meniti jalan para salafus shalih dari kalangan para sahabat dan yang mengikuti jalan mereka. Dan para ulama wajib memperingatkan dan memberitahukan mereka atas hal itu karena menunaikan kewajiban memberi nasehat dan tolong menolong di atas kebaikan dan taqwa. Dan karena Allah subhanahuwata’ala mewajibkan nasehat bagi Allah subhanahuwata’ala, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin dan kalangan awam kaum muslimin saya merasa perlu menguraikan kata-kata singkat ini.

Saya memohon kepada Allah subhanahuwata’ala agar memberi taufik kepada pemimpin dan kaum muslimin semua untuk segala sesuatu yang mengandung ridha-Nya, berpegang dengan syari'at-Nya dan takut menyalahinya, dan semoga Dia memperbaiki hati dan amal perbuatan kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa, dekat untuk mengabulkan. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah 22/229.