Hukum Meninggalkan Haji Sunnah Untuk Memberikan Kesempatan Kepada Kaum Muslimin
Klasifikasi
- Haji Dan Umrah << Ibadah << Fikih
- Fatwa << Fikih
Full Description
Hukum Meninggalkan Haji Sunnah Untuk Memberikan Kesempatan Kepada Kaum Muslimin
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
Terjemah: Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad
2011 - 1432
﴿ حكم ترك الحج النافلة توسعة على المسلمين ﴾
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمها الله
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2011 - 1432
بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Meninggalkan Haji Sunnah Untuk Memberikan Kesempatan Kepada Kaum Muslimin
Syaikh Muhammad bin Shalih al-utsaimin
Pertanyaan: Jiwa merasa rindu untuk melaksanakan ibadah haji, akan tetapi kami mendengar ungkapan sebagian orang, kami tidak tahu apakah benar atau salah? Mereka berkata: 'Barangsiapa yang sudah melaksanakan ibadah haji maka hendaklah ia memberikan kesempatan kepada orang lain.' Padahal kita mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita memperbanyak ibadah. Apakah ucapan ini benar? Apabila seseorang pergi menunaikan ibadah haji, kemungkinan Allah subhanahu wa ta’ala memberi manfaat dengannya kepada orang banyak, sama saja dari orang yang datang ke negeri ini atau orang yang menyertai mereka dari negerinya, apakah pendapatmu, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi taufik kepadamu?
Jawaban: Kami katakan: sesungguhnya pendapat ini tidak benar, maksud saya bahwa orang yang sudah berhaji maka hendaknya ia memberikan kesempatan kepada orang lain, karena nash-nash menunjukan keutamaan ibadah haji. Dan diriwayatkan dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam bahwa beliau bersabda:
(( تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يُنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ كَمَا يُنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ))
"Ikutkanlah/teruskanlah di antara haji dan umrah, sesungguhnya keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa, sebagaimana ubupan (api pandai besi) menghilangkan karat besi, emas dan perak."[1]
Manusia yang berakal bisa pergi melaksanakan ibadah haji, tidak menyakiti dan tidak disakiti orang lain apabila ia memperhatikan manusia. Apabila ia mendapatkan tempat yang luas, ia bersegera, dan apabila tempat itu sempit, ia memperlakukan dirinya dan orang lain sesuai tempat yang sempit ini. Karena alasan inilah, saat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam berangkat dari Arafah (menuju Muzdalifah), beliau menyuruh manusia agar tenang dan menarik tali kekang untanya, sehingga kepalanya (unta) menyentuh tempat kaki pelananya karena tarikannya yang kuat, akan tetapi bila beliau mendapatkan tempat luas (tidak sempit) beliau bersegera.[2] Para ulama berkata, “maksudnya bila mendapatkan tempat yang luas beliau bersegera”, hal ini memberikan arahan bahwa orang yang melaksanakan ibadah hendaknya bertindak sesuai kondisi yang ada. Apabila mendapatkan tempat sempit maka hendaknya ia perlahan dan memperhatikan orang lain di jalannya, dan dengan ini ia tidak disakiti dan tidak menyakiti orang lain.
Menurut pendapat kami dalam masalah ini adalah bahwa manusia berhaji dan memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk melaksanakan haji, melaksanakan segala kewajiban haji, berusaha agar tidak menyakiti seseorang dan tidak disakiti sebatas kemampuan. Benar, andaikan ada maslahat yang lebih bermanfaat dari pada haji, seperti sebagian kaum muslimin membutuhkan dana untuk jihad fi sabilillah, maka jihad fi sabilillah lebih utama dari pada ibadah haji sunnah. Dalam kondisi ini, dana itu dialokasikan untuk para mujahidin fi sabilillah. Atau ada bencana kelaparan yang menimpa kaum muslimin, maka di sini mengalokasikan dana untuk membantu kelaparan lebih utama dari pada haji sunnah.
Syaikh Ibn al-Utsaimin – Pertemuan bulanan (16/18).