×
Fatwa ini menjelaskan pentingnya ikhlas menuntut ilmu serta memberikan semangat dan dorong bagi para penuntut ilmu.

    Ikhlas Dalam Menuntut Ilmu

    ﴿ وجوب النية الصالحة في طلب العلم ﴾

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2010 - 1431

    ﴿ وجوب النية الصالحة في طلب العلم ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2010 - 1431

    IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU

    Samahah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

    1. Pertanyaan: Di kalangan penuntut ilmu, terutama di fakultas dan lembaga pendidikan, tersebar ungkapan: ilmu sirna bersama pemiliknya, dan sesungguhnya tidak ada lagi seseorang yang belajar di lembaga pendidikan kecuali untuk mendapatkan syahadah (ijazah) dan dunia. Bagaimanakah menjawab tuduhan ini? Apakah hukumnya bila terkumpul niat dunia dan ijazah di sertai niat menuntut ilmu untuk diri dan masyarakatnya?

    Jawaban: Ungkapan ini tidak benar dan tidak sepantasnya diungkapkan kata-kata ini dan semisalnya. Dan barangsiapa yang berkata: 'Manusia telah binasa maka dia adalah yang paling binasa dari mereka."[1]

    Akan tetapi semestinya memberikan semangat dan dorongan untuk menuntut ilmu, mencurahkan tenaga dan pikiran, teguh dan sabar untuk hal itu, berprasangka baik terhadap penuntut ilmu, kecuali orang yang sudah diketahui menyalahi hal itu.

    Tatkala Mu'azd RA sakaratul maut, ia berpesan kepada orang yang ada di sekitarnya agar menuntut ilmu, dan berkata: 'Sesungguhnya ilmu dan iman berada di tempatnya, barangsiapa menginginkan keduanya niscaya ia mendapatkannya.' Maksudnya: tempatnya ada di dalam kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Sesungguhnya seorang alim diambil (wafat) dengan ilmunya, maka ilmu diambil dengan wafatnya para ulama. Akan tetapi –alhamdulillah tetap ada golongan yang berada di atas kebenaran.

    Karena inilah, nabi saw bersabda:

    إِنَّ اللهَ لاَيَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ, وَلكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ, حَتىَّ إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا حُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوْا.

    "Sesungguhnya Allah swt tidak mengambil ilmu secara langsung dari hamba, akan tetapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga bila tidak ada lagi ulama, manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya lalu berfatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan."[2]

    Inilah yang dikhawatirkan, dikhawatirkan munculnya orang-orang jahil memberi fatwa, maka mereka sesat lagi menyesatkan. Inilah ungkapan yang dikatakan: ilmu telah hilang. Tidak ada lagi selain seperti ini dan seperti itu. Dikhawatirkan menurunkan semangat sebagian orang, sekalipun hal itu tidak melunturkan semangat orang yang teguh dan cerdas, bahkan mendorongnya untuk terus menuntut ilmu sehingga bisa menutup celah yang terbuka.

    Orang yang paham lagi ikhlas, cerdas lagi mengerti terhadap ucapan seperti ini tidak melunturkan semangatnya. Bahkan ia terus maju dan bersungguh-sungguh, tetap ulet, belajar dan bersegera karena kebutuhan terhadap ilmu untuk menutupi celah yang disangka orang-orang yang mengatakan: 'sesungguhnya tidak ada lagi seseorang...' dan sebagian besar ulama telah pergi. Maka sesungguhnya tetap ada golongan yang menang, yang berada di atas kebenaran, seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW:

    لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ

    "Senantiasa segolongan umatku tetap nampak di atas kebenaran, tidak mengganggu (mereka) orang yang menghina mereka sampai datang perkara Allah swt."[3]

    Maka kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, memberikan semangat atasnya, melaksanakan kewajiban di kota kita dan yang lainya, karena mengamalkan dalil-dalil syar'i yang mendorong hal itu, ingin mengajar dan memberi manfaat kepada kaum muslimin, sebagaimana kita harus mendorong untuk tetap ikhlas dan benar dalam menuntut ilmu.

    Barangsiapa yang ingin mendapatkan ijazah agar kuat dalam menyampaikan ilmu, berdakwah kepada kebaikan, sungguh ia telah melakukan kebaikan dalam hal itu. Jika ia ingin mendapatkan harta agar menjadi kuat dengannya, maka tidak mengapa ia belajar dan mendapatkan ijazah yang membantunya dalam menyebarkan ilmu dan supaya ilmu bisa diterima darinya dan agar mengambil harta yang membantunya dalam berdakwah. Maka sesungguhnya kalau bukan karena Allah SWT, kemudian harta, niscaya banyak sekali orang yang tidak bisa belajar dan berdakwah. Harta membantu seorang muslim dalam menuntut ilmu, menunaikan kebutuhannya, dan menyebarkan ilmu kepada orang banyak. Tatkala Umar RA memegang satu tugas, Rasulullah SAW memberikan harta kepadanya, ia berkata: 'Berikanlah kepada orang yang lebih miskin dari saya.' Maka Nabi bersabda: 'Ambilah, simpanlah atau sedekahkan dengannya. Apapun yang datang kepadamu dari harta ini, sedang engkau tidak menghendaki dan tidak memintanya maka ambilah, dan sesuatu yang tidak seperti itu maka janganlah engkau menuruti keinginan nafsumu."[4]

    Nabi memberi harta kepada muallaf yang imannya masih lemah dan memberi semangat kepada mereka hingga mereka masuk ke dalam agama Allah SWT secara berbondong-bondong, jika haram tentu beliau tidak memberikan kepada mereka, bahkan beliau memberi kepada mereka seperti saat futuh Makkah (penaklukan kota Makkah) dan sesudahnya.

    Di hari futuh Makkah, beliau memberi sebagian orang sebanyak seratus ekor unta dan Nabi Muhammad SAW memberikan seperti orang yang tidak takut miskin, karena mendorong masuk Islam dan berdakwah kepadanya.

    Allah SWT memberikan kepada muallaf satu bagian zakat, memberikan jatah kepada mereka dari baitul maal dan selain mereka dari para pengajar dan qadhi serta kaum muslimin yang lain. Wallahu waliyuttaufiq.

    Syaikh Bin Baaz –Majalah Buhuth ilmiyah 47 hal 157-160.

    [1] HR. Muslim no. 2623.

    [2] Al-Bukhari 100

    [3] Muslim 1290.

    [4] Al-Bukhari 1473 dan Muslim 1045.