×
Menjelaskan pengertian jujur, dan beberapa akhlak yang ditimbulkan oleh sifat jujur, juga menjelaskan bahwa jujur bisa diusakan dengan kebiasaan, ia bisa menimbulkan rasa tenang, sebaliknya dusta menyebabkan keraguan dan kebohongan terbesar adalah bohong dalam masalah agama.

    Kejujuran

    (بالغة الإندونيسية)

    Disusun Oleh:

    Mahmud Muhammad al-Khazandar

    Penerjemah :

    Team Indonesia

    Murajaah :

    Eko Haryanto Abu Ziyad

    الصدق

    إعداد:

    محمود محمد الخزندار

    ترجمة:

    الفريق الإندونيسي

    مراجعة:

    إيكو هارينتو أبوزيد

    Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah

    المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض

    1429 – 2008

    Kejujuran

    عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ

    "Kamu harus selalu jujur, maka sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan…"

    Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah I dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur, firman Allah I:

    لِّيَجْزِيَ اللهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ

    Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik... (QS. Al-Ahzab:24)

    Dan jujur adalah konsekuensi terhadap janji seperti firman Allah I:

    مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ

    Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; (QS. Al-Ahzab:23)

    Dan kejujuran itu sendiri dengan berbagai pengertiannya membutuhkan keikhlasan kepada Allah I dan mengamalkan perjanjian yang diletakkan oleh Allah I di pundak setiap muslim, firman Allah I:

    وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا . لِّيَسْئَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ

    Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka…(QS. Al-Ahzab:7-8)

    Maka apabila orang-orang yang benar (jujur) akan ditanya, maka bagaimana pertanyaan dan hisab bagi orang-orang yang berdusta dan munafik?

    Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Al-Harits al-Muhasibi rahimahullah berkata: 'Ketahuilah -semoga Allah I memberi rahmat kepadamu- sesungguhnya jujur dan ikhlas adalah pondasi segala sesuatu. Maka dari sifat jujur, tercabang beberapa sifat, seperti: sabar, qana'ah, zuhud, dan ridha. Dan dari sifat ikhlas tercabanglah beberapa sifat, seperti: yakin, khauf (takut), mahabbah (cinta), ijlal (membesarkan), haya` (malu), dan ta'dzim (pengagungan). Jujur terdiri dari tiga bagian yang tidak sempurna kecuali dengannya: 1) Kejujuran hati dengan iman secara benar, 2) Niat yang benar dalam perbuatan, 3) Kata-kata yang benar dalam ucapan.[1]

    Dan tatkala kejujuran mempunyai ikatan kuat dengan iman, maka Rasulullah ﷺ‬ memaafkan (memakluminya) terjadinya sifat yang tidak terpuji dari seorang mukmin, namun beliau menolak bahwa seorang mukmin terjerumus dalam kebohongan, karena sangat jauhnya hal itu dari seorang mukmin. Para sahabat pernah bertanya:

    يَارَسُوْلَ اللهِ, أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ.

    "Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada yang penakut? Beliau menjawab,'Ya.' Maka ada yang bertanya kepada beliau, 'Apakah orang beriman ada yang bakhil (pelit, kikir).' Beliau menjawab, 'Ya.' Ada lagi yang bertanya, 'Apakah ada orang beriman yang pendusta?' Beliau menjawab, 'Tidak.'[2]

    Dasar pada lisan adalah memelihara dan menjaga, karena ketergelincirannya sangat banyak dan kejahatannya tak terhingga. Maka waspada darinya dan berhati-hati dalam menggunakannya adalah lebih taqwa dan lebih wara`. Maka apabila engkau menemukan seseorang yang tidak perduli terhadap omongannya dan banyak bicara, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada di atas bahaya besar. Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

    كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

    "Cukuplah seseorang dipandang berdusta bahwa ia membicarakan semua yang didengarnya."[3]

    Karena banyak bicara merupakan tempat terjerumus dalam kebohongan dengan menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi, saat ia tidak mendapatkan pembicaraan, atau dengan mengutip berita seseorang yang pendusta –sedangkan dia mengetahui-, maka ia termasuk salah seorang pembohong.

    Setiap akhlak yang baik, bisa diusahakan dengan membiasakannya dan bersungguh-sungguh menekuninya, serta berusaha mengamalkannya, sehingga pelakunya mencapai kedudukan yang tinggi, naik dari tingkatan pertama kepada yang lebih tinggi darinya dengan akhlaknya yang baik. Karena itulah, Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

    عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا

    "Kamu harus selalu bersifat jujur, maka sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan senantiasa seseorang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, sehingga ia ditulis di sisi Allah I sebagai orang yang jujur."

    Demikian pula perkara pembohong yang terjatuh, sehingga ia dipatri dengan kebohongan.:

    وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ, وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

    "Jauhilah kebohongan, maka sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berbohong, dan mencari-cari kebohongan, sehingga ia ditulis di sisi Allah I sebagai pembohong."[4]

    Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuatnya hati, dan jelasnya persoalan, yang memberikan ketenangan kepada pendengar. Dan di antara tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang membuat pendengar merasa ragu dan tidak tenang. Dan karena itulah:

    فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ

    "Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan."[5] Sebagaimana disebutkan dalam hadits.

    Kesudahan jujur adalah kebaikan –sekalipun yang berbicara menduga terjadi keburukan, firman Allah I:

    فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ

    Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. Muhammad :21)

    Dan dalam cerita taubatnya Ka'ab bin Malik t, Ka'ab t berkata kepada Rasulullah ﷺ‬ setelah turunnya ayat yang menjelaskan bahwa Allah I menerima taubat tiga orang yang ketinggalan dalam perang Tabuk: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah I menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sesungguhnya termasuk taubatku bahwa aku tidak akan berbicara kecuali yang benar selama hidupku." Dan ia berkata pula: 'Maka demi Allah I, Allah I tidak pernah memberikan nikmat kepadaku selamanya, setelah memberikan petunjuk Islam kepadaku, yang lebih besar dalam diriku daripada kejujuranku kepada Rasulullah ﷺ‬, bahwa aku tidak berbohong kepadanya ﷺ‬, lalu (kalau aku berbohong) aku menjadi binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta…'[6]

    Ibnu al-Jauzi rahimahullah meriwayatkan dalam manaqib (riwayat hidup) Imam Ahmad, sesungguhnya dikatakan kepadanya: 'Bagaimana engkau bisa selamat dari pedang khalifah al-Mu'tashim dan cambuk khalifah al-Qatsiq? Maka ia menjawab, 'Jikalau kebenaran diletakkan di atas luka, niscaya luka itu menjadi sembuh.'[7] Dan pada hari kiamat, dikatakan kepada manusia:

    هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ

    Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. …". (QS. Al-Maidah :119)

    Kejujuran membawa pelakunya bersikap berani, karena ia kokoh tidak lentur, dan karena ia berpegang teguh tidak ragu-ragu. Karena itu disebutkan dalam salah satu definisi jujur adalah: berkata benar di tempat yang membinasakan.[8] Dan al-Junaidi rahimahullah mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: Hakekat jujur adalah bahwa engkau jujur di tempat yang tidak bisa menyelamatkan engkau darinya kecuali bohong.'[9]

    Berapa banyak orang yang suka membual menjadi celaka dalam membuat-buat pembicaraan untuk menarik perhatian, dan dalam membuat cerita untuk membuat orang-orang tertawa. Lalu mereka kembali dengan perasaan senang dan ia kembali dengan dosa berbohong. Maka ia menjadi binasa, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

    وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِاْلحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ, فَيَكْذِب, وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.

    "Celaka bagi orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa, lalu ia berbohong, celakalah baginya, celakalah baginya."[10]

    Sesungguhnya dusta yang paling berat dan paling besar dosanya adalah berbohong kepada Allah I dan Rasul-Nya, ia menyandarkan kepada agama Allah I yang bukan darinya, dan mengaku dalam syari'at yang dia tidak mengetahui, membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu karena menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat terhadap agama Allah I.

    إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, فَمَنْ كَذبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

    "Sesungguhnya berdusta terhadapku bukan seperti berdusta terhadap orang lain, maka barangsiapa yang berdusta secara sengaja terhadapku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka."[11]

    Karena alasan itulah, sebagian sahabat merasa khawatir meriwayatkan hadits Rasulullah ﷺ‬ terlalu banyak, karena takut terjatuh dalam kesalahan yang tidak disengaja, berarti mereka menyandarkan kepada Rasulullah ﷺ‬ yang tidak pernah beliau katakan. Dan termasuk hal itu adalah Anas bin Malik t ketika ia berkata: 'Sesungguhnya menghalangi aku meriwayatkan hadits terlalu banyak, sesungguhnya Nabi ﷺ‬ bersabda:

    مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

    "Barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.'[12]

    Dan termasuk perkara yang menunjukkan tambahan kehati-hatian mereka dalam mengutip hadits Rasulullah ﷺ‬ bahwa mereka tidak menambah dan tidak mengurangi. Pendirian itulah yang diriwayatkan oleh Muslim, ketika Busyair al-'Adawi meriwayatkan hadits di hadapan Ibnu Abbas t, dan Ibnu Abbas t tidak memperdulikannya, tidak memperhatikannya dan tidak memandang kepadanya. Maka Busyair berkata, 'Wahai Ibnu Abbas, kenapa engkau tidak mendengarkan pembicaraanku, aku menceritakan kepada engkau tentang Rasulullah ﷺ‬ dan engkau tidak mendengarkan? Ibnu Abbas t berkata, 'Sesungguhnya kami, apabila mendengar seseorang berkata, 'Rasulullah ﷺ‬ bersabda,' pandangan kami langsung serius dan kami memperhatikannya dengan pendengarannya. Maka tatkala manusia menaiki kesusahan dan kemudahan (menganggap enteng persoalan hadits, wallau a'lam), kami tidak mengambil dari manusia kecuali yang kami kenal."[13] Maksudnya, tatkala manusia berbicara dalam perkara-perkara yang susah dan mudah, tidak perduli, dan tidak berhati-hati dari terjatuh dalam kesalahan, kami menjadi berhati-hati mengambil ilmu dari manapun jua.

    Hendaklah berhati-hati orang-orang yang terburu-buru dalam berfatwa tanpa ilmu dari berbohong terhadap agama Allah I. Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits munkar dan maudhu' dari keikutsertaan berbohong terhadap Rasulullah ﷺ‬. Sungguh ucapan seseorang: aku tidak tahu –sekalipun berat terhadap nafsunya- lebih mudah baginya daripada berbohong kepada Rasulullah ﷺ‬.

    Dan supaya semua hidupmu menjadi benar, dihasyar (digiring pada hari kiamat) bersama orang-orang jujur, maka jadikanlah tempat masukmu benar dan tempat keluarmu benar, jadikanlah lisanmu lisan yang benar. Semoga Allah I memberikan rizqi kepadamu langkah yang benar dan tempat yang benar. Maka jujur adalah ketegasan dan keterusterangan dan berpaling darinya adalah penyimpangan, dan keadaan orang yang beriman adalah jujur, dan:

    إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا َيُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

    Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl :105)

    Kesimpulan:

    1. Sekurang-kurang benar adalah benar lisan, dan yang lebih umum darinya adalah benar bersama Allah I secara lahir batin.

    2. Tidak ada kejujuran kecuali dengan ikhlas.

    3. Kejujuran terkait dengan iman.

    4. Orang yang membicarakan segala yang didengar terkadang jauh dari kebenaran.

    5. Jujur bisa diperoleh dengan usaha.

    6. Di antara pengaruh jujur adalah ketenangan dan teguhnya hati.

    7. Jujur adalah keselamatan, sekalipun yang berbicara menduga adanya keburukan.

    8. Orang yang jujur adalah berani dan orang yang bohong tergagap.

    9. Bohong terbesar adalah bohong terhadap Allah I dan Rasul-Nya ﷺ‬.

    10. Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, karena khawatir terjatuh dalam kebohongan.

    [1] Risalah al-Murtarsyidin hal. 170.

    [2] HR. Malik dalam al-Muwaththa` 2/990 secara mursal dalam ucapan…dan ia termasuk hadits hasan mursal (Jami' al-Ushul 10/598, hadits no. 8183.

    [3] HR. Muslim dan Abu Daud (Jami' al-Ushul 10/600, no. 8189.

    [4] HR. al-Bukhari, Muslim, al-Muwaththa`, Abu Daud, dan at-Tirmidzi, dan ini adalah lafazhnya (Jami' al-Ushul 6/442, hadits no. 4641.

    [5] HR. at-Tirmidzi dengan lafazhnya, dan isnadnya shahih (Jami' al-Ushul 6/442 no.4642).

    [6] Shahih al-Bukhari, kitab al-Maghazi (peperangan), bab ke-79, no. 4418.

    [7] Dari hasyiyah Risalah al-Mustarsyidin, tahqiq Syaikh Abu Ghuddah hal. 72.

    [8] Tahzhib Madarijus salikin hal. 399.

    [9] Tahdzhib Madarijus salikin hal. 401.

    [10] HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi, isnadnya hasan (Jami' al-Ushul 10/599 no.8186).

    [11] HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi (Jami' al-Ushul 10/611. no.8206).

    [12] HR. Muslim dan at-Tirmidzi (Jami' al-Ushul 10/610, no. 8204).

    [13] HR. Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih hal 13 (Jami' al-Ushul 10/612 no. 8208).