×
No Description

 Hukum Membangun Gereja dan Tempat-Tempat Kesyirikan di Negeri Muslim

Bismillahirrahmaanirrahim

Segala puji hanya untuk Allah I semata. Rahmat dan kesejahteraan semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ‬ yang tidak ada nabi sesudahnya, dan atas keluarga dan para sahabatnya, serta siapapun yang mengikuti petunjuknya hingga hari pembalasan.

Amma ba’du…

          Ini adalah risalah penting pada (hukum membangun gereja dan tempat-tempat ibadah syirik di negeri Islam) yang dikarang oleh Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari, peneliti di Kantor Pusat Lembaga Riset Ilmu, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan - semoga Allah I memberikan balasan kebaikan kepadanya dan menambah ilmu dan taufik kepadanya.[1]

          Tulisan ini sebagai bantahan terhadap terhadap tulisan di beberapa surat kabar Mesir yang membolehkan membangun gereja-gereja di negeri-negeri Islam.

          Saya telah membaca risalah ini dari pertama hingga akhir, saya merasakannya sebagai sebuah risalah yang bernilai tinggi. Pengarangnya telah menyebutkan di dalamnya riwayat-riwayat yang ada dalam membangun gereja-gereja, kuil-kuil, dan semua tempat ibadah orang  kufir, dari hadits-hadits Nabi ﷺ‬ dan atsar, serta pandangan para ulama di dalam mazhab yang empat. Beliau telah melakukan sesuatu yang baik dan berfaedah. Dan beliau menutupnya dengan dua risalah yang memiliki faedah besar karya al-'Allamah Abul Abbas Syaihul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

          Tidak diragukan lagi, sesungguhnya judul risalah ini sangat penting, terutama di masa sekarang yang banyak terjadi interaksi orang-orang kafir dengan kaum muslimin, aktivitas umat Kristen dalam membangun gereja-gereja di sebagian negeri muslim, terutama sekali di sebagian semenanjung Arab.

          Para ulama telah berkonsensus (ijma') haramnya membangun gereja-gereja di negeri-negeri Islam dan wajib menghancurkannya apabila telah dibangun. Dan sesungguhnya membangunnya di semenanjung Arab, seperti Najed, Hijaz, negera-negara teluk, dan Yaman, lebih berat dosa dan lebih besar kesalahan, karena Rasulullah ﷺ‬ menyuruh mengeluarkan kaum Yahudi dan Kristen, serta kaum musyrik dari semenanjung Arab, dan melarang dua agama ada padanya, dan dalam hal ini para sahabat mengikutinya.

          Tatkala Umar t diangkat menjadi khalifah, dia mengusir kaum Yahudi dari Khaibar, karena mengamalkan sunnah ini. Semenanjung Arab adalah tempat kelahiran Islam, daerah tujuan para dai, dan tempat kiblat kaum muslimin, karena itu tidak boleh dibangun padanya tempat ibadah, selain tempat ibadah kepada Allah I. Sebagaimana juga tidak boleh menetap di sana orang yang menyembah selain kepada-Nya.

          Tatkala banyak disepelekan perkara besar ini, saya berpandangan bahwa mempublikasikan risalah ini sangat berguna, insya Allah I, bahkan termasuk perkara paling penting. Dan karena alasan inilah, saya memerintahkan mencetak, mempublikasikan, dan membaginya, yang didanai oleh pimpinan Lembaga Riset Ilmu, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan, sebagai nasehat bagi umat, melepaskan tanggung jawab, ikut serta dalam mengingkari kemungkaran besar ini, berdakwah mengingkarinya, dan memperingatkannya.

          Saya memohon kepada Allah I dengan asma`-Nya yang indah dan sifat-Nya yang tinggi, agar membersihkan negeri-negeri Islam secara umum dan semenanjung Arab secara khusus, dari segala tempat-tempat ibadah syirik, dan semoga Dia I memberi taufik kepada para pemerintah kaum muslimin untuk menghilangkan dan memusnahkannya, karena taat kepada Allah I dan menjunjung perintah Rasulullah ﷺ‬, dan berjalan di atas manhaj salafus shalih, serta merealisasikan anjuran para ulama Islam untuk menghentikan pembangunan gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah syirik yang baru di negari-negari muslim. Sesungguhnya Dia I Maha Pemurah lagi Maha Pemurah.

          Semoga rahmat Allah I senantiasa tercurah kepada hamba dan Rasul-Nya, penerima amanah-Nya atas wahyu-Nya, yaitu nabi, imam dan pemimpin kita Muhammad bin Abdullah, dan atas keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya dengan kebaikan.

Dibacakan oleh al-faqir kepada:

Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz

Pimpinan Umum Lembaga Riset Ilmu, Fatwa, Dakwah, dan Bimbingan.

Malam Kamis, 25/10/1400 H.

Dengan nama Allah I Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji hanya bagi Allah I, Rabb semesta alam. Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah I senantiasa tercurah kepada penutup para nabi, Muhammad I, dan kepada keluarga dan para sahabatnya sekalian, dan sesudah itu:

          Surat kabar “Timur” telah mempublikasikan pada edisi yang terbit pada hari Selasa dan Rabu, tanggal 13 dan 14/2/1979 M: tulisan yang berisi tentang Doktor Shufi Aba Thalib, pimpinan Dewan Rakyat Mesir, menyatakan dalam seminar umum yang dilaksanakan untuk riset pelaksanaan syari'at Islam: “….sesungguhnya di antara dasar terpenting yang menunjukkan keagungan Islam dan ketinggiannya, yang harus berdiri di atasnya hubungan mayoritas Islam dan minoritas Kristen ketika pelaksanaan syari'at Islam di negara-negara Islam yang berbeda –dan di antaranya adalah Mesir-memberikan kebebasan kaum minoritas membangun gereja-geraja untuk mereka.”

          Sesungguhnya memberikan kebebasan seperti itu tidak pernah dibolehkan oleh syara', bahkan semua syari'at sepakat mengharamkannya, kufur hukumnya, yang menuntut haramnya membangun tempat yang di dalamnya mengandung kekafiran kepada Allah I. Dan gereja-geraja tidak dibangun kecuali untuk hal itu. Maka sesungguhnya kami mengkritik pendapatnya itu dengan bantahan ini, yang disusun sebagai berikut:

1.     Penjelasan yang terdapat dalam hadits-hadits yang melarang hal itu.

2.     Menyebutkan atsar dari para sahabat dalam hal itu.

3.     Mendatangkan nash-nash mazhab empat dalam persoalan ini.

4.     Membagi negara-negara yang dibedakan padanya ahli zimmah, 'ahd, dan hukum gereja padanya.

5.     Penutup pada tahqiq Syaihul Islam Ibnu Taimiyah dalam judul ini yang mengandung dua risalah baginya.

Aku memohon taufik kepada Allah I, dan Dia-lah yang mencukupkan dan sebaik-baik berserah.

 Penjelasan hadits-hadits yang diriwayatkan dalam melarang membangun gereja-gereja di negeri Islam.

          Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam melarang memunculkan gereja-gereja di negara-negara Islam, kami menyebutkannya sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja'far bin Hibban, yang dikenal dengan Abu Syaikh dalam kitab (syarat-syarat zimmah), ia berkata: Ibrahim bin Muhammad bin al-Harits telah menceritakan kepada kami. Ia mengatakan bahwa Sulaiman bin Daud Abu Ayyub telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Sa'id bin al-Habbab telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Ubaid bin Basysyar telah menceritakan kepada kami. Dari Abu az-Zahiriyah, dari Katsir bin Marrah, ia berkata, 'Saya mendengar Umar bin al-Khaththab t, berkata, Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَ تُحْدِثُوْا كَنِيْسَةً فِى اْلإِسْلاَمِ وَلاَ تُجَدِّدُوْا مَا ذَهَبَ مِنْهَا.

“Janganlah membangun gereja di negara Islam, dan janganlah memperbaharui yang telah hilang darinya."

          Dari jalur Abu Syaikh dengan sanad ini, As-Subki meriwayatkan hadits ini dalam fatwanya dalam melarang memperbaiki gereja dalam bab yang dibuatnya, berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan melarang hal itu.

          Kemudian ia berkata: 'Seperti inilah dalam jalur ini, 'Ubaid bin Basysyar dan saya menduga ia melakukan tashhif (kesalahan penulisan). Abu Ahmad Abdullah bin 'Adi al-Hafizh al-Jurjani meriwayatkannya dalam kitabnya al-Kamil, dalam biografi Sa'id bin Sinan, dari Abu az-Zahiriyah, dari Katsir bin Murrah, ia berkata, 'Aku mendengar Umar bin Khaththab t berkata, Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَ نَذَرَ فِى مَعْصِيَةٍ وَلاَ يَمِيْنَ فِى مَعْصِيَةٍ وَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ.

"Tidak ada nazar dalam maksiat, tidak ada sumpah dalam maksiat, dan kaffarahnya adalah kaffarah sumpah."

Ibnu 'Adi berkata, dan dengan sanadnya ia berkata, Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَ تُبْنَى كَنِيْسَةٌ فِى اْلإِسْلاَمِ وَلاَ يُجَدَّدُ مَا خَرَبَ مِنْهَا

"Gereja tidak boleh dibangun di negari Islam dan tidak boleh direnovasi gereja yang runtuh."

Kemudian As-Subki berkata, 'Sa'id bin Sinan dinyatakan lemah oleh kebanyakan ulama dan dinyatakan tsiqah (kuat, terpecaya) oleh sebagian mereka. Ia termasuk orang yang shalih di Syam dan yang paling utama dari mereka. Ia termasuk rijal (perawi hadits) Ibnu Majah. Kun-yahnya adalah Abu al-Mahdi, Abdul-Haqq menyebutkannya dalam al-Ahkam.[2]

2. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dalam bab mengeluarkan kaum Yahudi dari semenanjung Arab dari sunnahnya. Ia termasuk dari bab-bab kitab al-Kharaj dan Fa`i, dan at-Tirmidzi dalam kitab Zakat dari Jami`-nya.

          Abu Daud berkata juz 2, hal 148 dicetak oleh percetakan Mushthafa al-Babi al-Halabi yang pertama: Sulaiman bin Daud al-'Atki telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Jarir telah menceritakan kepada kami, dari Qabus bin Abi Dhibyan, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas t, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَ تَكُوْنُ قِبْلَتَانِ فِى بَلَدٍ وَاحِدٍ

"Tidak ada dua kiblat dalam satu negeri"

At-Tirmidzi berkata dalam bab 'Tidak ada jizyah bagi kaum muslimin': Yahya bin Aktsam telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Jarir telah menceritakan kepada kami. dari Qabus bin Abu Dzibyan, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas t, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَ تَصْلُحُ قِبْلَتَانِ فِى أَرْضٍ وَاحِدٍ وَلَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ جِزْيَةٌ

"Tidak patut ada dua kiblat dalam satu bumi, dan tidak ada jizyah kepada kaum muslimin."

Ia berkata, 'Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Jarir telah menceritakan kepada kami. Dari Qabus dengan sanad ini semisalnya. Dan dalam bab ini dari Sa'id bin Zaid dan kakek Harb bin Abdullah ats-Tsaqafi. Abu Isa berkata, 'Hadits Ibnu Abbas t telah diriwayatkan dari Qabus bin Abu Zhibyan, dari bapaknya, dari Nabi ﷺ‬ secara mursal.' Sampai di sini perkataan at-Tirmidzi.

          As-Subki berkata dalam fatwanya, dalam melarang merenovasi gereja, dan ia termasuk juz kedua dari fatwa-fatwanya. Ia berkata di halaman 374,374: Dan hadits ini dipersoalkan dalam isnad dan mursalnya. Al-'Atki dan Abu Kuraib meriwayatkannya dari Jarir, dari Qabus, seperti yang kamu lihat. Dan kami meriwayatkannya secara ringkas pada pasal kedua dari dua bagiannya.[3] Yaitu ucapannya

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ جِزْيَةٌ

"Tidak ada jizyah terhadap seorang muslim."

Dalam kitab al-Amwaal karya Abu Ubaid bin Sallam, yang kami mendengarnya atas guru kami ad-Dimyathi, dengan mendengarnya dari Ibnu al-Jumaizi. Abu 'Ubaid berkata, 'Mush'ab bin al-Miqdam telah menceritakan kepada kami, dari Sufyan bin Sa'id, dari Qabus, dari bapaknya, dari Nabi ﷺ‬ secara mursal. Dan Jarir, sekalipun dia seorang yang tsiqah, akan tetapi Sufyan lebih besar darinya. Maka menurut jalur ahli hadits, yang mursal lebih shahih. Dan menurut jalur sebagian ahli fikih dalam musnad adalah tambahan. At-Tirmidzi telah menyebutkan  perbedaan dalam isnad dan irsalnya. Dan Qabus agak lemah padanya, disertai pernyataan tsiqah sebagian ulama baginya. Dan Yahya bin Sa'id meriwayatkan darinya, sedangkan Yahya tidak meriwayatkan kecuali dari yang tsiqah. Dan di dalam hati ada sesuatu darinya. Dan belum nyata bagiku mendirikan hujjah dengannya secara tersendiri. Dan aku mengunjungi Syaikh Nuruddin al-Bakri di saat sakitnya. Dia bertanya kepadaku tentang hadits ini, dan ia berkata: tidak tersisa lagi kecuali menshahihkannya. Dan dia berfatwa meruntuhkan gereja-gereja dan mengusir kaum Yahudi dan Kristen.' Sampai di sini maksud perkataan as-Subki.

          Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam fatwanya tentang geraja. Ibnu al-Qayyim menyebutkannya dalam kitab hukum-hukum ahli zimmah, juz 2, hal 685, ia menyebutkan bahwa hadits: 'Tidak ada dua kiblat dalam satu negeri.' HR. Ahmad dan Abu Daud dengan isnad yang baik. Dan ia memastikan bahwa syarat Umar t dalam syarat-syaratnya yang terkenal: bahwa mereka tidak boleh merenovasi gereja-gereja di kota-kota Islam dan tidak pula di sekitarnya, tidak pula tempat pertapaan para rahib dan biara-biara, karena melaksanakan perintah Umar t berdasarkan hadits ini: "Tidak ada dua kiblat dalam satu negeri."

3. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dalam bab tinggal di negeri syirik dalam sunnannya. Ia berkata pada juz 2, hal. 84: 'Muhammad bin Daud bin Sufyan telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Yahya bin Hassan telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Sulaiman bin Muas Abu Daud telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Ja'far bin Sa'ad bin Samurah bin Jundub telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Khubaib bin Sulaiman telah menceritakan kepada saya.  Dari bapaknya, Sulaiman bin Samurah, dari Samurah bin Jundub. Adapun sesudah itu: Rasulullah ﷺ‬ telah bersabda:

مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلَهُ

"Barang siapa yang berkumpul bersama orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka sesungguhnya ia sepertinya."[4]

As-Subki berkata dalam fatwanya dalam larangan merenovasi gereja-gereja, hal. 375 dari juz 2 dari (Fatawa as-Subki), ia berkata: Tidak ada yang meriwayatkannya dari pengarang Kutubussittah (kitab hadits yang enam) selain Abu Daud. Ia membuat beberapa bab, di antaranya 'Bab tinggal di negeri musyrik'. Di dalam sanadnya tidak ada yang lemah. Maka ia adalah hadits hasan.' Kemudian as-Subki menyebutkan: Sesungguhnya Abu asy-Syikh berkata, 'Ishaq bin Bayan al-Wasithi telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Fadhl bin Sahl telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Mudhar bin 'Atha` al-Wasithi telah menceritakan kepada kami. Dari Hammam, dari Qatadah, dari Anas t, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ‬:

لاَ تُسَاكِنُوْا الْمُشْرِكِيْنَ وَلاَ تُجَامِعُوْهُمْ.  فَمَنْ سَاكَنَهُمْ أَوْ جَامَعَهُمْ فَلَيْسَ مِنَّا

"Janganlah kamu tinggal bersama orang-orang musyrik dan janganlah berkumpul bersama mereka. Maka barang siapa yang tinggal atau berkumpul bersama mereka, maka ia bukan dari golongan kami."

As-Subki menyebutkan bahwa hadits ini adalah makna hadits yang pertama dan sesungguhnya ahli kitab dinamakan musyrik. Maka hadits tersebut atas pengertian itu meliputinya, maka dijadikan dalil dengannya atas haramnya tinggal bersama mereka. kemudian ia berkata: 'Tinggal bersama, jika diambil secara mutlak di dalam negeri, tentu memberikan konsekuensi bahwa tidak boleh ada gereja untuk mereka di negeri itu, karena gereja hanya ada untuk mereka dengan syarat mereka berada padanya.'

4. Hadits yang diriwayatkan Malik dalam: 'Mengusir kaum Yahudi dari kota Madinah' dari al-Muwaththa`, dari Ismail bin Abu Hakim, bahwa ia mendengar Umar bin Abdul Aziz berkata, 'Termasuk ucapan terakhir Rasulullah ﷺ‬ bahwa beliau bersabda:

قَاتَلَ اللهُ اْليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى,  اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ, لاَ يَبْقَيَنَّ دِيْنَانِ بِأَرْضِ الْعَرَبِ.

"Semoga Allah I mengutuk kaum Yahudi dan Kristen, mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. Tidak tersisa lagi dua agama di negeri Arab."

Malik juga meriwayatkan dalam bab itu, dari Ibnu Syihab, bahwa Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَيَجْتَمِعُ دِيْنَانِ فِى جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ

"Tidak bergabung dua agama di semenanjung Arab."

Malik berkata, 'Ibnu Syihab berkata, 'Umar bin Khaththab t meneliti hal itu, hingga datanglah keyakinan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَيَجْتَمِعُ دِيْنَانِ فِى جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ

"Tidak bergabung dua agama di semenanjung Arab."

Lalu dia mengusir kaum Yahudi dari Khaibar.

          Malik berkata: Umar bin Khaththab t telah mengusir Yahudi Najran dan Fadak. Adapun Yahudi Khaibar, maka mereka keluar darinya tanpa mendapatkan buah-buahan dan tidak mendapatkan sedikitpun dari hasil bumi. Adapun Yahudi Fadak, mereka memperoleh separo (1/2) buah-buahan dan separo (1/2) hasil bumi, karena Rasulullah ﷺ‬ memberikan perdamaian kepada mereka atas separo buah-buahan dan separo hasil bumi. Lalu Umar t menetapkan untuk mereka sepero buah-buahan dan separo hasil bumi senilai emas, perak, unta, tali, kemudian ia memberikan nilai kepada mereka, kemudian dia mengusir mereka darinya.

          Mursal Ibnu Syihab yang terdapat dalam riwayat Malik yang terakhir, dimaushulkan oleh Shalih bin abi al-Akhdhar, dari az-Zuhri, dari Sa'id, dari Abu Hurairah t. Diriwayatkan oleh Ishaq dalam musnadnya. Dan diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq, dari Ma'mar, dari az-Zuhri, dari Sa'id bin al-Musayyab, lalu ia menyebutkan secara mursal, dan ia menambah: Umar t berkata kepada kaum Yahudi: 'Barangsiapa dari kalian yang mempunyai janji dari Rasulullah ﷺ‬, maka hendaklah ia mendatangkannya, dan jika tidak, sesungguhnya aku akan mengusir kalian.' Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya secara maushul, dari 'Aisyah, dan lafazhnya darinya, ia berkata:

آخِرُ مَا عَهَدَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ لاَ يُتْرَكَ بِجَزِيْرَةِ الْعَرَبِ دِيْنَانِ

"Akhir ketetapan Rasulullah ﷺ‬ bahwa tidak dibiarkan dua agama di semenanjung Arab."

          Diriwayatkan dari jalur Ibnu Ishaq. Ia berkata, 'Shalih bin Kaisan telah menceritakan kepadaku. Dari az-Zuhri, dari Ubaidullah bin Abdullah bin 'Atabah, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Ibnu Hajar al-'Asqalani menjelaskan semua itu dalam kitabnya Talkhisy al-Khabir, maksudnya yang telah kami sebutkan dalam mursal Ibnu Syihab.

          Adapun pengertian bumi Arab dan Semenanjung Arab yang terdapat dalam dua riwayat Al-Muwaththa`, Al-Hafizh Abu 'Umar bin Abdul Barr dalam juz pertama kitab At-Tamhid lima fi al-Muwaththa` minal Ma'aani Wal Asaanid. Adapun yang dimaksud dengan: 'Bumi Arab' dan 'Semenanjung Arab' dalam hadits ini, Ibnu Wahab menyebutkan dari Malik, ia berkata: Bumi Arab adalah Makkah, Madinah, dan Yaman. Dan Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salaam menyebutkan dari al-Ashmu'i, ia berkata, 'Jazirah Arab: yaitu dari ujung 'Adan hingga ke ujung Iraq secara memanjang. Adapun melebar maka dari Jeddah dan sekitarnya dari pesisir laut hingga ujung wilayah Syam.

          Dan Abu 'Ubaid berkata, 'Semenanjung Arab: yaitu dari galian (kanal) Abu Musa hingga ujung Yaman, secara memanjang. Adapun secara melebar,  dari Bir Yabrin hingga pemisahan samawah.' Abu Umar berkata, 'Semua itu diceritakan oleh Abul Qasim Abdul Waris bin Sufyan dan Abu 'Amar Ahmad bin Muhammad bin Ahmad kepada kami. Keduanya berkata, 'Muhammad bin Isa telah menceritakan kepada kami. Dan Abul Qasim bin Umar bin Abdullah telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Abdullah bin Muhammad bin Ali telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami. Keduanya yaitu: Muhammad bin Isa dan 'Ahmad bin Khalid mengatakan bahwa 'Ali bin Abdul Aziz telah menceritakan kepada kami. Dari Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salaam dalam kitabnya (Syarh Gharib al-Hadits) dan dengan semua syarah yang disebutkan.

          Ya'qub bin Syaibah berkata: Galian (kanal) Abu Musa t atas beberapa manzilah dari Bashrah di jalan Makkah, sekitar lima atau enam manzilah.

          Dan Ahmad bin al-Ma'dzal berkata: Ya'qub bin Muhammad bin Isa az-Zuhri telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Malik bin Anas berkata, 'Semenanjung Arab adalah: Madinah, Makkah, Yamamah, dan Yaman.' Ia berkata, 'Al-Mughirah bin Abdurrahman berkata, 'Semenanjung Arab adalah: Madinah, Makkah, Yaman dan perkampungan-perkampungannya. Al-Waqidi menyebutkan, dari Mu'adz bin Muhammad al-Anshari, sesungguhnya ia menceritakannya dari Abu Wajzah Yazid bin Ubaid as-Sa'di, sesungguhnya ia mendengarnya berkata, 'Perkampungan-perkampungan Arab adalah: al-Far', Yanbu', al-Marwah, Wadi al-Qura, al-Jaar, dan Khaibar. Al-Qawidi berkata, 'Abu Wajzah as-Sa'di adalah orang yang 'alim (mengetahui) tentang hal itu. Abu Wajzah berkata, 'Sesungguhnya dinamakan perkampungan Arab, karena ia adalah negara-negara Arab.

          Ahmad bin al-Ma'dzal berkata, 'Bisyr bin 'Umar menceritakan kepada saya. Ia berkata, 'Aku berkata kepada Malik, 'Sesungguhnya kami berharap bahwa ia termasuk semenanjung Arab, maksudnya Bashrah, karena sesungguhnya tidak ada sungai yang memisahkan di antara kamu dan kami. Lalu ia berkata, 'Hal itu karena kaum engkau telah menyediakan rumah dan iman. Abu 'Umar t berkata, 'Sebagian ahli ilmu berkata bahwa dinamakan Hijaz karena ia memisahkan di antara Tihamah dan Najd. Dan sesungguhnya dikatakan jazirah (semenanjung), karena diliputi laut dan sungai dari segenap penjurunya, maka jadilah mereka padanya seperti satu pulau dari kepulauan laut. Sampai di sini yang terdapat dalam At-Tamhid tentang Arab dan Semenanjung Arab.

5. Hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dan Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salam, dari Taubah bin Namir, dari orang yang menceritakan kepadanya. Ahmad bin Hanbal berkata, 'Hammad bin Khalid al-Khayyath telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'al-Laits bin Sa'ad menceritakan kepada kami. Dari Taubah bin an-Namir al-Hadhrami-Qadhi Mesir, dari orang yang menceritakan kepadanya. Ia berkata bahwa Rasululluh ﷺ‬ bersabda:

لاَ خِصَاءَ فِى اْلإِسْلاَمِ وَلاَ كَنِيْسَةَ

"Tidak ada pengebirian di dalam Islam dan tidak ada gereja."[5]  

          Abu 'Ubaid berkata dalam dalam (kitab al-Amwal): Abdullah bin Shalih telah menceritakan kepada kami. Dari al-Laits. Ia berkata, 'Taubah bin an-Namir al-Hadhrami, qadhi Mesir, dari orang yang menceritakan kepadanya, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

لاَ خِصَاءَ فِى اْلإِسْلاَمِ وَلاَ كَنِيْسَةَ

"Tidak ada pengebirian di dalam Islam dan tidak ada gereja."

Abu al-Hasan Ali bin Abdul Kafi as-Subki berkata dalam fatwanya, pada larangan merenovasi gereja pada juz 2, dari (Fatawa as-Subki), hal 374 setelah memaparkan dua hadits ini dari jalur dua imam: Ahmad bin Hanbal dan Abu Ubaid al-Qasim bin Salaam: 'Mereka mengambil dengannya atas tidak bolehnya membangun gereja-gereja.' Jika ada yang berkata: 'Sesungguhnya ia meliputi membangun dan menetapkan,' niscaya tidak jauh. Dan ditentukan darinya sesuatu yang ada dengan syarat dengan dalil. Dan tetaplah yang selainnya menurut tuntutan lafazh, dan taqdirnya: Tidak ada gereja yang ada secara syara'.

 Menyebutkan atsar-atsar dalam membangun gereja di negeri Islam

          Larangan membangun gereja di negeri-negeri kaum Muslimin terdapat dalam atsar-atsar yang kami sebutkan sebagian darinya, yaitu yang berikut ini:

Pertama: yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam kitab Al-Amwal. Ia berkata, 'Abu al-Aswad telah menceritakan kepada saya. Dari Ibnu Lahi'ah, dari Yazib bin Abi Habib, dari Abu al-Khair, ia berkata, 'Umar bin Khaththab t berkata:

لاَ كَنِيْسَةَ فىِ اْلإِسْلاَمِ وَلاَ خِصَاءَ

"Tidak ada gereja di dalam Islam dan tidak ada pengebirian."

Ahmad bin Bukair telah menceritakan kepada saya, dari Ibnu Lahi'ah, dari Yazid bin Habib, dari Umar t seperti itu, dan ia tidak menyebutkannya dari Abu al-Khair.[6]

Dan Ali bin Abdul Aziz meriwayatkannya, ia berkata, 'Abu al-Qasim telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Abu al-Aswad telah menceritakan kepada kami. Dari Ibnu Lahi'ah, dari Yazid bin Habib, dari Abu al-Khair Martsad bin Abdullah al-Yazani, ia berkata, 'Umar bin Khaththab t berkata:

 لاَ كَنِيْسَةَ فىِ اْلإِسْلاَمِ وَلاَ خِصَاءَ

"Tidak ada gereja di dalam Islam dan tidak ada pengebirian."[7]        

Dan telah datang dalam syarat-syarat yang masyhur dari Umar bin al-Khaththab t: Bahwa mereka tidak memperbaharui gereja di negeri-negeri Islam dan tidak pula di sekitarnya, tidak pula tempat-tempat ibadah para rahib, dan tidak pula qilayah.

Berikut ini adalah syarat adalah nash (teks) syarat-syarat tersebut:

Al-Khallal mengatakan dalam kitab Ahkam Ahlu Milal bahwa 'Abdullah telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Abu Syurahbil al-Himshi 'Isa bin Khalid telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Amr Abu al-Bayan dan Abu al-Mughirah menceritakan kepada saya. Keduanya berkata, 'Ismail bin 'Ayyash telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Lebih dari satu orang ulama telah menceritakan kepada kami. Mereka berkata: Ahli jazirah menulis kepada Abdurrahman bin Ghanm[8]:

'Sesungguhnya kami, saat engkau datang ke negeri kami, kami meminta jaminan keamanan kepadamu untuk diri kami dan penganut agama kami, atas bahwa kami memberikan syarat kepadamu atas diri kami bahwa kami tidak membangun gereja di negeri kami, dan tidak membangun pula di sekitarnya kuil-kuil, qilayah, tempat-tempat ibadah para rahib (pendeta),[9] kami tidak merenovasi yang runtuh dari gereja-gereja kami, dan tidak pula yang ada darinya di jalan-jalan kaum muslimin. Bahwa kami tidak melarang gereja-gereja kami dari kaum muslimin bahwa mereka tinggal di dalamnya baik malam maupun siang hari. Kami memperluas pintu-pintunya untuk orang yang lewat dan Ibnu Sabil. Kami tidak menempatkan mata-mata di rumah-rumah kami. Kami tidak menyembunyikan penipuan terhadap kaum muslimin. Kami tidak memukul lonceng-lonceng gereja kami kecuali pukulan samar (pelan) di dalam gereja kami. Kami tidak menampakkan salib atasnya. Kami tidak meninggikan suara kami di saat sembahyang dan membaca di dalam gereja kami yang dihadiri kaum muslimin. Kami tidak mengeluarkan salib dan tidak pula tulisan di pasar kaum muslimin. Kami tidak keluar di hari paskah (peringatan wafat dan kebangkitan Isa, pent.) –ia berkata: paskah adalah hari mereka berkumpul sebagaimana kaum muslimin keluar di hari Adha dan fithri – dan tidak pula sya'aani (hari Ahad menjelas paskah, pent.). Kami tidak meninggikan suara kami bersama orang yang mati dari kami. Kami tidak menampakkan api bersama mereka di pasar-pasar kaum muslimin. Kami tidak mendekati mereka dengan babi. Tidak menjual minuman keras. Tidak menampakkan kesyirikan. Tidak mengajak ke dalam agama kami. Kami tidak mengajak seseorang kepadanya. Kami tidak menjadikan sedikitpun dari budak yang berlaku bagian kaum muslimin atasnya. Kami tidak boleh melarang seseorang dari kerabat kami yang ingin masuk Islam. Kami tidak menentukan pakaian kami di manapun kami berada. Kami tidak menyerupai kaum muslimin dalam memakai kopiah, surban, dua sendal, belahan rambut, dan tidak pula pada tunggangan mereka. Kami tidak berbicara seperti pembicaraan mereka. Kami tidak memakai kun-yah (nama panggilan yang diawali dengan kata: Abu atau Ummu, pent.) dengan kun-yah mereka. Bahwa kami memangkas bagian depan kepala kami. Kami tidak membelah ubun-ubun kami, dan kami mengikat sabuk-sabuk kami di atas pinggang kami. Kami tidak melukis cincin kami dengan huruf arab. Kami tidak mengendarai pelana. Kami tidak membuat sedikitpun senjata dan tidak membawanya. Kami tidak menyandang pedang. Kami menghormati kaum muslimin di majelis-majelis mereka dan menunjukkan jalan kepada mereka. Dan kami berdiri untuk mereka dari majelis-majelis kami, jika mereka ingin duduk, dan kami tidak mengawasi di tempat-tempat tinggal mereka. Kami tidak mengajarkan Al-Qur`an kepada anak-anak kami. Dan tidak ada seseorang dari kami menyertai seorang muslim dalam perdagangan, kecuali ada perkara perdagangan dengan seorang muslim. Dan kami menjamu setiap muslim yang melakukan perjalanan selama tiga hari dan memberi makan  mereka dari rezeki yang kami dapatkan. Kami memberi jaminan bagimu atas hal itu atas diri kami, keturunan kami, istri-istri kami, dan orang-orang miskin dari kami. Dan jika kami merubah hal itu atau melanggar yang kami berikan atas diri kami dan kami mendapat jaminan keamanan atasnya, maka tidak ada jaminan atas kami. Dan telah halal atas kami apa yang halal bagi orang-orang yang ingkar dan membangkang.

          Maka Abdurrahman bin Ghanm menulis hal itu kepada Umar bin Khaththab t, lalu Umar t menulis kepadanya: Laksanakanlah untuk mereka apa yang mereka minta dan tambahkanlah dua syarat kepada mereka, beserta yang mereka syaratkan untuk diri mereka: 'Bahwa mereka tidak membeli dari tawanan-tawanan kita, dan barang siapa yang memukul seorang muslim berarti ia telah melepaskan janjinya.

          Maka Abdurrahman bin Ghunm melaksanakan hal itu, dan ia menetapkan siapapun yang menetap (tinggal) dari bangsa Romawi di kota-kota Syam atas syarat ini.[10]

          Sufyan ats-Tsauri menyebutkan dari Masruq, dari Abdurrahman bin Ghunm, ia berkata, 'Aku menulis kepada Umar bin Khaththab t, saat melakukan perdamaian kepada kaum Kristen Syam dan ia menyaratkan atas mereka: 'Bahwa mereka tidak akan membangun di kota mereka, dan tidak pula di sekitarnya biara-biara, gereja, qilayah, tempat ibadah para pendeta. Dan mereka tidak pula membangun kembali yang telah runtuh. Dan mereka tidak melarang gereja mereka bahwa seseorang dari kaum muslimin tinggal selama tiga hari, mereka memberi makan kepadanya. Mereka tidak menempatkan mata-mata. Mereka tidak menyembunyikan penipuan bagi kaum muslimin. Mereka tidak mengajarkan Al-Qur`an kepada anak-anak mereka. Mereka tidak menampakkan kesyirikan. Mereka tidak melarang karib kerabat mereka dari Islam, jika mereka menghendaki. Mereka menghormati kaum muslimin. Bahwa mereka berdiri untuk mereka (kaum muslimin) dari majelis mereka, apabila mereka ingin duduk. Mereka tidak menyerupai kaum muslimin pada pakaian mereka. Mereka tidak berkun-yah dengan kun-yah mereka. Mereka tidak mengendarai pelana. Mereka tidak menyandang pedang. Mereka tidak menjual minuman keras. Mereka memangkas bagian depan kepala mereka. Mereka selalu memakai pakaian mereka, di manapun mereka berada. Mereka mengikat sabuk mereka di tengah mereka. Mereka tidak menampakkan salib, dan tidak pula sesuatu dari kitab-kitab mereka di jalan-jalan kaum muslimin. Mereka tidak mendekati kaum muslimin dengan orang yang mati dari mereka. Mereka tidak memukul lonceng gereja kecuali pukulan yang ringan. Mereka tidak mengangkat suara mereka saat membaca di gereja-gereja mereka pada sesuatu di hadapan kaum muslimin. Mereka tidak keluar di hari sya'anin (hari Ahad menjelang hari paskah). Mereka tidak meninggikan suara mereka bersama orang mati mereka. Mereka tidak menampakkan api bersama mereka. Dan mereka tidak membeli dari budak yang berlaku padanya bagian kaum muslimin.

          Maka jika mereka melanggar sesuatu dari sesuatu yang syaratkan, maka tidak ada jaminan keamanan untuk mereka. Dan sudah halal bagi kaum muslimin apa yang halal dari para penentang dan pembangkang.

          Ar-Rabi' bin Tsa'lab berkata: Yahya bin 'Uqbah bin Abi al-'Aizar telah menceritakan kepada kami. Dari Sufyan ats-Tsauri, Walid bin Nuh, dan as-Sirri bin Musharrif. Mereka menyebutkan dari Thalhah bin Musharrif, dari Masruq, dari Abdurrahman bin Ghunm, ia berkata: (Saya menulis kepada Umar bin Khaththab t saat melakukan perdamaian kepada kaum Kristen Syam.

Dengan nama Allah I Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

          Ini adalah surat kepada hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin dari kaum Kristen kota ini dan ini: Sesungguhnya tatkala kamu datang kepada kami, kami memohon kepadamu jaminan keamanan untuk diri kami, keturunan kami, harta-harta kami, para penganut agama kami. Dan kami memberikan syarat untukmu atas diri kami: Bahwa kami tidak membangun di kota-kota kami dan tidak pula di sekitarnya diyar, qilayah, gereja, tempat ibadah para pendeta… lalu ia menyebutkan semisalnya.

          Imam Ibnu al-Qayyim berkata setelah menyebutkan dalam kitabnya “Hukum-hukum Ahli Zimmah”: Syarat-syarat itu terjadi pada bidang-bidang yang telah kami sebutkan, ia berkata: 'Kemasyhuran syarat-syarat ini mencukupkan dari isnadnya, sesungguhnya para imam telah menerimanya dan menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka, berhujjah dengannya, dan senantiasa menyebutkan syarat-syarat yang disandarkan kepada Umar t di atas lisan mereka dan di dalam kitab-kitab mereka, dan para penguasa sesudahnya melaksanakannya dan mengamalkan konsekuensinya.

          Abu al-Qasim ath-Thabari menyebutkan-dari Ahmad bin Yahya al-Hulwani- Ubaid bin Jiyad telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Atha` bin Muslim al-Halabi telah menceritakan kepada kami. Dari Shalih al-Muradi, dari Abd Khair, ia berkata, 'Aku melihat 'Ali shalat 'Ashar, lalu bershaf baginya ahli Najran. Lalu seorang laki-laki dari mereka mengambilkan untuknya sebuah tulisan. Tatkala ia melihatnya, mengalirlah kedua air matanya. Kemudian ia mengangkat kepalanya seraya berkata, 'Wahai penduduk Najran, demi Allah I, ini adalah tulisanku dengan tanganku dan imla dari Rasulullah ﷺ‬, maka ia berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, berikanlah kepada kami apa yang ada padanya. Ia berkata: Dan aku mendekat darinya, lalu aku berkata, 'Jika penolakan terhadap Umar t pada suatu hari, maka hari ini ia menolak atasnya. Ia berkata, 'Aku tidak menolak sedikitpun terhadap sesuatu yang telah dilakukannya. Sesungguhnya Umar t mendapat petunjuk dalam perkara, dan sesungguhnya Umar t mengambil kebaikan darimu dari apa yang telah diberikannya kepadamu dan Umar t tidak menarik apa yang diambilnya darimu kepada dirinya sendiri. Dia hanya menariknya untuk kaum muslimin.

          Ibnu al-Mubarak menyebutkan, dari Ismail bin Abu Khalid, dari asy-Sya'bi, 'Sesungguhnya Ali t berkata kepada penduduk Najran: Sesungguhnya Umar t mendapat petunjuk dalam perkara dan aku tidak akan merubah sesuatu yang telah dilakukan Umar.' Dan asy-Sya'bi berkata, 'Ali berkata saat tiba di kota Kufah, aku tidak datang untuk membuka ikatan yang diikat Umar t.' Sampai di sini ucapan Ibnu al-Qayyim.[11]

          As-Subki dalam fatwanya meriwayatkan dalam hal melarang merenovasi gereja dari jalur Abu Ya'la al-Mushili, riwayat ar-Rabi' bin Tsa'lab, dari Yahya bin 'Uqbah bin Abu al-'Aibar, dari Sufyan ats-Tsauri, ar-Rabi' bin Nuh, dan as-Sirri, dari Thalhah bin Musharrif, dari Masruq, dari Abdurrahman bin Ghunm, ia meriwayatkan secara lengkap.

          Dan ia menjawab tuduhan sebagian imam hadits pada Yahya bin 'Uqbah, dengan sesuatu yang diambil faedah darinya sebagai berikut:

1.       Bahwasanya yang meriwayatkan syarat-syarat ini darinya adalah Yahya bin Sa'id al-Qahthan, dan Yahya al-Qahthan tidak meriwayatkan kecuali dari rawi yang tsiqah. Maka riwayat Yahya darinya merupakan pernyataan tsiqah baginya. Dan meriwayatkannya dari al-Qahthan Muhammad bin al-Mushffi. Dan meriwayatkannya dari Ibnu Mushaffa Harb dalam masalah-masalah-nya, dari Ahmad dan Ishaq. Ia berkata: Dan demikian pula al-Baihaqi meriwayatkannya setuju pada isnad dan matan. Dan demikian pula Ibnu Hazm setuju pada isnad dan matan, dan di dalam sanadnya ada Yahya bin 'Uqbah dan ia tidak menyebutkan sesuatu padanya, padahal begitu luasnya hapalan Ibnu Hazm, dan banyak yang lain menyebutkan seperti itu.

2.       Sesungguhnya Abdul Haq, menyebutkan syarat-syarat ini dalam (al-Ahkam) dan ia menyebutkan Yahya bin 'Uqbah. Dan ia cukup menyebutkan Sufyan, maka yang di atasnya, seperti ini dalam al-Wustha. Nampaknya, sesungguhnya ia menyebutkannya dalam al-Kubra, harus seperti itu. Dan aku tidak melihat kritik Ibnu al-Qaththan atasnya.

3.       Sesungguhnya syarat-syarat ini, disebutkan oleh jama'ah dari kalangan fuqaha, dan mereka menerimanya dan berhujjah dengannya. Di antara mereka: Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini. Sampai aku melihat dalam kitab-kitab Hanabilah bahwa ketika disebutkan secara mutlak, dibawakan atas syarat-syarat Umar t, seolah-olah ia sudah diketahui secara syara'. Dan dalam ucapan Abu Ya'la dari mereka sesungguhnya apa yang ada padanya tetap dalam syara' tanpa syarat. Dan ia dekat dari yang pertama, akan tetapi ia lebih baik, karena ia menjadikan ini sebagai hukum-hukum syari'at, karena ia tetap dengan syara', sekalipun tidak disyaratkan. As-Subki menyebutkan dari ucapan asy-Syafi'i dalam al-Umm yang menyaksikan (memperkuat) ucapan para ulama Hanabilah.

4.       Sesungguhnya syarat-syarat ini diriwayatkan oleh jamaah dengan sanad-sanad yang tidak terdapat nama Yahya bin 'Uqbah, akan tetapi isnad-isnad itu atau kebanyakannya adalah lemah juga. Dan dengan bergabung sebagiannya kepada yang lain menjadi kuat. Dan al-Hafizh bin Abdullah bin Zibr mengumpulkan satu juz padanya.

Kedua: yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Abu 'Ubaid, dari Ibnu Abbas t.

          Abdurrazzaq berkata dalam kitab Al-Mushannaf juz 6, hal 60: dari Ibnu at-Taimi, dari bapaknya, dari Syaikh penduduk Madinah, dikatakan baginya: Hanasy Abu Ali, dari 'Ikrimah maula Ibnu Abbas t, ia berkata, 'Ibnu Abbas t ditanya, 'Bolehkah bagi kaum musyrik mendirikan gereja-gereja di tanah Arab?

          Ibnu Abbas t berkata bahwa adapun kota yang dibangun kaum muslimin, maka tidak boleh diangkat gereja padanya, tidak pula biaya'ah (sinagog, gereja Yahudi, pent.), tidak pula rumah api, tidak salib, tidak boleh ditiup terompet, tidak boleh dipukul lonceng, tidak boleh masuk padanya minuman keras dan babi. Dan wilayah yang melakukan perdamaian, maka kaum muslimin harus melaksanakan untuk mereka sesuai perdamaian bersama mereka.

          Ia berkata: keterangan kota yang dibangun kaum muslimin: yaitu yang merupakan tanah Arab atau diambil dari tangan kaum musyrikin secara kekerasan.

          Abu Bakr bin Abi Syaibah[12] berkata: Mu'tamir bin Sulaiman menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari Hansy, dari 'Ikrimah, ia berkata, 'Ditanyakan kepada Ibnu Abbas t, 'Bolehkah bangsa non arab (non muslim) membuat bangunan di kota-kota kaum muslimin atau gereja-gereja?

          Ia menjawab, 'Adapun kota yang dibangun bangsa Arab, maka non-Arab (non-muslim) tidak boleh mendirikan bangunan gereja, mereka tidak boleh memukul lonceng, mereka tidak boleh memelihara babi padanya atau mereka memasukkan padanya. Adapun kota yang dibangun non-Arab, lalu Allah I membukanya atas bangsa Arab, lalu mereka turun, maksudnya atas mereka. Maka untuk non-Arab apa yang ada dalam perjanjian mereka. dan untuk non-Arab atas bangsa Arab (kaum muslimin) bahwa mereka menyempurnakan janji mereka, dan mereka tidak membebankan kepada mereka di atas kemampuan mereka.

          Ahmad bin Hanbal berkata: 'Mu'tamir bin Sulaiman at-Taimi menceritakan kepada kami. Dari bapaknya, dari Hansy, dari 'Ikrimah, ia berkata, 'Ibnu Abbas t ditanya tentang kota-kota Arab atau negeri Arab, bolehkan non- muslim membangun sesuatu padanya?' Ia menjawab, 'Adapun kota yang dibangun bangsa Arab, maka non-muslim tidak boleh membangun tempat ibadah padanya, tidak boleh memukul lonceng padanya, tidak boleh meminum arak padanya, tidak boleh menjadikan babi padanya. Dan kota manapun yang dibangun bangsa non-muslim, lalu Allah I membukanya untuk kaum muslimin, lalu mereka turun padanya. Maka sesungguhnya untuk non muslim apa yang ada dalam perjanjian mereka. Dan kaum muslimin harus menyempurnakan janji mereka dan tidak membebankan kepada mereka di atas kemampuan mereka.'[13]

          Abu 'Ubaid al-Qasim bin Sallam mengatakan dalam kitab Al-Amwal hal 97: Aku mendengar Ali bin Ashim menceritakan dari Abu Ali ar-Rahbi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas t, ia berkata: 'Kota apapun yang dibangun oleh bangsa Arab (kaum muslimin), maka tidak ada seorangpun dari ahli dzimmah yang boleh membangun biara-biara, tidak boleh dijual minuman keras, babi tidak boleh dipelihara padanya, lonceng tidak boleh dipukul padanya. Adapun sebelum itu, maka kaum muslimin harus menyempurnakan janji untuk mereka dengannya.[14])

          Imam Abu Ubaid memberikan keterangan yang baik pada hadits ini, di mana ia berkata dalam kitab (al-Amwal) hal. 97-100: (Maka perkataannya: setiap kota yang dibangun bangsa Arab).

          Tamshir (pembangunan kota) menurut beberapa cara:

          Di antaranya: kota yang diserahkan oleh penduduknya, seperti: Madinah, Thaif, dan Yaman.

          Di antaranya: setiap wilayah yang tidak berpenduduk, lalu kaum muslimin merebutnya, kemudian mereka menempatinya, seperti: Kufah dan Bashrah, dan demikian pula kota-kota yang dikelilingi benteng (pesisir, dll).

          Di antaranya: setiap kota yang direbut secara paksa, lalu pemimpin tidak berpendapat untuk mengembalikannya kepada penduduk asli. Akan tetapi ia membaginya di antara para mujahidin yang ikut menaklukkan, seperti perbuatan Rasulullah ﷺ‬ terhadap penduduk Khaibar.

          Ini adalah kota-kota kaum muslimin yang tidak ada bagian bagi ahli dzimmah padanya, namun Rasulullah ﷺ‬ memberikan kepada kaum Yahudi Khaibar transaksi karena kebutuhan kaum muslimin kepada mereka. Maka tatkala mereka sudah tidak dibutuhkan lagi, Umar t mengusir mereka, dan ia kembali seperti kota-kota Islam lainnya.

          Maka inilah hukum kota-kota Arab (Islam). sesungguhnya kami melihat dasar hal ini adalah dari sabda Rasulullah ﷺ‬:

أَخْرِجُوْا الْمُشْرِكِيْنَ مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ

"Keluarkan kaum musyrikin dari Semenanjung Arab."

Dan dalam hal itu ada beberapa atsar:

          Hajjaj telah menceritakan kepada kami, dari Hammad bin Salamah, dari Abu az-Zubair, dari Jabir, ia berkata:

أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ بِإِخْرَاجِ الْيَهُوْدِ مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ

"Rasulullah ﷺ‬ memerintahkan mengeluarkan kaum Yahudi dari semenanjung Arab."

Yazid telah menceritakan kepada kami, dari Hammad, dari Abu az-Zubair, dari Jabir t, ia berkata, Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

َلأُخْرِجَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ حَتَّى لاَ أَدَعُ إِلاَّ مُسْلِمًا. قَالَ: فَأَخْرَجَهُمْ عُمَرُ

"Aku akan mengeluarkan kaum Yahudi dan Kristen dari semenanjung Arab, sehingga aku tidak membiarkan padanya selain muslimn."

Ia berkata: lalu Umar t mengeluarkan mereka.

          Yahya bin Zakariya bin Abu Za`idah dan Muhammad bin Ubaid menceritakan kepada kami, dari Ubaidullah bin Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar t, ia berkata: 'Umar t mengusir kaum musyrikin dari semenanjung Arab, dan berkata (Tidak berkumpul dua agama di semenanjung Arab). Dan ia memberikan bagi orang yang mengajukan tempo dari mereka sekadar mereka menjual barang mereka.

          Abu Mu'awiyah menceritakan kepada kami, dari al-A'masy, dari Salim bin Abu al-Ja'd, ia berkata, 'Penduduk Najran datang kepada Ali t, lalu berkata, 'Syafa'atmu dengan lisanmu, tulisanmu dengan tanganmu. Umar t telah mengusir kami dari negeri kami, maka kembalikanlah kami kepadanya sebagai keutamaan.' Maka ia menjawab, 'Celakalah kamu, sesungguhnya Umar t mendapat petunjuk dalam perkara, maka aku tidak merubah sesuatu yang telah diperbuat Umar t.

          Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami, al-A'masy berkata, 'Mereka berkata, 'Jikalau di hatinya ada sesuatu atasnya, niscaya ia (Ali t) mengambil keuntungan ini.'

          Dan Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami. Dari Hajjaj, dari orang yang mendengar Sya'bi berkata, 'Ali t berkata tatkala datang ke sini – Abu Ubaid berkata: maksudnya Kufah - 'Aku tidak datang untuk membuka ikatan yang telah diikat dengan kuat oleh Umar t.'

          Abu Ubaid berkata, 'Sesungguhnya kami melihat Umar membolehkan mengeluarkan penduduk Najran – sedangkan mereka penduduk yang suka damai -, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ‬ pada mereka secara khusus. Mereka menceritakannya dari Ibrahim bin Maimun maula (budak yang dimerdekakan) Samurah, dari Ibnu Samurah, dari bapaknya, dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dari Nabi ﷺ‬, bahwasanya akhir ucapan Nabi ﷺ‬ bahwa beliau bersabda:

أَخْرِِجُوْا الْيَهُوْدَ مِنَ الْحِجَازِ وَأَخْرِجُوْا أَهْلَ نْجْرَانَ مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ.

"Keluarkan kaum Yahudi dari Hijaz dan keluarkan penduduk Najran dari semenanjung Arab."

Abu Ubaid berkata, 'Sesungguhnya kami melihat beliau ﷺ‬ mengatakan hal itu karena pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dari mereka, atau karena perkara yang mereka ciptakan setelah perdamaian. Dan hal itu sangat jelas dalam surat yang ditulis oleh Umar t kepada mereka sebelum dia t mengusir mereka darinya.

          Ibnu Abi Za`idah menceritakan kepada kami. Dari Ibnu 'Aun, ia berkata, 'Muhammad bin Sirin berkata kepadaku, 'Lihatlah kitab/surat yang aku telah membacanya di sisi fulan bin Jubair. Maka bicarakanlah padanya Ziyad bin Jubair. Ia berkata, 'Maka aku berbicara kepadanya, lalu ia memberikan kepadaku, ternyata dalam surat itu bertuliskan: “Dengan nama Allah I Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Umar t, Amirul Mukminin kepada semua penduduk Ru'asy. Kesejahteraan atasmu

          Sesungguhnya aku memuji Allah I yang tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, ….maka sesungguhnya kamu mengaku bahwa kamu berislam, kemudian kamu murtad sesudah itu. Dan sesungguhnya siapa yang bertaubat dari kamu dan berbuat baik, niscaya murtadnya tidak membahayakannya dan kami memperlakukannya sebagai teman (sahabat) yang baik. Ingatlah dan janganlah kamu binasa. Dan hendaklah bergembira orang yang masuk Islam darimu. Maka barangsiapa yang enggan kecuali agama Kristen, maka sesungguhnya jaminanku terlepas dari orang yang kami dapatkan setelah sepuluh yang tersisa dari bulan puasa, dari kaum Nasrani Najran.

          Adapun sesudah itu: maka sesungguhnya Ya'la menulis permintaan maaf bahwa ia memaksa seseorang dari kalian atas Islam, atau menyiksanya atasnya, kecuali bahwa ia keras dan tegas, dan ancaman tidak terlaksana sesuatu darinya.

          Adapun sesudah itu: Aku telah memerintahkan Ya'la agar mengambil dari kalian separo (1/2) hasil yang kamu ambil dari hasil bumi, dan sesungguhnya aku tidak ingin mencabutnya darimu sesuatu yang kamu berdamai."

          Abu Ubaid berkata: Kota-kota yang kami sebutkan di permulaan bab, maksudnya bab yang boleh bagi ahli dzimmah membuat …dst dan semisalnya dari kota-kota yang dibangun kaum muslimin, tidak ada jalan bagi ahli dzimmah untuk menampakkan sesuatu dari ajaran agama mereka.

          Adapun kota-kota yang ada jalan kepada hal itu, maka yang melakukan perdamaian, mereka diberikan perdamaian atasnya, maka tidak akan dicabut/diambil dari mereka. Dan itulah penafsiran Ibnu Abbas t yang telah kami sebutkan, yaitu ucapannya: (dan yang sebelum hal itu, maka kaum muslimin harus melaksanakan perdamaian untuk mereka).

          Di antara kota-kota yang melakukan perdamaian: bumi Hajar, Bahrain, Ailah, Daumatul Jandal, dan azrah. Kota-kota inilah yang telah membayar jizyah kepada Rasulullah ﷺ‬ menurut ketetapan beliau ﷺ‬ kepada mereka. Demikian pula perdamaian sesudahnya, di antaranya Baitul Maqdis, Umar t menaklukkannya dengan perdamaian. Demikian pula Damaskus, Khalid bin Walid t menaklukkannya secara damai.[15] Dan atas dasar inilah, kota-kota Syam semuanya ditaklukkan secara damai, selain buminya atas tangan Yazid bin Abu Sufyan, Syarahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dan Khalid bin Walid. Demikian pula negeri Jazirah, diriwayatkan bahwa semuanya melakukan perdamaian, Iyadh bin Ghunm melakukan perdamaian kepada mereka. Demikian pula kopti Mesir berdamai dengan Amar bin 'Ash t. Demikian pula negeri-negeri Khurasan. Dikatakan: sesungguhnya ia (Khurasan) atau kebanyakannya melakukan perdamaian lewat tangan Abdullah bin 'Amir bin Kuraiz. Dan hal itu sampai ke Maru ar-Rudz. Ini pada masa Utsman bin Affan t.

          Adapun yang di belakang hal itu, sesungguhnya ia ditaklukkan sesudahnya lewat tangan Sa'id bin Utsman bin Affan, al-Mahlab bin Abi Shafrah, Qutaibah bin Muslim, dan selain mereka.

          Abu Ubaid berkata: Maka mereka berada di atas syarat mereka, tidak dibatasi/dihalangi di antara mereka dan di antaranya. Demikian pula setiap kota yang direbut secara paksa, lalu imam (pemimpin) berpendapat untuk mengembalikannya kepada penduduknya, dan menetapkannya di tangan mereka di atas jaminan dan agama mereka, seperti perbuatan Umar t kepada penduduk as-Sawaad. Sesungguhnya ia direbut secara paksa lewat tangan Sa'ad t. Demikian pula kota-kota Syam, semuanya secara paksa, selain kota-kotanya lewat tangan Yazid bin Abu Sufyan, Syarahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dan Khalid bin Walid radhiyallahu 'anhum. Demikian pula al-Jabal direbut secara paksa dalam peristiwa Jalula` dan Nahawand lewat tangan Sa'ad bin Abi Waqqash, an-Nu'man bin Muqrin, demikian pula al-Ahwaz, atau kebanyakannya. Demikian pula Faris (Persia) lewat tangan Abu Musa al-Asy'ari, Utsman bin Abi al-'Ash, Utbah bin Ghazwan, dan selain mereka dari pada sahabat Nabi ﷺ‬. Demikian pula Maroko lewat tangan Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh.

          Abdullah bin Shalih telah menceritakan kepada kami, dari Musa bin Ali bin Rabah, dari bapaknya, ia berkata, 'Semua wilayah Maroko ditaklukkan secara paksa.'

          Abu Ubaid berkata, 'Demikian pula Tsughur (daerah pesisir, pantai): Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepada kami. Dari Yazid bin Samurah, dari al-Hakam bin Abdurrahman bin abu al-'Ashmaa` al-Khats'ami –dia termasuk saksi mata penaklukan Qaisariyah-, ia berkata, 'Mu'awiyah t mengepungnya selama tujuh tahun kurang satu bulan, kemudian ia menaklukkannya, dan mereka mengirim berita kemenangannya kepada Umar bin Khaththab t. Lalu Umar t berdiri seraya berseru, 'Ketahuilah, sesungguhnya Qaisariyah ditaklukkan secara paksa.' Abu 'Ubaid berkata, 'Ini adalah wilayah-wilayah yang ditaklukkan secara paksa, dan sesungguhnya penduduknya menetapkan padanya atas agama dan syari'at mereka. Dan bagi semua ini ada cerita-cerita dan berita-berita yang datang dengan sesuatu yang sudah kami ketahui darinya, insya Allah I.' Sampai di sini dari ucapan Abu 'Ubaid dalam kitab Al-Amwal berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas t.

          As-Subki berkata dalam fatwanya mengenai larangan merenovasi gereja-gereja. Menuntut bahwasanya tidak ada sesuatu yang tersisa dari gereja-gereja kecuali berdasarkan perjanjian, di tempat yang boleh dilakukan perjanjian. Sebagaimana ia menyebutkan dalam komentarnya terhadap atsar Ibnu Abbas t ini juz 2, hal 391 yang berbunyi: Para ulama mengambil ucapan Ibnu Abbas t ini dan menjadikannya bersama perkataan Umar t, serta diamnya para sahabat lainnya sebagai ijma'.

          Ketiga: Ahmad rahimahullah berkata, 'Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Ma'mar telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Umar bin Abdul Aziz t menulis kepada 'Urwah –maksudnya putra Muhammad- agar dia menghancurkan gereja-gereja yang ada di negeri-negeri kaum muslimin. Ia berkata, 'Dan aku menyaksikan 'Urwah bin Muhammad menghancurkannya di Shan'a.' Syamsuddin Ibnu al-Qayyim menyebutkan riwayat ini dengan sanad dan matannya dalam kitab Ahkam ahlu Dzimmah juz 2, hal 676. Dan Abdurrazzaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf-nya juz 6, hal 59 dalam judul:

'Diruntuhkan gereja-gereja mereka, apakah mereka boleh memukul lonceng/terompet mereka?' Atsar ini bersumber dari pamannya Wahb bin Nafi' dengan lafazh: Umar bin Abdul Aziz menulis kepada 'Urwah bin Muhammad: 'Agar dia menghancurkan gereja-gereja yang ada di wilayah-wilayah kaum muslimin.' Ia berkata, 'Maka aku menyaksikan 'Urwah bin Muhammad menaiki tunggangan sehingga ia berhenti atasnya. Kemudian ia memanggilku, maka aku menyaksikan surat Umar bin Abdul Aziz dan agar 'Urwah menghancurkannya, lalu ia menghancurkannya). Hal ini tidak kontradiksi dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf –nya, dari Hafsh bin Ghiyats, dari Ubay bin Abdullah an-Nakha'i, ia berkata, 'Telah datang kepada kami surat Umar: Janganlah engkau menghancurkan biara-biara, jangan pula gereja-gereja, jangan pula rumah api (tempat sembahyang kaum Majusi, pent.) yang mereka melakukan perdamaian atasnya.[16] Perkataan: (Mereka melakukan perdamaian atasnya) adalah syarat (catatan) yang tidak terlepas darinya,[17] karena tidak ada seorangpun yang berpendapat untuk menetapkannya tanpa melewati perdamaian. Dan tidak mengatakan padanya di negeri Islam, maka ia bersifat umum. Dan yang telah terdahulu –maksudnya: surat Umar bin Abdul Aziz kepada 'Urwah bin Muhammad- khusus di negeri-negeri Islam. Dan jadilah ini –maksudnya perkataan Umar- dalam riwayat Ibnu Abdullah an-Nakha'i:Janganlah engkau menghancurkan biara-biara, jangan pula gereja-gereja, jangan pula rumah api yang mereka melakukan perdamaian atasnya adalah di negeri Majusi. Karena itu ia menyebutkannya rumah api, atau di negeri mereka dan negeri kaum Nasrani yang dilakukan perdamaian kepada mereka darinya dan mereka menyendiri padanya. Maka tidak ada kontradiksi di antara dua riwayat yang dikutip dari Umar bin Abdul Aziz t.

          Dan tujuan dari hal itu, apabila shahih riwayat pertama: bahwa diketahui dengannya sesungguhnya tidak ada perdamaian bagi mereka atas menetapkannya dalam penaklukan negara-negara Islam yang berada di bawah hukumnya, yang terdekat adalah Syam, karena ia menempatinya, dan Mesir dan Iraq mengelilinginya.      

          Dan riwayat kedua dari Umar bin Abdul Aziz t, surat kepada kaum tertentu di negeri tertentu. Riwayat pertama: Kata-kata umum di negeri Islam. Ia khusus di negeri Islam secara umum dalam segala hukum. Dengan inilah As-Subki mengumpulkan dalam Fatawa-nya dalam melarang merenovasi gereja-gereja juz 2 dari (Fatawa as-Subki) hal 390-391 di antara dua riwayat yang dikutip dari Umar bin Abdul Aziz. Dan Syamsuddin Ibnu al-Qayyim berkata dalam (Ahkam Ahli Dzimmah) juz 2, hal 690: (Umar bin Abdul Aziz menulis kepada para pegawainya: 'Janganlah kamu menghancurkan gereja, biara, dan rumah api.' Ini tidak kontradiksi apa yang diriwayatkan Imam Ahmad bahwa ia menyuruh menghancurkan gereja-gereja. Sesungguhnya ia yang dibangun di negeri Islam).

          Keempat: Yang diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya juz 6, hal 60, ia berkata: 'Ma'mar telah menceritakan kepada kami, dari seorang laki-laki, dari orang yang mendengar  al-Hasan, ia berkata, '(Termasuk sunnah: bahwa dihancurkan gereja-gereja yang ada di kota-kota lama dan baru). Dan dari Abdurrazzaq: Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, seperti dalam Ahkam Ahli Dzimmah, juz 2, hal 676. Imam Ahmad berkata: Abdurrazzaq berkata, 'Ma'mar telah menceritakan kepada kami. dari orang yang mendengar dari al-Hasan, ia berkata: Termasuk sunnah bahwa dihancurkan gereja-gereja yang ada di kota-kota, yang lama dan baru.

          Dan telah diriwayatkan dalam menghancurkan gereja-gereja secara mar'fu, yang dikeluarkan oleh Abu asy-Syaikh Ibnu Hibban, ia berkata: (Ibnu Rustah dan Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami. Keduanya berkata, 'Abu Ayyub Sulaiman bin Daud telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Muhammad bin Dinar menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Aban bin Abi 'Ayyays menceritakan kepada kami. Dari Anas bin Malik t, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ‬ bersabda, 'Hancurkanlah syauma'ah dan runtuhkanlah biara-biara.' Akan tetapi as-Subki berkata dalam Fatawa-nya dalam melarang merenovasi gereja-gereja juz 2 dari (Fatawa) hal. 373-374, setelah ia meriwayatkannya dari jalur Ibnu Hibban yang telah disebutkan, ia berkata, '(Isnadnya lemah, jika shahih, niscaya bisa dijadikan pegangan dengan umumnya pada sesuatu yang terjadi di dalam Islam dan yang telah lalu).

          Kelima: Yang diriwayatkan Abu 'Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam (Bab yang boleh bagi ahli dzimmah bahwa mereka membangun di negeri yang direbut secara paksa dan di negeri-negeri kaum muslimin dan yang tidak boleh) dari (Kitab al-Amwal), ia berkata: (Dan Abu Nu'aim menceritakan kepada saya, dari Syibl bin 'Abbad, dari Qais bin Sa'ad, ia berkata, 'Aku mendengar Thawus berkata, 'Tidak semestinya bagi rumah rahmat bahwa ia berada di sisi rumah siksa). Abu 'Ubaid berkata (Saya melihat maksudnya adalah: gereja-gereja, biara-biara, dan rumah-rumah api. Ia berkata: Tidak sepantasnya ia berada bersama masjid-masjid di kota-kota kaum muslimin).[18]

          Dan dari jalur Abu 'Ubaid dalam (Kitab al-Amwal) ini dengan sanadnya yang disebutkan dalam melarang merenovasi gereja-gereja, dan ia memaparkan tafsir Abu 'Ubaid yang disebutkan.[19]

 Penjelasan imam yang empat dalam masalah ini

          Imam Muhammad bin al-Hasan sahabat Abu Hanifah berkata, 'Tidak sepantasnya dibiarkan gereja dan biara di negeri Arab, dan tidak sepantasnya dijual padanya minuman keras dan babi, baik kota maupun perkampungan.'

          Imam Syamsuddin mengutip hal itu dari kitab Ahkam Ahli Dzimmah juz 2, hal.694, yang mengatakan bahwa adapun yang disandarkan kepada Imam Abu Hanifah ucapan membangun gereja-gereja di perkampungan, maka as-Subki berkata dalam Fatawa-nya mengenai larangan merenovasi gereja. Ia mengatakan mengenai hal itu pada juz 2, hal 387-388 yang berbunyi: Kemungkinan Imam Abu Hanifah mengatakan hal itu dengan membangunnya di perkampungan yang mereka menyendiri tinggal padanya menurut tradisi mereka di tempat itu. Dan para ulama lainnya melarangnya, karena ia adalah negeri Islam dan berada dalam genggaman mereka. sekalipun mereka menyendiri tinggal padanya, maka mereka tetap berada di bawah kekuasaan mereka (kaum muslimin). Maka mereka tidak diijinkan membangun gereja-gereja, karena ia adalah negeri Islam. Abu Hanifah tidak menghendaki bahwa perkampungan yang didiami kaum muslimin, maka ahli dzimmah diijinkan membangun gereja padanya. Maka sesungguhnya ini termasuk kota-kota, maka ia[20] sudah merupakan ijma' (konsensus). Dan alif dan lam yang ada dalam kata Al-Qura' yang sudah menjadi tradisi tinggalnya mereka di tempat itu karena kesibukan mereka sebagai petani dan lainnya untuk kaum muslimin, atau karena diharapkan keislaman mereka, dalam keadaan hina dan terhina membayar jizyah. Maka sesungguhnya jika kita tidak membiarkan mereka tetap berada di wilayah Islam, niscaya mereka tidak pernah mendengar kebaikan Islam, maka mereka tidak pernah masuk Islam. Dan jika kita membiarkan mereka tanpa membayar jizyah dan tidak terhina, niscaya mereka memperdaya. Maka kita biarkan mereka dengan membayar jizyah, bukan sebagai tujuan padanya, tetapi pada keislaman mereka. Karena inilah, apabila Isa u telah turun (ke dunia), ia tidak menerimanya, karena masa dunia yang bisa diharapkan keislaman mereka telah kosong, dan hukum itu hilang dengan hilang 'llat (sebab)nya. Maka hilanglah hukum menerima jizyah dengan hilang sebabnya, yaitu menunggu keislaman mereka. dan hal itu termasuk hukum syari'at Nabi ﷺ‬ dan bukan hukum yang baru. Maka sesungguhnya Isa u hanya turun sebagai hakim dengan syari'at Nabi ﷺ‬.

          As-Subki berkata: Dan setelah aku menulis ini, aku menemukan (Syarh Majma' al-Bahrani) karya Ibnu as-Sa'ati dari kitab-kitab mazhab Hanafi, ia berkata: Dan yang disebutkan ini, hanya di perkotaan, bukan di perkampungan, karena perkotaan tempat mendirikan syi'ar-syi'ar.

          Dan pengarang kitan Al-Hidayah berkata: Dan yang diriwayatkan di negeri-negeri kita, mereka (non-muslim) juga dilarang menampakkan hal itu di perkampungan, karena baginya ada sebagian syi'ar. Dan yang diriwayatkan dari pengarah (al-Hidayah) rahimahullah pada perkampungan di Kufah, karena mayoritas penduduknya adalah ahli dzimmah. Dan di negeri Arab, mereka (non muslim) dilarang dari hal itu di kota-kota dan perkampungan mereka. Dan dalam (al-Kafi) dari kitab-kitab mazhab Hanafi karya Hafizhuddin yang mendekati hal itu.' Seperti inilah yang disebutkan as-Subki di sini.

          Dan sesungguhnya ia berkata di tempat lain dari fatwa ini dalam bab yang dikumpulkannya bagi atsar-atsar dalam bab ini. ia berkata hal. 388: (dan ucapan Imam Abu Hanifah membiarkannya di perkampungan, sangat jauh yang tidak ada dalil atasnya. Kemungkinan dia mengambilnya dari pengertian ucapan Ibnu Abbas t yang akan kami ceritakan pada al-Mashr. Dan kami mengatakan, sesungguhnya yang dimaksud al-Mishr: yaitu tempat, sama saja kota atau perkampungan).

          Dan As-Subki menepati janjinya bahwa ia memaparkan ucapan Ibnu Abbas t yang disinggungnya, di mana ia berkata pada juz 2, hal 391 dari (al-Fatawa): Adapun ucapan Ibnu Abbas t, maka sangat terkenal, kami akan menyebutkannya, yaitu yang diriwayatkan Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam (Mushannaf)nya. Ia berkata, 'Mu'tamir bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami. Dari bapaknya, dari Hansy, dari 'Ikrimah, ia berkata, 'Dikatakan kepada Ibnu Abbas t: 'Bolehkah bagi ajam (non muslim) mendirikan bangunan atau biara di kota-kota kaum muslimin?

          Ia t menjawab: 'Adapun kota yang dibangun bangsa Arab (kaum muslimin), maka bangsa 'ajam (non-muslim) tidak boleh mendirikan bangunan padanya,' atau ia berkata, 'biara,' mereka tidak memukul lonceng gereja, tidak meminum arak padanya, tidak memelihara babi padanya atau memasukkan padanya. Adapun kota yang dibangun bangsa 'ajam, lalu Allah I membukanya kepada bangsa Arab, lalu mereka tunduk kepada kaum muslimin. Maka non muslim berada dalam perjanjian mereka dan kaum muslimin harus melaksanakan janji mereka, dan tidak memberikan beban kepada mereka di luar kemampuan mereka.

          As-Subki berkata: Sesungguhnya para ulama mengambil perkataan Ibnu Abbas t ini dan menggabungkannya bersama ucapan Umar t, serta diamnya para sahabat lainnya sebagai ijma' (konsensus).

          Adapun para sahabat Malik, maka ia berkata dalam (al-Jawahir): 'Jika mereka berada di negeri yang dibangun kaum muslimin, maka mereka tidak diijinkan membangun gereja. Dan demikian pula jika kita menguasai negeri mereka dengan kekerasan. Pemimpin tidak boleh menetapkan gereja padanya. Bahwa ia harus menghancurkan gereja-gereja mereka dengannya. Adapun apabila ditaklukan secara damai bahwa mereka tetapn mendiaminya dengan membayar pajak dan bangunan-bangunan untuk kaum muslimin, dan mereka memberikan syarat tetapnya gereja niscaya boleh. Adapun jika ditaklukkan atas dasar bahwa kekuasaan kota untuk mereka, mereka wajib membayar pajak dan tidak diruntuhkan gereja-gereja mereka. Maka hal itu untuk mereka, kemudian mereka dilarang memperbaikinya.

          Ibnu al-Majisyun berkata: Mereka dilarang merenovasi gereja mereka yang sudah usang, kecuali bahwa hal itu menjadi syarat dalam perjanjian mereka, maka harus di sempurnakan untuk mereka, dan mereka dilarang dari penambahan yang nampak dan tidak.

          Asy-Syaikh Abu Umar mengutip: Sesungguhnya mereka tidak dilarang  merenovasi apapun jua, dan ia termasuk darinya. Sesungguhnya mereka dilarang merenovasi gereja yang ada di tengah-tengah kaum muslimin, berdasarkan sabda Nabi ﷺ‬:

لاَ يُرْفَعُ فِيْكُمْ يَهُوْدِيَّةٌ وَلاَ نَصْرَانِيَّةٌ

"Tidak ditinggikan pada kalian kaum Yahudi dan Kristen."

Jika mereka melakukan perdamaian, maka mereka boleh membangun gereja apabila mereka menghendaki. Ibnu Al-Majsyun berkata: Syarat ini tidak boleh dan mereka dilarang darinya, kecuali di negeri mereka yang kaum muslimin tinggal bersama mereka, maka mereka boleh melakukan hal itu, sekalipun mereka tidak memberikan syarat itu. Ia berkata, 'Ini pada mereka yang melakukan perdamaian, adapun yang menentang (melawan), maka saat dibebankan jizyah kepada mereka, maka tidak dibiarkan gereja untuk mereka kecuali dihancurkan, kemudian mereka tidak diijinkan membangun gereja setelah itu, sekalipun mereka mengasingkan diri dari negeri Islam). Sampai di sini yang dikutip Ibnu al-Qayyim dari para ulama Maliki pada hukum kota-kota yang terdapat gereja-gereja padanya.

          Di antara para ulama mazhab Maliki yang membahas masalah gereja adalah Imam Abu bakar Muhammad bin al-Walid al-Fihri ath-Tharthusyi al-Maliki dalam kitabnya (Sirajul-Muluk), ia berkata dalam hukum gereja-gereja: (Umar bin Khaththab t memerintahkan menghancurkan setiap gereja yang belum ada sebelum Islam dan melarang dibangun gereja. Dan ia menyuruh agar tidak nampak gereja dari luarnya, tidak nampak salib keluar dari gereja, kecuali dipatahkan di atas kepala pemiliknya. Dan 'Urwah bin Muhammad menghancurkannya di Shan'a. Inilah mazhab semua ulama kaum muslimin. Dan Umar bin Abdul Aziz bersikap tegas dalam hal itu dan memerintahkan agar tidak dibiarkan di negeri Islam biara dan gereja pada saat itu, yang lama dan tidak pula yang baru.

          Dan seperti inilah al-Hasan al-Bashri berkata: Termasuk sunnah bahwa dihancurkan gereja-gereja yang ada di perkotaan, yang lama dan baru. Dan ahli dzimmah dilarang membangun yang sudah runtuh.' Sampai di sini perkataan ath-Tharthusyi dalam kitab Sirajul-Muluk.

          Dan yang disebutkannya dari Urwah bin Muhammad bin Abdul Aziz dan al-Hasan al-Bashri, diriwayatkan dari keduanya oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dari Abdurrazzaq, sebagaimana dalam kitab Ahkam Ahli Dzimmah karya Ibnu Qayyim. Ibnu al-Qayyim berkata, 'Ahmad berkata, 'Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Ma'mar menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Urwah bin Muhammad agar ia menghancurkan gereja-gereja yang ada di kota-kota kaum Muslimin.' Ia berkata, 'Dan aku menyaksikan Urwah bin Muhammad menghancurkannya di Shan'a.

          Abdurrazzaq berkata, 'Ma'mar menceritakan kepada kami, dari orang yang mendengar Al-Hasan berkata, 'Sesungguhnya termasuk sunnah bahwa diruntuhkan gereja-gereja yang ada di kota-kota yang lama dan yang baru.

          Asy-Syafi'i berkata dalam kitab Al-Mukhtashar: ….dan janganlah mereka membangun gereja di kota-kota kaum muslimin, tempat berkumpul untuk sembahyang mereka, tidak menampakkan padanya membawa arak (minuman keras), tidak memasukkan babi, mereka tidak boleh mendirikan bangunan tinggi di atas bangunan kaum muslimin. Hendaklah mereka membedakan di antara penampilan pada tunggangan dan pakaian dengan penampilan kaum muslimin. Hendaklah mereka mengikat sabuk di tengah mereka. Janganlah mereka memasuki masjid, janganlah mereka memberi minuman keras kepada seorang muslim dan janganlah memberi makan babi kepadanya. Dan jika mereka berada di perkampungan yang mereka miliki secara tersendiri, niscaya tidak dihalangi bagi mereka pada minuman keras, babi, dan meninggikan bangunan mereka. Dan jika mereka memiliki gereja atau bangunan tinggi di kota kaum muslimin, seperti bangunan kaum muslimin, kaum muslimin tidak boleh meruntuhkan hal itu, dan dibiarkan atas yang didapatkan, dan mereka dilarang mendirikan sepertinya. Dan hal ini, apabila kota itu milik kaum muslimin, mereka membukanya atau menaklukkan lewat kekerasan, dan mensyaratkan hal ini kepada ahli dzimmah. Dan jika kaum muslimin menaklukkan negeri mereka (non-muslim) lewat perdamaian dari mereka agar membiarkan mereka dan ia, niscaya mereka dibiarkan dan dia. Dan tidak boleh mereka berdamai agar mereka menempati negeri Islam, mendirikan hal itu di negeri itu).

           Pengarang An-Nihayah mengatakan dalam syarahnya:

          Negara terbagi dua: kota yang dibangun kaum muslimin, maka ahli dzimmah tidak diizinkan mendirikan gereja padanya, dan tidak pula rumah api. Maka jika mereka melakukannya, niscaya dibatalkan perdamaian atas mereka.

          Maka jika negeri itu milik orang-orang kafir dan berlaku padanya pemerintahan kaum muslimin, maka ini terbagi dua:

          Jika kaum muslimin menaklukkannya lewat kekerasan dan memiliki bangunan-bangunan dan pertanahan, niscaya nyatalah menghancurkan biara-biara dan gereja-gereja yang ada padanya. Dan apabila kita menghancurkan apa yang kita temukan dari gereja-gereja dan biara-biara, maka tidak samar lagi bahwa kita menghalangi mereka dari membangun hal serupa. Dan jika imam (pemimpin) berpendapat bahwa gereja ditetapkan dan menetap di dalam kota segolongan ahli kitab, maka yang diputuskan oleh para ulama (Syafi'i) adalah melarang hal itu.

          Para ulama Iraq menyebutkan dua jalan:

          Salah satunya: sesungguhnya boleh bagi imam menetapkan mereka dan gereja tetap atas mereka.

          Dan kedua: hal itu tidak boleh.

          Inilah yang paling benar yang diputuskan oleh al-Marawizah.

          Hal ini terjadi apabila kita menaklukkan negeri lewat kekerasan. Tetapi apabila kita menaklukkannya melalui perdamaian, maka ini terbagi dua:

          Bagian pertama: bahwa terjadi penaklukan bahwa bumi untuk kaum muslimin, dan mereka menetapkan padanya dengan harta yang mereka membayarnya untuk para penduduknya selain jizyah. Maka jika mereka mengecualikan dalam perdamaian itu biara-biara dan gereja-gereja, niscaya syarat itu harus dilaksanakan.

          Dan jika mereka menyebutkan secara mutlak dan tidak menyebutkan pengecualian biara-biara dan gereja-gereja mereka, maka dalam masalah ini adalah dua pendapat:

          Pertama: bahwasanya ia dihancurkan, karena kaum muslimin telah memiliki bangunan-bangunan, dan biara-biara dan gereja-gereja menjadi harta ghanimah sebagaimana rumah-rumah menjadi harta ghanimah.

          Kedua: kita tidak memilikinya, karena kita memberikan syarat tetapnya mereka, dan terkadang mereka tidak bisa tetap tinggal kecuali dengan tetapnya tempat berkumpul mereka yang mereka pandang sebagai ibadah.

          Titik perbedaan kembali kepada lafazh (kata-kata) dalam perdamaian mutlak, apakah mencakup biara-biara dan gereja-gereja disertai indikasi-indikasi yang telah kami sebutkan?

          Bagian kedua: bahwa kaum muslimin menaklukannya dengan syarat bahwa bumi           tetap menjadi milik mereka. Maka apabila terjadi perdamaian seperti itu, biara-biara dan gereja-gereja tidak boleh diganggu.

          Dan jika mereka ingin membangun gereja-gereja:

          Maka pandangan mazhab: sesungguhnya mereka tidak dilarang, maka mereka mendayagunakan dalam kepemilikan mereka. Dan sebagian ulama kami berpandangan lain, ia melarang mereka membangun yang belum pernah ada. Maka sesungguhnya ia membangun biara di negeri yang berada di bawah hukum Islam.[21]

Adapun pendapat para ulama mazhab Hanbali: sesungguhnya Al-Khallal telah mengatakan dalam kitab Ahkam Ahli al-Milal, hukum sesuatu yang dibangun kaum Kristen, yang mereka tidak membuat perjanjian damai atasnya: Abdullah bin Ahmad telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Tatkala terjadi masalah kaum Kristen, Khalifah al-Mutawakkil menulis surat kepada para qadhi di Baghdad, bertanya kepada mereka: Abu Hasan az-Ziyadi dan yang lainnya. Maka mereka menulis surat kepadanya dan mereka berbeda pendapat. Tatkala surat itu dibacakan kepada Khalifah al-Mutawakkil, ia berkata: 'Tuliskanlah jawaban mereka kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, agar dia menulis pendapatnya dalam hal itu.'

          Abdullah berkata: Tidak ada seorangpun di antara mereka yang menulis surat itu yang berhujjah dengan hadits selain Abu Hasan az-Ziyadi. Dia berhujjah dengan hadits-hadits dari Al-Waqidi. Maka tatkala dibacakan kepada Abu 'Arafah, dan ia berkata: ini adalah jawaban Abu Hasan, dan ia berkata: ini adalah hadits-hadits dha'if, maka bapakku (Imam Ahmad) menjawabnya dan berhujjah dengan hadits Ibnu Abbas t, maka ia berkata: Mu'tamir bin Sulaiman at-Taimi telah menceritakan kepada kami. Dari bapaknya, dari Hanasy, dari Ikrimah, ia berkata, 'Ibnu Abbas t ditanya tentang kota-kota Arab atau negeri Arab, bolehkah bangsa Ajam (non muslim) membangun sesuatu padanya?

          Maka ia menjawab: Kota apapun yang dibangun bangsa Arab, maka ia menyebutkan hadits.[22] Ia berkata, 'Dan aku mendengar bapakku berkata, 'Kaum Yahudi dan Kristen tidak boleh membangun biara dan gereja di kota yang dibangun oleh kaum muslimin, dan mereka tidak boleh membunyikan lonceng padanya, kecuali yang ada perdamaian untuk mereka. Mereka tidak boleh menampakkan minuman keras di kota-kota kaum muslimin: berdasarkan hadits Ibnu Abbas t (Kota apapun yang dibangun kaum muslimin).

          Hamzah bin al-Qasim, Abdullah bin Ahmad, dan 'Ishmah telah menceritakan kepada kami. Mereka berkata, 'Hanbal menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Abu Abdillah berkata: 'Apabila gereja-gereja termasuk perdamaian, mereka dibiarkan berdasarkan syarat perdamaian. Adapun yang direbut melalui kekerasan (perang), maka tidak. Mereka tidak boleh membangun biara dan gereja yang belum pernah ada. Tidak boleh meniup terompet. Tidak boleh mengangkat salib. Tidak boleh menampakkan api. Tidak boleh mengangkat api. Dan tidak boleh melakukan sesuatu yang boleh melakukannya dalam agama mereka. Mereka dilarang dari hal itu dan tidak boleh dibiarkan.'

 Aku berkata, 'Bolehkah kaum muslimin melarang mereka dari hal itu? Ia menjawab, 'Ya, pemimpin harus melarang mereka dari hal itu. Penguasa melarang mereka membangun, apabila negeri mereka ditaklukkan melalui peperangan. Adapun yang meminta perdamaian, maka mereka boleh melakukan syarat perdamaian yang harus dilaksanakan untuk mereka.' Dan ia berkata, 'Islam itu tinggi (di atas) dan tidak diatasi, dan mereka tidak boleh menampakkan minuman keras.

          Al-Khallal berkata: Yusuf bin Abdullah al-Iskafi menulis kepadaku: al-Hasan bin Ali bin al-Hasan menceritakan kepada kami, sesungguhnya ia bertanya kepada Abu Abdullah tentang biara dan gereja yang dibangun.' Ia menjawab: Perkaranya diangkat kepada penguasa.'[23]

 Pembagian kota yang dibedakan antara Ahli 'Ahdi (yang melakukan perjanjian) dan Ahli Dzimmah (yang berada dalam perlindungan) dan hukum membangun gereja padanya

          Imam Ibnu al-Qayyim membagi –dalam Ahkam Ahli Dzimmah juz 2, hal.669- kota-kota yang dibedakan padanya ahli dzimmah dan ahdi kepada tiga bagian:

          Pertamanya: kota-kota yang dibangun kaum muslimin dalam Islam.

          Kedua: kota-kota yang dibangun sebelum Islam dan ditaklukkan kaum muslimin melalui kekerasan (perang), dan mereka memiliki bumi dan yang mendiaminya.

          Ketiga: kota-kota yang dibangun sebelum Islam dan kaum muslimin menaklukkannya secara damai. Kemudian Ibnu al-Qayyim berkata:

          Adapun bagian pertama: maka ia seperti Basrah, Kufah, Wasith, Baghdad, dan Kairo.

          Adapun Basrah dan Kufah, maka kedua kota itu dibangun di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab t.

          Yazid bin Harun berkata, 'Ziyad bin Abi Ziyad telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Abdurrahman bin Abu Bakrah menceritakan kepada kami. Dari Nafi' bin al-Harits. Ia berkata, 'Amirul Mukminin berniat membangun kota untuk kaum muslimin.'

          Kaum muslimin telah berjihad dari arah laut, dan telah menaklukkan al-Ahwaz, Kabul dan Thabaristan. Maka tatkala mereka telah menaklukkannya, mereka menulis surat kepadanya: 'Sesungguhnya kami telah menemukan Thabaristan sebagai tempat yang cukup memadai.' Maka dia menulis surat kepada mereka: 'Sesungguhnya di antara aku dan kamu ada sungai Dajlah, dan aku tidak membutuhkan suatu tempat untuk dijadikan kota yang ada sungai Dajlah yang membatasi antara aku dan kamu.

          Ia berkata: Maka datanglah seorang laki-laki dari Sadus kepadanya. Ia dipanggil dengan nama Tsabit. Ia berkata kepadanya, 'Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku melewati suatu tempat sebelum sungai Dajlah, ada satu desa yang dinamakan al-Khuraibah, dan buminya dinamakan Basrah. Di antaranya dan sungai Dajlah berjarah satu farsakh. Padanya ada teluk yang mengalir air padanya dan hutan tebu. Maka Umar t kagum mendengar hal itu. Lalu ia memanggil 'Utbah bin Gazwan, lalu mengutusnya bersama empat puluh (40) orang laki-laki, di antara mereka ada Nafi' bin al-Harits dan Ziyad saudaranya seibu.

          Saif bin Amar berkata, 'Basrah dibangun pada tahun enam belas (16) H. dan direncanakan delapan bulan sebelum Kufah. Qatadah berkata, 'Yang pertama kali membangun Kufah adalah seorang laki-laki dari bani Syaiban yang dinamakan: al-Mutsanna bin Haritsah, dan sesungguhnya ia menulis kepada Umar t: (Sesungguhnya aku tinggal di bumi Basrah).

          Lalu Umar t menulis surat kepadanya: Apabila suratku ini sampai kepadamu, maka menetapkan sampai datang perintahku. Lalu ia mengutus 'Utbah bin Gazwan sebagai guru dan gubernur, lalu ia memerangi Ublah.

          Hammad bin Salamah berkata, dari Humaid, dari al-Hasan, 'Sesungguhnya Umar bin Khaththab t membangun kota Basrah dan Kufah.'

          Ia berkata, 'Adapun Wasith, maka al-Hajjaj bin Yusuf membangunnya pada tahun delapan puluh enam (86) H. di tahun wafatnya Abdul Malik bin Marwan.

          Adapun kota Baghdad, Sulaiman bin al-Mujalid –menteri Abu Ja'far- berkata, 'Aku keluar bersama Abu Ja'far pada suatu hari –sebelum kamu membangun kota Bagdad, dan kami berkali-kali mendatangi tempat, yang kami bangun padanya satu kota yang padanya tentaranya.' Ia berkata, 'Lalu kami melihat seorang pendeta tua, dan bersamanya satu jamaah dari kaum Nasrani. Lalu ia berkata, 'Pergilah bersama kami kepada pendeta ini, kita bertanya kepadanya. Lalu Abu Ja'far mendatangi kepadanya, memberi salam kepadanya, kemudian ia berkata, 'Wahai Syaikh, apakah sampai kepadamu bahwa dibangun satu kota di sini?' Ia berkata, 'Ya, dan aku bukan ahlinya.' Ia berkata, 'Apakah engkau ketahui?' Pendeta itu bertanya, 'Siapakah namamu?' Ia menjawab, 'Namaku Abdullah.' Ia menjawab, 'Aku bukan ahlinya.' Ia berkata, 'Siapa nama ahlinya?' Ia menjawab, 'Miqlash.' Ia berkata, 'Lalu Abu Ja'far tersenyum dan menoleh kepadaku. Lalu ia berkata, 'Demi Allah, aku adalah Miqlash. Bapakku telah memberi nama kepadaku saat aku masih kecil: Miqlash. Maka direncanakan tempat kota Abu Ja'far.

          Lalu berpindahlah Abu Ja'far dari al-Hasyimiyah ke kota Bagdad dan memerintahkan membangunnya. Kemudian ia kembali ke Kufah pada tahun seratus empat puluh empat (144) H. dan selesai membangunnya dan menempatinya bersama tentaranya, dan ia memberinya nama: kota perdamaian, pada tahun seratus empat puluh lima (145) H. dan selesai membangun keteguhannya pada tahun seratus lima puluh empat (154) H.

          Sulaiman bin Mujalid berkata, 'Yang memimpin perencanaan kota Bagdad adalah al-Hajjaj bin Arthah dan sekelompok dari penduduk Kofah. Demikian pula Samira, dibangun oleh Al-Mutawakkil. Demikian pula kota Al-Mahdiyah yang di Maroko dan kota-kota lainnya yang dibangun oleh kaum muslimin.

          Kota-kota ini bersih untuk imam (pemimpin umat Islam), jika imam ingin menetapkan Ahli Dzimmah tinggal di sana dengan membayar jizyah, hukumnya boleh. Maka jika imam menetapkan kepada mereka bahwa mereka boleh membangun biara padanya, atau gereja, atau menampakkan minuman keras padanya, atau babi, atau terompet, hukumnya tidak boleh. Dan jika disyaratkan atas hal itu dan dibuat jaminan atasnya, niscaya akad dan syarat itu rusak (tidak sah). Ia adalah kesepakatan umat, tidak diketahui adanya pertentangan padanya di antara mereka.

          Imam Ahmad t berkata, 'Hammad bin Khalid al-Khayyath telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'al-Laits bin Sa'ad menceritakan kepada kami. Dari Taubah bin an-Namir al-Hadhrami –qadhi Mesir-, dari orang yang menceritakan kepadanya, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ‬ bersabda, 'Tidak ada pengebirian di dalam Islam dan tidak ada gereja.'

          Abu Ubaid berkata, 'Abdullah bin Shalih telah menceritakan kepada kami. Dari al-Laits bin Sa'ad, lalu ia menyebutkan dengan isnad dan matasnya. Dan diriwayatkan secara mauquf atas Umar t dengan selain sanad ini.

           Ali bin Abdul Aziz berkata: Abu al-Qasim menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Abu al-Aswad menceritakan kepada saya. Dari Ibnu Lahi'ah, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abu al-Khair Martsad bin Abdullah al-Yazini, ia berkata, 'Umar bin Khaththab t berkata, 'Tidak ada gereja di dalam Islam dan tidak ada pengebirian.'

          Dan Imam Ahmad berkata, 'Mu'tamir bin Sulaiman at-Taimi telah menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari Hansy, dari Ikrimah, ia berkata, 'Ibnu Abbas t ditanya tentang kota-kota Arab atau negara Arab, boleh non-muslim membangun sesuatu padanya?

          Maka ia menjawab, 'Kota apapun yang dibangun bangsa Arab (kaum muslimin), non-muslim tidak boleh mendirikan bangunan padanya, tidak boleh meniup terompet, tidak boleh meminum arak padanya, dan tidak boleh menjadikan babi padanya.

          Dan kota apapun yang dibangun non-muslimin, lalu Allah I membukanya untuk bangsa Arab, lalu mereka menyerah padanya, maka sesungguhnya untuk non muslim ada yang ada dalam perjanjian mereka, dan kaum muslimin harus melaksanakan janji mereka, dan janganlah mereka (kaum muslimin) membebankan mereka (non-muslim) di luar kemampuan mereka.

          Abdullah bin Ahmad berkata, 'Dan aku mendengar bapakku berkata, 'Kaum Yahudi dan Kristen tidak boleh mendirikan biara dan gereja di kota yang dibangun oleh kaum muslimin, dan mereka tidak boleh meniup terompet, kecuali di tempat yang pantas untuk mereka. Dan mereka tidak boleh menampakkan minuman keras di kota-kota kaum muslimin.

          Al-Marwadzi berkata, 'Abu Abdullah berkata kepadaku, 'Mereka bertanya kepadaku tentang rumah-rumah dalam masalah-masalah yang datang dari sisi Khalifah. Maka aku berkata, 'Bagaimana pendapat engkau? Maka ia menjawab, 'Sesuatu yang berasal dari perdamaian harus ditetapkan, dan yang dibangun sesudahnya harus dihancurkan.'

          Dan Abu Thalib berkata, 'Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang biara-biara kaum Kristen yang berada di as-Sawad, apakah Umar t menetapkannya?

          Ia menjawab, 'as-Sawad ditaklukkan dengan pedang, maka tidak boleh ada padanya biara, tidak boleh ditiup terompet, tidak boleh dijadikan babi padanya, tidak boleh diminum arak, dan mereka tidak boleh mengangkat suara di rumah-rumah mereka, kecuali al-Hirah, Banqiya, dan Dair Shaluba. Mereka adalah orang-orang yang melakukan perdamaian dan tidak melakukan peperangan. Maka yang berasal darinya, tidak boleh diruntuhkannya. Dan yang bukan dari itu, maka semuanya baru, harus dihancurkan. Dan Harun ar-Rasyid telah memerintahkan menghancurkannya.

          Dan setiap kota yang dibangun bangsa Arab, maka non-muslim tidak boleh membangun biara padanya, tidak boleh meniup terompet padanya, tidak boleh meminum arak padanya, dan tidak boleh memelihara babi padanya. Dan perdamaian yang mereka melakukan perdamaian atasnya, maka ia berada di atas perdamaian dan perjanjian mereka. Dan setiap kota yang ditaklukkan dengan kekerasan, maka mereka tidak boleh membangun sesuatu padanya dari ini, dan yang melewati perdamaian, mereka ditetapkan berdasarkan perdamaian mereka.

          Dan sebagai hujjah padanya adalah hadits Ibnu Abbas t.     Abu Al-Harits berkata, 'Abu Abdillah ditanya tentang biara-biara dan gereja-gereja yang dibangun oleh Ahli Dzimmah dan yang mereka bangun padanya, yang belum pernah ada sebelumnya.Ia menjawab: 'Dihancurkan, mereka tidak membangun sedikitpun dari hal itu di dalam kota yang dibangun kaum muslimin. Mereka dilarang dari hal itu kecuali yang disebutkan dalam perdamaian mereka.

          Dikatakan kepada Abu Abdillah, 'Apakah hujjah bahwa Ahli Dzimmah dilarang membangun biara atau gereja, apabila bumi itu milik mereka, dan mereka membayar jizyah. Sedangkan kita dilarang berbuat zalim dan menyakiti mereka?

          Ia berkata, 'Hadits Ibnu Abbas t: (Kota manapun yang dibangun oleh bangsa Arab (kaum muslimin).

          Ahmad berkata, 'Abdurrazzaq menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Ma'mar menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Urwah bin Muhammad agar ia menghancurkan gereja-gereja yang ada di kota-kota kaum muslimin.

          Ia berkata, 'Dan aku menyaksikan Urwah bin Muhammad menghancurkannya di Shan'a.

          Abdurrazzaq berkata, 'Dan Ma'mar menceritakan kepada kami, dari orang yang mendengar al-Hasan berkata, 'Sesungguhnya termasuk sunnah: bahwa gereja-gereja dihancurkan, yang berada di kota-kota yang lama dan baru). Ahmad menyebutkannya dari Abdurrazzaq.

          Nash-nash dan atsar-atsar ini adalah tuntutan dasar-dasar syara' dan kaidah-kaidahnya: 'Sesungguhnya memunculkan perkara-perkara ini merupakan memunculkan syi'ar-syi'ar kufur. Ia lebih berat daripada membangun kedai-kedai minuman keras (bar-bar dan semisalnya) dan mawakhir. Maka sesungguhnya hal itu termasuk syi'ar kufur dan ini syi'ar fasik.

          Tidak boleh bagi imam melakukan perdamaian kepada mereka di negeri Islam untuk membangun syi'ar-syi'ar maksiat dan kefasikan, maka bagaimana boleh membangun tempat-tempat kufur dan syirik.

          Maka jika dikatakan: 'Apakah hukum gereja-gereja ini yang ada di negeri-negeri yang dibangun oleh kaum muslimin?

          Dikatakan: ia terbagi dua:

          Salah satunya: bahwa gereja-gereja itu dibangun setelah kaum muslimin membangun kota, maka ini dihilangkan berdasarkan kesepakatan ulama.[24]

          Kedua: bahwa ia berada di padang pasir (tanah lapang). Kemudian kaum muslimin membangun perkampungan di sekitarnya, maka ini tidak dihilangkan. Wallahu A'lam.

          Bagian kedua: dari kota-kota –menurut yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim-, kota-kota yang dibangun oleh kaum musyrikin, kemudian kaum muslimin menaklukkannya dengan kekerasan pedang.

          Ia berkata: maka ini tidak boleh dibangun biara dan gereja padanya.

          Adapun yang sudah ada sebelum penaklukan, bolehkah menetapkannya atau harus menghancurkannya?

          Dalam masalah ini ada dua pendapat dalam mazhab Ahmad, dan keduanya ada dua pendapat bagi para ulama Syafi'i dan yang lainnya:

          Pendapat pertama: wajib menghilangkannya dan haram membiarkannya, karena kota-kota telah menjadi milik kaum muslimin. Maka tidak boleh dibiarkan padanya tempat-tempat yang menjadi syi'ar kekafiran, seperti kota-kota yang dibangun kaum muslimin, dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ‬:

لاَ تَصْلُحُ قِبْلَتَانِ بِبَلَدٍ

“Tidak boleh ada dua kiblat dalam satu kota.”

          Sebagaimana tidak boleh membiarkan tempat-tempat kefasikan seperti bar-bar dan mawakhir. Dan karena biara-biara dan gereja-gereja telah menjadi milik kaum muslimin. Maka memberikan ijin kepada orang-orang kafir termasuk membangun syi'ar-syi'ar kekafiran padanya, seperti biara-biara mereka dan menyewakannya kepada mereka untuk tujuan itu. Dan karena sesungguhnya Allah I memerintahkan berjihad sehingga semua agama hanya bagi-Nya, dan memberikan ijin kepada mereka menampakkan syi'ar kufur di tempat-tempat itu termasuk menjadikan agama untuk-Nya dan untuk selain-Nya.

          Inilah pendapat yang benar.

          Pendapat kedua: boleh membiarkannya, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas t: 'Kota manapun yang dibangun non muslim, lalu Allah I membukakannya kepada bangsa Arab, lalu mereka menempatinya, maka sesungguhnya bagi non muslim menurut yang ada dalam perjanjian mereka.' Dan karena sesungguhnya Nabi ﷺ‬ telah menaklukkan Khaibar lewat kekerasan dan beliau ﷺ‬ menetapkan tempat-tempat ibadah mereka padanya dan tidak menghancurkannya, dan karena sesungguhnya para sahabat telah melakukan penaklukan besar di berbagai kota lewat kekerasan perang, dan mereka tidak menghancurkan sedikitpun gereja-gereja yang ada padanya. Dan menjadi bukti kebenaran hal ini, adanya gereja-gereja dan biara-biara di kota-kota yang ditaklukkan secara kekerasan perang. Dan sudah diketahui secara pasti bahwa ia tidak dibangun, tetapi sudah ada sebelum penaklukan.

          Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepada para pejabatnya: bahwa kamu jangan menghancurkan gereja, biara, dan rumah penyembahan api.

          Dan hal ini tidak bertentangan apa yang diriwayatkan Imam Ahmad: sesungguhnya ia memerintahkan menghancurkan gereja-gereja, maka sesungguhnya ia dibangun di kota-kota Islam, dan karena ijma' (konsensus) telah terjadi atas hal itu. Maka sesungguhnya ia sudah ada di kota-kota kaum muslimin tanpa diingkari.

          Dan sebagai kesimpulan bahwa dikatakan: Sesungguhnya pemimpin melakukan hal itu menurut yang lebih mashlahat bagi kaum muslimin. Maka jika mengambilnya dari mereka atau menghilangkannya adalah yang terbaik –karena banyaknya gereja atau kebutuhan kaum muslimin kepada sebagiannya dan sedikitnya jumlah ahli zimmah- maka ia harus mengambilnya dan menghilangkannya menurut kebutuhan. Dan jika meninggalkannya lebih baik –karena banyaknya jumlah mereka, kebutuhan mereka kepadanya, dan kaum muslimin tidak membutuhkannya- ia membiarkannya.

          Membiarkan ini adalah memberikan ijin kepada mereka untuk memanfaatkannya, bukan memberikan hak milik, sesungguhnya ia telah menjadi milik kaum muslimin. Bagaimana boleh menjadikannya sebagai milik orang-orang kafir? Ia hanyalah hak guna pakai menurut kebutuhan, maka imam boleh mengambilnya, apabila ia melihat kebutuhan dalam itu.

          Dan menunjukkan atas hal itu: sesungguhnya Umar bin Khaththab t dan para sahabat bersamanya mengusir penduduk Khaibar dari rumah-rumah dan tempat-tempat ibadah mereka, setelah Rasulullah ﷺ‬ menetapkan mereka padanya. Jikalau penetapan itu adalah pemberian hak milik, tentu tidak boleh mengeluarkan mereka dari milik mereka kecuali dengan suka rela atau ganti rugi.

          Dan karena inilah, tatkala kaum muslimin ingin mengambil gereja-gereja secara paksa yang berada di luar kota Damaskus di masa Walid bin Abdul Malik, kaum Nasrani melakukan perdamaian agar membiarkannya, dan memberi gantian kepada mereka darinya dengan gereja yang ditambah di al-Jami'.

          Jika mereka memiliki gereja-gereja itu dengan menentapkan, tentu mereka berkata kepada kaum muslimin: Bagaimana kamu mengambil milik kami secara paksa dan zalim? Bahkan mereka tunduk kepada pergantian, tatkala mereka meyakini bahwa kaum muslimin boleh mengambil gereja itu dari mereka, dan ia bukan milik mereka, seperti bumi yang mereka tempati.

          Maka dengan perincian ini, terkumpullah semua dalil, yaitu pilihan syaikh kita, dan menunjukkan atasnya: perbuatan khulafaurrasyidun dan para imam sesudahnya, serta Umar bin Abdul Aziz meruntuhkan darinya ketika melihat adanya mashlahat dalam meruntuhnya, dan membiarkan ketika melihat mashlahat dalam membiarkannya. Imam Ahmad memberikan fatwa kepada Al-Mutawakkil dengan meruntuhkan gereja-gereja As-Sawad, dan ia adalah bumi yang ditaklukkan secara paksa.

          Bagian ketiga: dari kota-kota yang ditaklukkan lewat perdamaian.

          Ibnul Qayyim berkata padanya: dan ini terbagi dua:

          Salah satunya: bahwa ia melakukan perdamaian kepada mereka bahwa bumi tetap menjadi milik mereka dan untuk kita pajak atasnya, atau melakukan perdamaian kepada mereka atas harta yang mereka berikan, yaitu perdamaian (gencatan senjata). Maka mereka tidak dilarang membangun yang mereka pilih padanya, karena negeri itu milik mereka. Sebagaimana Rasulullah ﷺ‬ melakukan perdamaian kepada penduduk Najran dan ia tidak memberikan syarat kepada mereka bahwa mereka jangan membangun gereja atau tempat ibadah.

          Bagian kedua: bahwa melakukan perdamaian kepada mereka bahwa negeri itu untuk kaum muslimin dan mereka membayar jizyah kepada kita.

          Maka hukum pada biara dan gereja yang berdasarkan perdamaian bersama mereka, berupa membiarkan dan membangun. Karena apabila boleh terjadinya perdamaian bersama mereka bahwa semuanya untuk mereka, tentu boleh melakukan perdamaian kepada mereka bahwa sebagian kota untuk mereka.

          Dan yang wajib saat mampu: bahwa mereka diberikan perdamaian seperti perdamaian Umar t kepada mereka dan diberikan syarat kepada mereka syarat-syarat yang ditulis dalam surat Abdurrahman bin Ghanm: bahwa mereka jangan membangun biara, tempat ibadah rahib, dan qilayah.

          Maka jika terjadi perdamaian secara mutlak tanpa syarat, niscaya dibawakan atas perdamaian yang dilakukan Umar t dan mereka mengambil dengan syaratnya, karena ia telah menjadi seperti syara'. Maka dibawakan mutlaknya perdamaian para imam sesudahnya atasnya.

Penutup

Kami menutup basht (riset) ini dengan dua risalah karya Syaikhul Islam Taqiyuddin ibnu Taimiyah, karena keduanya mengandung tahqiq yang bernilai tinggi.

Salah satunya: Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam Ahkam Ahli Zimmah juz 2, hal. 677-686.

Kedua: terdapat dalam kumpulan risalah dan masalah, kareya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang permulaannya (ar-Risalah al-'Arsyiyah).

Risalah pertama:

          Adapun yang pertama: Ibnul Qayyim berkata:

          Datang permintaan fatwa kepada Syaikh kami, maksudnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, dalam persoalan gereja, yang bunyinya:

          Apa yang dikatakan para ulama –waffaqahumullah- di wilayah yang sepakat ahli fatwa di masa ini bahwa sesungguhnya kaum muslimin telah menaklukkannya secara kekerasan, tanpa perdamaian dan tidak pemberian jaminan keamanan. Maka, apakah kaum muslimin memiliki wilayah yang disebutkan dengan sebab itu?  Dan apakah kepemilikan itu meliputi harta orang-orang kafir, berupa harta benda, pertanian, hewan ternak, budak, bumi, rumah, biara, gereja, qilayah, rumah ibadah dan semisal yang demikian itu, ataukah kepemilikan adalah selain tempat-tempat ibadah orang-orang musyrik?

          Maka jika memiliki semua yang ada padanya, bolehkah pemimpin membuat perjanjian kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang musyrik –di wilayah itu dan yang lainnya- sebagai jaminan agar tetap dibiarkan di wilayah itu berupa biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah dan semisalnya sebagai tempat ibadah bagi mereka, dan jizyah yang diambil dari mereka setiap tahun adalah sebagi imbalan hal itu secara tersendiri atau bersama yang lainnya, atau tidak?

          Dan jika pemimpin boleh memberikan jaminan dengan syarat tetapnya gereja dan semisalnya, apakah yang diberikan jaminan padanya memiliki biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah, dan semisalnya, dan hilangnya hak kepemilikan kaum muslimin dari hal itu sebagai konsekuensi dari perjanjian ini atau tidak? Karena sesungguhnya jizyah bukan dari nilai yang dijual? Dan apabila mereka tidak memiliki hal itu dan tetap memiliki hak guna pakai dengan hal itu, dan dibatalkan perjanjian mereka dengan sebab yang menuntut pembatalannya, bisa jadi karena meninggal dunia orang yang melakukan perjanjian bersamanya dan tidak mempunyai keturunan, atau mempunyai keturunan.

          Maka jika kita mengatakan: sesungguhnya anak-anak mereka harus melakukan perjanjian baru bersama mereka –seperti yang tegaskan Imam Syafi'i, menurut riwayat Ibnu Shabbagh dan dinyatakan oleh para ulama Iraq dan dipilih oleh Ibnu Abi 'Ashrun dalam kitab Al-Mursyid- bolehkah pemimpin saat itu mengatakan: 'Aku tidak memberikan jaminan bagimu kecuali dengan syarat bahwa kamu tidak memasukkan gereja-gereja, biara-biara, dan rumah-rumah ibadah dalam perjanjian. Maka ia seperti harta yang tidak diketahui pemiliknya dan tidak mampu mengenalnya, bahkan ia harus memasukkannya dalam akad perjanjian?

          Apakah hal itu khusus dengan biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah yang dipastikan ia sudah ada saat penaklukan kaum muslimin. Hal itu tidak wajib atasnya saat ragu-ragu bahwa hal itu sungguh sudah ada saat penaklukan atau terjadi setelah penaklukan, atau wajib atasnya secara mutlak  pada yang pasti bahwa ia sudah ada sebelum penaklukan, atau ragu-ragu padanya?

          Apabila tidak wajib saat ragu-ragu, apakah terjadinya keraguan bahwa ia sebelum penaklukan dan tidak diketahui keadaannya, siapa yang membangunnya, untuk siapa ia? Untuk baitul mal atau bukan?

          Dan apabila kita katakan: sesungguhnya yang telah baligh dari anak-anak yang telah dilakukan perjanjian bersama mereka –sekalipun telah terdahulu- dan dari selain mereka, tidak perlu dilakukan perjanjian bagi mereka. Tetapi berlaku atas mereka hukum orang yang terdahulu, apabila dipastikan bahwa ia termasuk dari anak-anak mereka. Hukum gereja-gereja dan biara-biara mereka adalah hukum diri mereka, atau diperlukan pembaharuan perjanjian dan jaminan?

          Dan apabila kita katakan: Sesungguhnya mereka membutuhkan pembaharuan perjanjian saat baligh, maka apakah gereja-gereja dan biara-biara mereka dibutuhkan kepadanya atau tidak? Syaikhul Islam menjawab: segala puji bagi Allah I.       Wilayah yang ditaklukan oleh kaum muslimin, seperti bumi Khaibar yang ditaklukkan di masa Nabi ﷺ‬, dan seperti bumi Syam secara umum dan sebagian kota-kotanya, dan seperti Sawad di Iraq –kecuali beberapa tempat yang sangat sedikit yang ditaklukkan secara damai-, dan seperti tanah Mesir. Maka sesungguhnya wilayah-wilayah ini ditaklukkan secara kekerasan di masa pemerintahan Umar bin Khaththab t.

          Dan telah diriwayatkan pada tanah Mesir bahwa ia ditaklukkan  secara damai, dan diriwayatkan pula bahwa ia ditaklukkan secara kekerasan.

          Keduanya benar menurut yang disebutkan para ulama yang ahli bagi riwayat-riwayat shahih dalam bab ini[25] -sesungguhnya ia ditaklukkan pertama-tama lewat perdamaian. Kemudian penduduknya membatalkan perjanjian. Lalu Amar bin Ash t mengirim utusan kepada Umar bin Khaththab t, meminta bantuan pasukan. Lalu ia (Umar t) memberikan bantuan dengan pasukan besar, di antara Zubair bin Awab t. Maka kaum muslimin menaklukkannya lewat kekerasan.

          Dan karena inilah diriwayatkan dari beberapa jalur yang banyak: sesungguhnya Zubair t bertanya kepada Umar bin Khaththab t, bahwa ia membaginya di antara para tentara, sebagaimana Bilal t bertanya kepadanya: membagi Syam. Maka ia bermusyawarah kepada para sahabat dalam hal itu. Maka generasi tua dari mereka memberikan usulan kepadanya, seperti Ali bin Abi Thalib t dan Mu'azd bin Jabal t agar ia menahannya sebagai harta fai bagi kaum muslimin yang faedahnya bisa dirasakan kaum muslimin, yang pertama dan terakhir. Kemudian Umar t menyepakati hal itu, sekalipun ada yang tidak setuju dan sebagian mereka meninggal dunia. Maka tetaplah perkara atas hal itu.

          Maka yang ditaklukkan kaum muslimin secara paksa, maka Allah I menjadikannya sebagai milik mereka. Sebagai Dia I memberikan kepada mereka apa yang mereka kuasai, berupa jiwab, harta, yang bisa dibawa, dan pertanahan.

          Dan masuk dalam pertanahan, tempat-tempat ibadah orang-orang kafir, tempat tinggal mereka, pasar-pasar, pertanian-pertanian dan semua manfaat bumi. Sebagaimana termasuk pada yang bisa dibawa, semua jenis hewan ternak, harta benda, dan emas dan perak.

          Tempat-tempat ibadah orang-orang kafir tidak keluar secara khusus yang menuntut keluarnya dari kepemilikan kaum muslimin. Maka sesungguhnya apa yang dikatakan padanya dari perkataan dan dilakukan padanya dari ibadah, boleh jadi diganti, atau dibuat-buat yang tidak pernah disyari'atkan Allah I, atau Allah I telah melarangnya setelah mensyari'atkannya.

          Allah I telah mewajibkan kepada para penganut agama-Nya berjihad melawan orang-orang kafir, sehingga semua agama hanya bagi Allah I, kalimah Allah I yang tinggi, dan mereka kembali dari agama mereka yang batil kepada petunjuk dan agama kebenaran yang Allah I mengutus dengannya penutup para rasul ﷺ‬, dan mereka membayar jizyah dengan tangan, sedangkan mereka terhina.

          Karena inilah, tatkala Rasulullah ﷺ‬ menguasai bumi yang diperanginya dari golongan ahli kitab dan selain mereka, seperti bani Qainuqa', Nadhir, dan Quraizhah, tempat-tempat ibadah mereka termasuk yang dikuasai kaum muslimin dan termasuk dalam firman Allah I:

وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ

“Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka.” (QS. Al-Ahzab: 27).

Dan dalam firman-Nya:

وَمَآأَفَآءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ

“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka.” (QS. Al-Hasyr: 6).

مَّآأَفَآءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota.” (QS. Al-Hasyr : 7).

          Akan tetapi, sekalipun kaum muslimin memiliki hal itu, maka hukum kepemilikan harus diikuti. Sebagaimana berbeda hukum kepemilikian pada budak mukatab, mudabbar, ummul walad, dan hamba. Dan sebagaimana berbeda hukumnya pada para tentara yang tertawan dan para wanita dan anak-anak yang tertawan. Demikian pula berbeda hukumnya pada yang dimiliki, pertanahan, bumi dan yang bisa pindah.

          Kaum muslimin sepakat bahwa harta ghanimah memiliki hukum-hukum khusus yang tidak bisa dianalogikan dengan semua harta yang komunal.

          Dan karena inilah, tatkala Nabi ﷺ‬ menaklukan Khaibar, beliau menetapkan penduduknya sebagai jaminan bagi kaum muslimin di tempat-tempat tinggal mereka. Rasulullah ﷺ‬ mempekerjakan mereka atasnya dengan separo yang dihasilkan darinya, berupa buah-buahan atau pertanian. Kemudian Umar t mengusir mereka di masa pemerintahannya, dan kaum muslimin mengambil kembali apa yang sebelumnya telah ditetapkan kepada mereka padanya, berupa tempat-tempat tinggal dan tempat-tempat ibadah.

          Pasal: Apakah boleh bagi pemimpin membuat perjanjian disertai tetapnya tempat-tempat ibadah di tangan mereka?

          Maka dalam masalah ini terjadi perbedaan yang sudah diketahui dalam mazhab yang empat.

          Di antara mereka ada yang berpendapat: tidak boleh membiarkannya untuk mereka, karena ia mengeluarkan kepemilikan kaum muslimin darinya dan menetapkan orang kafir, tanpa perjanjian terdahulu.

          Di antara mereka ada yang berpendapat: bolehnya menetapkan mereka padanya, apabila mashlahat menuntut hal itu. Sebagaimana Nabi ﷺ‬ menetapkan penduduk Khaibar padanya, dan sebagaimana para Khulafaurrasyidin menetapkan orang-orang kafir di atas tempat-tempat tinggal dan tempat-tempat ibadah yang ada di tangan mereka.

          Maka yang mengatakan pendapat pertama berkata: hukum gereja sama seperti hukum pertanahan lainnya:

          Di antara mereka ada yang mewajibkan tetapnya, seperti imam Malik yang masyhur darinya dan imam Ahmad dalam satu riwayat.

          Di antara mereka ada yang memberikan dua pilihan padanya di antara dua perkara menurut kepentingan.

          Dan ini adalah pendapat mayoritas, yaitu mazhab Abu Hanifah dan Ahmad yang masyhur darinya, dan atasnya yang ditunjukkan sunnah Rasulullah ﷺ‬, di mana beliau ﷺ‬ membagi separo Khaibar dan membiarkan separonya untuk kepentingan kaum muslimin.

          Dan yang berkata: boleh menetapkannya di tangan mereka, maka pendapatnya lebih terarah dan lebih jelas. Sesungguhnya mereka, dengan penetapan ini tidak mempunyai hak kepemilikan terhadap tempat-tempat ibadah sebagaimana seseorang memiliki hartanya. Sebagaimana sesungguhnya mereka tidak memiliki yang ditinggalkan untuk manfaat mereka yang komunal, seperti pasar dan tempat gembala, sebagaimana penduduk Khaibar tidak memiliki yang ditetapkan Rasulullah ﷺ‬ berupa tempat tinggal dan tempat ibadah.

          Dan semata-mata menetapkan mereka untuk mengambil manfaat dengannya bukan pemberian hak milik, sebagaimana jika dialokasikan kepada seorang muslim sebidang tanah baitul mal yang diambil manfaat dengan hasilnya, atau diserahkan masjid kepadanya, atau tempat ibadah yang bisa digunakan dengannya, hal itu bukan pemberian hak milik baginya, tetapi yang mereka ditetapkan padanya berupa gereja, kaum muslimin boleh mengambilnya dari mereka, apabila kebutuhan menuntut hal itu, sebagaimana para sahabat Nabi ﷺ‬ mengambilnya dari penduduk Khaibar dengan perintahnya, setelah menetapkan mereka padanya.

          Di masa pemerintahan khalifah Walid bin Abdul Malik, kaum muslimin meminta untuk mengambil sebagian gereja yang berada di luar kota Damaskus dari kaum Nasrani. Maka mereka (kaum Nasrani) meminta perdamaian kepada mereka (kaum muslimin) bahwa mereka memberi gereja yang ada di dalam kota, dan hal itu ditetapkan oleh Umar bin Abdul Aziz, salah satu dari khulafaurrasyidin dan para ulama yang ada di masanya.

          Sesungguhnya kaum muslimin, tatkala mereka ingin memperluas Jami' Damaskus dengan gereja yang berada di sampingnya –sedangkan gereja itu termasuk gereja yang termuat dalam perdamaian- mereka tidak bisa mengambilnya secara paksa. Lalu mereka berdamai dengan penukaran, dengan menetapkan gereja-gereja yang ingin mereka ambil. Dan penetapan itu adalah pengganti dari gereja perdamaian yang mereka tidak mungkin mengambilnya secara paksa.

          Pasal: apabila batal perjanjian mereka, bolehlah mengambil gereja-gereja yang ada dalam perdamaian dari mereka, apalagi gereja-gereja yang tidak termasuk dalam perdamaian. Sebagaimana Nabi ﷺ‬ mengambil apa yang ada milik bagi Quraizhah dan bani Nadhir, tatkala mereka melanggar perjanjian. Sesungguhnya orang yang melanggar perjanjian lebih buruk dari musuh dalam perang, sebagaimana yang membatalkan iman dengan murtad lebih buruk dari orang kafir yang asli.

          Karena itulah, jika habis penduduk suatu kota, dan tidak tersisa orang yang masuk dalam perjanjian mereka, sesungguhnya semua pertanahan dan yang bisa dipindah dari tempat ibadah dan lain menjadi harta fai bagi kaum muslimin. Maka apabila diberikan jamiman kepada selain mereka, jadilah ia seperti perjanjian permulaan. Dan boleh bagi yang membuat perjanjian kepada mereka menetapkan mereka pada tempat ibadah, dan ia boleh tidak menetapkan kepada mereka, seperti yang ditaklukkan pertama kali. Maka sesungguhnya jika imam (pemimpin) ingin menghancurkan hal itu saat menaklukkannya, niscaya boleh dengan konsensus kaum muslimin. Mereka tidak berbeda bolehnya menghancurkannya. Mereka hanya berbeda boleh tidaknya menetapkannya. Dan apabila tidak termasuk dalam perjanjian, ia menjadi harta fai bagi kaum muslimin.

          Adapun menurut pendapat jumhur yang tidak mengharuskan membagi pertanahan, maka hukumnya jelas.

          Adapun menurut pendapat yang mengharuskan membaginya, maka sesungguhnya benda yang berhak dimiliki tidak dikenal, seperti semua harta yang tidak dikenal pemiliknya secara tertentu.

          Adapun ketentuan wajib menetapkannya, maka ini adalah ketentuan yang tidak ada realitanya. Maka sesungguhnya mengharuskan memberikan mereka tempat-tempat ibadah (yang diambil lewat) kekerasan, tidak ada pendapat baginya dan aku tidak mengatahui ada yang berpendapat seperti itu, maka tidak perlu dijelaskan. Perbedaan hanya pada bolehnya.

          Benar, mungkin dikatakan pada anak-anak, apabila kita tidak mengatakan masuknya mereka dalam perjanjian bapak-bapak mereka, karena sesungguhnya bagi mereka ada syubhat keamanan dan perjanjian, berbeda orang-orang yang melanggar perjanjian. Maka jika wajib, niscaya tidak wajib kecuali yang dipastikan bahwa ia untuknya. Maka sesungguhnya pemilik hak tidak wajib diberikan, kecuali yang sudah dikenal ia adalah haknya. Dan yang terjadi keraguan padanya –menurut ketentuan ini- maka ia untuk baitul mal.

          Dan adapun yang ada sekarang, apabila tidak muncul dari mereka pelanggaran janji, maka mereka adalah ahli zimmah. Maka sesungguhnya anak kecil mengikuti bapaknya dalam jamiman dan penghuni rumahnya dari ahli dzimmah. Sebagaimana anak kecil mengikuti bapaknya dan penghuni rumahnya dari kaum muslimin, karena anak kecil tidak bisa menyendiri, ia dijadikan  mengikuti selainnya dalam iman dan aman.

          Dan atas dasar inilah berlaku sunnah Rasulullah ﷺ‬, para khalifahnya, dan kaum muslimin dalam penetapan mereka terhadap anak-anak ahli kitab dengan perjanjian terdahulu, tanpa memperbaharui perjanjian yang lain.

          Dan jawaban ini adalah hukumnya terhadap tempat-tempat ibadah mereka yang terdahulu, sebelum penaklukan Islam. adapun yang mereka bangun sesudah itu, maka sesungguhnya wajib menghancurkannya, dan mereka tidak diberikan ijin membangun biara dan gereja, sebagaimana Umar bin Khaththab t memberikan syarat kepada mereka dalam syarat-syarat yang terkenal darinya: 'Bahwa mereka tidak boleh membangun yang baru di kota-kota Islam dan tidak pula di sekitarnya: gereja, tempat ibadah pendeta, diyar dan qilayah, karena menjunjung sabda Rasulullah ﷺ‬:

لاَ تَكُوْنُ قِبْلَتَانِ بِبَلَدٍ وَاحِدٍ

"Tidak ada dua kiblat dalam satu kota." (HR. Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang baik).

          Dan berdasarkan riwayat dari Umar bin Khaththab t, ia berkata:

لا كنيسة فى الإسلام

“Tidak ada gereja di dalam Islam.”

          Ini adalah pendapat mazhab imam empat di kota-kota, dan mazhab jumhur mereka di perkampungan.

          Para pemerintah Islam yang mendapat taufik dari Allah I tetap melaksanakan hal itu dan mengamalkannya, seperti Umar bin Abdul Aziz yang kaum muslimin sepakat bahwa ia adalah imam dalam petunjuk:

          Imam Ahmad meriwayatkan darinya, bahwa sesungguhnya ia menulis kepada perwakilannya di Yaman: agar ia menghancurkan gereja-gereja yang ada di kota-kota kaum muslimin, maka ia menghancurkannya di Shan'a dan kota lainnya.

          Dan Imam Ahmad meriwayatkan, dari Hasan al-Bashri, sesungguhnya ia berkata, 'Termasuk sunnah bahwa dihancurkan gereja-gereja yang ada di kota-kota, yang lama dan yang baru.

          Demikian pula Harun ar-Rasyid di masa pemerintahannya, ia memerintahkan menghancurkan yang ada di Sawad, Baghdad.

          Demikian pula Khalifah al-Mutawakkil, tatkala ia menekankan kepada Ahli Kitab dengan syarat-syarat Umar t, ia meminta fatwa kepada para ulama di masanya dalam menghancurkan gereja-gereja dan biara-biara. Lalu mereka menjawabnya, maka ia mengirim jawaban mereka kepada Imam Ahmad, maka ia menjawabnya dengan menghancurkan gereja-gereja Sawad, Iraq, dan ia menyebutkan atsar-atsar dari para sahabat dan tabi'in.

          Maka termasuk yang disebutkannya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas t, sesungguhnya ia berkata, 'Kota apapun yang dibangun oleh bangsa Arab (maksudnya kaum muslimin), maka bangsa 'ajam (non muslim, ahli dzimmah) tidak boleh membangun gereja padanya, tidak boleh meniup terompet, dan tidak boleh meminum arak. Dan kota manapun yang dibangun oleh non muslim, lalu Allah I membukakannya kepada kaum muslimin, maka sesungguhnya untuk non muslim apa yang ada dalam perjanjian mereka dan kaum muslimin harus melaksanakan perjanjian terhadap mereka, dan mereka tidak boleh memberikan beban di luar batas kemampuan  mereka.

          Sebagai kesimpulan jawaban: sesungguhnya setiap gereja yang ada di dalam Mesir, Kairo, Kufah, Wasith, Baghdad, dan kota semisalnya yang dibangun kaum muslimin di wilayah yang ditaklukkan secara kekerasan, maka wajib menghancurkannya: bisa jadi dengan meruntuhkannya atau yang lainnya, di mana tidak ada lagi tempat ibadah untuk mereka di kota yang dibangun kaum muslimin di wilayah yang ditaklukkan lewat kekerasan. Sama saja tempat ibadah itu sudah ada sebelum penaklukan Islam atau baru, karena sesungguhnya yang dahulu darinya, boleh mengambilnya dan wajib hukumnya ketika ada kerusakan, dan Nabi ﷺ‬ melarang adanya dua kiblat di satu bumi.  Dan kaum muslimin tidak boleh memberikan ijin adanya dua kiblat di kota-kota Islam, kecuali karena dharurat, seperti perjanjian yang lama. Terutama, gereja-gereja ini yang ada di kota-kota adalah baru, jelas barunya dengan bukti-bukti yang beraneka ragam, dan yang baru dihancurkan dengan kesepakatan para imam.

          Dan adapun gereja-gereja yang ada di Sha'id dan Birr Syam serta yang semisalnya dari bumi yang ditaklukkan secara paksa, maka yang baru darinya, wajib dihancurkan.

          Dan apabila tidak jelas yang baru dengan yang lama, wajib menghancurkan keduanya secara bersamaan, karena menghancurkan yang baru hukumnya wajib dan menghancurkan yang lama hukumnya boleh, dan sesuatu yang tidak sempurna yang wajib kecuali dengannya, maka hukumnya adalah wajib.

          Dan gereja yang lama, maka sesungguhnya boleh menghancurkannya dan boleh menetapkannya di tangan mereka, maka pemimpin melihat dalam mashlahat:

          Jika jumlah sudah sedikit dan gereja-gereja berjumlah banyak, diambil sebagian besarnya dari mereka. Demikian pula yang membahayakan kaum muslimin, sesungguhnya diambil juga dari mereka, dan yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk diambil, niscaya diambil juga.

          Adapun  apabila mereka berjumlah besar dalam satu perkampungan, dan mereka mempunyai gereja lama, yang tidak ada kebutuhan untuk mengambilnya dan tidak ada kepentingan, maka yang semestinya adalah membiarkannya. Sebagaimana Nabi ﷺ‬ dan para khalifahnya membiarkan gereja-gereja untuk mereka yang mereka membutuhkannya, kemudian diambil dari mereka.

          Adapun yang diperuntukkan buat mereka dengan perdamaian sebelum penaklukan, seperti yang ada di dalam kota Damaskus dan semisalnya, maka tidak boleh mengambilnya selama mereka masih menepati janji, kecuali dengan ganti rugi atau kerelaan hati mereka, seperti yang dilakukan kaum muslimin terhadap Jami' Damaskus, ketika mereka membangunnya.

          Maka apabila sudah diketahui bahwa sesungguhnya gereja-gereja terbagi tiga:

          Di antaranya: tidak boleh dihancurkan.

          Di antaranya: harus dihancurkan, seperti yang ada di Kairo dan Mesir, dan semua yang baru.

          Di antaranya: yang terbaik bagi kaum muslimin, seperti yang di Sha'id dan bumi Syam yang merupakan bangunan lama, menurut yang sudah kami jelaskan.

          Pemerintah Islam harus melaksanakan apa yang diperintahkan Allah I dengannya dan yang terbaik untuk kaum muslimin untuk memuliakan agama Allah I dan menekan musuh-musuh-Nya, serta menyempurnakan yang dilakukan para sahabat, dengan menekankan syarat-syarat kepada mereka dan melarang mereka berkuasa di semua bumi Islam, dan dalam hal itu tidak usah diperdulikan orang yang penakut dan hina yang berkata, 'Sesungguhnya kita mempunyai masjid-masjid dan tawanan-tawanan di sisi mereka, kami takut terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah I berfirman:

وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ {40}

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj: 40).

          Apabila Furuz dari kerajaan Tatar telah menghancurkan gereja-gereja secara umum, sekalipun ia adalah musuh Allah I, maka golongan Allah I yang ditolong dan tentaranya yang dijanjikan kemenangan hingga hari kiamat lebih utama dengan hal itu dan lebih berhak. Sesungguhnya Nabi ﷺ‬ mengabarkan bahwa mereka selalu nampak hingga hari kiamat. Dan kita berharap semoga Allah I merealisasikan janji Rasul-Nya ﷺ‬, di mana beliau bersabda, '

يَبْعَثُ اللهُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

"Allah I membangkitkan untuk umat ini di atas setiap seratus tahun, orang yang memperbaharui baginya agamanya.”

          Dan orang yang diberlakukan Allah I hal itu di atas tangannya dan Dia I menolong atasnya, dari ahli al-Qur`an dan al-Hadits, termasuk dalam hadits Nabi ﷺ‬ ini. Maka sesungguhnya Allah I dengan mereka menegakkan agama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعَ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ {25}

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hadid :25).

Risalah Kedua

          Adapun risalah kedua karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,[26] yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang berbunyi:

          Apa yang dikatakan para ulama, para pemimpin agama, pemberi petunjuk kaum muslimin –radhiyallahu 'anhum ajma'in-, menolong mereka menampakkan kebenaran yang nyata, memadamkan orang-orang kafir dan munafik, di gereja-gereja yang ada di Kairo dan yang lain, yang ditutup berdasarkan perintah para pemimpin. Apabila para ahli zimmah menuduh bahwa ia ditutup secara zalim dan sesungguhnya mereka berhak membukanya, dan mereka menuntut hal itu kepada para pemimpin –semoga Allah I memperkuat dan menolong mereka-, apakah tuduhan mereka diterima? Dan apakah wajib mengabulkan permintaan mereka atau tidak?

          Apabila mereka berkata: sesungguhnya gereja-gereja ini sudah ada pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab t dan para khalifah lainnya, dan sesungguhnya penutupannya melanggar hukum para khulafaurrasyidin. Apakah ucapan ini bisa diterima dari mereka atau ditolak?

          Dan apabila ahli zimmah pergi kepada utusan atau selainnya yang datang dari negeri arab, lalu mereka memintanya agar meminta ijin kepada penguasa Islam untuk membukanya, atau mereka menulis surat kepada raja-raja yang terlibat perang, agar memohon hal itu kepada para pemimpin Islam. Apakah ahli zimmah boleh melakukan hal itu? Apakah perjanjian mereka batal dengan ini ataukah tidak?

          Dan apabila ada yang berkata: sesungguhnya jika mereka tidak mengabulkan hal itu, terjadilah bahaya bagi kaum muslimin. Bisa jadi berupa permusuhan terhadap orang yang ada di sisi mereka dari para tawanan dan masjid-masjid, dan bisa jadi dengan memutuskan perdagangan dari negara-negara Islam, dan bisa jadi dengan tidak memberikan bantuan kepada pemerintah Islam yang menjadi pegangan untuk kepentingan kaum muslimin, dan semisal yang demikian itu. Apakah ucapan ini benar atau salah? Jelaskanlah hal itu secara terperinci.

          Apabila membukanya merubah hati kaum muslimin di Timur dan Barat bumi, merubah hati orang-orang shalih, ahli agama Islam, para tentara secara umum dan kaum muslimin terhadap pemerintahan Islam, karena menampakkan syi'ar-syi'ar kufur, kemuliaan, kesenangan, dan kebahagiaan mereka, dengan apa yang mereka nampakkan saat membuka gereja-gereja, berupa lilin-lilin, berkumpul, bergembira, dan selain yang demikian itu. Dan hal ini bisa merubah hati kaum muslimin, dari orang-orang shalih dan selain mereka. Hingga sesungguhnya mereka berdoa kepada Allah I kepada orang yang menyebabkan hal itu dan menolong atasnya. Bolehkah bagi seseorang mengisyaratkan hal itu kepada ulil amri (pemerintahan Islam).

          Dan siapa yang memberikan isyarat hal itu kepadanya, apakah ia memberi nasehat kepada pemerintahan Islam atau menipu?

          Apakah jalan terbaik untuk ulil amri (pemerintah) –semoga Allah I memperkuatnya dan para pembantunya-: menekan musuh-musuh-Nya dan menghinakan mereka, atau menuruti keinginan mereka?

          Jelaskanlah hal itu kepada kami dan uraikanlah secara jelas. Semoga kamu mendapat pahala, insya Allah I. Semoga Allah I mencukupkan kepada kita dan sebaik-baik berserah. Semoga rahmat Allah I senantiasa tercurah kepada pemimpin kita Muhammad, pemimpin para nabi. Dan terhadap keluarganya dan semua sahabatnya. Dan semoga Allah I meridhai para sahabat yang mulia, dan kepada para pengikut mereka dalam kebaikan, hingga hari pembalasan.

          Ini adalah teks pertanyaan:

          Maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan jawaban sebagai berikut:

          Segala puji bagi Allah I, Rabb semesta alam.

          Adapun tuduhan mereka: 'Sesungguhnya kaum muslimin berbuat zalim kepada mereka dalam menutupnya.

          Ini adalah kata-kata dusta yang menyalahi ijma' kaum muslimin. Maka sesungguhnya para ulama kaum muslimin dari mazhab empat: mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad, dan para imam selain mereka, seperti Sufyan ats-Tsauri, al-Auza'i, al-Laits bin Sa'ad, dan selain mereka, dan selain generasi sebelum mereka dari para sahabat dan tabi'in –radhiyallahu 'anhum ajma'in- sepakat bahwa sesungguhnya imam (pemerintah Islam) jikalau menghancurkan setiap gereja di bumi yang ditaklukkan secara kekerasan, seperti bumi Mesir, Sawad di Iraq, Birr Syam, dan semisal yang demikian itu. Ia berijtihad dalam hal itu dan mengikuti yang memberi pendapat hal itu, niscaya hal itu bukan perbuatan zalim darinya. Bahkan wajib taat dan membantunya dalam hal itu. Dan jika mereka enggan terhadap hukum kaum muslimin, niscaya mereka membatalkan janji, dan halal darah dan harta mereka dengan hal itu.

          Adapun ucapan mereka: sesungguhnya gereja-gereja sudah berdiri dari zaman Amirul Mukminin Umar bin Khaththab t, dan sesungguhnya para khalifah rasyidah menetapkan mereka atasnya.

          Maka ini juga termasuk dusta. Sesungguhnya termasuk pengetahuan yang mutawatir: sesungguhnya kota Kairo dibangun lebih dari tiga ratus tahun setelah Umar bin Khaththab t. Dibangun setelah Baghdad, setelah Bashrah, Kufah dan Wasith.

          Kaum muslimin sepakat bahwa sesungguhnya kota-kota yang dibangun kaum muslimin, ahli zimmah tidak boleh membangun gereja padanya, seperti yang ditaklukkan kaum muslimin dengan perdamaian dan menetapkan gereja-gereja lama mereka, setelah Umar bin Khaththab t memberikan syarat kepada mereka: bahwa mereka tidak boleh membangun gereja di bumi perdamaian, maka bagaimana di kota-kota kaum muslimin?

          Bahkan, apabila memiliki mempunyai gereja di kota yang ditaklukkan secara kekerasan, seperti Iraq, Mesir, dan semisalnya, lalu kaum muslimin membangun kota atasnya, maka sesungguhnya mereka boleh mengambil gereja itu, supaya tidak dibiarkan gereja di kota-kota kaum muslimin tanpa perjanjian. Sesungguhnya dalam Sunan Abi Daud dengan isnad yang jayyid, dari Ibnu Abbas t, dari Nabi ﷺ‬, sesungguhnya beliau bersabda:

لاَ تَصْلُحٌ قِبْلَتَانِ بِأَرْضٍ وَلاَ جِزْيَةَ عَلَى مُسْلِمٍ

"Tidak pantas ada dua kiblat di satu bumi, dan tidak ada jizyah terhadap seorang muslim."

Dan kota yang ditempati kaum muslimin dan perkampungan yang ditempati kaum muslimin, dan padanya ada masjid-masjid kaum muslimin, tidak boleh dinampakkan sedikitpun syi'ar-syi'ar kufur, tidak gereja dan tidak pula yang lain, kecuali ada perjanjian untuk mereka, maka harus dilaksanakan janji mereka.

          Maka jikalau di bumi Mesir dan semisalnya ada gereja sebelum membangunnya, niscaya kaum muslimin boleh mengambilnya, karena bumi itu direbut lewat kekerasan. Maka bagaimana, sedangkan gereja ini adalah baru yang dibangun oleh kaum Kristen? Maka sesungguhnya Kairo, sekitar dua ratus (200) tahun di bawah pemerintahan di luar syari'at Islam, dan mereka menampakkan bahwa mereka adalah Rafidhah.

          Syaikhul Islam meneruskan … hingga ia berkata, 'Dan sesungguhnya orang-orang yang mengenal Islam sudah mengenal bahwa sesungguhnya Rafidhah memihak bersama musuh-musuh Islam. Maka tatkala mereka menguasai Kairo, menteri mereka terkadang Yahudi, terkadang Kristen Armenia. Dan kaum Kristen menjadi kuat karena Kristen Armenia itu. Mereka membangun gereja-gereja yang banyak di bumi Mesir di masa pemerintahan Rafidhah yang munafik itu, dan mereka berseru di antara dua istana: barang siapa yang mengutuk dan mencela, maka untuknya satu dinar dan irdabb.

          Dan di masa pemerintahan mereka, kaum Kristen mengambil pesisir Syam dari kaum muslimin, sampai Nuruddin dan Shalahuddin merebutnya kembali. Dan di masa mereka, bangsa Barat datang ke Balbis dan mereka menang dari bangsa Barat. Maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang munafik yang dibantu oleh kaum Kristen. Dan Allah I tidak menolong orang-orang munafik yang bersikap loyal kepada kaum Kristen. Lalu mereka mengutus kepada Nuruddin, memohon bantuan. Maka ia memberi bantuan dengan Asaduddin dan keponakannya Shalahuddin. Maka tatkala para pejuang mujahidin tiba di negeri Mesir, kaum Rafidhah berdiri bersama kaum Kristen, maka mereka meminta memerangi para pejuang mujahidin muslim. Dan terjadilah beberapa fase yang diketahui manusia, sehingga akhirnya Shalahuddin membunuh pemimpin mereka Syawir.

          Dari sejak itulah, nampak di negeri ini kalimah Islam, sunnah dan jama'ah. Dan jadilah dibacakan padanya hadits-hadits Rasulullah ﷺ‬, seperti al-Bukhari dan Muslim, serta semisalnya. Disebutkan padanya mazhab para imam. Dimohonkan keridhaan kepada para khalifah rasyidah (diucapkan radhiyallahu 'anhu). Dan jika tidak demikian, mereka adalah makhluk terburuk sebelumnya. Pada mereka ada kaum yang menyembah bintang dan mengawasinya. Ada kaum zindiq yang tidak bertuhan, tidak beriman kepada akhirat, surga dan neraka. Tidak meyakini kewajiban shalat dan zakat, puasa dan haji. Dan yang lebih baik pada mereka adalah Rafidhah, sedangkan Rafidhah adalah kelompok terburuk yang disandarkan kepada kiblat.

          Maka karena sebab ini dan yang seumpamanya, terjadilah pembangunan gereja-gereja di Kairo dan di kota-kota lainnya. Sesungguhnya di daratan Mesir ada gereja-gereja lama, akan tetapi gereja-gereja itu ditetapkan oleh kaum muslimin atasnya saat mereka menaklukkan negeri itu, karena semua petani adalah beragama Kristen dan belum beragama Islam. Kaum muslimin hanyalah para tentara saja, dan mereka (kaum muslimin) menetapkan mereka sebagaimana Nabi ﷺ‬ menetapkan kaum Yahudi atas Khaibar ketika mereka menaklukkannya, karena kaum Yahudi adalah para petani, sedangkan kaum muslimin sibuk berjihad.

          Kemudian setelah itu, sesungguhnya di masa pemerintahan Umar bin Khaththab t, tatkala kaum muslimin sudah banyak dan tidak membutuhkan kaum Yahudi, Umar t mengusir mereka dari Khaibar, sebagaimana Nabi ﷺ‬ memerintahkan hal itu, di mana beliau ﷺ‬ bersabda:

أَخْرِجُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ

"Keluarkan kaum Yahudi dan Kristen dari semenanjung Arab."

Sehingga tidak tersisa lagi kaum Yahudi di Khaibar.

Dan firman Allah I dalam Kitab-Nya:

إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ اْلأَشْهَادُ {51}

Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman pada kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), (QS. Ghafir:51)

Dan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {7}

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad :7)

Dan dalam hadits shahih dari Nabi ﷺ‬, beliau bersabda:

لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السّاعَةُ

"Senantiasa satu golongan dari umatku tetap berada di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan dan menyalahi mereka, hingga terjadinya hari kiamat."

          Dan setiap orang yang mengenal sejarah manusia dan raja-raja mereka, ia melihat setiap orang yang lebih menolong bagi agama Allah I, lebih besar berjihad terhadap musuh-musuh-Nya, lebih lurus dengan taat kepada Allah I dan rasul-Nya, paling besar kemenangan, taat, dan kehormatan, sejak masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab t hingga sekarang.

          Sesungguhnya kaum muslimin sudah mengambil dari mereka gereje-gereja yang sangat banyak dari bumi yang direbut secara paksa, setelah mereka menetapkan atasnya di maka khilafah Umar bin Abdul Aziz dan khalifah lainnya, dan tidak ada yang mengingkarinya dari kaum muslimin.

          Maka dapat diketahui sesungguhnya meruntuhkan gereja-gereja yang direbut secara paksa hukumnya boleh, apabila tidak ada bahaya terhadap kaum muslimin. Maka berpalingnya orang yang berpaling dari mereka karena masih sedikitnya jumlah kaum muslimin dan karena sebab-sebab lainnya. Sebagaimana Nabi ﷺ‬ berpaling dari mengusir kaum Yahudi, sampai akhirnya Umar bin Khaththab t mengusir mereka.

          Ahli zimmah tidak boleh berkirim surat kepada penganut agama mereka dari golongan kafir harbi, dan tidak boleh memberikan kabar sedikitpun tentang berita kaum muslimin. Tidak boleh meminta dari utusan mereka agar membebani pemerintahan Islam yang mengandung bahaya bagi kaum muslimin. Dan barang siapa yang melakukan hal itu dari mereka, wajib menghukum mereka dengan kesepakatan kaum muslimin. Dan pada salah satu dari dua pendapat, ia telah melanggar perjanjian, dan halal darah dan hartanya.

          Dan siapa yang mengatakan: sesungguhnya kaum muslimin mendapat bahaya jika tidak memenuhi permintaan mereka itu, berarti ia tidak mengetahui hakekat keadaan. Sesungguhnya kaum muslimin telah menaklukkan pesisir Syam, dan hal itu merupakan bencana terbesar atas mereka. Dan mereka (kaum muslimin) telah mewajibkan kepada mereka memakai perobahan, dan hal itu merupakan malepetaka terberat atas mereka. Bahkan tatar telah menghancurkan semua gereja mereka. Nuruz telah mewajibkan kepada mereka pakaian perobahan, membebani pajak dan kehinaan, dan hal itu merupakan musibah terbesar atas mereka. Kendati demikian, tidak terjadi terhadap kaum muslimin kecuali kebaikan. Sesungguhnya kaum muslimin tidak membutuhkan mereka, dan mereka lebih membutuhkan kepada negara Islam dari pada kebutuhan kaum muslimin kepada negara mereka. Bahkan kepentingan agama dan dunia mereka tidak bisa berdiri tegak kecuali dengan apa yang ada di negeri kaum muslimin. Dan kaum muslimin, -hanya bagi Allah I pujian dan karunia- tidak membutuhkan mereka pada agama dan dunia mereka.

          Adapun kaum Kristen Andalusia (Spanyol), maka mereka tidak meninggalkan kaum muslimin di negeri mereka karena kebutuhan kepada mereka. Mereka meninggalkan mereka hanya karena takut dari bangsa Tatar. Sesungguhnya kaum muslimin di sisi bangsa Tatar lebih mulia dari pada kaum Kristen. Jikalau ditakdirkan bahwa mereka mampu atas orang yang ada di sisi mereka dari pada kaum muslimin, maka kaum muslimin lebih mampu atas orang yang ada di sisi mereka dari pada kaum Kristen. Dan umat Kristen yang berada dalam jaminan kaum muslimin ada yang berstatus patrik dan selain mereka dari para pemuka agama kaum Kristen, serta para pendeta mereka yang dibutuhkan oleh umat Kristen. Dan tidak ada di sisi kaum Kristen seorang muslim yang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Segala puji bagi Allah I. Padahal membebaskan tahanan termasuk kewajiban terbear, dan memberikan harta yang ditahan dan yang lainnya dalam hal itu termasuk ibadah terbesar.

          Setiap muslim mengetahui bahwa sesungguhnya mereka tidak melakukan perdagangan ke negeri kaum muslimin kecuali karena tujuan mereka, bukan untuk manfaat kaum muslimin. Jika raja-raja mereka menghalangi mereka dari hal itu, niscaya keinginan mereka terhadap harta menghalangi mereka untuk patuh. Sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling menyukai harta. Karena inilah mereka bermain judi di gereja-gereja. Mereka adalah kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Dan setiap kelompok berbeda dengan yang lain.

          Tidak ada yang memberi pendapat kepada pemerintahan Islam yang merupakan publikasi terhadap syi'ar mereka di negeri Islam, atau memperkuat perkara mereka dari satu sisi kecuali orang munafik yang menampakkan Islam, padahal ia termasuk dari mereka secara batin, atau orang yang mempunyai tujuan yang tidak benar, seperti mereka menyuapnya dan mereka masuk atasnya dengan senang hati atau terpaksa, atau laki-laki yang sangat bodoh, yang tidak mengenal sedikitpun tentang siyasah syari'at Ilahiyah yang menolong kekuasaan kaum muslimin terhadap musuh-musuh-Nya dan musuh-musuh agama. Dan jika tidak demikian, maka siapa yang mengenal lagi memberi nasehat baginya, tentu memberikan saran kepadanya dengan saran yang mengharuskan kemenangan, keteguhan, kekuatan, bersatunya hati kaum muslimin atasnya, kemenangan mereka baginya, dan doa manusia untuknya di Timur dan Barat bumi. Semua ini hanya dengan memuliakan agama Allah I, menampakkan kalimah Allah I, dan merendahkan musuh-musuh Allah I.

          Hendaklah mengambil pelajaran dengan sejarah Nuruddin dan Shalahuddin, kemudian al-'Adil. Bagaimana Allah I meneguhkan dan menguatkan serta membukakan kota-kota untuk mereka, dan merendahkan musuh-musuh bagi mereka tatkala mereka melaksanakan hal itu?

          Hendaklah mengambil pelajaran dengan sejarah orang yang loyal kepada kaum Kristen, bagaimana Allah I menghinakan dan meruntuhkan mereka? dan kaum muslimin tidak membutuhkan mereka. Segala puji bagi Allah I.

          Khalid bin Walid t pernah menulis surat kepada Umar bin Khaththab t, ia berkata, 'Sesungguhnya di Syam ada seorang penulis (juru tulis) Kristen, tidak terlaksana pajak di Syam kecuali dengannya.' Maka Umar t menulis surat kepadanya: 'Jangan engkau mempekerjakan dia.' Lalu Khalid t menulis kepadanya: 'Sesungguhnya kami membutuhkannya.' Lalu Umar t menulis surat kepadanya, 'Jangan engkau mempekerjakannya.' Lalu Khalid t menulis surat kepadanya, 'Apabila kami tidak mempekerjakannya, niscaya kocar kacir harta.' Maka Umar menulis surat kepadanya, 'Orang Kristen itu telah meninggal dunia, dan selamat.'

          Dan disebutkan dalam riwayat shahih, dari Nabi ﷺ‬, sesungguhnya seorang musyrik menemuinya untuk berperang bersamanya, Beliau ﷺ‬ bersabda:

إِنِّي لاَ اَسْتَعِيْنُ بِمُشْرِكٍ

"Sesungguhnya aku tidak meminta tolong kepada orang musyrik."

Dan sebagaimana penggunaan tentara mujahidin, hanya pantas apabila mereka kaum muslimin yang beriman. Demikian pula orang-orang yang membantu tentara dengan harta dan pekerjaan mereka, hanya memperbaiki kondisi mereka, apabila mereka muslim lagi beriman. Dan pada kaum muslimin ada kecukupan pada semua kepentingan mereka. Hanya bagi Allah I segala pujian.

          Abu Musa al-Asy'ari t masuk kepada Umar bin Khaththab t, lalu ia memaparkan perhitungan Iraq, maka hal itu membuatnya kagum, lalu ia berkata, 'Panggillah juru tulismu, agar ia membacakannya kepadaku.' Ia menjawab, 'Sesungguhnya ia tidak masuk masjid.' Umar t bertanya, 'Kenapa?' Ia berkata, 'Karena dia seorang Nasrani.' Lalu Umar t memukulnya dengan cambuk. Jika mengenainya, tentu menyakitinya. Kemudian ia berkata, 'Janganlah kamu memuliakan mereka setelah Allah I membuat mereka hina. Janganlah kaum memberikan keamanan kepada mereka setelah Allah I membuat mereka takut. dan janganlah kamu mempercayai mereka setelah Allah I mendustakan mereka.

          Kaum muslimin di Timur dan Barat bumi, hati mereka satu. Loyal kepada Allah I, Rasul-Nya ﷺ‬, dan hamba-hamba-Nya yang beriman. Memusuhi musuh-musuh Allah I, Rasul-Nya ﷺ‬, dan musuh-musuh hamba-hamba-Nya yang beriman. Hati mereka yang jujur dan doa mereka yang shalih adalah tentara yang tidak terkalahkan dan tidak terhinakan. Sesungguhnya mereka adalah kelompok yang ditolong hingga hari kiamat, seperti yang diberitakan Rasulullah ﷺ‬:

Dan firman Allah I:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَاعَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَآءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلأَيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ {118} هَاأَنتُمْ أُوْلآَءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلاَ يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْ عَضُّوا عَلَيْكُمُ اْلأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمُُ بِذَاتِ الصُّدُورِ {119} إِن تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةُُ تَسُؤْهُمْ وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةُُ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطُُ {120}

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. *  Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:"Kami beriman"; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):"Marilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. *  Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imrah:118-120).

Dan firman Allah I:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {51} فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ {52} وَيَقُولُ الَّذِينَ ءَامَنُوا هَاؤُلآَءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ {53} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ {54} إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ {55} وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ {56}

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. *   Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani), seraya berkata:"Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. *  Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan:"Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasannya mereka benar-benar beserta kamu" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. * Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. * Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). * Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah:51-56).

          Ayat-ayat yang mulia ini merupakan pelajaran berharga bagi orang yang berakal. Sesungguhnya Allah I menurunkannya karena di Madinah ada ahli zimmah yang mempunyai kemuliaan di masa Nabi ﷺ‬. Dan segolongan kaum muslimin ada yang lemah keyakinan dan imannya. Dan pada mereka, ada kaum munafik yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran, seperti Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik dan semisalnya. Mereka khawatir kaum kafir mempunyai negara, maka mereka bersikap loyal kepada mereka dan menyembunyikannya. Firman Allah I:

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ

“…maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya.”  Yaitu nifak dan lemah iman,

يُسَارِعُونَ فِيهِمْ

“…bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani).” Maksudnya menolong mereka.

يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ

“ …seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana".

Firman Allah I:

فَعَسَى اللهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ

“Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.“  Maksudnya orang-orang munafik yang loyal kepada Ahli Dzimmah.

فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ {52} وَيَقُولُ الَّذِينَ ءَامَنُوا هَاؤُلآَءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ {53}

“Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.  Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan:"Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasannya mereka benar-benar beserta kamu" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. 5:53).

          Orang-orang yang ahli telah mengetahui bahwa Ahli Dzimmah  dari kaum Yahudi, Kristen, dan kaum munafik menulis surat kepada penganut agama mereka dengan berita-berita kaum muslimin dan dengan apa yang mereka ketahui dari rahasia-rahasia mereka. Sehingga ditangkap sekelompok kaum muslimin di negeri Tatar dan ditawan, dan selain yang demikian itu karena informasi ahli zimmah kepada penganut agama mereka.

          Di antara bait-bait sya'ir yang terkenal adalah ucapan mereka:

          Setiap permusuhan bisa diharapkan kasih sayangnya

Kecuali permusuhan orang yang memusuhimu dalam agama.

          Dan karena sebab ini dan yang lainnya, mereka tidak boleh memegang pemerintahan kaum muslimin, atau kepentingan yang menguatkan mereka, atau mengutamakan mereka dalam keahlian dan amanah daripada kaum muslimin. Bahkan mempekerjakan orang yang lebih rendah dari mereka dalam kemampuan lebih bermanfaat bagi kaum muslimin dalam agama dan dunia mereka. Sedikit yang halal lebih diberkahi padanya, dan banyak yang haram menghilangkan dan Allah I menghapuskan berkahnya. Wallahu A'lam.

          Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan syarat-syarat 'Umariyah (yang dibuat Umar t) kepada ahli zimmah, yang kandungannya adalah: Bahwa mereka tidak boleh membangun  rumah ibadah agama lain, gereja, qilayah, dan tempat ibadah rahib di kota-kota muslim. Dan mereka juga tidak boleh merenovasi yang sudah runtuh).

          Dan ia berkata: Maka barang siapa yang keluar dari salah satu syarat-syarat ini, berarti telah halal untuk kaum muslimin dari mereka apa-apa yang halal dari para penentang dan pembangkang. Hendaklah pemerintah muslim mengajukan dengan meminta kepada pembesar Kristen, dan mewajibkan mereka dengan syarat-syarat Umariyah ini. semoga Allah I memuliakan para penolongnya. Amin.

          Dan hanya Allah I yang memberi taufik. Dia I yang mencukupkan kita dan sebaik-baik tempat berserah diri.



[1] Syaikh Islam rahimahullah wafat pagi hari Jum'at pada tanggal 26/11/1417 H. dalam usia lebih 77 tahun..

[2] Fatawa as-Subki juz 2/ hal. 372-373.

[3] Abu Ubaid meriwayatkannya dalam bab jizyah kepada ahli zimmah yang masuk Islam, atau ia meninggal dunia dan ia tetap di atasnya. Dari kitab (al-Amwaal) hal 47, ia berkata: Mush'ab bin al-Miqdam menceritakan kepada kami, dari Sufyan bin Sa'id, dari Qabus bin Abu Zhibyan, dari bapaknya, ia berkata, 'Rasulullah ﷺ‬ bersabda: "Tidak ada jizyah kepada seorang muslim."

[4]  Al-Baihaqi telah berkata dalam bab tawanan yang perjanjian atasnya  agar jangan lari, dari Sunan Kubra-nya, juz 9, hal 142, ia berkata: 'Abu Abdillah al-Hafizh telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Abul Abbas Muhammad bin Ya'qub telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Ishaq bin Idris telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, 'Hammam telah menceritakan kepada kami. dari Qatadah, dari al-Hasan, dari Samurah t, dari Nabi ﷺ‬, beliau bersabda,

لا تساكنوا المشركين ولا تجامعوهم. فمن ساكنهم أو جامعهم فليس منا

"Janganlah kamu tinggal bersama orang-orang musyrik, janganlah berkumpul bersama mereka. Maka barang siapa yang tinggal atau berkumpul bersama mereka, maka ia bukan dari golongan kami."

[5] Dari jalur Imam Ahmad yang ini, Ibnu al-Qayyim  mendatangkan hadits ini dalam (hukum ahli dzimmah) jilid 2 hal,573 dengan sanad dan matannya.

[6]  Kitab al-Amwaal, bab yang boleh bagi ahli dzimmah bahwa mereka membangun di negeri secara paksa hal.  94.

[7] Ibnu al-Qayyim menyebutkannya dalam kitab Ahkam Ahli Dzimmah juz 2, hal 673, dari jalur Ali bin Abdul Aziz ini dengan sanad dan matannya.

[8] Al-Hadizh Abdullah bin Zabr meriwayatkan dalam satu juz yang dikarangnya pada syarat-syarat ini, dari Abu al-Ahwash Muhammad bin al-Haitsam, dari Muhammad bin Ismail bin 'Ayyasy, dari bapaknya: "Sesungguhnya kitab ini dari 'Iyadh bin Ghunm untuk dzimmah Himsy (Alepo), kemudian ia berkata: (Dan pada riwayat Abdul Quddus bin al-Hajjaj, dari Ismail bin 'Ayyasy bahwa lebih dari satu orang telah menceritakan kepadanya:  Sesungguhnya Ahli Jazirah menulis kepada Abdurrahman bin 'Ghunm: Sesungguhnya kami tatkala engkau datang ke negeri kami, kami meminta jaminan keamanan kepadamu… dst. Ibnu Zabr berkata, ' Ini adalah kekeliruan, karena yang menaklukkan Jazirah dan melakukan perdamaian kepada penduduknya adalah 'Iyadh bin Ghunm, aku tidak mengetahui adanya perbedaan tentang hal itu. Maka menyebutkan nama Abdurrahman di tempat ini adalah kekeliruan. Dan Abu 'Ubaidah t adalah yang menaklukkan Hims (Aleppo) dan yang pertama-tama memerintah di sana adalah 'Iyadh bin Ghunm. Umar t mengangkatnya pada tahun 16 H. )  Semua ini dijelaskan oleh as-Subki dalam Fatwanya pada larangan merenovasi gereja-gereja juz 2 dari al-Fatawa hal 400.

[9]  Al-'Allamah Ibnu al-Qayyim menjelaskan dalam (Hukum-H0\ukum Ahli Zimmah) juz 2 hal 668-669  makna-makna lafazh yang terdapat dalam kitab ini: yaitu  gereja, biara-biara, qiyalah, dan tempat ibadah para rahib.

 Maka ia menyebutkan gereja  untuk penganut dua ahli kitab Yahudi dan Kristen. Dan ia berkata Adapun diyar (biara-biara),  hanya untuk umat Kristen saja, mereka membangunnya untuk para rahib (pendeta) di luar kota. Mereka (para pendeta) berkumpul di dalamnya untuk beribadah dan menyendiri dari manusia.

                Adapun qilayah:  Para pendeta membangunnya terangkat (tinggi) seperti menara. Dan perbedaan di antara qilayah dan diyar adalah bahwa diyar (biara-biara) mereka berkumpul di dalamnya dan qilayah tidak ada kecuali hanya untuk satu orang yang tidak ada pintu baginya, bahkan hanya ada lobang tempat mengambil makanan, minuman, dan apa yang dibutuhkannya. Adapun syauma'ah:  seperti qilayah,  tetapi hanya diperuntukan untuk satu pendeta saja.

                Al-Azhari berkata: shauma'ah dari bangunan dinamakan shauma'ah, karena kehalusan bagian atasnya. Dikatakan: shama'a ats-tsaridah, apabila diangkat kepalanya dan membatasinya. Dinamakan tsaridah apabila telah jadi, demikian pula shauma'ah. Dan dari ini dikatakan: laki-laki ashma'ul-qalbi, apabila ia memiliki kecerdasan. Di antara mereka ada yang membedakan di antara shauma'ah dan qilayah: bahwa qilayah terdapat di padang pasir dan shauma'ah adalah yang ada di pinggir jalan-jalan.

                Seperti ini Ibnu al-Qayyim menjelaskan lafazh-lafazh ini. Dan ia menyebutkan bahwa yang selain gereja, di antaranya ada yang seperti hukum gereja. Dan ia menambahkan hal itu: Sesungguhnya para ahli bahasa dan ahli tafsir berpendapat bahwa al-bai'ah adalah tempat ibadah umat Kristen, kecuali yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas t, ia berkata: al-biya' adalah tempat-tempat ibadah  kaum Yahudi.

[10]  As-Subki menyebutkan dalam fatwa-fatwanya dalam melarang merenovasi gereja-gereja juz, hal. 400: sesungguhnya riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam kitab (Yang harus dilakukan ahli dzimmah), dari Abdullah bin Ahmad, dari Abu Syurahbil al-Himshi Islam bin Khalid.

[11]  Hal. 663-664. Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat Al-Qur`an:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ {29}

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. At-Taubah: 29).

Ia berkata pada khabar (riwayat) yang meliputi syarat-syarat tersebut:  diriwayatkan oleh imam-imam huffazh, dari riwayat Abdurrahman bin Ghunm al-Asy'ari, ia berkata, 'Aku menulis kepada Umar t saat melakukan perdamaian kepada kaum Kristen dari penduduk Syam: dengan nama Allah I Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat untuk hamba Allah I, Umar, Amirul Mukminin) lalu ia menyebutkannya.

[12]  Di antara jalur Ibnu Abi Syaibah dengan sanadnya ini, as-Subki meriwayatkan dalam fatwanya dalam melarang merenovasi gereja atsar Ibnu Abbas t ini. Ia berkata juz 2 dari (al-Fatawa) hal. 391. Para ulama telah mengambil ucapan Ibnu Abbas t dan menjadikannya bersama ucapan Umar t, dan diamnya para sahabat lainnya secara ijma' (konsensus).

[13] Ibnu al-Qayyim menyebutkannya pada juz 2 dari (hukum-hukum ahli dzimmah) hal 674, dari jalur Imam Ahmad ini dengan sanad dan matannya.

[14]  Kitab al-Amwal hal 87, As-Subki mengambil dalam fatwa-fatwanya dalam larangan merenovasi gereja-gereja juz 2 dari (al-Fatawa) hal 377, mengambil dalil untuk melaksanakan perjanjian dengan syarat mereka, dengan riwayat yang disebutkan Abu Daud dalam Sunan-nya, dari Musharrif bin 'Amr al-Yaami, dari Yunus bin Bukair, dari Asbath nin Nashr, dari Ismail bin Abdurrahman as-Suddi al-Kabiir. Dan semuanya tsiqah, dari Ibnu Abbas t, bahwasanya Rasulullah ﷺ‬ berdamai dengan penduduk Najran atas dua ribu hullah, separo (1/2) pada bulan Shafar dan separo (1/2) pada bulan Rajab yang mereka bayar kepada kaum muslimin. Dan pinjaman tiga puluh baju besi, tiga puluh (30) kuda, dan tiga puluh (30) unta dari setiap jenis dari peralatan perang yang mereka berperang dengannya. Dan kaum muslimin memberikan jaminan baginya sampai mereka mengembalikannya kepada mereka, jika di Yaman ada tipu muslihat atau pelanggaran perjanjian, atas bahwa tidak diruntuh biara-biara mereka, pastor tidak keluar untuk mereka, dan mereka tidak melakukan kekacauan terhadap agama mereka selama mereka tidak menciptakan yang baru atau memakain riba.

 Ismail berkata: Sesungguhnya mereka telah memakan riba. Abu Daud berkata, ' Dan mereka melanggar sebagian yang disyaratkan kepada mereka. As-Subki berkata: Hadits ini dalam perdamaian  penduduk Najran adalah sangat baik (hasan).  Sebagai dasar  perdamaian, dan boleh mensyaratkan bagi mereka pada semisalnya tidak boleh meruntuh biara-biara mereka.

[15]  Abu 'Ubaid mengatakan dalam (kitab al-Amwal) di bahwa judul:  (Inilah surat perdamaian Khalid bin Walid t kepada penduduk Damaskud:  Muhammad bin Katsir telah menceritakan kepada kami. dari al-Auza`i, dari Ibnu Suraqah, sesungguhnya Khalid bin Walid t menulis kepada penduduk Damaskud:  Inilah surat Khalid bin Walid t kepada penduduk Damaskus. Sesungguhnya aku telah memberikan keamanan kepadamu atas darah-darah, harta-harta, dan gereja-gereja kalian). Abu Ubaid berkata: dan dia telah menyebutkan padanya ucapan yang aku tidak menghapalnya. Dan di akhirnya (disaksikan oleh Abu Ubaidah bin al-Jarrah t, Syarahbil bin Hasanah, Qudha`i bin 'Amir, dan ia menulisnya pada tahun 13 Hijriyah).

                Dan ucapan yang disebutkan oleh Abu Ubaid bahwa dia tidak menghapalnya adalah (bahwa tidak ditinggali dan tidak diruntuh). Hal itu jelas dalam (Tarikh Damaskus) karya Ibnu 'Asakir. Dan dari jalurnya, as-Subki menyebutkannya dalam fatwanya dalam melarang merenovasi gereja. Yaitu pada juz 2 dari (Fatawa as-Subki) hal 400 dan teksnya berbunyi: (dari Khalid bahwa dia menulis surat perdamaian kepada penduduk Damaskus: Sesungguhnya aku memberikan jaminan kepada mereka atas darah-darah, harta-harta, dan gereja mereka, bahwa tidak ditempati dan tidak diruntuh).

[16]  As-Subki menyandarkan atsar tersebut kepada Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang disebutkan dalam Fatawa-nya dalam hal melarang merenovasi gereja. Dan Abu 'Ubaid meriwayatkannya dalam bab 'Yang boleh bagi ahli dzimmah membangun (menciptakan) di wilayah yang ditaklukkan secara paksa dst. Ia berkata di halaman 95: dan Hafsh bin Ghiyats telah menceritakan kepada kami. Dari Ubay bin Abdullah. Ia berkata, 'Telah datang kepada kami surat  Umar bin Abdul Aziz (Janganlah kamu menghancurkan gereja-gereja, biara-biara, rumah api,  dan janganlah kamu membangun gereja-gereja, biara-biara,  rumah api. Dan janganlah kamu menajamkan pisau/golok di hadapan binatang, dan janganlah kamu menjama' (menggabungkan) di antara dua shalat kecuali karena uzur).

[17]  Di antara yang memperkuat bahwa hal itu sebagai syarat (catatan) yang tidak terlepas darinya adalah yang terdapat dalam riwayat Abdurrazzaq dalam  Mushannaf-nya juz 6 hal 61, dari Ma'mar, dari 'Amr bin Maimun,  bahwa ia berkata, 'Umar bin Abdul Aziz bermusyawarah kepadaku dalam menghancurkan gereja-gereja mereka –maksudnya kaum Kristen Syam- aku berkata: Jangan dihancurkan, ini termasuk yang mereka melakukan perdamaian atasnya.' Lalu Umar membiarkannya).

                Demikian pula yang diriwayatkan Abu 'Ubaid dalam bab 'Yang melakukan perdamaian meninggalkan perkara-perkara mereka di masa lalu sebelum hal itu' dari (Kitab al-Amwal) hal 152, ia berkata: (Nu'aim bin Hammad menceritakan kepada kami, dari Dhamurah bin Rabi'ah, dari Raja` bin Abi Salamah, ia berkata, 'Hassan bin Malik mengajukan perkara penduduk Damaskus kepada Umar bin Abdul Aziz dalam persoalan gereja. Dan fulan (seseorang) menyebutkan seorang gubernur mengalokasikannya kepadanya. Umar berkata, 'Jika termasuk  15 (lima belas) gereja yang terdapat dalam perjanjian mereka, maka kamu tidak punya jalan atas mereka.'  Dan Dhamrah berkata, dari Ali bin Abi Hamlah, ia berkata, 'Non muslim penduduk Damaskus mengajukan perkara kami kepada Umar bin Abdul Aziz dalam perkara gereja yang fulan telah mengalokasikannya kepada bani Nashr di Damaskus. Maka Umar bin Abdul Aziz mengusir kami darinya dan mengembalikannya kepada kaum Kristen. Maka tatkala Yazid bin Abdul Malik memerintah, ia mengembalikannya kepada bani Nashr dan mengusir kaum Kristen darinya).

[18] Kitab Al-Amwal  hal 95.

[19] Fatawa As-Subki juz 2 hal. 375.

[20]  Tidak boleh membangun gereja di tempat seperti itu, (pentj.).

[21] Ahkam Ahli Dzimmah  karya Ibnu al-Qayyim, juz 2, hal. 696.

[22] Ahkam Ahli Dzimmah juz 2, hal. 694.

[23]  Kelengkapannya: bangsa ajam (non muslim) tidak boleh membangun padanya, tidak boleh meniup terompet padanya, tidak boleh meminum arak, tidak boleh membuat babi padanya. Kota apapun yang dibangun bangsa ajam, lalu Allah I membukanya untuk kaum muslimin, lalu mereka menyerah padanya. Maka sesungguhnya bagi non muslim apa yang ada dalam perjanjian mereka, dan kaum muslimin harus melaksanakan syarat perjanjian yang mereka minta, dan tidak membebani mereka di luar kemampuan mereka). Dan dari jalur Imam Ahmad dengan sanad dan matannya, Ibnu al-Qayyim menyebutkannya dalam (Ahkam Ahli Dzimmah) juz 2, hal 674.

[24]  Di antara yang ada dalam bab ini: yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, di mana ia berkata,  'Abdul A'la menceritakan kepada kami. Dari 'Auf, ia berkata, 'Aku menyaksikan Abdullah bin Ubaidillah bin Ma'mar didatangkan dengan seorang majusi yang membangun rumah penyembahan api di Bashrah, lalu ia memotong lehernya.'  As-Subki berkata dalam Fatwa-nya dalam melarang merenovasi gereja-gereja juz 2, hal 397: 'Alasan hal ini adalah: bahwa kota Bashrah adalah kota mati, lalu kaum muslimin menghidupkannya, membangun dan menempatinya. Maka tidak boleh membangun gereja dan rumah penyembahan api padanya. Maka tatkala orang majusi ini membangun rumah penyembahan api padanya, berarti ia melanggar perjanjiannya, lalu lehernya dipotong karena sebab itu.

[25]  Di antara para ulama yang melakukan riset dalam hal itu dan  baik dalam risetnya adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam kitab Al-Amwal hal. 140-142.

[26]  Risalah ini telah dicetak dalam kumpulan Majmu'ah rasa'il wa al-Masa`il karya Syaikhul Islam yang mencetak risalah 'arsyiyah di permulaannya.