Tata Cara Qunut dan Kadarnya
Klasifikasi
- Doa << Amalan Utama
Full Description
Tata Cara Qunut dan Kadarnya
]Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
DR. Muhammad bin Fahd al-Furaih
Dinukil dari Buku Masalah-Masalah Shalat Malam
(hal. 62-65)
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2012 - 1434
صفة القنوت ومقداره
« باللغة الإندونيسية »
د.محمد بن فهد بن عبدالعزيز الفريح
مقتبسة من كتاب مسائل قيام الليل : (ص: 62-65)
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2012 - 1434
Tata Cara Qunut dan Kadarnya
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ تَضَرُّعٗا وَخُفۡيَةًۚ ﴾ ( سورة الأعراف :55)
Berdo'alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. (QS. al-A’raf:55)
Qunut adalah meminta dikabulkan hajat, sama saja kebutuhan agama atau dunia. Ia adalah doa dan istighfar. Tidak ada batasan padanya. Namun yang paling utama bagi yang berdoa agar mencari doa-doa dari al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.[1]
Ats-Tsauri rahimahullah berkata: ‘Tidak ada sesuatu yang ditentukan padanya.’[2]
An-Nakha’i rahimahullah berkata: ‘Tidak ada dalam qunut Witir sesuatu yang ditentukan, sesungguhnya ia adalah doa dan istighfar. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Tidak mengapa seseorang berdoa dalam shalat Witir untuk hajatnya.’[3] Dan ia rahimahullah berkata: ‘Semua yang ada hadits padanya tidak mengapa (berdoa) dengannya.’[4]
An-Nawawi rahimahullah berkata: ‘al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah meriwayatkan kesepakatan mereka (para ulama) bahwa tidak ada doa tertentu dalam qunut kecuali yang diriwayatkan dari sebagian ulama hadits...’[5]
Al-Qurthubi rahimahullah berkata: ‘Mereka sepakat bahwa tidak ada doa tertentu dalam qunut kecuali yang diriwayatkan dari sebagian ahli hadits.’[6]
Adapun kadarnya: maka tidak batasan tertentu yang membuat imam berhenti padanya, akan tetapi catatannya adalah tidak memberatkan manusia, ukurannya adalah seperti shalat dalam perkara tidak memanjangkan terhadap manusia, namun yang dianjurkan adalah meringankan, karena mengamalkan pengarahan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam perintah beliau untuk meringankan.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Saya tidak mengetahui adanya perbedaan di antara ulama dalam sunnah/anjuran meringankan bagi setiap orang yang mengimami jama’ah dengan catatan melakukan sekurang-kurang cukup. Shalat fardhu dan sunnah menurut mereka semua adalah sama dalam anjuran meringankan pada shalat yang dilakukan secara berjamaah kecuali riwayat yang datang pada shalat kusuf (gerhana).[7]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: ‘Diperselisihkan ucapan imam Ahmad rahimahullah pada kadar berdiri dalam qunut:
Darinya: sekadar membaca surah al-Insyiqaaq atau semisal yang demikian itu.
Abu Daud rahimahullah meriwayatkan: Aku mendengar Ahmad rahimahullah ditanya tentang ucapan ibrahim rahimahullah: ‘Qunut adalah sekadar surah al-Insyiqaq.’ Ia berkata: ‘Ini sedikit, saya lebih senang ia menambah.’
Darinya: seperti qunut Umar radhiyallahu ‘anhu.
Dan darinya: sesuai kehendaknya.[8]
Peringatan: Sebagian mereka menganggap memanjangkan qunut termasuk perkara bid’ah. Pendapat ini perlu ditinjau kembali, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berdoa dengan jawami’ul kalim (kalimat singkat, makna padat) dan mendorong atasnya, tidak berarti beliau tidak memanjangkan.[9] Kemudian saya tidak menemukan sesuatu yang menunjukkan bahwa ia termasuk bid’ah. Bahkan doa adalah ibadah, maka apabila tidak memberatkan terhadap makmum atau mereka ingin yang panjang maka imam boleh memanjangkan. Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Terkadang seseorang bersemangat, maka yang utama baginya adalah memanjangkan ibadah, dan terkadang tidak bersemangat maka yang utama baginya adalah memendakkannya.’[10] Dan diriwayatkan dari salafus shalih memanjangkan qunut dan mereka mengukurnya sekitar seratus ayat.[11] Di dalam doa mengandung menghinakan diri, kembali dan mengharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak ada pada yang lain, dan cukuplah bahwa doa adalah ibadah, maka bagaimana dikatakan bagi orang yang memanjangkan ibadah bahwa ia melakukan bid’ah.
Dua faedah:
Faedah pertama: dianjurkan baginya memulai doanya dengan memuji kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan seperti ini pula menutup doanya dengan keduanya.
An-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Para ulama ijma’ (konsensus) sunat memulai doa dengan pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya, kemudian shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Dan demikian pula menutup doa dengan keduanya, dan atsar-atsar dalam bab ini sangat banyak lagi sudah dikenal.[12]
Faedah kedua: Samahah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang imam membaca doa dari kertas? Beliau menjawab: ‘ Tidak ada larangan seseorang membaca doa dari kertas apabila ia tidak hapal.’[13]
[1] Bahkan diriwayatkan dari imam Ahmad rahimahullah bahwa ia mencukupkan berdoa dalam shalat terhadap doa-doa yang disyari’atkan lagi diriwayatkan. Lihat Majmu’ Fatawa 22/474.
[2] Mukhtashar Qiyamul Lail hal 325.
[3] Bada’iul Fawaid 4/325.
[4] Masa`il Abu Daud hal 101 no. 483.
[5] Al-Majmu’3/331.
[6] Al-Mufhim 6/89 dan mengutip darinya pengarang Tharhi at-Tatsrib 2/259.
[7] At-Tamhid 19/9
[8] Bada’iul Fawaid 4/1502.
[9] Aku telah mendapatkan doa-doa shahih yang diriwayatkan dari Nabi saw dan para sahabatnya dan doa-doa dari al-Qur`an. Ia termasuk jawami’ul kalim, jika seseorang berdoa dengan sebagian besar niscaya lebih dari seperempat jam. Apakah untuk ini dikatakan bid’ah!! Dan seperti telah dijelaskan bahwa catatannya adalah tidak memberatkan jama’ah dan siapa yang shalat sendirian hendaklah ia memanjang sesuai kehendaknya. Disebutkan dalam Masa’il Abu Daud hal 92: Imam mengangkat kedua tangannya dalam shalat dan jama’ah mengangkat tangan, dan imam Ahmad rahimahullah bersama kami, ia berdiri berdoa satu jam kemudian ruku’, dan hal itu berdasarkan pendapat Abu Abdullah menurut berita yang sampai kepadaku bahwa ia menyuruh hal itu.
[10] Al-Fatawa 22/273.
[11] Mukhtashar Qiyamul Lail hal 324.
[12] Al-Adzkar hal 94.
[13] Al-Fatawa 26/137 dan 30/31.