Membuka Wajah Di Hadapan Laki-Laki Buta
Klasifikasi
Full Description
Membuka Wajah Di Hadapan
Laki-Laki Buta
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Dinukil dari Buku Kumpulan Fatwa Untuk Wanita Muslimah
(hal. 824)
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2012 - 1433
﴿ كشف المرأة وجهها عند الكفيف ﴾
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ عبد العزيز بن باز
مقتبسة من كتاب فتاوى الجامعة للمرأة المسلمة : (ص: 824)
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2012 - 1433
Membuka Wajah Di Hadapan
Laki-Laki Buta
Yang Mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Bolehkah wanita membuka wajahnya di saat adanya laki-laki buta yang bukan mahramnya?
Jawaban: Tidak mengapa wanita membuka wajahnya di hadapan laki-laki yang tidak melihat, berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya, dari Fathimah binti Qais rad, bahwa Nabi saw bersabda kepadanya saat ia dicerai:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَي تَضَعِيْنَ ثِيَابَكِ فَلاَ يَرَاكِ )) ( رواه مسلم )
“Beriddahlah engkau di (rumah) Ibnu Ummi Maktum, krena ia adalah seorang laki-laki buta, engkau melepaskan pakaianmu maka ia tidak melihatmu.” (HR. Muslim)
Dan dalam Shahihain, dari hadits Sahl bin Sa’ad rad, bahwa Nabi saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إنَّمَا جُعِلَ اْلاِسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ)) (متفق عليه)
“Sesungguhnya dijadikan (diperintahkan) meminta izin karena penglihatan.” (Muttafaq 'alaih)
Adapun hadits Nabhan, dari Ummu Salamah, bahwa Ibnu Ummi Maktum rad berkunjung kepada Nabi saw dan di sisi beliau ada Ummu Salamah dan Maimunah, maka Nabi saw menyuruh mereka berhijab darinya, keduanya berkata: ‘Sesungguhnya dia seorang laki-laki yang buta, tidak bisa melihat kami.’ Nabi saw bersabda: “Apakah kamu berdua buta, bukankah kamu melihatnya?’ maka ia adalah hadits dha’if karena syadz dan menyalahi hadits-hadits shahih, -sekalipun dihasankan oleh at-Tirmidzi-, dan dishahihkan oleh kaidah yang ditetapkan para ulama ushul dan mushthalah hadits bahwa apabila hadits shahih secara sanad namun menyalahi yang lebih shahih darinya, maka ia dipandang sebagai syadz. Maka hadits Nabhan ini adalah syadz tidak diamalkan dengannya, karena di antara syarat hadits shahih bahwa ia tidak syadz, maka hadits Nabhan ini adalah syadz andaikan sanadnya shahih. Hadits ini juga memiliki ‘illat (cacat) yang lain yang mengharuskan lemahnya, yaitu: bahwa Nabhan yang disebutkan tidak dipandang tsiqah oleh para ulama yang bisa dipegang pendapatnya, dan ia sedikit riwayat maka tidak bisa dijadikan pegangan dalam semisal hadits ini. Sebagian ulama membawakan hadits ini bahwa ia khusus bagi para ummul mukminin bukan selain mereka. Pendapat ini tidak ada alasannya karena kekhusukan memerlukan dalil, dan kita tidak mempunyai dalil terhadap pengkhususan.[1]
[1] Kitab Fatawa ad-Dakwah karya Syaikh Bin Baz 2/222.