×
Berisi uraian tentang perperangan antara manusia dan syetan dalam shalat, penerimaan amal dan balasannya berdasarkan kemampuan manusia dalam menguasai hatinya, pengelompokan manusia dalam melaksanakan shalat, dan jenis-jenis hati manusia.

    Menghadirkan Hati Ketika Shalat

    ﴿ حضور القلب في الصلاة ﴾

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Penyusun : Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

    Terjemah : Abu Mushlih Muhammad Thalib MZ

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2009 - 1430

    ﴿ حضور القلب في الصلاة ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    تأليف : ابن القيم الجوزية

    ترجمة: أبومصلح محمد طالب محمد زين

    مراجعة: إيكو هاريانتو أبو زياد

    2009 – 1430

    Menghadirkan Hati Dalam Shalat

    Ibnul Qayyim – rahimahullah – menguraikan wasiat Nabi Yahya bin Zakariya – ‘alaihimassalam – yang berbunyi :

    وآمركم بالصلاة، فإذا صليتم، فلا تلتفتوا فإن الله ينصب وجهه لوجه عبده في صلاته ما لم يلتفت , رواه البخاري

    Artinya:

    “Dan aku memerintahkan kamu untuk shalat, jika kamu shalat maka janganlah kamu berpaling (menoleh) karena sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kewajah hamba tersebut dalam shalat selama dia tidak berpaling”. HR. Bukhari.

    Beliau (Ibnul Qayyim) berkata : Berpaling ( iltifat ) yang dilarang dalam shalat ada dua macam :

    Pertama : Berpalingnya hati dari Allah - azza wa jalla – kepada selain-Nya.

    Kedua : Berpalingnya pandangan mata.

    Kedua-duanya dilarang dalam shalat. Allah senantiasa menghadap ke hamba-Nya selama hamba tersebut menghadap kepada-Nya, maka tatkala dia berpaling dengan hati ataupun pandangannya, maka Allah pun akan berpaling darinya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang iltifat (berpaling)nya seorang laki-laki dalam shalat, maka beliau bersabda :

    اختلاس يختلسه الشيطان من صلاة العبد . رواه البخاري

    Artinya :

    ( iltifat ) merupakan pencurian yang dilakukan oleh syetan dalam shalat seseorang. ( HR. Bukhari ).

    Dalam sebuah atsar disebutkan, Allah Subhanahu wata’ala berfirman (dalam hadits qudsi) : (apakah kamu berpaling) kepada yang lebih baik dari-Ku... ? kepada yang lebih baik dari-Ku?.

    Perumpamaan orang yang berpaling (iltifat) dalam shalatnya dengan pandangan ataupun hati sama seperti orang yang dipanggil oleh penguasa, kemudian dia berdiri di hadapan penguasa tersebut dan berbicara dengannya, ketika sedang berbicara orang tersebut menoleh (berpaling) ke kiri dan ke kanan, hatinya tidak sedang bersama penguasa tersebut sehingga dia tidak paham apa yang dibicarakan. Kira-kira tindakan apa yang akan dilakukan oleh penguasa tersebut menghadapi laki-laki ini?. Paling tidak penguasa tadi akan pergi meniggalkannya dalam keadaan marah, dan harga diri laki-laki tadi menjadi hilang di hadapan penguasa tersebut.

    Tidaklah sama nilainya orang yang shalat seperti itu dengan orang yang shalat dengan hati yang hadir (khusu’) menghadap Allah Subhanahu wata’ala, hatinya diselimuti dengan pengagungan kepada Allah ketika dia berdiri di hadapan-Nya, hatinya dipenuhi dengan rasa sungkan dan tunduk kepada Allah, dia malu kepada Allah ketika berpaling kepada selain-Nya. Sungguh sangat jauh perbedaan diantara shalat kedua orang tersebut sebagaimana dikatakan oleh Hassan bin ‘Athiyah.[1])

    Beliau ( Hassan bin ‘Athiyah ) mengatakan : Dua orang laki-laki bisa saja sama-sama melakukan shalat, tetapi nilai keduanya sangat jauh berbeda sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi, ini disebabkan karena salah seorang diantara mereka shalat dengan hati yang khusu’ menghadap Allah ‘Azza wa Jalla, sementara hati yang satunya lagi lupa dan lalai. Seseorang apabila menghadap makhluk lain dan diantara mereka ada hijab ( penghalang ) maka itu tidaklah dinamakan menghadapnya, dan juga tidak dikatakan mendekatinya, apalagi kalau itu dilakukan pada Pencipta ( Allah ) ‘Azza wa Jalla. Apabila seseorang menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla sementara antara dia dan Allah terdapat penghalang berupa hawa nafsu dan was-was (godaan), jiwanya sibuk dan penuh dengan hawa nafsu dan was-was tersebut, bagaimana mungkin itu dikatakan menghadap ( Allah ) padahal dia dipermainkan oleh godaan dan bermacam fikiran yang membawanya kesana kemari.

    Seorang hamba apabila sudah berdiri untuk shalat, maka syetan akan gelisah karena dia berdiri di tempat yang paling mulia dan paling dekat ( kepada Allah ) yang sangat tidak disukai syetan. Makanya syetan berusaha semaksimal mungkin untuk menghalanginya, dia senantiasa menggoda hamba tersebut, membuatnya berangan-angan, dan lupa. Syetan akan berusaha mengerahkan semua kemampuan yang dimilikinya untuk menjadikan hamba tadi menganggap enteng shalat tersebut, sehingga akhirnya dia meninggalkannya.

    Kalau dia ( syetan tersebut ) gagal dalam usahanya, maka dia akan berusaha menjadi penghalang bagi hamba tersebut dalam shalat, menjadi penghalang dalam hatinya, dia mengingatkan hamba tersebut dalam shalat dengan berbagai macam persoalan yang terlupakan sebelum shalat. Bisa jadi hamba tadi lupa sesuatu hal, atau lupa sesuatu yang sangat penting yang membuat dia telah putus asa, maka syetan datang mengingatkannya ketika dia sedang shalat, sehingga hatinya menjadi sibuk, tidak lagi menghadap Allah, maka diapun ( hamba tadi ) berdiri di hadapan Allah tidak dengan hatinya. Dia tidak akan mendapatkan kemuliaan dan kedekatan dari Allah sebagaimana yang didapatkan oleh orang yang melakukan shalat dengan sepenuh hati. Shalat bisa menghapuskan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan kalau dikerjakan dengan sempurna, khusu’ dan berdiri di hadapan Allah dengan sepenuh hati.

    Ketika seseorang sudah bisa menghindari godaan syetan tadi, maka dia akan merasakan keringanan dalam dirinya, seolah-oleh dia telah meletakkan beban berat yang dipikulnya, dia akan merasakan semangat dan ketenangan sehingga dia berharap untuk tidak selesai dari shalat tersebut, karena shalat itu sudah menjadi harapannya, kenikmatan jiwanya, sorga hatinya dan tempat peristirahatannya dari kesibukan dunia. Dia akan merasakan dirinya dalam penjara dan kesempitan sehingga dia melaksanakan shalat, dia menjadi tentram dengan shalat tersebut. Orang-orang yang cinta dengan shalat akan mengatakan : mari kita shalat sehingga kita bisa merasakan ketentraman dengan shalat tersebut, sebagaimana dikatakan oleh panutan dan Nabi mereka :

    يا بلال أرحنا بالصلاة

    “wahai Bilal, tentramkanlah kami dengan Shalat ”. (HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Bani ).

    Dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidak mengatakan : Tentramkan kami dengan menjauhkan shalat tersebut dari kami.

    Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

    جُعلت قرة عيني في الصلاة

    “ Ketentramanku diciptakan dalam shalat ” . (HR. Ahmad dan disahihkan oleh al-Bani)

    Kalau ketentraman itu diciptakan di dalam shalat, bagaimana mungkin dia bisa tentram tanpa shalat tersebut ? Bagaimana mungkin dia sanggup meninggalkannya?. Shalat orang yang menghadirkan hatinya inilah yang akan naik ( menuju Allah ), shalat itulah yang punya cahaya dan bukti, sehingga diterima oleh Allah ‘azza wa jalla. Shalat itu akan bicara : Allah akan menjagamu sebagaimana kamu menjagaku.

    Adapun shalat orang yang lalai, tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya dan tidak khusu’ di dalamnya, maka shalat itu akan dilipat sebagaimana dilipatnya kain yang sudah lusuh dan dipukulkan kepada orang tersebut, kemudian dia berkata : Allah akan menyia-nyiakanmu sebagaimana kamu menyia-nyiakanku.

    Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar – radiyallahu ‘anhuma – berkata : Tidaklah seorang mukmin menyempurnakan wudhu’nya kemudian dia melaksanakan shalat pada waktunya, dia laksanakan dengan ikhlas kepada Allah, tanpa ada kekurangan pada waktunya, rukuknya, sujudnya dan sunnah-sunnahnya melainkan dia akan mendapatkan cahanya antara barat dan timur sampai akhirnya berakhir di sisi Allah ‘azza wajalla. Dan siapa saja yang melaksanakan shalat, dia tidak menyempurnakan wudhu’nya, mengakhirkan waktunya, tidak menyempurnakan rukuk, sujud dan sunnah-sunnahnya maka diangkatkan darinya benda hitam gelap dan langsung mengatakan kepadanya : Allah akan menyia-nyiakanmu sebagaimana kamu menyia-nyiakanku... Allah akan menyia-nyiakanmu sebagaimana kamu menyia-nyiakanku... (Haditsnya Lemah/Dha’if ).

    Shalat dan amalan yang maqbul (yang akan diterima Allah) adalah apabila dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kebesaran Allah ‘Azza wajalla, kalau shalat tersebut dilakukan dengan benar dan pantas maka pasti akan diterima.

    Amalan yang Maqbul (diterima di sisi Allah) ada dua macam :

    Pertama : Shalat dan amalan lainnya yang dilakukan seorang hamba dengan sepenuh hati kepada Allah ‘azza wajalla, ia senantiasa ingat (zikir) kepada Allah ‘azza wajalla. Maka amalan ini akan dibawa kehadapan Allah, diletakkan di depan-NYa, kemudian Allah memandang amalan tersebut, kalau Allah melihat amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas mengharapkan ridha-Nya, timbul dari hati yang selamat (bersih), ikhlas dan cinta serta bertaqarrub kepada-Nya, maka Allah akan mencintai amalan tersebut, meridhainya dan menerimanya.

    Kedua : amalan yang dilakukan karena sekedar kebiasaan dan dilakukan dengan lalai, meskipun niatnya untuk ketaatan dan taqarrub kepada Allah, anggota tubuhnya melakukan gerakan-gerakan ketaatan, tetapi hatinya lalai dari mengingat Allah. Ketika amalan tersebut diangkat menghadap Allah, dia tidak diletakkan di hadapan-Nya, dan Allah tidak memperhatikannya, tapi amalan tersebut langsung di letakkan di tempat catatan amal, sehingga nanti ditampilkan pada hari kiamat. Allah akan memberikan balasan sesuai dengan bagian yang dikerjakan karena mengharapkan ridha-Nya, sementara yang dikerjakan bukan karena mengharapkan ridha-Nya akan ditolak. Itulah bentuk penerimaan-Nya terhadap amalan ini. Balasan yang akan diberikan untuk amalan seperti ini adalah berupa ciptaan-Nya seperti istana (di sorga), makanan, minuman dan bidadari.

    Adapun balasan untuk yang pertama tadi maka Allah ridha dengan amalan tersebut, ridha dengan cara hamba tersebut melakukannya, ridha dengan taqarrub yang dilakukannya, Allah akan meninggikan derajat dan tempatnya, yang diberikan tanpa dihitung lagi. Jadi ada perbedaan antara amalan pertama dan kedua.

    Manusia dalam melaksanakan shalat dikelompokkan menjadi lima tingkatan:

    Pertama : tingkatan orang-orang yang zhalim terhadap dirinya, yaitu orang-orang yang tidak menyempurnakan wudhu’nya, waktunya, batasan-batasannya dan rukun-rukunnya.

    Kedua : orang yang menjaga waktu shalatnya, batasan-batasannya, rukun-rukunnya dan wudhu’nya, tetapi dia tidak berusaha melepaskan dirinya dari godaan, sehingga dia hanyut dalam godaan dan berbagai macam fikiran yang timbul.

    Ketiga : orang yang menjaga batasan-batasan shalat, rukun-rukunnya dan berusaha untuk melawan godaan dan pemikiran yang muncul, akhirnya dia larut dalam usaha melawan syetan supaya tidak mencuri shalatnya, maka berarti dia berada dalam shalat dan jihad.

    Keempat : orang yang melaksanakan shalat dengan menyempurnakan hak-haknya, rukun dan batasan-batasannya, hatinya larut menjaga batasan-batasan dan hak-hak shalat tersebut sehingga tidak ada yang luput, semua perhatiannya tercurah untuk mendirikan dan menyempurnakan shalat sebagaimana mestinya , berarti hatinya larut dalam shalat dan beribadah kepada Allah tabaaraka wata’ala.

    Kelima : orang yang melaksanakan shalat seperti tingkatan ke empat tadi, ditambah lagi dia meletakkan hatinya sepenuhnya di hadapan Allah ‘azza wajalla, dia melihat kepada Allah dengan hatinya dan mengawasi-Nya, hatinya dipenuhi dengan rasa cinta dan pengagungan kepada Allah, seolah-olah dia melihat dan menyaksikan-Nya. Godaan-godaan sudah hilang darinya, sudah tidak ada lagi godaan yang jadi penghalang antara dia dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini dibanding dengan yang lainnya jelas lebih utama sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi, karena dia dalam shalatnya sibuk dengan Tuhannya ‘azza wajalla, dia tentram bersama-Nya.

    Orang-orang di tingkat pertama akan mendapat ‘iqab, yang kedua akan dihisab, yang ketiga (shalatnya) jadi penghapus dosa-dosanya, yang ke empat mendapatkan balasan dan yang kelima menjadi orang yang akan di dekatkan kepada Allah, karena dia menjadikan ketentraman bersama Allah dalam shalatnya. Siapa saja yang tentram hatinya dengan shalat di dunia ini, maka dia akan tentram juga di akhirat karena dekat dengan Allah. Orang yang tentram hatinya bersama Allah di dunia, maka hati-hati yang lainpun akan merasa tentram karenanya, sedangkan orang yang tidak tentram hatinya bersama Allah maka jiwanya akan terpecah belah mengikuti dunia dengan penuh kerugian.

    Diriwayatkan bahwa seorang hamba tatkala berdiri untuk melaksanakan shalat maka Allah ‘azza wajalla berfirman : angkat hijab ( pembatas ) antara Aku dengan hamba-Ku, namun tatkala ia berpaling maka Allah berfirman: turunkan hijab ( kembali ). Berpaling (iltifat) di sini ditafsirkan dengan berpalingnya hati orang tersebut dari Allah ‘azza wajalla kepada selain-Nya, maka ketika dia berpaling kepada selain-Nya diturunkanlah hijab antara Dia dan hamba-Nya, ketika itulah syaitan datang dengan urusan dunia, dia memperlihatkan kepada orang tersebut godaan dunia di cermin (sehingga kelihatan nyata). Jadi ketika seorang hamba menghadap Allah dengan hatinya dan dia tidak berpaling, maka syetan tidak sanggup menghalangi antara hati tersebut dan Allah, syetan hanya akan masuk ketika ada hijab. Ketika hamba tersebut kembali kepada Allah dan menghadirkan hatinya maka syetan akan lari, jika dia berpaling lagi (dari Allah) maka syetan akan datang. Demikian seterusnya antara hamba dan syetan selama dalam shalat.

    Manusia hanya akan sanggup untuk menghadirkan hatinya dalam shalat dan menyibukkan hati tersebut dalam shalat bersama dengan Tuhannya ketika dia bisa menguasai syahwat dan hawa nafsunya, kalau tidak maka hatinya akan dikuasai oleh syahwat dan dipenjara oleh nafsu, ketika itulah syetan mendapatkan tempat untuk duduk dengan nyaman di dalamnya sehingga dengan mudah dia menggoda dengan was-was dan berbagai macam fikiran ( dunia ).

    Hati manusia ada tiga macam :

    Pertama : hati yang kosong dari keimanan dan kebaikan, ini adalah hati yang sudah hitam penuh dengan kegelapan, syetan dengan tenang bisa menggodanya, karena dia telah mendapatkan tempat yang nyaman untuk rumah tempat tinggalnya, sehingga dia bisa berbuat sekehendaknya dengan sangat leluasa.

    Kedua : hati yang mendapat cahaya keimanan dan menyalakan lampu didalamnya, tapi masih ada bekas-bekas kegelapan syahwat dan gelombang hawa nafsu di dalamnya, maka di sini syetan mondar-mandir tergantung situasi, di sinilah terjadi perang antara hati dan syetan. Kondisinya berbeda antara seorang hamba dengan yang lainnya tergantung porsi kegelapan tersebut, ada orang yang waktu kemenangannya lebih banyak dibanding kekalahannya, dan sebaliknya ada juga orang yang waktu kekalahannya lebih banyak dibanding waktu kemenangannya, dan ada juga yang seimbang.

    Ketiga : hati yang sudah dipenuhi dengan keimanan, diterangi dengan cahayanya, tirai syahwat telah menjauh dari dirinya, kegelapan sudah pergi meninggalkannya, cahaya di dalam hatinya bersinar cemerlang, sehingga ketika ada godaan syahwat yang datang maka dia (godaan tersebut) akan langsung terbakar, dia ibaratkan langit yang dijaga dengan bintang-bintang, ketika ada syetan yang mendekat akan langsung dilemparnya hingga terbakar.

    Semoga Shalawat dan Salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

    [1] ( Ibnu Hibban menyebutkan dalam Masyahir Atba’it tabi’in bisy syam bahwa Hassan bin ‘Athiyah termasuk ulama yang paling mulia di zamannya, dari segi keterpercayaannya (ke tsiqahannya ), keprofesionalannya, keutamaan dan kebaikannya. Lihat kitab Masyahir Ulama al-amshar nomor 1433. Atsar ini diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Mubarak dalam kitab Az-Zuhdu wa ar-Raqaaiq