Sejarah Syi’ah di Indonesia
Klasifikasi
Full Description
Sejarah Syi’ah di Indonesia
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Kusnandar Putra
Editor : Tim islamhouse.com Divisi Indonesia
2014 - 1435
مقتطفات من سيرة تاريخ الشيعة
في اندونيسيا
« باللغة الإندونيسية »
كوسناندار بوترا
مراجعة: الفريق الإندونيسي بوقع دار الإسلام
2014 - 1435
Sejarah Syi’ah di Indonesia
Menilik sejarah Syi’ah di Indonesia, memiliki alur yang sangat abu-abu. Pasalnya banyak sekali klaim-klaim sejarah yang dimotori oleh Syi’ah, disajikan dalam bentuk sangat menarik, tetapi faktanya bersembunyi dibalik topeng wajah buruknya. Sampai hari ini, ada beberapa pihak menyimpulkan bahwa Syi’ah datang pada abad 12 Masehi yang dibawa oleh bangsa Persia, ada juga klaim bahwa itu dari bangsa Arab secara langsug. Tapi, semua pelik di atas akan kembali pada 1 muara, bahwa Syi’ah datang ke Indonesia dibawa langsung oleh Syi’ah. Bukan para Sufi, maupun saudagar. Tapi, hal ini kemudian dianulis dengan literasi taqiyyah versyi Syi’ah, mereka mengevaluasi bahwa Syi’ah dibawa oleh orang-orang bermadzhab Syafi’i. Mereka ingin memberikan pengaburan di tubuh kaum muslimin, agar Syi’ah ini, bisa masuk dengan plong bersama masyarakat Islam. Demi misi yang sangat berbahaya.
Ketahuilah, sesungguhnya Syi’ah masuk ke Indonesia dengan beberapa periode. Mari kita simak:
- Periode Pertama
Yaitu, sebelum berdirinya revolusi Iran, pada tahun 1979. Pada dekade ini, sangat sulit menyisir orang-orang Syi’ah yang datang ke Indonesia. Hal ini dimotori oleh aqidah taqiyyah oleh mereka. Sehingga, bisa menyusup menyusuri, memasuki, dan mengaburkan aqidah kaum muslimin.
Alih-alih berdakwah secara terang-terangan di masa ini, ternyata lebih diotoritaskan pada peta keluarga terdekat mereka. Hal inilah yang paling dasar didistribusi oleh kaum Syi’ah. Memasuki keluarga terdekatnya. Salah seorang tokoh Syi’ah Lebanon, Muhamamd Jawad Mughniyyah, mengatakan, “Para pemeluk agama Syiah di Indonesia pada tahun dekade ini sebesar 1 juta orang.”
Perlu juga dicatat, bahwa sebelum tahun 1979, beberapa orang Indonesia sudah ada belajar di Qum, Iran. Inilah menjadi cekaman tersendiri bagi kaum muslimin. Tempat ini merupakan wadah, atau lebih praktisnya sebagai madrasah Syi’ah yang paling terbesar ke-4 di dunia, setelah Najaf di Irak, Karbala di Irak, dan Mashad di Iran sendiri. Para mahasiswa Indonesia pun belajar dengan ulama Syi’ah dengan bantuan beasiswa (baca: zakat dan khumus).
Kemudian, pada tahun 1976 sesungguhnya di Indonesia telah ada berdiiri Yayasan YAPI (Yayasan Pesantren Islam di Bangil) yang didirikan oleh Husein al-Habsyi. Pesantren ini kemudian menjadi corong Syi’ah dan menjadi yayasan tertua di Indonesia. Santri pada pesantren ini kemudian dituntut untuk mengkaji secara dalam aqidah Syi’ah. Untuk ‘mengimbanginya’, pesantren ini kemudian mempelajari buku-buku sunni, seperti buku mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Dan tentunya tetap mereka tak ketinggalan kereta mempelajari mazhab Syi’ah. Maka, keluaran pesantren ini pun banyak-banyak memotori dakwah di beberapa tempat di Indonesia dengan ‘visi’ terselubung.
-Periode Kedua
Pasca Revolusi Iran meletus tahun 1979, yang mengubah Iran dari Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Khomaini, maka banyak orang berafiliasi menjadi Syi’ah. Hal ini dikarenakan faktor intelektualitas mereka. Inilah yang menjadi sebab banyak terjadi konversi ke paham Syi’ah di tubuh mahasiswa dan dosen. Salah seorang staf DDII, Nabhan Husein, mengatakan dakwah yang berporos di lingkungan mahasiswa terjadi pada renta tahun 1970-1980-an.
Mereka ‘tertarik’ dengan pemikiran-pemikiran Syi’ah. Bersamaan dengan dekade tersebut, mahasiswa pun tertarik pada paham pemikiran Hasan al-Banna, Abul A-la al-Maududi, Sayyid Quthub, dan Ikhwanul Muslimin.
Kembali ke awal, bahwa magnet dari pemikiran Syi’ah terfokus pada keberhasilan Khomaini dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi. Hal inilah yang menjadi kecenderungan mengapa beberapa oknum mahasiswa sering kali menggugat pemerintah seperti SBY. Hal tersebut difaktorisasi oleh adanya buku-buku yang menyajikan paham-paham bagaimana sejarah Khomaini menjatuhkan Shah (pemimpin, pen) Mohammad Reza Pahlavi. Sementara, bagi mahasiswa, ini adalah sebuah wacana populer dan bisa diadopsi sebagai sarana menjatuhkan penguasa yang ada. Inilah menjadi isme-isme yang mekar sampai saat ini.
Pasca berhasilnya Revolusi Iran, maka didistribusilah berbagai varian tulisan berbau Iran. Tak terpungkiri yang paling independen adalah aqidah Syi’ah tersisir di belantara nusantara. Ulama-ulama Syi’ah membanjiri kemudian toko-toko buku di Indonesia. Dikupaslah seputar revolusi Iran, Khomaini, dan filsafat Syi’ah yang miring oleh penerjemah-penerjemah Indonesia.
Salah satu penerbit yang kemudian memfasilitasi buku-buku terjemahan Syi’ah adalah Mizan yang dipelopori oleh Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin. Mereka semua lulusan dari ITB. Mizan sendiri dibentuk pada tanggal 7 Maret 1983. Buku-buku yang pertama kali diterbitkan sebanyak 2.000-3.000 eks berjudul Dialog Sunni-Syi’ah; Surat Menyurat antara asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kariro Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-Amiili, Seorang Ulama Besar Syi’ah. Buku ini kemudian banyak menjadi perhatian saat itu.
Masa berlalu, Penerbit Syi’ah pun banyak-banyak dibantu oleh ayah Haidar Bagir, dalam hal ini Muhammad al-Bagir al-Habsyi dalam menerjemahkan. Muhammad al-Bagir al-Habsyi dikenal sebagai tokoh yang mengidolai Syi’ah. Pada akhirnya, penerbit Mizan banyak berperan dalam menerbitkan buku-buku pemikiran Syi’ah pada tahun 1980-1900-an. Maka, masyarakat pun banyak mencap bahwa Mizan sebagai corong Syi’ah. Tetapi, hal ini seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat pun menilai sama seperti penerbit buku pada umumnya.
Pada saat yang sama, di Kota Bandung, Jalaluddin Rahmat , yang diklaim sebagai ‘doktor’ gemilang pada saat ini, tiba-tiba tertarik pada Syi’ah. Sebelum lebih jauh, menarik pula dibahas mengapa proses doktoral Jalaluddin Rahmat mendapat sorotan, hal ini dipaparkan oleh LPPI, antara lain:
Pertama, dalam suatu kunjungan silaturrahim ke Bandung, kami (LPPI) menemui Prof. Dr. KH. Miftah Farid (Ketua MUI Bandung) dan beliau menyatakan bahwa JR itu belum pernah dikukuhkan sebagai guru besar di Unpad, Bandung.
Kedua, JR adalah tokoh utama penyebaran Syiah di Indonesia, sebagai Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), sebuah organisasi yang berfaham dan getol menyebarkan Syiah. Sedang Syiah telah dinyatakan oleh MUI Pusat dan MUI Jatim sebagai ajaran yang perlu diwaspadai, yang ditolak dan tidak diterima oleh masyarakat Indonesia yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, yang menyimpang dan sebagai ajaran yang sesat lagi menyesatkan.
Ketiga, tokoh-tokoh dan cendekiawan muslim di Makassar juga menyatakan keberatan dengan rencana program doktoral JR tersebut sehingga Bapak KH. M. Nur (alm) mengharamkan program doktoral JR di UIN Alauddin karena akan menambah kredibilitasnya dalam menyebarkan ajaran sesatnya. Seorang ulama kharismatik di Makassar berkata: “JR itu cendekiawan yang tidak berakhlak karena suka mencela-cela sahabat dan tabi’in, dia tidak layak diberi gelar doktor agama Islam, karena akan disalah-gunakan menyebarkan pahamnya yang sesat, sebagaimana tidak boleh menjual beras ketan kepada orang yang kita tahu akan membuatnya menjadi minuman yang memabukkan”.
Keempat, statuta UIN Alauddin Makassar menyatakan bahwa PT tersebut adalah pusat keunggulan akdemik dan intelektual, yang mengedepankan kejujuran dan sangat melarang penggunaan ijazah dan gelar palsu.
Kembali ke awal, maka Jalaluddin Rahmat berafiliasi pada saat itu, yang tadinya aktif berbicara seputar pemikiran Hasan al-Bannad, Sayyid Quthub, dan Sa’id Hawwa, kini Jalaluddin Rahmat membicarkan seputar akidah Syi’ah. Timbul pertanyaan, mengapa begitu cepat berafiliasi pemikirannya? Hal ini difaktori oleh pertemuan Jalaluddin Rahmat dengan Ulama Syi’ah, Husein al-Habsyi. Inilah pentingnya menjaga teman duduk, karena bisa membuat hati lebih cepat menerima syubhat. Maka, setelah Jalaluddin Rahmat menjadi corong Syi’ah, ia kemudian diidentifikasi oleh MUI Kota Bandung tahun 1985, menyusul MUI Pusat agar mewaspadai Syi’ah di tengah mereka.
Di tengah-tengah keluarnya instruksi tersebut, Jalaluddin Rahmat, Haidar Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Tahun yang sama ini, pun Haidar Bagir keluar dari Penerbit Mizan dan kemudian belajar kembali di Institut Agama Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 1988. Ortom dari Yayasan Muthahhari adalah SMA Muthahhari. Maka, SMA ini kemudian dikenal sebagai sekolah modern milik Syi’ah yang pertama di Bandung, Kota Kembang.
Lanjut, pada tahun 1989, berdiri pesantren al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah, yang didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Pendirian ini didesak supaya menjembatani para pelajar Syi’ah untuk kemudian bisa melanjutkan studi ke Qum, Iran. Kini diperkirakan ada 7.000-an mahasiswa Indonesia yang dibelajarkan di Iran, disamping sudah ada ribuan yang sudah pulang ke Indonesia dengan mengadakan pengajian ataupun mendirikan yayasan dan sebagainya. Ini merupakan ‘ujian’ bagi kaum muslim untuk lebih menjaga aqidahnya, jangan sampai terkontaminasi.
-Periode Ketiga
Pada periode ini, tidak bisa dirinci secara gamblang. Tidak bisa ditentukan secara tepat waktunya. Hal ini wajar, karena dimotori oleh semakin merebahnya wabah pemikiran Syi’ah di Indonesia. Bersamaan dengan itu, muncul pula serangan, counter, yang kemudian mendiskreditkan Syi’ah karena mengadopsi praktik-praktik ibadah yang berbeda dengan Islam. Penulis akan sebutkan beberapa praktik ibadah Syi’ah yang sangat ‘aneh’ di tengah kaum muslimin:
1. Mereka di saat wudhu hanya mengusap kaki, sebagaimana ketika seseorang mengusap khuf (kaos kaki, sepatu, atau semisalnya). Tidak membasuhnya.
2. Adzan hanya pada 3 waktu, yaitu Dzuhur, Maghrib, dan Subuh.
3. Takbir adzan mereka hanya sekali. Bukan 2 kali pada adzan.
4. Menjama’ sholat setiap harinya walaupun tidak safar.
5. Meninggalkan shalat jum’at. Karena pandangan mereka, yang wajib imam dalam solat adalah orang yang bebas dari dosa.
6. Tidak bersedekap dalam sholat.
7. Meninggalkan bacaan amin dalam sholat.
8. Meninggalkan sholat tarwih.
9. Menahan makan sahur sebelum adzan.
Sembilan Point di atas, dipaparkan oleh a-Ustadz Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori dalam bukunya bertajuk Bahaya Syi’ah bagi Dunia Islam.
Nah, inilah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi umat Islam pada waktu itu, oleh sebab itu, alumni-alumni Qum dari Indonesia kemudian datang. Bak menjadi pahlawan. Yang kemudian lebih frontal. Maka dibukalah kajian-kajian Syi’ah yang terselubung maupun terbuka di beberapa tempat. Kemudian, hal ini lebih digemukkan oleh adanya yayasan-yayasan yang berdiri pada saat itu. Tercatat pada tahun 1995 ada 40 yayasan Syi’ah yang berdiri di Indonesia, 25 di antaranya berada pada titik Jakarta.
Pada tahun 1998, masa turunya Presiden Soeharto membawa dampak yang cukup signifikan dalam pemekaran Syi’ah di Indonesai. Pasalnya, sebelum Soeharto turun, mereka, jama’ah Syi’ah masih pada koridor pengawasan dan kontrol yang baik. Maka, sepeninggalnya merupakan jembatan mulus untuk menanam bibit Syi’ah di Indonesia. Bahkan, pada orde Gus Dur, berdilah untuk pertama kalinya ormas Syi’ah secara resmi yang bernama IJABI (Ikatan Ahlul Bait Indonesia).
Ormas IJABI berdiri pada tahun 2000 dan yang menjabat sebagai Ketua Dewan Syura IJABI adalah Jalaluddin Rahmat. Setelah itu, Dimitri Mahayana sebagai Ketua Dewan tanfidziyah.
IJABI kemudian semakin pesat, sampai tahun 2008 terdaftar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145 sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Kemudian tahun 2011 di Bandung, kembali jamaah Syi’ah memprakarsai berdirinya Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN). Yang kemudian menjadi wadah sosial antara sunni dan Syi’ah dalam visi yang ‘abu-abu’.
Pada tahun 2001 terdapat 36 yayasan Syi`ah di Indonesia. Berikut data-data syiah di indonesia yang dihimpun oleh Islam Media.
a. Yayasan
1. Yayasan Fatimah, Condet, Jakarta.
2. Yayasan Al-Muntazhar, Jakarta.
3. Yayasan Al-Aqilah.
4. Yayasan Ar-Radhiyah.
5. Yayasan Mulla Shadra, Bogor.
6. Yayasan An-Naqi.
7. Yayasan Al-Kurba.
8. YAPI, Bangil.
9. Yayasan Al-Itrah, Jember.
10. Yayasan Rausyan Fikr, Jogya.
11. Yayasan BabIIm, Jember.
12. Yayasan Muthahhari, Bandung.
13. YPI Al-Jawad, Bandung.
14. Yayasan Muhibbin, Probolinggo.
15. Yayasan Al-Mahdi, Jakarta Utara.
16. Yayasan Madina Ilmu, Bogor.
17. Yayasan Insan Cita Prakarsa, Jakarta.
18. Yayasan Asshodiq, Jakarta Timur.
19. Yayasan Babul Ilmi, Pondok Gede.
20. Yayasan Azzahra Cawang.
21. Yayasan Al-Kadzim.
22. Yayasan Al-Baro`ah, Tasikmalaya.
23. Yayasan 10 Muharrom, Bandung.
24. Yayasan As Shodiq, Bandung.
25. Yayasan As Salam, Majalengka.
26. Yayasan Al Mukarromah, Bandung.
27. Yayayasan Al-Mujataba, Purwakarta.
28. Yayasan Saifik, Bandung.
29. Yayasan Al Ishlah, Cirebon.
30. Yayasan Al-Aqilah, Tangerang.
31. Yayasan Dar Taqrib, Jepara.
32. Yayasan Al-Amin, Semarang.
33. Yayasan Al-Khoirat, Jepara.
34. Yayasan Al-Wahdah, Solo.
35. Yayasan Al-Mawaddah, Kendal.
36. Yayasan Al-Mujtaba, Wonosobo.
37. Yayasan Safinatunnajah, Wonosobo.
38. Yayasan Al-Mahdi, Jember.
39. Yayasan Al-Muhibbiin, Probolinggo.
40. Yayasan Attaqi, Pasuruan.
41. Yayasan Azzhra, Malang.
42. Yayasan Ja’far As-Shadiq, Bondowoso.
43. Yayasan Al-Yasin, Surabaya.
44. Yapisma, Malang.
45. Yayasan Al-Hujjah, Jember.
46. Yayasan Al-Kautsar, Malang.
47. Yayasan Al-Hasyim, Surabaya.
48. Yayasan Al-Qoim, Probolinggo.
49. Yayasan Al-Kisa`, Denpasar.
50. Yayasan Al-Islah, Makasar.
51. Yayasan Paradigma, Makasar.
52. Yayasan Fikratul Hikmah, Jl Makasar.
53. Yayasan Sadra, Makasar.
54. Yayasan Pinisi, Makassar.
55. Yayasan LSII, Makasar.
56. Yayasan Lentera, Makassar.
57. Yayasan Nurtsaqolain, Sulawesi Selatan.
58. Yayasan Shibtain, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
59. Yayasan Al-Hakim, Lampung.
60. Yayasan Pintu Ilmu, Palembang.
61. Yayasan Al-Bayan, Palembang.
62. Yayasan Ulul Albab, Aceh.
63. Yayasan Amali, Medan.
64. Yayasan Al-Muntadzar, Samarinda.
65. Yayasan Arridho, Banjarmasin.
66. Yayasan Al-Itrah, Bangil.
b. Pengajian
1. MT. Ar-Riyahi.
2. Pengajian Ummu Abiha, Pondok Indah.
3. Pengajian Al-Bathul, Cililitan.
4. Pengajian Haurah, Sawangan.
5. Majlis Taklim Al-Idrus, Purwakarta.
6. Majlis Ta’lim An-Nur, Tangerang.
7. MT Al Jawad, Tasikmalaya.
8. Majlis Ta’lim Al-Alawi, Probolinggo.
c. Ikatan
1. Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI).
2. Ikatan Pemuda Ahlulbait Indonesia (IPABI), Bogor.
3. HPI – Himpunan Pelajar Indonesia-Iran.
4. Shaf Muslimin Indonesia, Cawang .
5. MMPII, Condet.
6. FAHMI (Forum Alumni HMI), Depok.
7. Himpunan Pelajar Indonesia di Republik Iran (ISLAT).
8. Badan Kerja Sama Persatuan Pelajar Indonesia Se-Timur Tengah dan Sekitarnya (BKPPI).
9. Komunitas Ahlul Bait Indonesia (TAUBAT).
d. Lembaga
1. Islamic Cultural Center (ICC), Pejaten.
2. Tazkia Sejati, Kuningan.
3. Al Hadi, Pekalongan.
4. Al-Iffah, Jember.
5. Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB), wadah alumni Qum
e. Sekolah dan Pesantren
1. SMA PLUS MUTHAHARI di Bandung dan Jakarta.
2. Pendidikan Islam Al-Jawad.
3. Icas (Islamic College for Advanced Studies) – Jakarta Cabang London.
4. Sekolah Lazuardi dari Pra TK sampai SMP, Jakarta.
5. Sekolah Tinggi Madina Ilmu, Depok.
6. Madrasah Nurul Iman, Sorong.
7. Pesantren Al-Hadi Pekalongan.
8. Pesantren YAPI, Bangil.
Wallohu a’lam bissowab…
Penulis: Kusnandar Putra
Artikel www.kompasiana.com