- Jenis-Jenis Bid’ah dan Berbagai Kondisi Para Pelakunya
Jenis-Jenis Bid’ah dan Berbagai Kondisi Para Pelakunya
Muqodimah
Segala puji hanya
untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Bid’ah
tidak hanya satu jenis, di antaranya ada bid’ah kufur yang mengeluarkan dari
agama, di antaranya ada yang tidak keluar dari agama akan tetapi pelakunya
berada dalam bahaya, di antaranya bid’ah
amaliyah (dalam perbuatan), bid’ah i’tiqadiyah (dalam keyakinan), bid’ah
haqiqiyah (sebenarnya), dan bid’ah idhafiyyah (sandaran).
Seperti inilah berbeda-beda tingkatan bid’ah, dan perbedaan
tingkatan bid’ah karena perbedaan keterkaitannya. Dan kaitan-kaitan ini terbatas
pada:
1. Masalah-masalah ushul (dasar) dan i’tiqad.
2. Kaidah-kaidah dan dasar-dasar i’tiqad dan
amal ibadah.
3. Kebutuhan, keperluan dan pelengkap.
4. Kulliyaat
dan juz`iyyah.
5. Bid’ah-bid’ah yang sebenarnya dan idhafiyyah
(sandaran/tambahan).
6. Bid’ah-bid’ah yang jelas pengambilannya dan
yang rumit tempat pengambilannya.[1]
Dengan
perbedaan kaitan-kaitan ini berbedalah tingkatan bid’ah, berbeda cara
berinteraksi bersama realita dalam bid’ah dan memutuskan atasnya, dan sudah
menjadi keharusan memperhatikan perbedaan-perbedaan dan tingkatan-tingkatan
ini.
Dan
dari sisi kaitan-kaitan ini, bid’ah-bid’ah bisa dibagi menjadi dua: kecil dan
besar, dan kembali kepada penjelasan sebelumnya kepada kondisinya, bisa jadi
bid’ah kecil atau bid’ah besar.
Asy-Syathibi
rahimahullah menetapkan pembagian bid’ah kepada bid’ah kecil dan besar
dengan ketetapan jelas dari beberapa sisi. Ia berkata:
“Dalam
ushul bahwa hukum-hukum syara’ ada lima, kita keluarkan darinya tiga, yaitu
wajib, sunnah dan mubah, maka tersisa hukum makruh dan haram. Maka pemikiran
menuntut pembagian bid’ah kepada dua bagian: di antaranya bid’ah haram dan di
antaranya bid’ah makruh. Dan penjelasan hal itu bahwa ia masuk dalam lingkaran
jenis yang dilarang yang tidak melewati makruh dan haram, maka bid’ah juga
seperti itu, ini satu sisi.
Sisi
kedua, sesungguhnya bid’ah-bid’ah apabila direnungkan akan ditemukan
tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda:
Di
antaranya: ada yang jelas-jelas kufur seperti bid’ah-bid’ah kaum jahiliyah yang
ditegaskan dalam al-Qur`an, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَجَعَلُوا
للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا للهِ
بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَآئِنَا ﴾ [الأنعام: 136]
Dan mereka
memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah
diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan
mereka:"ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". (QS. al-An’aam:136)
Dan
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَقَالُوا
مَافِي بُطُونِ هَذِهِ اْلأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُورِنَا مُحَرَّمٌ عَلَى
أَزْوَاجِنَا وَإِن يَّكُن مَّيْتَةً فَهُمْ فِيهِ شُرَكَآءُ ﴾ [الأنعام: 139]
Dan mereka
mengatakan:"Apa yang dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk
pria kami dan diharamkan atas wanita kami," dan jika yang dalam itu
dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. (QS.
al-An’aam:139)
Dan
firman-Nya:
﴿وَقَالُوا مَافِي بُطُونِ هَذِهِ
اْلأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُورِنَا مُحَرَّمٌ عَلَى أَزْوَاجِنَا وَإِن يَّكُن
مَّيْتَةً فَهُمْ فِيهِ شُرَكَآءُ ﴾ [المائدة: 103]
Allah
sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan
haam. (QS. al-Maidah:103)
Demikian
pula bid’ah orang-orang munafik, di mana mereka menjadikan agama sebagai sarana
untuk menjaga jiwa dan harta, dan yang serupa hal itu tidak diragukan bahwa ia
adalah kufur yang jelas.
Di
antaranya ada yang termasuk maksiat yang tidak termasuk kufur atau
diperdebatkan padanya, apakah termasuk kufur atau tidak? Seperti bid’ah kaum
Khawarij, Qadariyah, Murji`ah dan yang seperti mereka dari golongan-golongan
sesat.
Di
antaranya ada yang maksiat (dosa) dan disepakati bahwa ia tidak termasuk kufur,
seperti bid’ah tidak mau menikah (tabattul), puasa berdiri di matahari,
mengambil biji pelir dengan tujuan memutuskan syahwat jima’.
Di
antaranya ada yang makruh, seperti ucapan imam Malik rahimahullah dalam
mengiringkan Ramadhan dengan puasa enam hari bulan Syawal, membaca al-Qur`an
berkeliling, berkumpul untuk berdoa di sore hari Arafah, menyebut para penguasa
dalam khutbah Jum’at –menurut yang dikatakan oleh Ibnu Abdus Salam
asy-Syafi’i...dan yang seperti itu.
Dan
sudah jelas diketahui bahwa bid’ah-bid’ah ini tidak berada dalam satu tingkat.
Sisi
ketiga: sesungguhnya maksiat-maksiat, ada yang kecil dan ada yang besar.
Dan hal itu dikenali dengan terjadinya pada dharuriyat atau kebutuhan
atau pelengkap. Jika ia terjadi pada dharuriyat maka ia termasuk dosa
terbesar. Jika terjadi pada pelengkap maka ia merupakan tingkatan terendah
tanpa diragukan. Dan jika terjadi dalam kebutuhan maka ia berada di pertengahan
di antara dua tingkatan.
Kemudian,
sesungguhnya setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan ini ada pelengkap, dan
pelengkap tidak mungkin berada satu tingkatan dengan yang dilengkapi,
sesungguhnya pelengkap bersama yang dilengkapi sama seperti kedudukan sarana
bersama tujuan, dan sarana tidak bisa mencapai tingkatan tujuan, maka sungguh
telah jelas tingkatan-tingkatan maksiat dan kesalahan.
Juga,
sesungguhnya dharuriyat, apabila engkau renungkan tentu engkau dapatkan
di atas beberapa tingkatan dalam penguatan dan tidaknya:
Tingkatan
jiwa tidaklah satu derajat seperti tingkatan agama, dan karena itulah
dikecilkan kehormatan jiwa di sisi kehormatan agama. Maka kufur menghalalkan
darah, menjaga terhadap agama membolehkan jiwa menghadapi resiko pembunuhan
dengan berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang yang keluar dari
agama.
Tingkatan
akal dan harta tidak seperti tingkatan jiwa. Apakah engkau tidak memperhatikan
bahwa pembunuhan membolehkan qishash, maka pembunuhan berbeda dengan akal dan
harta, demikian pula yang lain.
Apabila
engkau memperhatikan kedudukan jiwa, kedudukan itu berbeda, maka memotong
anggota tubuh tidak seperti menyembelih, dan menggoris tidak sama seperti
memotong anggota tubuh.
Apabila
seperti itu, maka bid’ah termasuk jumlah maksiat dan jelas perbedaan dalam
maksiat. Demikian pula dalam masalah bid’ah, di antaranya ada yang terjadi
dalam masalah dharuriyat, maksudnya bahwa ada pelanggaran dengannya. Di
antaranya ada yang terjadi dalam tingkatan kebutuhan. Dan di antaranya ada yang
terjadi dalam tingkatan tahsiinaat (pelengkap).[2]
Dan
ia berkata pula dari sisi yang lain:
‘Sesungguhnya bid’ah-bid’ah terbagi kepada: sesuatu yang kulliah
(bersifat umum, menyeluruh) dalam syari’at dan kepada juz’iyah (parsial).
Dan pengertian hal itu: bahwa pelanggaran yang terjadi karena bid’ah secara
umum (menyeluruh/total) dalam syari’at seperti bid’ah tahsin (menganggap
baik) dan taqbih (menganggap buruk) secara akal, bid’ah mengingkari
berita-berita sunnah (hadits) karena merasa cukup terhadap al-Qur`an, bid’ah
kaum Khawarij dalam ucapan mereka ‘Tidak ada hukum selain milik Allah’...dan
yang menyerupai hal itu dari bid’ah-bid’ah yang tidak hanya tertentu satu
cabang dari cabang syari’at tanpa cabang yang lain, bahkan engkau
mendapatkannya tersusun yang tidak terbatas dari cabang-cabang juz`iyah.
Atau pelanggaran yang terjadi secara juz’i (parsial), sesungguhnya ia
datang pada sebagian cabang tanpa yang lainnya, seperti bid’ah tatswiib
(mengulangi) dengan shalat yang dikatakan oleh imam Malik rahimahullah:
‘Tatswib adalah sesat’, bid’ah adzan dan iqamah pada dua shalat ied, bid’ah
bertopang pada satu kaki dalam shalat, dan yang seperti itu. Maka bid’ah dalam
bagian ini tidak akan melewati tempatnya dan tidak tersusun di bawahnya yang
lainnya sehingga menjadi dasar baginya.
Maka
bagian pertama, apabila dianggap termasuk dosa besar jel’alaihissalamah
maksudnya. Dan bisa jadi termasuk di bawah keumuman tujuh puluh dua golongan,
dan ancaman yang datang dalam al-Qur`an dan sunnah dikhususkan dengannya, tidak
berlaku umum padanya dan pada yang lainnya. Dan selain yang demikian itu dari
sisi lamam (dosa kecil) yang diharapkan mendapat maaf yang tidak
terbatas dalam jumlah tersebut, maka tidak ada kepastian bahwa semuanya berasal
dari satu, dan sudah jelas sisi pembagiannya.[3]
Dan
ia berkata pula: Namun, kulliyah (menyeluruh/total) dan juz`i
(parsial) terkadang nampak dan terkadang tidak nampak, sebagaimana ta`wil,
terkadang dekat tempat pengambilannya dan terkadang jauh. Maka terjadilah
kesulitan pada contoh-contoh bagian ini, maka dianggap dosa besar yang
sebenarnya termasuk dosa kecil dan sebaliknya. Maka diserahkan pandangan
padanya kepada ijtihad.[4]
Asy-Syathiby
rahimahullah menyebutkan beberapa syarat kondisi bid’ah itu termasuk
kecil, apabila kurang salah satu syaratnya bid’ah ini menjadi besar, ia
berkata: ‘Apabila kita katakan: sesungguhnya di antara bid’ah ada yang kecil,
maka hal itu dengan beberapa syarat:
Salah
satunya: bahwa ia tidak terus menerus atasnya, sesungguhnya dosa kecil bagi
orang yang terus menerus atasnya menjadi besar dibandingkan kepadanya, karena
hal itu bersumber atas terus menerus, dan terus menerus terhadap dosa kecil
membuatnya menjadi dosa besar. Dan karena itu mereka berkata: ‘Tidak ada dosa
kecil disertai terus menerus dan tidak ada dosa besar disertai istighfar’,[5]
demikian pula bid’ah tanpa ada perbedaan.
Syarat
kedua: bahwa ia tidak mengajak kepadanya, sesungguhnya bid’ah terkadang
termasuk bid’ah kecil, kemudian pembuat bid’ah itu mengajak mengucapkannya dan
mengamalkan tuntutannya, maka dosa semua itu atasnya. Sesungguhnya dialah yang
mengenalkannya dan menyebabkan banyak terjadi dan diamalkan dengannya. Maka
sesungguhnya hadits shahih menetapkan bahwa setiap orang yang memberikan contoh
yang buruk niscaya atasnya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikit pun juga. Dosa kecil dan besar, sesungguhnya
perbedaannya menurut banyak dan sedikitnya dosa. Maka terkadang dosa kecil
bisa menyamai dosa besar dari sisi atau melebihi atasnya.
Syarat
ketiga: bahwa tidak dilakukan ditempat berkumpulnya manusia, atau
tempat-tempat yang dilaksanakan padanya sunnah-sunnah dan nampak padanya
bendera-bendera syari’at.
Adapun
menampakkannya di perkumpulan orang banyak dari orang yang dijadikan panutan
dengannya atau dari orang yang disangka baik, maka hal itu termasuk yang paling
berbahaya terhadap sunnah Islam.
Syarat
keempat: bahwa ia tidak meremehkannya, dan jika kita menganggapnya kecil
maka sesungguhnya hal itu meremehkannya, dan memandang sepele suatu dosa lebih
besar dari dosa itu sendiri.[6]
Namun
yang nampak dari ucapannya rahimahullah bahwa syarat-syarat ini
bergantung dengan ukuran dosa yang menimpa pelaku bid’ah, dan tidak berbicara
tentang ukuran bid’ah itu sendiri.
Dan
hukum terhadap pelaku bid’ah adalah menurut jenis bid’ah yang terjadi padanya
dan tingkatannya, disertai pandangan kepada kondisi orang tersebut, dan syubhat
atau takwil yang nampak baginya. Demikian pula derajat dan tingkatannya dalam
ilmu dan sunnah,... hingga pertimbangan-pertimbangan lain yang mesti
diperhatikan ketika menghukum terhadap orang yang terjerumus dalam bid’ah.
Kapan seseorang atau kelompok memisahkan diri
dari Ahlus Sunnah:
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata: ‘Dan bid’ah yang seseorang dipandang
termasuk ahli bid’ah: yang terkenal menurut ulama sunnah menyalahinya terhadap
al-Qur`an dan sunnah, seperti bid’ah kaum Khawarij, Rawafidh, Qadariyah, dan
Murji`ah. Sesungguhnya Abdullah bin Mubarak rahimahullah dan Yusuf bin
Asbath rahimahullah serta selain mereka berkata: ‘Dasar tujuh puluh dua
golongan adalah empat golongan: Khawarij, Rawafidh, Qadariyah dan Murji`ah..[7]
Asy-Syathiby
rahimahullah berkata: ‘Dan penjelasan yang demikian itu, bahwa
golongan-golongan ini menjadi beberapa golongan karena menyalahi kelompok yang
selamat dalam pengertian kully (menyeluruh) dalam agama dan kaidah dari
kaidah-kaidah syari’at, bukan pada satu bagian dari bagian-bagiannya. Karena juz`i
(bagian kecil) dan fara’ (cabang) yang langka tidak muncul darinya
pelanggaran yang terjadi karenanya perpecahan beberapa golongan. Perpecahan
hanya muncul ketika terjadi pelanggaran dalam perkara-perkara kulliyah
(menyeluruh/umum), karena kulliyah merupakan nash (dalil) dari juz`iyat
dan biasanya tidak hanya terbatas pada satu tempat dan satu bab saja.
Adapun
juz`i maka sangat berbeda, bahkan dianggap terjadinya hal itu dari
pelaku bid’ah sebagai kekeliruan dan kesalahan, sekalipun kesalahan seorang
alim bisa meruntuhkan agama, di mana Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu
berkata: ‘Tiga perkara bisa meruntuhkan agama: kesalahan seorang alim,
perdebatan orang munafik dengan al-Qur`an, dan para pemimpin yang menyesatkan.’
Akan tetapi bila dekat posisi kekeliruan biasanya tidak akan terjadi perpecahan
karenanya dan tidak sampai meruntuhkan agama, berbeda dengan masalah kulliyah.[8]
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata: ‘Dan mesti diketahui pula bahwa
kelompok-kelompok yang bernisbah (berafiliasi) kepada yang diikuti (para
pemimpin) dalam masalah ushuluddin (aqidah) dan kalam terbagai
beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyalahi sunnah pada dasar yang
besar. Di antara mereka ada yang menyalahi sunnah pada perkara-perkara kecil...hingga
ia berkata: ‘Dan seperti mereka, apabila mereka tidak menjadikan sesuatu yang
mereka ciptakan (bid’ah) sebagai perkataan yang memisahkan dengannya persatuan
(jama’ah) kaum muslimin yang mereka wala` (setia, loyal) dan bara`
(berlepas diri, benci) atasnya niscaya hal itu termasuk jenis kesalahan, dan
Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni kesalahan orang-orang beriman dalam
perkara seperti itu...hingga ia berkata: ‘Berbeda dengan orang yang bersikap wala`
(loyal) kepada yang sependapat dengannya dan bara` kepada orang yang
berbeda pendapat, memisahkan persatuan kaum muslimin, mengkafirkan dan
menganggap fasik yang menyalahinya dalam masalah-masalah ijtihad dan pendapat,
dan menghalalkan membunuh orang yang menyalahinya, maka mereka adalah
orang-orang yang menyebabkan perpecahan dan perselisihan. Karena inilah, yang
pertama kali memecah belah persatuan kaum muslimin dari ahli bid’ah adalah kaum
Khawarij...[9]
Riwayat orang yang menyalahi (ahli bid’ah) dan hukum
menerimanya:
Termasuk
yang dihubungkan dalam masalah ini adalah riwayat ahli bid’ah, mayoritas ulama
membedakan dalam masalah ini di antara ahli bid’ah menurut kadar bid’ahnya,
menurut kadar semangat dan aktifitas mereka terhadap bid’ah ini. Mereka
membedakan di antara pelaku bid’ah yang dikafirkan dan pelaku bid’ah yang
fasik, dan di antara yang mengajak kepada bid’ah dan tidak mengajak.
Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Para ulama dari kalangan ahli hadits,
fuqaha, ahli ushul berkata: ‘Ahli bid’ah yang dianggap kafir karena bid’ahnya
tidak diterima riwayatnya dengan ittifaq (konsensus).[10]
Al-Mu’allimy[11]
rahimahullah berkata: ‘Tidak ada syubhat (kesamaran) bahwa jika
ahli bid’ah keluar dengan bid’ahnya dari Islam niscaya tidak diterima
riwayatnya, karena termasuk syarat riwayat adalah Islam.[12]
Kemudian
jika bid’ah tersebut tidak menyebabkan kufur, maka dilihat padanya; dibedakan
di antara bid’ah kecil dan bid’ah besar. Dan dibedakan di antara orang yang
bid’ahnya menjerumuskannya dalam menghalalkan dusta dan di antara orang yang
bid’ahnya sangat jauh dari menghalalkan dusta.
Adz-Dzahaby
rahimahullah berkata dalam biografi Aban bin Taghlib al-Kufy asy-Syi`iy:
‘Aban bin Taghlib al-Kufy, seorang syi’ah yang kuat, akan tetapi dia shaquq (jujur).
Maka untuk kita kejujurannya dan atasnya bid’ahnya.
Imam
Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim rahimahumullah mentsiqahkannya.
Dan Ibnu ‘Ady rahimahullah menyebutkannya dan berkata: ‘Dia seorang yang
ghuluw dalam keyakinan syi’ah.’ As-Sa’dy rahimahullah berkata:
‘Seorang yang menyimpang secara terang-terangan.’
Seseorang
bisa berkata: ‘Bagaimana bisa mentsiqahkan ahli bid’ah, sementara definisi
tsiqah adalah ‘adil dan itqaan? Bagaimana mungkin dianggap ‘adil
dari seorang ahli bid’ah?
Jawabannya
adalah: sesungguhnya bid’ah terbagi dua: bid’ah kecil seperti ghuluw tasyayyu`[13]
atau tasyayyu’ tanpa ghuluw dan tahrif. Yang seperti ini banyak pada generasi
tabi’in dan pengikut mereka disertai agama yang kuat, wara` dan jujur. Jika
ditolak hadits mereka niscaya hilanglah sejumlah besar riwayat-riwayat Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, dan ini merupakan kerusakan yang nyata.
Kemudian
bid’ah besar seperti Rafidhah yang sempurna dan ghuluw padanya, merendahkan
derajat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu
dan mengajak kepada hal itu. Maka jenis ini tidak dijadikan hujjah dengan
mereka dan tidak ada kemuliaan bagi mereka. Juga yang ada dalam jenis ini
berupa seseorang yang tidak jujur dan tidak bisa dipercaya, bahkan bohong
adalah syi’ar (pakaian luar) mereka, taqiyah dan nifak adalah
pakaian dalam mereka, maka bagaimana bisa diterima riwayat dari orang yang
kondisinya seperti ini? Sekali-kali tidak.
Syi’ah
ghuluw yang ada di masa salaf dan pandangan umum di tengah mereka adalah
orang yang berbicara dan mencela Utsman, Zubair, Thalah, dan Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhum ajma’in, dan golongan yang memerangi Ali radhiyallahu ‘anhu. Semestara
syi’ah ghuluw yang ada di masa kita dan pandangan umum kita adalah orang-orang
yang mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari Syaikhain (Abu Bakar dan
Umar radhiyallahu ‘anhu). Ini adalah adalah orang sesat, Aban bin
Taghlib tidak pernah sama sekali berbicara terhadap Syaikhaian (tidak pernah
mencela mereka), akan tetapi ia mungkin meyakini Ali radhiyallahu ‘anhu
lebih utama dari keduanya.[14]
Al-Khathib
al-Baghdadi rahimahullah berkata: ‘Sekelompok ulama berpendapat untuk
menerima berita ahli ahwa (ahli bid’ah) yang tidak dikenal dari mereka
menghalalkan dusta dan bersaksi untuk orang yang sependapat mereka dengan
sesuatu yang tidak ada persaksian di sisi mereka padanya.[15]
An-Nawawi
rahimahullah berkata: ‘Dan yang tidak kafir, ada yang berkata: Tidak
dijadikan hujjah sama sekali dengannya. Ada yang berkata: Dijadikan hujjah
dengannya jika ia tidak termasuk orang yang menghalalkan dusta dalam membela
mazhabnya atau pengikut mazhabnya.[16]
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata: ‘Dan menolak persaksian orang yang dikenal
berdusta adalah perkara yang disepakati di antara fuqaha ( ahli fikih).’ Dan ia
berkata: ‘Semua ulama sepakat bahwa dusta pada kalangan Rafidhah lebih nampak
darinya pada semua ahli qiblat (kaum muslimin).
Sehingga
pengarang kitab Shahih seperti al-Bukhari, tidak meriwayatkan dari seorang pun
dari kalangan syi’ah qudama (terdahulu), seperti Ashim bin Dhamrah, Harits
al-A’war, Abdullah bin Salamah, dan semisal mereka. Padahal mereka termasuk
kalangan Syi’ah yang terbaik. Pengarang kitab Shahih hanya meriwayatkan hadits
Ali radhiyallahu ‘anhu dari ahli baitnya, seperti Hasan radhiyallahu
‘anhu, Husain radhiyallahu ‘anhu, Muhammad bin Hanafiyah rahimahullah,
dan penulisnya Ubaidullah bin Abi Rafi’ rahimahullah, atau dari pengikut
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu seperti ‘Ubaidah as-Salmani rahimahullah,
Harits bin Qais rahimahullah, atau dari orang yang serupa mereka. Mereka
adalah para imam dalam riwayat dan ahli naqd (kritik) termasuk manusia
yang paling jauh dari hawa nafsu, paling mengatakan terhadap kebenaran, tidak
takut pada Allah subhanahu wa ta’ala celaan orang yang mencela.
Bid’ah bermacam-macam, kaum
Khawarij, kendati mereka melewati Islam sebagaimana anak panah melewati sasaran
(target, hewan buruan), Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyuruh
memerangi mereka, para sahabat dan ulama Islam sepakat untuk memerangi mereka,
dan shahih hadits pada mereka dari sepuluh jalur yang diriwayatkan Muslim dalam
shahihnya, al-Bukhari meriwayatkan tiga darinya: mereka tidak termasuk orang
yang sengaja berdusta, bahkan mereka terkenal jujur. Sehingga dikatakan:
Sesungguhnya hadits mereka termasuk hadits paling shahih, akan tetapi mereka
bodoh dan tersesat dalam bid’ah mereka.[17]
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata dalam pembicaraannya tentang hukum riwayat
ahli bid’ah dan ucapan para ulama padanya: ‘Dan dikatakan: ‘Diterima secara
mutlak kecuali jika ia meyakini dusta.’[18]
As-Sayuthi
rahimahullah berkata dalam memberi komentar terhadap ucapan an-Nawawi rahimahullah:
‘Dan ada yang berkata: Diambil hujjah dengannya jika ia bukan termasuk orang
yang menghalalkan berdusta dalam membela mazhabnya, sama saja ia berdakwah atau
tidak, dan tidak diterima jika ia menghalalkan hal itu.[19]
Al-Mu’allimy
rahimahullah berkata dalam hukum riwayat ahli bid’ah: ‘...dan
sesungguhnya jika ia menghalalkan dusta, maka bisa jadi ia kufur dengan hal itu
dan bisa jadi ia fasik. Maka jika kita memaafkannya, maka di antara syarat
diterima riwayat adalah jujur, maka tidak bisa diterima riwayatnya.[20]
Jika
ahli bid’ah keluar dari golongan yang terdahulu –artinya bukan termasuk ahli
bid’ah besar yang menyebabkan kufur- dan tidak termasuk orang yang membolehkan
dusta, terjadilah perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menerima
riwayatnya.
Ibnu
Shalah rahimahullah berkata: ‘Mereka berbeda pendapat dalam menerima
riwayat ahli bid’ah yang tidak kufur dengan bid’ahnya: di antaranya ada yang
menolak bid’ahnya karena ia seorang yang fasik dengan bid’ahnya, sebagaimana
sama dalam kufur orang yang bertakwil dan yang tidak, sama pula dalam fasik
orang yang bertakwil dan tidak. Di antara mereka ada yang menerima riwayat ahli
bid’ah apabila ia bukan termasuk orang yang membolehkan dusta dalam membela
mazhabnya atau pengikut mazhabnya. Sama saja ia mengajak (berdakwah) kepada
bid’ahnya atau tidak, sebagian mereka menyandarkan hal ini kepada imam Syafi’i rahimahullah
karena ucapannya: ‘Aku menerima persaksian ahlil ahwa (pengikut hawa
nafsu/ahli bid’ah) kecuali golongan Khathabiyah dari golongan Rafidhah, karena
mereka membolehkan bersaksi palsu untuk orang yang sepaham mereka.’ Satu kaum
berkata: ‘Diterima riwayatnya apabila tidak mengajak kepada bid’ahnya dan tidak
diterima apabila ia berdakwah.’ Ini adalah mazhab mayoritas ulama. Sebagian
pengikut imam asy-Syafi’i rahimahullah menghikayatkan perbedaan pendapat
di antara mereka dalam menerima riwayat ahli bid’ah apabila tidak mengajak
kepada bid’ahnya dan ia berkata: Adapun bila ia berdakwah maka tidak ada
perbedaan di antara mereka dalam tidak diterima riwayatnya.
Abu
Hatim bin Hibban al-Busty rahimahullah, salah seorang pengarang dari
ulama hadits berkata: ‘Pengajak kepada bid’ah tidak boleh berhujjah dengannya
menurut pendapat semua imam kita, saya tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat di antara mereka.’
Mazhab
yang ketiga ini adalah yang paling adil dan paling utama. Pendapat pertama
sangat jauh karena sudah tersebar di kalangan para ulama hadits, sesungguhnya
kitab-kitab mereka penuh dengan riwayat dari ahli bid’ah yang bukan pengajak,
dan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) banyak ditemukan
hadits-hadits mereka dalam syawahid (hadits penguat/pendukung) dan
ushul. Wallahu A’lam.[21]
Membedakan
di antara da’i dan bukan adalah pendapat mayoritas ulama seperti yang telah
dijelaskan, bahkan Ibnu Hibban rahimahullah mengutip ijma’ atas pendapat
ini, sekalipun pengakuan ijma’ tidaklah benar.
Dan
di antara ulama yang dikutip darinya ucapan ini adalah Abdullah bin Mubarak rahimahullah,
berdasarkan riwayat al-Khathib rahimahullah dengan sanadnya kepada Ali
bin Hasan bin Syaqiq rahimahullah, ia berkata: ‘Aku berkata kepada
Abdullah bin Mubarak: ‘Apakah engkau pernah mendengar dari ‘Amar bin ‘Ubaid?
Maka ia mengisyaratkan dengan tangannya seperti ini, maksudnya banyak. Aku
berkata: ‘Kenapa engkau tidak menyebutkannya, sedangkan engkau menyebutkan
selainnya dari golongan Qadariyah? Ia menjawab: ‘Karena sesungguhnya ini
termasuk kepala (pimpinan).’[22]
Ucapan
ini juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Mahdy rahimahullah.
Al-Khathib rahimahullah meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Siapa
yang berpendapat satu pendapat (yang bid’ah) dan tidak mengajak kepadanya ia
bisa jadi (diterima riwayatnya) dan siapa yang berpendapat satu pendapat
(bid’ah) dan mengajak kepadanya sungguh ia berhak ditinggalkan (riwayatnya).[23]
Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Ilmu
ditulis dari pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) dan boleh persaksian mereka
selama mereka tidak berdakwah. Apabila ia berdakwah kepadanya niscaya tidak
ditulis hadits dari mereka dan tidak boleh persaksian mereka.’[24]
Dan
di antara yang mengatakan hal ini adalah imam Ahmad rahimahullah:
al-Khathib rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abu Daud
Sulaiman bin As’ts rahimahullah, ia berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad:
‘Apakah ditulis hadits dari seorang qadary? Ia menjawab: ‘Apabila ia tidak
berdakwah.’[25]
Dalam
Thabaqat Hanabilah karya Abu Ya’la, dari Ja’far bin Muhammad, ia berkata:
‘Wahai Abu Abdillah, apakah engkau meriwayatkan dari Abu Mu’awiyah sedangkan ia
seorang Murji`ah? Ia menjawab: ‘Ia tidak berdakwah (kepada bid’ahnya).[26]
Al-Baghawi
rahimahullah berkata: ‘Imam Ahmad rahimahullah ditanya: ‘Apakah
ditulis (hadits) dari seorang Murji’ah dan Qadariyah, serta selain mereka dari ahli
ahwa`? Ia menjawab: ‘Apabila ia tidak berdakwah kepadanya dan banyak
pembicaraan padanya. Adapun orang yang berdakwah kepadanya maka tidak
(diriwayatkan hadits darinya).’[27]
Pendapat
ini juga diriwayatkan dari imam Malik rahimahullah, berdasarkan riwayat
Ibnu Abdil Barr rahimahullah, ia berkata: ‘Ilmu tidak diambil dari empat
golongan: Orang bodoh yang nyata kebodohannya, pengikut hawa nafsu (ahli
bid’ah) yang berdakwah kepadanya, seseorang yang terkenal berdusta dalam
pembicaraan di tengah manusia sekalipun ia tidak berdusta terhadap hadits
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan seseorang yang memiliki
keutamaan dan shalih yang tidak mengetahui apa yang dia riwayatkan’.[28]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Kami telah menyebutkan berita ini
dari imam Malik rahimahullah dari beberapa jalur dalam at-Tamhid.’
Al-Khathib
rahimahullah menyandarkan kepada imam Malik rahimahullah pendapat
menolak riwayat ahli bid’ah secara mutlak (absolot) seperti yang telah lalu,
dan pendapat menolak pendapat riwayat ahli bid’ah yang berdakwah dan menerima
yang tidak berdakwah adalah yang masyhur darinya menurut para ahli tahqiq.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Dan karena inilah imam Ahmad rahimahullah
dan mayoritas imam sesudah dan sebelumnya seperti imam Malik rahimahullah
dan yang lainnya tidak menerima riwayat orang yang berdakwah kepada bid’ah dan
tidak duduk bersamanya, berbeda dengan yang diam.’[29]
Abdurrahman
al-Mu’allimy rahimahullah berkata: ‘Adapun yang tidak berdakwah maka
sudah lewat kutipan ijma’ bahwa ia sama seperti sunny, apabila terbukti
‘adilnya niscaya diterima riwayatnya.’ Dan diriwayatkan dari Malik rahimahullah
yang sama seperti itu. Dan dikatakan dari Malik rahimahullah: bahwa ia
tidak meriwayatkan darinya juga, dan yang dilakukan adalah yang pertama.[30]
Al-Baghawi
rahimahullah berkata dalam Syarh Sunnah: ‘Demikian pula mereka berbeda
pendapat dalam riwayat ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu, mayoritas ahli hadits
menerimanya apabila mereka jujur padanya. Muhammad bin Ismail telah
meriwayatkan dari ‘Abbad bin Ya’qub ar-Rawijini. Dan Muhammad bin Ishaq bin
Khuzaimah rahimahullah berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami
seseorang yang jujur dalam riwayatnya, tertuduh dalam agamanya: ‘Abbad bin
Ya’qub!!
Al-Bukhari
rahimahullah berhujjah pula dalam Shahih dengan Muhammad bin Ziyad
al-Alhani dan Hirriz bin Utsman ar-Rahby, dan masyhur dari keduanya an-Nashb
(golongan yang membenci Ali bin Abu Thalib, kebalikan dari Syi’ah). al-Bukhari
dan Muslim sepakat berhujjah dengan Abu Mu’awiyah Muhammad bin Hazim adh-Dharir
dan Ubaidullah bin Musa, dan terkenal dari keduanya sikap ghuluw.
Adapun
Malik bin Anas rahimahullah, ia berkata: ‘Tidak diambil hadits Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam dari pengikut hawa nafsu yang mengajak (berdakwah) kepada
hawa nafsunya (bid’ahnya), tidak pula dari pendusta yang berdusta pada hadits
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sekalipun engkau tidak menuduhnya
berdusta terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.’ Yang menyebutkan
perbedaan pendapat ini adalah al-Hakim Abu Abdillah dalam kitabnya tentang
pembahasan menerima riwayat mereka.
Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya: ‘Apakah ditulis hadits dari
seorang Murji`ah dan Qadariyah serta selain mereka dari ahli bid’ah? Ia
menjawab: ‘Ya, apabila ia tidak berdakwah kepadanya dan tidak banyak
pembicaraan atasnya. Adapun bila ia berdakwah (kepada bid’ahnya) maka tidak.’[31]
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata: ‘Karena inilah tidak ada dalam kitab-kitab
induk mereka (Ahli Hadits) seperti Shahih, Sunan, dan Masanid, riwayat dari
orang-orang yang terkenal berdakwah kepada bid’ah, sekalipun padanya ada
riwayat dari orang yang padanya jenis bid’ah, seperti Khawarij, Syi’ah,
Murji`ah, dan Qadariyah. Dan penjelasan hal itu karena mereka (para pengarang
kitab hadits) tidak meninggalkan riwayat dari mereka karena fasik yang diduga
oleh sebagian mereka, akan tetapi siapa yang menampakkan bid’ahnya niscaya
wajiblah mengingkarinya, berbeda dengan orang yang menyamarkan dan
menyembunyikannya. Apabila wajib mengingkarinya, niscaya yang termasuk
mengingkarinya adalah menghajrnya (tidak menyapanya) hingga ia berhenti
dari menampakkan bid’ahnya. Dan termasuk menghajrnya adalah tidak
diambil ilmu darinya dan tidak dijadikan syahid (hadits penguat).[32]
Dan
demikian pula di antara cabang pembahasan tentang perbedaan bid’ah dan
tingkatan-tingkatannya: bab hukuman dan ta’zir (efek jera) bagi yang
menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sungguh sangat banyak riwayat dari salaf
tentang hukuman terhadap ahli bid’ah dengan berbagai macam hukuman; berupa
ditahan, dipukul, dicambuk, diasingkan, dihinakan, dan dihajr.
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata pada Qadariyah: ‘Jika aku
melihat salah seorang dari mereka niscaya aku mengambil rambutnya.[33]
Dan ia berkata: ‘Jika aku melihat salah seorang dari mereka niscaya aku
menggigit hidungnya.’[34]
Dikatakan
kepada Nafi’ rahimahullah: ‘Sesungguhnya laki-laki ini berbicara tentang
Qadar’...maka ia mengambil segenggam pasir lalu melemparkan ke wajahnya.[35]
Diriwayatkan
dari Salim bin Abdullah rahimahullah bahwa ia melakukan hal itu terhadap
seorang laki-laki yang datang kepadanya, ia berkata kepadanya: ‘Seorang
laki-laki berzinah.’ Salim rahimahullah berkata: ‘Ia meminta ampun
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ia bertaubat kepada-Nya.’ Laki-laki
itu berkata: ‘Apakah Allah subhanahu wa ta’ala mentaqdirkan hal itu
kepadanya? Salim rahimahullah berkata: ‘Ya.’ Kemudian ia mengambil
segenggam pasir lalu memukulkannya ke wajah laki-laki itu seraya berkata:
‘Berdirilah.’[36]
Dari Malik rahimahullah,
ia berkata: ‘Al-Qur`an adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala.’ Dan ia
berkata: ‘Siapa yang berkata ‘al-Qur`an adalah makhluk’ dia harus dipukul dan
ditahan hingga meninggal dunia.’[37]
Dari
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ia berkata: ‘Aku bertanya
kepada bapakku tentang seorang laki-laki yang melakukan bid’ah yang dia
mengajak kepadanya, ia mempunyai beberapa penyeru (juru dakwah) kepadanya,
apakah engkau berpendapat bahwa ia harus ditahan? Ia menjawab: ‘Ya, saya
berpendapat bahwa ia harus ditahan, agar bid’ahnya tidak menyebar di tengah
kaum muslimin.’[38]
Dari
Abul Hasan al-Lakhmy rahimahullah –dari pemuka mazhab Maliki- ia ditanya
tentang kaum Ibadhiyah yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin dan
membangun masjid yang mereka berkumpul di dalamnya dan mereka menampakkan
mazhab mereka. Beliau menjawab: ‘Apabila kaum yang disebutkan menampakkan
mazhabnya, mengumumkanya, membangun masjid yang mereka berkumpul di dalamnya,
dan shalat ied berjamaah menjauh dari kaum muslimin, maka ini adalah pintu
besar yang dikhawatirkan nantinya bertambah kuat, merusak agama kaum muslimin,
dan orang-orang bodoh dan yang tidak bisa membedakan cenderung kepada mereka,
maka pemerintah berkewajiban menyuruh mereka bertaubat dari keyakinan mereka.
Maka jika mereka tidak kembali mereka harus dipukul dan dipenjara. Jika mereka
tetap dalam keyakinan mereka, maka diperselisihkan hukum membunuh mereka.
Adapun menghancurkan masjid yang mereka bangun maka suatu kebenaran dan semua
yang mereka berkumpul padanya juga seperti itu...[39]
Dan
sebaliknya, ada beberapa atsar salaf yang berbeda dari yang telah disebutkan.
Abu
Daud rahimahullah berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad rahimahullah:
‘Kami memiliki beberapa kerabat yang berpendapat irja` (Murji`ah), bolehkah
kami menulis surat ke Khurasan mengucap salam kepada mereka? Ia menjawab: ‘Subhanallah,
kenapa engkau tidak mengucap salam kepada mereka?
Dan
dalam riwayat lain ia berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad rahimahullah:
‘Apakah kami berbicara dengan mereka? Ia menjawab: ‘Ya, kecuali ia berdakwah
dan memusuhi padanya.’[40]
Bahkan
diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, sebagaimana Ibnu Muflih
al-Hanbaly rahimahullah membuat satu judul dalam kitabnya ‘Adabus
Syar’iyyah’, ia berkata: Pasal dalam melarang menahan ahli bid’ah karena
bid’ah mereka: al-Marudzi rahimahullah berkata: ‘Aku bertanya kepada Abu
Abdullah tentang satu kaum ahli bid’ah yang menentang dan mengkafirkan? Ia
berkata: ‘Janganlah kamu menyentuh mereka.’ Aku berkata: ‘Kenapa engkau tidak
suka mereka ditahan? Ia menjawab: ‘Mereka mempunyai ibu dan saudari.’
Aku berkata: ‘Mereka telah menahan seseorang dan berbuat
aniaya kepadanya. Mereka meminta kepadaku agar aku berbicara pada perkaranya
sehingga ia keluar.’ Ia menjawab: ‘Jika salah seorang dari mereka ditahan maka
tidak.’ Kemudian Abu Abdillah berkata: ‘Ini adalah tetangga kami, laki-laki itu
ditahan dan meninggal di penjara.’ Saya menduga ia berkata beberapa kali:
‘Bagaimana Abu Bakar bin Khallad rahimahullah meriwayatkan? Aku berkata
kepadanya: ‘Ia (Abu Bakar) berkata: ‘Aku duduk di sisi Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah,
lalu datang Fudhail rahimahullah, ia berkata: ‘Janganlah kalian duduk
bersamanya –maksudnya Ibnu Uyainah- engkau menahan seseorang dalam penjara?
Apakah engkau merasa aman apa yang akan terjadi padanya dalam penjara? Berdiri
dan keluarkan dia.’ Abu Abdillah merasa kagum dan menganggapnya baik.’[41]
Perbedaan
sikap dan pendirian salafus shalih dalam menghadapi ahli bid’ah dari sisi
memberikan hukuman kepada mereka kembali kepada perbedaan bid’ah tersebut dan
kondisi para pelakunya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata setelah
menyebutkan sebagian hukuman terhadap ahli bid’ah: ‘Apabila sudah diketahui
bahwa ini termasuk sisi hukuman secara syar’i, niscaya diketahui bahwa ia
berbeda tergantung perbedaan kondisi, dari sedikit bid’ah dan banyaknya, nampak
sunnah dan samarnya, dan sesungguhnya yang disyari’atkan terkadang dengan cara
pendekatan dan terkadang dengan cara hajr (tidak disapa), sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melakukan pendekatan terhadap beberapa
kaum musyrikin yang baru masuk Islam dan orang yang dikhawatirkan fitnah
terhadapnya, maka beliau shallallahu ‘alahi wa sallam memberi kepada
yang dijinakkan hatinya (mu`allaf) a sesuatu yang tidak diberikan kepada
selain mereka.
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda dalam
hadis shahih:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي
أُعْطِي رِجَالًا وَأَدَعُ رِجَالاً, وَالَّذِي أَدَعُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ
الَّذِي أُعْطِي, أَعْطِي رِجَالاً لِمَا جَعَلَ اللهُ فِى قُلُوْبِهِمْ مِنَ
الْهَلَعِ وَالْجَزَعِ وَأَدَعُ رِجَالاً لِمَا جَعَلَ اللهُ فِى قُلُوْبِهِمْ
مِنَ الْغِنَى وَالْخَيْرِ, مِنْهُمْ عَمْرُو بْنُ تَغْلِب » [ أخرجه البخاري ]
‘Sesungguhnya aku memberikan kepada beberapa orang dan
meninggalkan yang lain, dan yang tidak kuberi lebih kucintai dari para yang
kuberi. Aku memberi kepada beberapa orang laki-laki karena Allah subhanahu wa
ta’ala menjadikan dalam hati mereka rasa keluh kesah dan gelisah, dan aku tidak
memberi kepada beberapa orang laki-laki karena Allah subhanahu wa ta’ala telah
menjadikan dalam hati mereka berupa rasa kaya dan kebaikan, di antara mereka
adalah Amar bin Taghlib.’[42]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي
أُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ
اللهُ عَلَى وَجْهِهِ النَّارَ » [ أخرجه أبو داود والنسائي ]
‘Sesungguhnya aku memberi kepada seorang laki-laki dan
yang lain lebih kucintai dari padanya, karena khawatir Allah subhanahu wa
ta’ala menjerumuskan dia di neraka.’[43]
Atau ucapan seperti itu.
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr sebagian
orang beriman, seperti beliau menghajr tiga orang yang tertinggal dari
perang Tabuk, karena tujuannya adalah mengajak makhluk taat kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dengan jalan paling lurus, maka digunakan cara raghbah (dorongan,rangsangan)
di tempat yang paling tepat dan digunakan cara ancaman di tempat yang paling
tepat.
Siapa yang mengetahui hal ini, jel’alaihissalamah
baginya bahwa siapa yang menolak persaksian dan riwayat secara mutlak dari
(ahli bid’ah) orang-orang yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang
bertakwil maka pendapatnya adalah lemah, karena sesungguhnya salaf telah masuk
dengan takwil dalam berbagai perkara besar. Dan siapa yang menjadikan
orang-orang yang menampakkan bid’ah sebagai imam dalam ilmu dan persaksian yang
tidak diingkari dengan hajr dan rada’, maka pendapatnya juga
lemah. Demikian pula orang yang shalat di belakang orang yang menampakkan
bid’ah dan kefasikan tanpa mengingkari dan tanpa berusaha mengganti dengan yang
lebih baik darinya padahal mampu melakukannya, maka pendapatnya lemah. Dan ini
memberikan konsekuensi membiarkan kemungkaran yang dibenci oleh Allah subhanahu
wa ta’ala dan rasul-Nya, padahal ia mampu mengingkarinya, dan ini tidak
boleh. Dan siapa yang mewajibkan mengulangi shalat bagi yang berjamaah bersama
imam yang fasik dan ahli bid’ah, maka pendapatnya lemah. Karena sesungguhnya
kaum salaf, para pemuka sahabat dan tabi’in shalat di belakang mereka dan hal
itu tatkala mereka menjadi pemimpin. Karena inilah, termasuk dasar akidah Ahlus
Sunnah: bahwa shalat yang diimami oleh pemerintah, dilaksanakan shalat di
belakang mereka, bagaimana pun kondisi mereka, sebagaimana berhaji dan
berperang bersama mereka.[44]
Hajr (tidak menyapa) terhadap orang yang menyalahi (ahli
bid’ah):
Di antara yang terkait bab ini adalah persoalan penting yang
harus diketahui dengan jelas padanya, terutama di masa sekarang, yaitu
persoalan hajr, yaitu berpaling dari orang yang menyalahi (ahli bid’ah), tidak
duduk bersamanya, tidak menyapanya, tidak memberi salam kepadanya, dan tidak
masuk kepadanya. Persoalan ini adalah persoalan yang harus diketahui tujuannya
secara syar’i, sehingga bisa melakukan interaksi bersamanya dengan cara yang
benar.
Disyari’atkan hajr:
Hajar adalah perkara yang disyari’atkan saat dibutuhkan,
terkadang hukumnya sunnah dan terkadang wajib. Dan dalil-dalil disyari’atkan
hajr saat dibutuhkan sangat banyak dari al-Qur`an, Sunnah dan ijma’.
Pertama: dari al-Qur`an:
1.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَإِذَا
رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ
بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ {68} ﴾ [الأنعام: ٩١]
Dan apabila
kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika
syaitan menjadikan kamu lupa (maka larangan ini), janganlah kamu duduk bersama
orang. orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS. al-An’aam:68)
Ayat
ini merupakan dalil haramnya duduk-duduk bersama ahli bid’ah, pelaku dosa besar
dan ahli maksiat. Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Dalam ayat ini
merupakan bantahan dari al-Qur`an terhadap orang yang menduga bahwa para imam
yang merupakan hujjah dan para pengikut mereka, mereka boleh berkumpul bersama
orang-orang fasik dan membenarkan ucapan mereka secara taqiyyah.
Ath-Thabary rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Muhammad
bin Ali rahimahullah, ia berkata: ‘Janganlah kamu duduk-duduk bersama
orang-orang yang suka bermusuhan (ahli bid’ah), sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang memperolok-olokan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala.’
Ibnul Araby rahimahullah berkata: ‘Ini merupakan dalil bahwa duduk-duduk
bersama pelaku dosa besar adalah tidak boleh.’ Ibnu Khuwairiz Mandad rahimahullah
berkata: ‘Siapa yang memperolok-olokan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala
niscaya ditinggalkan majelisnya (tidak boleh duduk bersamanya) dan dihajr,
sama saja ia mukmin atau kafir. Demikian pula para ulama kita (mazhab Maliky)
melarang masuk ke negeri musuh, tempat ibadah mereka, duduk-duduk bersama
orang-orang kafir dan ahli bid’ah, dan jangan sampai mencintai mereka, jangan
didengarkan ucapan mereka dan janganlah berdebat bersama mereka. Kemudian ia
menyebutkan beberapa atsar dari kaum salaf dalam menghajr ahli bid’ah.[45]
2.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ
ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ
حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ
جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا {140}﴾ [النساء: 140]
Dan sungguh
Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang
kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam, (QS. an-Nisaa`:140)
Al-Qurthuby
rahimahullah berkata: ‘Hal ini menunjukkan wajibnya menjauhi pelaku
maksiat apabila nampak kemungkaran dari mereka. Karena siapa yang tidak
menjauhi mereka berarti ia ridha (senang) terhadap perbuatan mereka, dan ridha
dengan kekufuran adalah kufur. Firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas
(Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah
kamu serupa dengan mereka.) maka setiap orang yang duduk di
majelis maksiat dan tidak mengingkari mereka, berarti ia mendapatkan dosa
bersama mereka. Seharusnya ia mengingkari mereka apabila mereka berbicara
tentang maksiat dan melakukannya. Maka jika ia tidak mampu mengingkari
perbuatan mereka maka semestinya ia meninggalkan mereka agar ia tidak termasuk
orang yang mendapat ancaman dalam ayat ini.
Apabila
sudah jelas kewajiban menjauhi para pelaku maksiat seperti yang telah kami
jelaskan, maka menjauhi ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu adalah lebih
utama..Juwaibir meriwayatkan dari ad-Dahhak rahimahullah, ia berkata:
‘Masuk dalam ayat ini setiap ahli bid’ah yang menciptakan yang baru dalam agama
hingga hari kiamat.’[46]
3.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَلاَتَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
وَمَالَكُم مِّن دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لاَتُنصَرُونَ {113} ﴾ [هود: 113]
Dan janganlah
kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkanmu disentuh api
neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolongpun selain
daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud:113)
Al-Qurthuby
rahimahullah berkata: ‘Yang shahih dalam makna ayat tersebut adalah
bahwa ia menunjukkan perintah hajr terhadap orang kafir dan pelaku
maksiat serta selain mereka. Maka sesungguhnya berteman dengan mereka adalah
kufur dan maksiat, karena berteman tidak terjadi kecuali bersumber dari rasa
cinta. Tharafh bin ‘Abd berkata:
Tentang seseorang, janganlah engkau bertanya, dan bertanyalah
tentang temannya,
Maka setiap teman mengikuti orang yang menemaninya
Jika
persahaban itu karena kebutuhan dan taqiyyah, maka sudah dibicarakan
dalam surat Ali Imran dan al-Maidah, dan menemani orang zalim dengan alasan taqiyyah
dikecualikan dari larangan dalam kondisi dharurat.’ Wallahu A’lam.[47]
4.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ لاَّتَجِدُ
قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ
أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ﴾
[المجادلة: 22]
Kamu tidak akan
mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. (QS. al-Mujadilah:22)
Al-Qurthuby
rahimahullah berkata: ‘Imam Malik rahimahullah mengambil dalil
dari ayat ini atas memusuhi Qadariyah dan tidak duduk bersama mereka. Asyhab
berkata dari Malik rahimahullah: ‘Janganlah engkau duduk bersama
Qadariyah dan musuhilah mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala,
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ
يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ ﴾ [المجادلة: 22]
Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya,..)
Dan
sama seperti Qadariyah semua pelaku aniaya dan permusuhan.[48]
Kedua: dari Sunnah:
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
سَيَكُوْنُ فِى آخِرِ أُمَّتِي نَاسٌ يحدثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا
أَنْتُمْ وَلاَ آبَاءُكُمْ, فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُم
» [ أخرجه مسلم]
‘Akan terjadi di akhir
umatku orang-orang yang menciptakan yang baru-baru terhadapmu, sesuatu yang
kamu dan bapak-bapakmu tidak pernah mendengarnya, maka hati-hatilah kalian dan
jauhilah mereka.’[49]
- Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
« لكل
أمة مجوس ومجوس أمتي الذين يقولون: لا قدر, إن مرضوا فلا تعودوهم وإن ماتوا
فلاتشهدوهم » [ أخرجه أحمد وأبو داود ]
“Bagi setiap umat ada
golongan majusi, dan majusi dari umatku adalah orang-orang yang berkata: tidak
ada qadar. Jika mereka sakit janganlah engkau menengok mereka dan jika mereka
wafat janganlah kamu menyaksikan mereka.’[50]
- Hadits Hudzaifah
lembaran (Shahifah) yang masyhur dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dari
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
« المدينة
حرم ما بين عير وثور, فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة
والناس أجمعين » [ أخرجه البخاري ومسلم ]
‘Madinah adalah haram di
antara Ier dan Tsaur, maka siapa yang menciptakan yang baru (dalam agama,
bid’ah) atau menampung orang yang bid’ah, maka atasnya kutukan Allah subhanahu
wa ta’ala, para malaikat dan semua manusia..”[51]
- Dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَا
مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ مِنْ أُمَّتِهِ
حَوَارِيُوْنَ وَأَصْحَابٌ, يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ,
ثُمَّ إِنَّهَا تَخَلَّفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ
مَالَايَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ مَالَايُؤْمَرُوْنَ. فَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٍ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ
وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الْإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلَةٍ» [ أخرجه مسلم ]
“Tidak
ada seorang nabi yang diutus Allah subhanahu wa ta’ala sebelum aku kepada satu
umat kecuali baginya dari umatnya ada hawari dan para sahabat, mereka mengambil
sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka lahirlah generasi
yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan yang tidak
diperintahkan. Maka siapa yang berjihad kepada mereka dengan tangannya maka ia
seorang mukmin, siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka dia
seorang mukmin, dan tidak ada sebiji sawipun dari iman di belakang itu.[52]
- Hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
membaca ayat ini:
﴿ هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ
مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ
فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلُُّ مِّنْ عِندِ
رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ {7} ﴾ [آل عمران: 7]
Dia-lah
yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya
itu dari sisi Rabb kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran:7)
Ia
berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولئِكَ
الَّذِيْنَ سَمَّي اللهُ فَاحْذَرْهُمْ» [ أخرجه البخاري و مسلم ]
‘Apabila engkau melihat orang-orang yang
mengikuti yang samar darinya maka merekalah orang-orang yang disebutkan Allah
subhanahu wa ta’ala, maka hati-hatilah terhadap mereka.’[53]
- Hadits-hadits yang
sangat banyak dalam tindakan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr
para pelaku maksiat sampai mereka bertaubat. Hal itu banyak diriwayatkan
dalam berbagai peristiwa yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat dari Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam, di antara mereka: Ka’ab bin Malik,
Ibnu ‘Amr meriwayatkan dua hadits, Aisyah, Anas, ‘Ammar, Ali, Abu Sa’id
al-Khudry dan selain mereka radhiyallahu ‘anhum.
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam pernah menghajr Ka’ab bin Malik radhiyallahu
‘anhu dan dua temannya tatkala ketinggalan perang Tabuk. Mereka terus dihajr
selama lima puluh malam, sampai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
mengabarkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubat mereka.[54]
Dan
beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr Zainab binti Jahsy radhiyallahu
‘anha sekitar dua bulan tatkala ia berkata: ‘Aku memberikan kepada wanita
Yahudi tersebut’, maksudnya adalah Shafiyyah radhiyallahu ‘anha.[55]
Dan
beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr pemilik kubah yang
mencolok dengan berpaling darinya sampai ia menghancurkannya.[56]
Dan
beliau menghajr ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu dengan tidak
memberi salam kepadanya karena ia memakai pakaian yang diberi wangian za’faran
(jenis wewangian khusus untuk wanita, berwarna antara kuning dan merah) sampai
ia mencucinya.[57]
Dan
beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr seorang laki-laki tatkala
beliau melihat cincin emas di tangannya sampai ia melemparkannya, dan
menghajrnya dengan cara berpaling darinya.[58]
Dan contoh serupa dari hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu.[59]
Dan beliau menghajr seorang laki-laki dengan cara tidak menjawab salamnya, dan
hal itu disebabkan ia memakai dua pakaian merah.[60]
Penerapan para sahabat dan generasi sesudahnya terhadap
sunnah nabi ini:
Para
sahabat telah menerapkan sunnah hajr dalam beberapa peristiwa:
Umar
radhiyallahu ‘anhu menghajr Ziyad bin Hudair radhiyallahu ‘anhu
tatkala melihat pakaian panjang atasnya dan kumisnya tidak terurus. Apabila
Ziyad memberi salam, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menjawab sehingga ia
melepaskan pakaian panjangnya dan mencukur kumisnya.[61]
Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menangkap para pemain dadu di waktu
pagi dan semisalnya, dan melarang memberi salam kepada mereka.[62]
Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang dia
melihatnya menghadzaf (melempar hewan dengan kerikil kecil), setelah ia
menyampaikan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang
hal itu dan ia berkata: ‘Demi Allah subhanahu wa ta’ala saya tidak akan
berbicara denganmu selamanya.’[63]
Abdullah
bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang menghadzaf
dalam kasus serupa, dan seorang Syaikh dari sahabat Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam menghajr seorang pemuda karena menghadzaf.[64]
Ubadah
bin Shamit radhiyallahu ‘anhu menghajr Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu
dalam perbedaan pendapat dalam masalah riba, dan ia berkata: ‘Aku menceritakan
kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan engkau
menceritakan dari pendapatmu’, sungguh jika Allah subhanahu wa ta’ala
mengeluarkan aku (dari wilayah kepemimpinan engkau) aku tidak akan tinggal di
wilayah yang engkau menjadi amir padanya.’ Dan tatkala ia keluar (dari wilayah
itu), ia mengadukannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Maka Umar radhiyallahu
‘anhu menulis surat kepadanya: ‘Tidak ada kepemimpinan atasmu terhadapnya,
dan bawalah manusia terhadap pendapatnya, sesungguhnya ia adalah perintah.’[65]
Dan
kasus serupa terjadi bagi Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu bersama
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.[66]
Dan
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang
dilihatnya tertawa terhadap jenazah, ia berkata: ‘Demi Allah, saya tidak akan
berbicara denganmu selamanya.’[67]
Ketiga: Ijma’:
Dihikayatkan
dari jama’ah, di antara mereka: al-Qadhy Abu Ya’la, al-Baghawi, al-Ghazali,.
Al-Qadhy
Abu Ya’la rahimahullah berkata: ‘Ia merupakan ijma’ para sahabat dan
tabi’in.’[68]
Al-Baghawi
rahimahullah berkata setelah hadits Ka’ab bin Malik rahimahullah:
‘Dan padanya merupakan dalil bahwa sunnah hajr terhadap ahli bid’ah tetap
berlaku untuk selamanya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
khawatir sifat nifaq terhadap Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dan temannya
ketika mereka tertinggal keluar bersamanya. Maka beliau shallallahu ‘alahi
wa sallam menyuruh menghajr mereka hingga Allah subhanahu wa ta’ala
menurunkan (al-Qur`an) tentang taubat mereka dan Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam mengetahui bebasnya mereka (dari sifat nifak). Para
sahabat, tabi’in, para pengikut mereka dan ulama sunnah terus menerapkan hal ini,
sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan menghajr mereka.[69]
Al-Ghazaly
rahimahullah berkata: ‘Tata cara kaum salaf berbeda-beda dalam
menampakkan kemarahan terhadap pelaku maksiat, dan semuanya sepakat untuk
menerapkan kemarahan terhadap orang-orang zhalim dan pelaku bid’ah, dan kepada
setiap pelaku maksiat yang berpengaruh terhadap orang lain.[70]
Ibnu
Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Sudah ijma’ (para ulama) bahwa tidak
boleh menghajr seorang muslim lebih dari tiga hari, kecuali dikhawatirkan dari
bergaul dan berbicara dengannya sesuatu yang bisa merusak agamanya, atau
menyebabkan bahaya terhadap dirinya pada agama dan dunianya, jika dikhawatirkan
seperti itu dibolehkan baginya menjauhinya. Berapa banyak mendiamkan (menghajr,
tidak menyapa) yang indah lebih baik dari pada bergaul yang menyakiti.’[71]
Dan
ia berkata pula dalam mengambil dalil dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu
‘anhu dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendiamkannya bersama
kaum muslimin:
‘Ini
merupakan dasar di sisi para ulama dalam menjauhi orang yang melakukan bid’ah,
mendiamkannya dan tidak berbicara bersamanya. Dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu tidak berbicara terhadap laki-laki yang tertawa pada jenazah.[72]
Tujuan-tujuan
syar’iyah bagi syari’at hajr (mendiamkan):
Bisa
disimpulkan tujuan-tujuan syar’iyah bagi hajr dalam beberapa hal berikut ini:
1. Sesungguhnya mencela dengan cara mendiamkan
merupakan hukuman secara syar’i bagi yang didiamkan, maka ia termasuk jenis
jihad fi sabilillah agar kalimah Allah subhanahu wa ta’ala tertinggi, menunaikan
kawajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar, karena mendekatkan diri kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dengan kewajiban cinta pada-Nya subhanahu wa ta’ala.
2. Membangkitkan rasa sadar di dalam jiwa kaum
muslimin agar tidak terjerumus dalam bid’ah ini dan mengingatkan mereka.
3. Membatasi tersebarnya bid’ah.
4. Menekan pelaku bid’ah dan mencelanya, agar
ia menjadi lemah dari menyebarkan bid’ahnya, karena bila terjadi pemboikotan
terhadapnya dan menjauh darinya jadilah ia seperti musang dalam lobangnya.[73]
5. Juga di antara tujuan syar’i: mengingatkan
pelaku bid’ah terhadap kesalahannya agar ia merasa perbedaannya bagi kaum
muslimin, lalu ia bertaubat dan kembali dari perbuatan bid’ahnya.
Catatan-catatan penting mendiamkan (hajr) yang disyari’atkan:
Yang
perlu diingatkan dalam masalah ini bahwa mendiamkan ahli bid’ah adalah dari bab
pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ibadah, maka harus
ada dua syarat diterimanya, yaitu:
Pertama, ikhlas: ia adalah timbangan ibadah dalam batinnya.
Maka yang mendiamkan ahli bid’ah harus bertujuan memberi nasihat karena Allah subhanahu
wa ta’ala, bagi kitab-Nya, rasul-Nya, dan bagi semua kaum muslimin, dan
bertujuan menutup pintu bid’ah, dan mencela pelakunya agar kembali kepada
sunnah, tanpa adanya tujuan-tujuan lain dari sisi hawa nafsu belaka.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Apabila hal ini sudah
diketahui, maka mendiamkan yang syar’i merupakan amal ibadah yang diperintahkan
Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya. Taat harus ikhlas karena Allah subhanahu
wa ta’ala dan sesuai perintahnya. Maka siapa yang mendiamkan karena hawa
nafsunya atau mendiamkan yang tidak diperintahkan, berarti ia keluar dari kriteria
hal ini.[74]
Kedua:
Mutaba’ah,
yaitu timbangan amal secara lahir:
Mendiamkan
ahli bid’ah harus berdasarkan beberapa catatan yang berdiri di atas kaidah
menjaga mashlahat (kebaikan) dan menolak kerusakan. Syaikh Bakr bin
Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata: ‘Disyari’atkan hajr adalah dalam
lingkaran kriteria-kriteria syar’i yang dibangun di atas dasar menjaga
mashlahat dan menolak kerusakan.’[75]
Sehingga
bisa terealisasikan penyebab yang mengharuskan hajr (mendiamkan), harus
dipastikan beberapa perkara:
1. Memastikan adanya bid’ah, tidak cukup
dengan isu dan ucapan fulan (si anu), akan tetapi harus dipastikan mendengar
ucapannya atau melihat perbuatannya atau tulisannya.
2. Bahwa bid’ah itu adalah sesuatu yang
dipastikan bid’ahnya, maka janganlah ia menhajr dalam masalah-masalah
yang para ulama yang berbeda pendapat padanya.
3. Sampainya hujjah kepada pelaku bid’ah,
memahaminya, hilangnya penghalang kebodohan, tidak adanya syubhat, dan
tersingkapnya ghaflah (lupa, lalai).
Dan bisa disimpulkan kriteria syar’i bagi hajr dalam dua hal:
Pertama, menjaga mashlahat dan merusakan.
Kedua, hukuman menurut kadar kesalahan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam tata cara yang benar
dalam hajr: ‘Sesungguhnya satu kaum menjadikan hal itu berlaku secara umum,
maka mereka melakukan dan mengingkari sesuatu yang mereka tidak disuruh
dengannya, hukumnya tidak wajib dan tidak sunnah, dan terkadang dengannya
mereka meninggalkan kewajiban kewajiban dan sunnah-sunnah, dan melakukan yang
diharamkan dengannya.
Dan
yang lain berpaling dari hal itu secara menyeluruh, maka mereka tidak menghajr
sesuatu yang mereka disuruh menghajrnya dari perbuatan dosa yang bid’ah, bahkan
mereka meninggalkannya karena berpaling, bukan meninggalkan orang yang berhenti
lagi membenci, atau mereka terjerumus padanya. Dan terkadang mereka
meninggalkannya seperti meninggalkan orang yang membenci (perbuatan bid’ah itu)
dan tidak melarang orang lain darinya dan tidak menghukum dengan hajr dan
semisalnya, orang yang pantas mendapat hukuman. Maka mereka telah
menyia-nyiakan nahi mungkar yang mereka disuruh melakukannya dengan perintah
wajib atau sunnah. Maka mereka di antara melakukan yang mungkar atau
meninggalkan yang diperintahkan, dan hal itu melakukan yang mereka dilarang
darinya dan meninggalkan yang mereka disuruh dengannya, maka ini adalah ini.
Dan agama Allah subhanahu wa ta’ala berada di pertengahan di antara yang
ghuluw (berlebihan) padanya dan jafi (yang menjauh, meninggalkan)
darinya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.[76]
Syaikh
Nashiruddin al-Albany rahimahullah berkata: ‘Politik wala` dan bara`
tidak mengharuskan memusuhi satu golongan dari golongan-golongan Islam atau
satu kelompok dari kelompok-kelompok Islam, akan tetapi setiap kelompok darinya
harus diperlakukan dalam batas dekat dan jauhnya dari akidah Islam, atau dari
berpegang dengan Islam yang benar sebagai satu kesatuan utuh. Dan memusuhi
tidak datang kecuali dalam kondisi putus asa dari memperbaiki dan
membimbingnya. Maka di sini datang sesuatu yang dikenal dengan benci/marah
karena Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun pada awalnya, tidak sewajarnya
seorang muslim memusuhi seseorang dari kelompok-kelompok Islam, sekalipun
menyalahi akidahnya.[77]
Maka
dari sudut pandang perbedaan kedudukan dari sisi dosa, ia terdiri dari beberapa
sisi[78]:
·
Dari sisi kondisinya kafir
atau tidak kafir.
Maka
yang mengkafirkan seperti Babiyah, Bahaiyyah dan Qadiyaniyyah.
Dan
yang tidak mengkafirkan seperti umumnya bid’ah dalam ibadah, secara hakikat
atau idhafah.
·
Dari sisi pelakunya
bersembunyi dengannya atau menampakkan diri. Jika ia menampakkanya maka ia
berhak mendapatkan hukuman, berbeda orang yang menyembunyikan, maka ia tidak
lebih buruk dari pada orang-orang munafik yang Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam menerima yang mereka nampakkan dan beliau shallallahu ‘alahi wa
sallam menyerahkan urusan batin mereka kepadanya, ini dan mereka berada di
lapisan paling bawah dari api neraka.[79]
Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: ‘Karena alasan ini dan semisalnya, kaum muslimin berpendapat agar
menghajr orang yang nampak tanda-tanda penyimpangan atasnya dari orang-orang
yang menampakkan bid’ah dan mengajak kepadanya, serta yang menampakkan dosa
besar. Adapun orang yang menyembunyikan maksiatnya atau menyembunyikan bid’ah
yang mengkafirkan, maka sesungguhnya ini tidak dihajr. Sesungguhnya yang dihajr
adalah yang mengajak kepada bid’ah, karena hajr adalah satu jenis hukuman, dan
sesungguhnya yang dihukum adalah yang menampakkan maksiat secara ucapan dan
perbuatan.[80]
·
Dan dari sisi kondisinya
hakikat atau idhafah:
Maka bid’ah hakikat adalah bid’ah ibadah yang baru
secara menyendiri seperti shalat raghaib, bukan bid’ah idhafiyah, dan
seperti shalat qadar, shalat alfiyyah di malam nisfu Sya’ban, bid’ah maulid,
hari-hari besar pemerintah, ied Ghadir kham di kalangan Syi’ah...dan
seterusnya.
Dan bid’ah idhafiyyah: yaitu perkara bid’ah yang
disandarkan kepada sesuatu yang disyari’atkan pada dasarnya dengan tambahan dan
pengurangan. Contohnya adalah: berdoa secara berjama’ah setelah shalat. Doa
adalah sesuatu yang disyari’atkan dan menjadikannya berjamaah adalah bid’ah
yang disandarkan yang tidak ada nashnya. Dasar semua ibadah adalah tauqif
(berdasarkan wahyu, akal tidak punya peran di dalamnya). Dan sujud syukur
secara berjama’ah, menjadikan tabligh (penyambung takbir imam) di
belakang imam sebagai suatu kebiasaan rutin padahal tidak diperlukan,..dan
seterusnya.
Dan dari sisi kondisinya jelas atau sulit/rumit:
Maksudnya kondisinya jelas tempat pengambilannya, maka ia
adalah bid’ah, maka ia adalah bid’ah murni seperti bid’ah-bid’ah upacara
pemakaman dan maulid, shalat Raghaib... Atau bid’ah yang padanya ada
kemungkinan karena samar tempat pengambilannya, contohnya: qunut dalam shalat
isya` dan subuh. Memang hal itu pernah terjadi kemudian dinasakh dan tetap
disyari’atkan padanya saat peristiwa tertentu, dan adanya syubhat khilaf
(perbedaan pendapat) tidak menjadikannya disyari’atkan secara rutin.
Pada
hakikatnya sesungguhnya sisi ini hanya pada gambaran saja, bukan pada
hakikatnya, karena bid’ah-bid’ah berbagai macam bentuk pengambilanya bersumber
dari isu-isu dan sikap fanatik buta tidaklah menjadikannya jelas. Wallahu
A’lam.[81]
·
Dan dari sisi ijtihadnya
padanya atau kondisinya muqallid (pengikut):
Mujtahid adalah orang yang menciptakan bid’ah, kecenderungan
kepada kesesatan lebih mungkin di hatinya dari pada pengikut, sekalipun
keduanya berdosa, akan tetapi dosa orang yang memberikan contoh yang buruk
lebih besar dosanya. Wallahu A’lam.[82]
·
Dan dari sisi terus
menerus melakukannya atau tidak:
Adapun terus menerus melakukannya maka ia menjadikannya dari
bab (pintu) berdakwah kepadanya. Adapun yang tidak terus menerus melakukannya
maka ia masuk dari pintu kekeliruan dan kekhilafan seorang alim, apabila ia
melakukan kemudian tidak pernah mengulanginya lagi.[83]
·
Dan berbeda sesuai
perbedaan kondisi orang yang melakukan kesalahan (ahli bid’ah) dan yang ada
padanya berupa kebaikan dan keburukan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
‘Apabila tergabung pada seorang laki-laki kebaikan dan keburukan, fasik dan
taat, maksiat, sunnah dan bid’ah: ia berhak mendapatkan perlakukan wala`
(loyal) dan pahala sekadar kebaikan yang ada padanya, dan ia pantas dimusuhi
dan hukuman menurut kadar keburukan yang ada padanya. Maka tergabung pada
seseorang beberapa perkara yang mengharuskan mendapatkan penghormatan dan
penghinaan. Maka tergabung baginya dari ini dan itu, seperti pencuri yang
fakir, dipotong tangannya karena ia mencuri dan diberikan dari baitul mal yang
mencukupi kebutuhannya. Inilah dasar yang disepakati oleh para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah...[84]
·
Dan berbeda di antara
seorang alim yang jiwanya menyerap dengan bid’ah akan tetapi ia tidak
bergabung/bercambur dengan ulama Ahlus Sunnah dan tidak mengambil ilmu dari
mereka, dan di antara seorang alim yang mengambil ilmu dari ahli bid’ah,
kemudian ia bergabung dengan ahlus sunnah dan para ulama mereka, berkumpul bersama
mereka satu masa yang bisa mendapatkan keyakinan, bahkan ia bergaul dengan
mereka puluhan tahun. Kemudian ia tetap berada di atas serapan bid’ah yang
terus dilakukannya, berdakwah kepadanya, terus menerus atasnya. Maka orang ini
telah berdiri tegak hujjah atasnya lebih banyak dan jelas bukti-bukti baginya
maka ia tidak lebih melihat. Ia adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala
yang paling berdosa dan benci terhadap Ahlus Sunnah. Maka yang pertama dalam
menjinakkan hatinya untuk kembali kepada Ahlus Sunnah masih ada harapan. Adapun
yang kedua, maka tidak. Bahkan wajib mendiamkannya dan menjauhinya, dan
memberikan hukuman secara syar’i atasnya, menghajrnya setelah mati sebagaimana
menghajrnya ketika masih hidup. Maka orang shalih tidak menshalatkannya dan
tidak mengikuti jenazahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pada
sebagian pelaku maksiat yang menampakkan kefasikan mereka: ‘Adapun bila
seseorang menampakkan kemungkaran tentu wajib mengingkarinya secara terbuka dan
tidak tersisa baginya ghibah (boleh menggunjingnya dalam masalah ini), dan
harus dihukum secara terbuka dengan suatu hukuman yang membuatnya jera dari hal
itu berupa didiamkan dan yang lainnya. Maka tidak boleh diberi salam kepadanya
dan tidak dijawab salamnya, apabila yang melakukan hal itu bisa melakukannya
tanpa berakibat kerusakan yang lebih buruk.
Sudah selayaknya para tokoh agama menghajrnya setelah wafat,
sebagaimana menghajrnya ketika masih hidup, apabila hal itu bisa membuat jera
para pelaku dosa, maka mereka tidak melayat jenazahnya. Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam pernah beberapa kali tidak menshalatkan pelaku dosa. Dan
sebagaimana dikatakan kepada Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu[85]:
Sesungguhnya anakmu meninggal semalam.’ Ia berkata: ‘Jika ia meninggal aku
tidak menshalatkannya.’ Maksudnya, sesungguhnya ia membantu membunuh dirinya
maka ia sama seperti membunuh dirinya, dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
tidak menshalatkan orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Demikian pula Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr tiga orang sahabat yang
menampakkan dosa mereka dalam tidak ikut berjihad yang wajib sampai Allah subhanahu
wa ta’ala menerima taubat mereka. Maka bila ia menampakkan taubat niscaya
nampak kebaikan baginya...[86]
·
Dan dibedakan dalam
kondisi yang dihajar di antara yang mempunyai iman yang kuat dan yang lemah
padanya. Sesungguhnya yang kuat dihukum dengan yang lebih berat dari pada yang
lemah dalam agama, sebagaimana dalam cerita Ka’ab bin Malik radhiyallahu
‘anhu dan dua temannya.[87]
·
Demikian pula menurut
kondisi tempat:
Beda di antara tempat-tempat yang banyak bid’ah padanya,
sebagaimana banyak Qadariyah di Bashrah, peramal di Khurasan, Syi’ah di Kufah
dan di antara yang tidak ada yang demikian itu.[88]
Dan ini menurut yang difatwakan imam Ahmad dan yang lainnya, dibangun atas
dasar ini: menjaga mashlahat syar’iyah. ‘Dan berbeda menurut perbedaan
orang yang menghajr dalam kekuatan dan kelemahan mereka, sedikit dan banyaknya
mereka.[89]
Apabila mayoritas dan yang nampak bagi Ahlus Sunnah niscaya
disyari’atkan hajr terhadap ahli bid’ah berdiri menurut asalnya. Dan jika
kekuatan dan mayoritas bagi ahli bid’ah –tidak ada daya dan upaya kecuali
dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala- maka ahli bid’ah dan yang
lain tidak akan tersadar dengan tindakan hajr dan tidak bisa diperoleh tujuan
syar’i, niscaya tidak disyari’atkan hajr dan yang terbaik adalah cara
pendekatan karena khawatir bertambah keburukan.
Dan ini seperti kondisi yang disyari’atkan bersama musuh:
terkadang berperang, terkadang berdamai, dan terkadang diambil jizyah. Semua
itu tergantung kondisi dan mashlahat.[90]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata: ‘Adapun menghajr mereka maka ini menjadi keharusan terhadap bid’ah.
Apabila bid’ah itu menyebabkan kafir wajiblah menghajr. Apabila kurang dari
itu, maka sesungguhnya kita tawaqquf (berhenti) dari menghajrnya, jika
dalam menghajrnya adalah mashlahat maka kita melakukannya dan jika tidak ada
mashlahat padanya niscaya kita menjauhinya. Hal itu dikarenakan bahwa pada dasarnya
haram menghajr orang yang beriman, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
« لَايَحِلُّ لِرَجُلٍ مُؤْمِنٍ أَنْ
يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ » [ أخرجه البخاري ومسلم
]
“Tidak boleh bagi
seseorang yang beriman menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.”[91]
Maka setiap orang beriman, sekalipun ia fasik, haram
menghajrnya selama tidak ada mashlahat dalam menghajrnya. Jika ada mashlahat
dalam menghajrnya kita menghajrnya, karena hajr dalam kondisi itu menjadi obat.
Adapun bila tidak ada mashlahat padanya atau bertambah maksiat dan
pembangkangan padanya, maka sesungguhnya yang tidak ada mashlahat padanya maka
meninggalkannya adalah mashlahat.[92]
Di masa sekarang, fitnah sangat besar dan bid’ah tersebar
luas. Ahli bid’ah merupakan simbol di sebagian negara...mereka meninggikan
bid’ah mereka dan mempublikasikannya.
Dan di sebagian negara, jika sunnah lemah nampaklah bid’ah
dan jika sunnah kuat niscaya bid’ah mengerucut. Dan tidak samar terhadap orang
yang melihat lagi mengetahui sumber pengambilan mazhab mereka yaitu mereka
mengarang buku-buku propaganda untuk mazhab mereka, sehingga mempengaruhi
akidah orang-orang yang jahil. Sebagaimana diberikan banyak kesempatan terhadap
mereka untuk memasukkan bid’ah-bid’ah mereka di setiap rumah lewat stasiun
televisi dan majalah serta lewat setiap cara yang bisa mereka lakukan.
Realita pada hari ini menjadi saksi terhadap apa yang kami
katakan! Apakah perkaranya dibiarkan dan seolah-olah sesuatu yang tidak pernah
terjadi? Ataukah dakwah kepada kebenaran dan sunnah merupakan suatu keharusan,
semua menurut kadarnya. Kebutuhan yang sangat terhadap amar ma’ruf dan nahi
munkar, meluruskan akidah, dan melakukan segala upaya untuk menghalangi
kebatilan dan pelakunya?!!
Berdialog
dengan ahli bid’ah[93]:
Dekat
dari masalah mendiamkan adalah masalah berdialog dengan orang-orang yang
menyimpang (ahli bid’ah) dan berdebat dengan mereka:
Sesungguhnya
berdialog dengan ahli batil (ahli bid’ah) dan menjelaskan syubhat mereka
mendapat pujian dan dorongan dari Allah subhanahu wa ta’ala dalam
Kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya:
﴿
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ﴾
[النحل: 125]
Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (QS. an-Nahl:125)
Dan
Allah subhanahu wa ta’ala memberi karunia kepada nabi Ibrahim ‘alaihissalam
dengan memberikan kemampuan berhujjah kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
﴿ وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ
ءَاتَيْنَاهَآ إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَآءُ
إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ {83}
﴾ [الأنعام: 83]
Dan itulah
hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami
tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An’aam:83)
Allah
subhanahu wa ta’ala menceritakan beberapa dialog di antara ahli haq dan
ahli batil. Di antaranya, dialog Ibrahim ‘alaihissalam kepada kaumnya
sebagaimana dalam surah al-An’aam, dialog Musa ‘alaihissalam dengan
Fir’aun sebagaimana dalam surah asy-Syu’ara dan yang lainnya.
Dan diriwayatkan dari salaf tentang bolehnya dialog dan debat
di saat-saat tertentu. Banyak kalangan salaf yang berkata: ‘Dialoglah dengan
kaum Qadariyah dengan ilmu, jika mereka mengakui dengannya berarti mereka kalah
dan jika mereka mengingkari berarti mereka kafir.’[94]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Di
antara yang sudah diketahui secara mutawatir bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu bersikap wala` kepada selain Syi’ah melebihi sikap wala`nya terhadap
Syi’ah, sehingga terhadap kaum Khawarij, ia duduk bersama mereka, memberi fatwa
dan berdialog dengan mereka.[95]
Dan sebaliknya juga diriwayatkan celaan berdebat dan
bertengkar dalam masalah agama. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿
مَايُجَادِلُ فِي ءَايَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ
تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ {4} ﴾ [غافر: 4]
Tidak ada yang
memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.Karena
itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang
lain memperdayakan kamu. (QS. Ghafir:4)
Dan
firman-Nya:
﴿وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ
فِي ءَايَاتِنَا مَالَهُم مِّن مَّحِيصٍ 35
﴾
[الشورى: 35]
Dan supaya
orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa mereka
sekali-kali tidak akan memperoleh jalan ke luar (dari siksaan). (QS. asy-Syura’:35)
Dan banyak pula dalil-dalil dari sunnah, di antaranya: sabda
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللّهِ الْأَلَدُّ الْخَصمُ » [أخرجه البخاري ومسلم]
“Laki-laki yang paling
dibenci Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang sangat memusuhi lagi suka
berdebat.”[96]
An-Nawawi rahimahullah berkata: ‘al-Aladd,
yaitu sangat memusuhi. Diambil dari ladiday wady, yaitu dua sisinya,
karena setiap kali didebat atasnya dengan hujjah ia mengambil dari sisi yang
lain. Adapun khashm, yaitu yang suka bermusuhan. Dan yang dicela adalah
permusuhan dengan cara batil dalam mengangkat hak atau menetapkan kebatilan. Wallahu
A’lam.[97]
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَاضَلَّ
قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ » [ أخرجه الترمذي
وابن ماجه ]
‘Tidak
tersesat satu kaum setelah mendapat petunjuk yang mereka berada di atasnya
kecuali mereka suka berdebat,’ kemudian beliau membaca:
﴿ مَاضَرَبُوهُ
لَكَ إِلاَّ جَدَلاً ﴾ [الزخرف: 58]
Mereka tidak
memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja,.
(QS. az-Zukhruf:58)[98]
Dan
diriwayatkan pula dari salaf yang menunjukkan celaan berdebat dan bertengkar
dalam agama.
Abdurrahman
bin Mahdy rahimahullah berkata: ‘Aku mendapatkan manusia, sedangkan
mereka berada di atas jumlah, maksudnya tidak banyak berbicara dan tidak
bermusuhan (dalam agama).’[99]
Abdurrahman
bin Abu Zinad rahimahullah berkata: ‘Aku bertemu orang-orang yang utama
dan ahli fiqih dari manusia terpilih; mereka mencela orang yang suka berdebat
dan mengambil pendapat sendiri, melarang kami bertemu dan duduk bersama mereka,
serta memperingatkan kami dari mendekati mereka.[100]
Imam
Ahmad rahimahullah berkata: ‘Dasar-dasar sunnah di sisi kami adalah
berpegang teguh dengan sesuatu yang diperpegangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam dan mengikuti mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat, meninggalkan perdebatan dan duduk bersama pengikut hawa
nafsu, dan meninggalkan perdebatan dan permusuhan dalam agama.’[101]
Imam
al-Baghawi rahimahullah berkata: ‘Para ulama salaf dari Ahlus Sunnah
sepakat melarang perdebatan dan permusuhan dalam masalah sifat (Allah subhanahu
wa ta’ala), dan mencela mendalami ilmu kalam dan mempelajarinya.’[102]
Akan
tetapi semua ini, maksudnya pujian dan celaan, tidak kembali kepada perdebatan
dan dialog itu sendiri, dan sesungguhnya ia kembali kepada merealisasikan
tujuan-tujuan dialog, syarat-syarat dan adab-adabnya.
Pertama: Tujuan syar’i untuk berdialog dengan ahli bid’ah dan
berdebat dengan mereka:
1. Berdakwah kepada ahli bid’ah dan
menyampaikan kebenaran kepada mereka, serta menyadarkan mereka dari berbagai
macam bid’ah yang ada pada mereka.
2. Membela agama dan membersihkannya dari
kesamaran yang dilakukan ahli bid’ah dan sesuatu yang mereka susupkan dengannya
nash-nashnya berupa penyimpangan dan takwil.
3. Menjaga kalangan awam agar jangan
terjerumus dalam berbagai macam bid’ah, membentengi mereka dari syubhat-syubhat
dan menjelaskannya serta menjelaskan bantahan terhadapnya.
4. Mempermalukan ahli bid’ah dan membuka
kebatilan mereka agar tidak samar terhadap manusia.
5. Mengumpulkan manusia di atas satu kalimat,
karena kaum muslimin diperintahkan agar berpegang teguh dengan tali (agama)
Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak mungkin berkumpulnya mereka di atas
selainnya. Maka di dalam menjelaskan kepalsuan bid’ah merupakan kemajuan untuk
merealisasikan tujuan syari’i yang agung ini.
Dan
di atas tujuan-tujuan syar’i ini terbangunlah hukum atas berdialog dan
berdebat. Maka kapan saja terdapat tujuan-tujuan ini dan terealisasi berarti
dialog ini adalah syari’ yang terpuji, dan kapan saja tidak didapatkan
tujuan-tujuan ini dan tidak terealisasi berarti dialog tersebut adalah tercela.
Karena
alasan itu para ulama meletakkan beberapa catatan yang membedakan dialog yang
terpuji dari yang tercela, yaitu yang akan dibicarakan berikut ini:
Kedua: Kriteria-kriteria dialog:
1. Ilmu: orang yang berdialog dan berdebat dengan
ahli bid’ah harus mempunyai ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala mencela
perdebatan tanpa berdasarkan ilmu, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَمِنَ النَّاسِ
مَن يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَّرِيدٍ
{3}﴾[الحج: 3]
Di antara
manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti
setiap syaitan yang jahat, (QS. al-Hajj:3)
Dan
firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ هَاأَنتُمْ
هَاؤُلآءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُم بِهِ عِلْمُُ فَلِمَ تُحَآجُّونَ فِيمَا
لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمُُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ {66} ﴾[آل عمران: 66]
Beginilah kamu,
kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka
kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui; Allah
mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Ali Imran:66)
Asy-Syathiby
rahimahullah menyebutkan dari Abu Farukh rahimahullah, bahwa ia
menulis kepada Malik bin Anas rahimahullah: Sesungguhnya di kota kami
banyak bid’ah dan sesungguhnya dia mengarang untuk mereka perkataan sebagai
bantahan terhadap mereka. Maka Malik rahimahullah menulis kepadanya:
‘Jika engkau mengira hal itu dengan dirimu sendiri, saya khawatir engkau
tergelincir maka engkau binasa. Tidak bisa/boleh membantah mereka kecuali
seseorang yang dhabith lagi mengenal sesuatu yang dia katakan kepada
mereka, yang mereka tidak mampu membengkokkan atasnya, maka ini tidak mengapa.
Adapun selain yang demikian itu, maka sesungguhnya saya khawatir bahwa ia
berbicara kepada mereka lalu keliru maka mereka meneruskan kesalahannya, atau
mereka mendapat peluang dengan sesuatu darinya, maka mereka menjadi zhalim dan
bertambah ingkar atas hal itu.’[103]
2. Bahwa tidak melakukan dialog kecuali orang
yang berkeinginan memberi petunjuk dan manfaat kepadanya.
Ibnu
‘Aun rahimahullah berkata: ‘Aku mendengar Muhammad bin Sirin rahimahullah
melarang berdebat kecuali kepada seseorang yang jika engkau berbicara dengannya
engkau ingin dia kembali (ke jalan sunnah).[104] Namun,
sesungguhnya harus dijaga dalam hal ini beberapa kondisi yang menuntut dialog,
sekalipun tidak bisa diharapkan kembalinya orang yang menyimpang ini. Dan ini
seperti diminta berdialog di hadapan orang banyak, sebagaimana sekarang terjadi
di layar-layar kaca dan internet, dan bila tidak mengikuti debat berarti
kehinaan terhadap sunnah dan nampaknya bid’ah. Dan bisa jadi tidak melakukan
dialog bisa membawa terperdayanya manusia dengannya, dan mereka mengira bahwa
ia berada di atas kebenaran, dan sesungguhnya orang yang tidak melakukan dialog
dengannya berada di atas kebatilan.
Dan
termasuk yang itu adalah yang terjadi di masa imam Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim
al-Isma’ily al-Hafizh, ketika seorang Isma’ily al-Bathiniyah berdiri dan
berdialog kepada Amir Wasymakiir, maka Amir menyuruh al-Hafizh Abu Bakar rahimahullah
untuk melakukan dialog. Dan hal itu di hadapan publik, maka al-Hafizh
berdialog/berdebat dengannya dan mengalahkannya.[105]
Imam
Ahmad rahimahullah berkata: ‘Sungguh kami menyuruh diam, maka tatkala kami
dipanggil kepada suatu perkara yang kami tidak ada pilihan lain selain menolak
hal itu dan menjelaskan perkaranya yang membantah apa yang mereka katakan.
Kemudian ia berdalil untuk hal itu dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ ﴾ [النحل: 125]
dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (QS. an-Nahl:125)
Imam
Ibnu Baththah rahimahullah[106]
ditanya tentang seorang penanya yang bertanya kepada seorang ulama tentang
masalah hawa nafsu yang terjadi/muncul yang dia meminta jawaban, apakah ia
menjawabnya atau tidak? Maka beliau rahimahullah membagi orang-orang
yang bertanya kepada tiga bagian, yang terkait dengan kita dari mereka di sini
adalah bagian kedua yang dia katakan: ‘Dan laki-laki lain yang hadir di satu
majelis yang engkau hadir padanya, engkau merasa aman padanya terhadap dirimu,
banyak orang-orang yang menolong dan membantumu. Lalu ia berbicara padanya
dengan ucapan yang mengandung fitnah dan merupakan bala (cobaan) terhadap hati
orang-orang yang mendengarkannya untuk mencampakkan keraguan di hati, karena ia
termasuk orang yang di hatinya ada kecenderungan (kepada kesesatan), ia
mengikuti yang samar karena mencari fitnah dan bid’ah. Dan hadir bersamamu dari
saudara-saudaramu dan pengikut mazhabmu orang yang mendengar ucapannya, namun
mereka tidak mempunyai hujjah (dalil) untuk menghadapi dan mereka tidak
mempunyai latar belakang pengetahuan tentang keburukan apa yang dibawanya. Jika
ia mendiamkannya niscaya tidak aman dari fitnahnya yaitu merusak hati para
pendengarnya dan memasukkan keraguan terhadap orang-orang yang punya pikiran.
Maka ini termasuk yang engkau harus menolak bid’ahnya dan kekotoran ucapannya,
dan engkau mempublikasikan ilmu dan hikmah yang Allah subhanahu wa ta’ala
mengajarkan kepadamu, dan janganlah tujuanmu dalam pembicaraan itu untuk
memusuhi dan berdebat dengannya. Dan hendaklah tujuanmu dengan ucapannya untuk
melepaskan saudara-saudaramu dari jaringannya. Maka sesungguhnya orang-orang mulhid
(atheis) yang busuk membuka jaringan-jaringan syetan untuk menjaring
orang-orang beriman. Maka hendaklah majunya engkau dengan ucapanmu, menyebarkan
ilmu dan hikmahmu, berserinya wajahmu, dan kefasihan tutur katamu ditujukan
terhadap saudara-sudaramu dan orang yang hadir bersamamu, bukan untuknya (orang
bid’ah). Sehingga mereka terputus darinya dan engkau menghalangi di antara
mereka dan di antara mendengarkan ucapannya. Bahkan jika engkau mampu memotong
ucapannya dengan cara yang hikmah yang bisa memalingkan muka manusia darinya
maka lakukannya.[107]
3. Hendaklah ia menggunakan metode/cara yang
sesuai dan berhati-hati dari dampak dialog yang bisa membawa ahli bid’ah makin
terjerumus dalam bid’ahnya.
4. Bahwa tujuan dialog itu adalah mencapai
kepada kebenaran dan menjelaskannya disertai ikhlas kepada Allah subhanahu
wa ta’ala padanya, hendaklah ia menjauhi tujuan-tujuan yang buruk. Dan di
antara tujuan buruk adalah: berdialog dengan tujuan mengekang kebenaran dan
menolaknya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهَ الْحَقَّ ﴾ [غافر: 5]
dan mereka
membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang
batil itu; (QS. Ghafir:5)
Dan di antaranya (tujuan yang buruk): bahwa tujuannya hanya
semata-mata berdialog dan keingkaran, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala
mengabarkan tentang orang-orang kafir Quraisy dalam firman-Nya:
﴿وَلَمَّا ضُرِبَ
ابْنُ مَرْيَمَ مَثَلاً إِذَا قَوْمُكَ مِنْهُ يَصِدُّونَ {57} وَقَالُوا
ءَأَلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَاضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ
قَوْمٌ خَصِمُونَ {58} ﴾ [الزخرف: 57-58]
Dan tatkala
putera Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak
karenanya. * Dan mereka berkata:"Manakah yang lebih baik ilah-ilah kami
atau dia (Isa)" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan
dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.
(QS. Zukhruf:57-58)
Dan
di antara tujuan perdebatan yang tercela pula: bahwa tujuannya adalah
menampakkan ilmu, kecerdasan dan kejeniusan serta kekuatan hujjah karena riya
terhadap manusia dan mencari dunia. Maka semua tujuan ini adalah merusak pahala
berdialog, batal pahalanya, sekalipun ia berada dalam kebenaran, karena ia
tidak bertujuan karena Allah subhanahu wa ta’ala, dan sesungguhnya ia
menghendaki bagian hawa nafsu.[108]
5. Bahwa janganlah dialog ini menjadi penyebab
nampaknya orang-orang menyimpang dan menjadi pembuka pintu bagi mereka menjadi
lebih berani terhadap sunnah dan ahlus sunnah.
Imam al-Lalika`i rahimahullah berkata menjelaskan
dampak berdebatan bersama orang-orang yang menyimpang berupa tindakah kriminal
terhadap kaum muslimin, membandingkan di antara kondisi orang-orang yang
menyimpang di masa salaf yang pertama dan kondisi mereka berupa kehinaan dan
kenistaan, dan di antara kondisi mereka setelah dibukanya pintu dialog bersama
mereka menurut pendapat sebagian ulama mutaakhirin (ulama belakangan)
dan hasil yang mereka dapatkan dari hal itu berupa pujian dan kedudukan,
sehingga mereka menjadi tandingan bagi Ahlus Sunnah dalam pandangan awam, ia rahimahullah
berkata: ‘Tidak ada satu tindakan kriminal (kejahatan) terhadap kaum muslimin yang
lebih besar dari dialog dengan ahli bid’ah, dan tidak ada kehinaan dan
kenistaan bagi mereka yang lebih besar dari pada perlakuan salaf meninggalkan
mereka dalam kondisi itu. Mereka mati dalam kondisi marah dan terhina, mereka
tidak mendapatkan jalan untuk menyebarkan bid’ah mereka. Sehingga datang orang
yang terperdaya lalu membuka jalan untuk mereka, maka jadilah mereka sebagai
penunjuk jalan kepada kehancuran Islam. Sehingga banyak pertengkaran di antara
mereka. Nampak dakwah mereka dengan dialog, dan mengetuk pendengaran orang yang
tidak mengenalnya dari kalangan khusus dan umum. Sehingga berhadapan
syubhat-syubat dalam hujjah dan sampailah mereka dari keterperincian dalam
ketegaran. Maka jadilah mereka sebagai teman dan kawan dan di atas mudahanah
menjadi saudara. Setelah sebelumnya mereka adalah musuh dan lawan karena Allah subhanahu
wa ta’ala. Mereka (salaf) mengkafirkan mereka (orang-orang yang menyimpang)
secara terbuka dan mengutuk mereka secara terang-terangan. Sangat jauh di
antara dua kedudukan dan sangat jauh di antara dua maqam.[109]
[1] Hakikatul
bid’ah, karya al-Ghamidi 2/195.
[2] Al-I’tisham 2/516-518.
[3] I’tisham 2/543
[4] I’tisham, 2/550.
[5] Diriwayatkan
oleh al-Qadha’iy dalam Musnad Syihab 2/44 dan ad-Dailamy dalam Musnad
Firdaus 7994.
[6] I’tisham
2/551, 552, 553, 557
[7] Majmu’
Fatawa 35/414.
[8] I’tisham
2/712-713.
[9] Majmu’
Fatawa 3/348.
[10] Syarh
Shahih Muslim, 1/60, dan
lihat: at-Taqrib lin Nawawi hal 324.
[11] Abdurrahman
bin Yahya bin Ali bin bin Muhammad al-Mu’allimy al-‘Atamy, faqih, muhaddits,
wafat di Makkah tahun 1386 H.
[12] At-Tankil 1/228.
[13] Maksudnya
pada zaman sahabat, orang yang berbicara para Utsman, Zubair, Thalhah,
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum, mereka menganggapnya sebagai syi’ah yang ghuluw.
[14] Mizanul
I’tidal 1/118-119.
[15] Al-Kifayah hal 120.
[16] At-Taqrib
hal 324-325
[17] Minhajus
Sunnah 1/66-68.
[18] Nuzhatun
Nazhar hal. 50.
[19] Tadribur
rawi hal 325.
[20] At-Tankil 1/221
[21] Ulumul
Hadits hal 103-104.
[22] Al-Kifayah
hal. 127.
[23] Al-Kifayah
hal. 126-127
[24] As-Sunan
Kubra 10/208.
[25] Al-Kifayah
hal. 128.
[26] Thabaqah
Hanabilah 1/250.
[27] Syarh
Sunnah 1/250.
[28] Jami’u
Bayanil Ilmi wa fadhlih 2/821.
[29] Majmu’
Fatawa 24/175.
[30] At-Tankil 1/231.
[31] Syarh
Sunnah lil Baghawi 1/248-249.
[32] Minhajus
Sunnah an-Nabawiyah 1/62-63.
[33] Asy-Syari’ah
454 (2/873-874).
[34] Asy-Syari’ah (2/873-874). Al-Laalika`i dalam Syarh
Ushuli I’tiqadi Ahlus Sunnah 1163 (4/644).
[35] Ibid
494 (2/904-905).
[36] Ibid
546 (901-902).
[37] Ibid
166 (1/501)
[38] Masail
Imam Ahmad riwayat anaknya Abdullah hal 224.
[39] Tabshiratul
Hukkam, Ibnu Farhun 1/426.
[40] Masail
Imam Ahmad riwayat Abu Daud hal 286.
[41] Al-Adabus
Syar’iyyah 1/276.
[42] Al-Bukhari
6/274 (7097).
[43] Abu
Daud 2/632 (4683) dan an-Nasa`i 8/103 (4992).
[44] Minhaju
Sunnah Nabawiyah 1/63-66.
[45] Tafsir
al-Qurthuby 7/12-13.
[46] Tafsir
al-Qurthuby 5/418.
[47] Tafsir
al-Qurthuby 9/108.
[48] Tafsir
al-Qurthuby 17/308
[49] Muslim
1/12 (6) dalam Muqaddimah.
[50] HR.
Ahmad 2/86, 125, dan 5/406, Abu Daud 2/634 (4692).
[51] Al-Bukhari 6/2482, 6374 dan Muslim 2/2053,
2665.
[52] Muslim
1/69 (50).
[53] Al-Bukhari
4/1655 (4273) dan Muslim 4/2053 (2665).
[54] Al-Bukhari
4/1603, 1718, 5/2308, 6/2640 (4156, 4400, 5900, 6798), Muslim 4/2120 (2769).
[55] Abu
Daud 2/609 (4602)
[56] Abu
Daud 2/781 (5237)
[57] Abu
Daud 2/609 (4601) dan Musnad ath-Thayalisy 1/90 (646).
[58] Al-Adabul
Mufrad 1/352 (1020)
[59] An-Nasa`i
8/175 (5206) dan al-Adabul Mufraf 1/352 (1022).
[60] Abu
Daud 2/450 (4065), An-Nasa`i 5/116 (2807), dan al-Mustadrak 4/211
(7399).
[61] Hilyatul Auliya`
4/197-198.
[62] Adabul
Mufrad 1/422 (1268).
[63] Al-Mustadrak 4/315 (7760).
[64] Sunan
ad-Darimy 1/127-128 (438-440)
[65] Sunan
Ibnu Majah 1/8 (18).
[66] Al-Muwaththa` 2/632 (1302) dan Musnad asy-Syafi`i 1/242
(1202)
[67] Az-Zuhd karya Imam
Ahmad 1/161.
[68] Al-Adabusy
Syar’iyyah karya Ibnu Muflih
1/232.
[69] Syarh
Sunnah karya al-Baghawi
1/226-227.
[70] Ihya`
‘Ulumiddin 2/168.
[71] At-Tamhid 6/127 dan lihat Fathul Bari 10/496.
[72] At-Tamhid
4/87
[73] Lihat:
Hajrul Mubtadi’ karya Bakar bin Abdullah Abu Zaid hal. 11.
[74] Majmu’
Fatawa 28/207.
[75] Hajrul
Mubtadi’ hal 41.
[76] Al-Fatawa
28/213 dan liha hal 206 darinya.
[77] Di
antara fatwa Syaikh al-Albany di Makkah, kaset no. 7.
[78] Lihat
uraian enam sisi ini dari I’tisham karya asy-Syathiby 1/167-174
[79] Lihat:
Majmu’ Fatawa 28/205.
[80] Majmu’
Fatawa 24/174-175.
[81] Lihat:
I’tisham 1/172-173.
[82] Lihat:
I’tisham 1/167-168.
[83] Lihat:
I’tisham 1/174
[84] Al-Fatawa
28/209 dan lihat hal 228 dengan penjelasan lebih luas dari ini.
[85] Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam az-Zuhd 1/199.
[86] Al-Fatawa
28/217-218.
[87] Lihat:
Fathul Bary 8/123, Kitab Maghazi.
[88] Fatawa
28/206-207
[89] Al-Fatawa
28/206.
[90] Hajrul Mubtadi’ hal 44.
[91] Al-Bukhari
6073 dan Muslim 2560.
[92] Al-Majmu’
ats-Tsamin 1/30-31.
[93] Artikel
yang ditulis guru kami Sayyid Hasan Ali al-Baar di majalah al-Bayan edisi 191
dengan judul ‘Berdialog dengan ahli bid’ah.’
[94] Jami’ul
Ulum wal Hikam 1/27.
[95] Minhaj
Sunnah Nabawiyah 7/263
[96] Al-Bukhari (2/867) (4/1644) (6/2628) (2325)
(4251) (6765) dan Muslim 4/2054 (2668).
[97] Syarh
Muslim 16/219.
[98] At-Tirmidzi
5/378, Ibnu Majah 1/19 (48) dan dihasankan oleh al-Albany dalam Shahih
at-Targhib 1/33.
[99] Al-Ibanah
Kubra 2/529.
[100] Referensi
yang sama 2/532.
[101] Syarh
Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah
1/156 dan Adab Syar’iyah 1/201.
[102] Syarh
Sunnah 1/216.
[103] Lihat:
I’tisham 1/44.
[104] Ibanah
Kubra karya Ibnu Baththah 2/541 no. 681.
[105] Lihat
kisah selengkapnya dalam I’tisham 1/202-203.
[106] Ubaidullah
bin Muhammad bin Muhammad Abu Abdillah al Akbary, dikenal dengan nama Ibnu
Baththah, muhaddits, faqih dari ulama besar mazhab Hanbaly. Dilahirkan di
‘Akbara dan wafat di sana tahun 387 H. Mengarang banyak kitab, yang terpenting
‘Ibanah ‘an Ushul Diyanah’.
[107] Al-Ibanah
Kubra 2/542.
[108] Mauqif
Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa wal bida’. (2/605-606)
[109] Syarh
Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah
1/19-20.
Jenis-Jenis Bid’ah dan Berbagai Kondisi Para Pelakunya
Muqodimah
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Bid’ah tidak hanya satu jenis, di antaranya ada bid’ah kufur yang mengeluarkan dari agama, di antaranya ada yang tidak keluar dari agama akan tetapi pelakunya berada dalam bahaya, di antaranya bid’ah amaliyah (dalam perbuatan), bid’ah i’tiqadiyah (dalam keyakinan), bid’ah haqiqiyah (sebenarnya), dan bid’ah idhafiyyah (sandaran).
Seperti inilah berbeda-beda tingkatan bid’ah, dan perbedaan tingkatan bid’ah karena perbedaan keterkaitannya. Dan kaitan-kaitan ini terbatas pada:
1. Masalah-masalah ushul (dasar) dan i’tiqad.
2. Kaidah-kaidah dan dasar-dasar i’tiqad dan amal ibadah.
3. Kebutuhan, keperluan dan pelengkap.
4. Kulliyaat dan juz`iyyah.
5. Bid’ah-bid’ah yang sebenarnya dan idhafiyyah (sandaran/tambahan).
6. Bid’ah-bid’ah yang jelas pengambilannya dan yang rumit tempat pengambilannya.[1]
Dengan perbedaan kaitan-kaitan ini berbedalah tingkatan bid’ah, berbeda cara berinteraksi bersama realita dalam bid’ah dan memutuskan atasnya, dan sudah menjadi keharusan memperhatikan perbedaan-perbedaan dan tingkatan-tingkatan ini.
Dan dari sisi kaitan-kaitan ini, bid’ah-bid’ah bisa dibagi menjadi dua: kecil dan besar, dan kembali kepada penjelasan sebelumnya kepada kondisinya, bisa jadi bid’ah kecil atau bid’ah besar.
Asy-Syathibi rahimahullah menetapkan pembagian bid’ah kepada bid’ah kecil dan besar dengan ketetapan jelas dari beberapa sisi. Ia berkata:
“Dalam ushul bahwa hukum-hukum syara’ ada lima, kita keluarkan darinya tiga, yaitu wajib, sunnah dan mubah, maka tersisa hukum makruh dan haram. Maka pemikiran menuntut pembagian bid’ah kepada dua bagian: di antaranya bid’ah haram dan di antaranya bid’ah makruh. Dan penjelasan hal itu bahwa ia masuk dalam lingkaran jenis yang dilarang yang tidak melewati makruh dan haram, maka bid’ah juga seperti itu, ini satu sisi.
Sisi kedua, sesungguhnya bid’ah-bid’ah apabila direnungkan akan ditemukan tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda:
Di antaranya: ada yang jelas-jelas kufur seperti bid’ah-bid’ah kaum jahiliyah yang ditegaskan dalam al-Qur`an, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَجَعَلُوا للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا للهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَآئِنَا ﴾ [الأنعام: 136]
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka:"ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". (QS. al-An’aam:136)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَقَالُوا مَافِي بُطُونِ هَذِهِ اْلأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُورِنَا مُحَرَّمٌ عَلَى أَزْوَاجِنَا وَإِن يَّكُن مَّيْتَةً فَهُمْ فِيهِ شُرَكَآءُ ﴾ [الأنعام: 139]
Dan mereka mengatakan:"Apa yang dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami," dan jika yang dalam itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. (QS. al-An’aam:139)
Dan firman-Nya:
﴿وَقَالُوا مَافِي بُطُونِ هَذِهِ اْلأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُورِنَا مُحَرَّمٌ عَلَى أَزْوَاجِنَا وَإِن يَّكُن مَّيْتَةً فَهُمْ فِيهِ شُرَكَآءُ ﴾ [المائدة: 103]
Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. (QS. al-Maidah:103)
Demikian pula bid’ah orang-orang munafik, di mana mereka menjadikan agama sebagai sarana untuk menjaga jiwa dan harta, dan yang serupa hal itu tidak diragukan bahwa ia adalah kufur yang jelas.
Di antaranya ada yang termasuk maksiat yang tidak termasuk kufur atau diperdebatkan padanya, apakah termasuk kufur atau tidak? Seperti bid’ah kaum Khawarij, Qadariyah, Murji`ah dan yang seperti mereka dari golongan-golongan sesat.
Di antaranya ada yang maksiat (dosa) dan disepakati bahwa ia tidak termasuk kufur, seperti bid’ah tidak mau menikah (tabattul), puasa berdiri di matahari, mengambil biji pelir dengan tujuan memutuskan syahwat jima’.
Di antaranya ada yang makruh, seperti ucapan imam Malik rahimahullah dalam mengiringkan Ramadhan dengan puasa enam hari bulan Syawal, membaca al-Qur`an berkeliling, berkumpul untuk berdoa di sore hari Arafah, menyebut para penguasa dalam khutbah Jum’at –menurut yang dikatakan oleh Ibnu Abdus Salam asy-Syafi’i...dan yang seperti itu.
Dan sudah jelas diketahui bahwa bid’ah-bid’ah ini tidak berada dalam satu tingkat.
Sisi ketiga: sesungguhnya maksiat-maksiat, ada yang kecil dan ada yang besar. Dan hal itu dikenali dengan terjadinya pada dharuriyat atau kebutuhan atau pelengkap. Jika ia terjadi pada dharuriyat maka ia termasuk dosa terbesar. Jika terjadi pada pelengkap maka ia merupakan tingkatan terendah tanpa diragukan. Dan jika terjadi dalam kebutuhan maka ia berada di pertengahan di antara dua tingkatan.
Kemudian, sesungguhnya setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan ini ada pelengkap, dan pelengkap tidak mungkin berada satu tingkatan dengan yang dilengkapi, sesungguhnya pelengkap bersama yang dilengkapi sama seperti kedudukan sarana bersama tujuan, dan sarana tidak bisa mencapai tingkatan tujuan, maka sungguh telah jelas tingkatan-tingkatan maksiat dan kesalahan.
Juga, sesungguhnya dharuriyat, apabila engkau renungkan tentu engkau dapatkan di atas beberapa tingkatan dalam penguatan dan tidaknya:
Tingkatan jiwa tidaklah satu derajat seperti tingkatan agama, dan karena itulah dikecilkan kehormatan jiwa di sisi kehormatan agama. Maka kufur menghalalkan darah, menjaga terhadap agama membolehkan jiwa menghadapi resiko pembunuhan dengan berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang yang keluar dari agama.
Tingkatan akal dan harta tidak seperti tingkatan jiwa. Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa pembunuhan membolehkan qishash, maka pembunuhan berbeda dengan akal dan harta, demikian pula yang lain.
Apabila engkau memperhatikan kedudukan jiwa, kedudukan itu berbeda, maka memotong anggota tubuh tidak seperti menyembelih, dan menggoris tidak sama seperti memotong anggota tubuh.
Apabila seperti itu, maka bid’ah termasuk jumlah maksiat dan jelas perbedaan dalam maksiat. Demikian pula dalam masalah bid’ah, di antaranya ada yang terjadi dalam masalah dharuriyat, maksudnya bahwa ada pelanggaran dengannya. Di antaranya ada yang terjadi dalam tingkatan kebutuhan. Dan di antaranya ada yang terjadi dalam tingkatan tahsiinaat (pelengkap).[2]
Dan ia berkata pula dari sisi yang lain:
‘Sesungguhnya bid’ah-bid’ah terbagi kepada: sesuatu yang kulliah (bersifat umum, menyeluruh) dalam syari’at dan kepada juz’iyah (parsial). Dan pengertian hal itu: bahwa pelanggaran yang terjadi karena bid’ah secara umum (menyeluruh/total) dalam syari’at seperti bid’ah tahsin (menganggap baik) dan taqbih (menganggap buruk) secara akal, bid’ah mengingkari berita-berita sunnah (hadits) karena merasa cukup terhadap al-Qur`an, bid’ah kaum Khawarij dalam ucapan mereka ‘Tidak ada hukum selain milik Allah’...dan yang menyerupai hal itu dari bid’ah-bid’ah yang tidak hanya tertentu satu cabang dari cabang syari’at tanpa cabang yang lain, bahkan engkau mendapatkannya tersusun yang tidak terbatas dari cabang-cabang juz`iyah. Atau pelanggaran yang terjadi secara juz’i (parsial), sesungguhnya ia datang pada sebagian cabang tanpa yang lainnya, seperti bid’ah tatswiib (mengulangi) dengan shalat yang dikatakan oleh imam Malik rahimahullah: ‘Tatswib adalah sesat’, bid’ah adzan dan iqamah pada dua shalat ied, bid’ah bertopang pada satu kaki dalam shalat, dan yang seperti itu. Maka bid’ah dalam bagian ini tidak akan melewati tempatnya dan tidak tersusun di bawahnya yang lainnya sehingga menjadi dasar baginya.
Maka bagian pertama, apabila dianggap termasuk dosa besar jel’alaihissalamah maksudnya. Dan bisa jadi termasuk di bawah keumuman tujuh puluh dua golongan, dan ancaman yang datang dalam al-Qur`an dan sunnah dikhususkan dengannya, tidak berlaku umum padanya dan pada yang lainnya. Dan selain yang demikian itu dari sisi lamam (dosa kecil) yang diharapkan mendapat maaf yang tidak terbatas dalam jumlah tersebut, maka tidak ada kepastian bahwa semuanya berasal dari satu, dan sudah jelas sisi pembagiannya.[3]
Dan ia berkata pula: Namun, kulliyah (menyeluruh/total) dan juz`i (parsial) terkadang nampak dan terkadang tidak nampak, sebagaimana ta`wil, terkadang dekat tempat pengambilannya dan terkadang jauh. Maka terjadilah kesulitan pada contoh-contoh bagian ini, maka dianggap dosa besar yang sebenarnya termasuk dosa kecil dan sebaliknya. Maka diserahkan pandangan padanya kepada ijtihad.[4]
Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan beberapa syarat kondisi bid’ah itu termasuk kecil, apabila kurang salah satu syaratnya bid’ah ini menjadi besar, ia berkata: ‘Apabila kita katakan: sesungguhnya di antara bid’ah ada yang kecil, maka hal itu dengan beberapa syarat:
Salah satunya: bahwa ia tidak terus menerus atasnya, sesungguhnya dosa kecil bagi orang yang terus menerus atasnya menjadi besar dibandingkan kepadanya, karena hal itu bersumber atas terus menerus, dan terus menerus terhadap dosa kecil membuatnya menjadi dosa besar. Dan karena itu mereka berkata: ‘Tidak ada dosa kecil disertai terus menerus dan tidak ada dosa besar disertai istighfar’,[5] demikian pula bid’ah tanpa ada perbedaan.
Syarat kedua: bahwa ia tidak mengajak kepadanya, sesungguhnya bid’ah terkadang termasuk bid’ah kecil, kemudian pembuat bid’ah itu mengajak mengucapkannya dan mengamalkan tuntutannya, maka dosa semua itu atasnya. Sesungguhnya dialah yang mengenalkannya dan menyebabkan banyak terjadi dan diamalkan dengannya. Maka sesungguhnya hadits shahih menetapkan bahwa setiap orang yang memberikan contoh yang buruk niscaya atasnya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga. Dosa kecil dan besar, sesungguhnya perbedaannya menurut banyak dan sedikitnya dosa. Maka terkadang dosa kecil bisa menyamai dosa besar dari sisi atau melebihi atasnya.
Syarat ketiga: bahwa tidak dilakukan ditempat berkumpulnya manusia, atau tempat-tempat yang dilaksanakan padanya sunnah-sunnah dan nampak padanya bendera-bendera syari’at.
Adapun menampakkannya di perkumpulan orang banyak dari orang yang dijadikan panutan dengannya atau dari orang yang disangka baik, maka hal itu termasuk yang paling berbahaya terhadap sunnah Islam.
Syarat keempat: bahwa ia tidak meremehkannya, dan jika kita menganggapnya kecil maka sesungguhnya hal itu meremehkannya, dan memandang sepele suatu dosa lebih besar dari dosa itu sendiri.[6]
Namun yang nampak dari ucapannya rahimahullah bahwa syarat-syarat ini bergantung dengan ukuran dosa yang menimpa pelaku bid’ah, dan tidak berbicara tentang ukuran bid’ah itu sendiri.
Dan hukum terhadap pelaku bid’ah adalah menurut jenis bid’ah yang terjadi padanya dan tingkatannya, disertai pandangan kepada kondisi orang tersebut, dan syubhat atau takwil yang nampak baginya. Demikian pula derajat dan tingkatannya dalam ilmu dan sunnah,... hingga pertimbangan-pertimbangan lain yang mesti diperhatikan ketika menghukum terhadap orang yang terjerumus dalam bid’ah.
Kapan seseorang atau kelompok memisahkan diri dari Ahlus Sunnah:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Dan bid’ah yang seseorang dipandang termasuk ahli bid’ah: yang terkenal menurut ulama sunnah menyalahinya terhadap al-Qur`an dan sunnah, seperti bid’ah kaum Khawarij, Rawafidh, Qadariyah, dan Murji`ah. Sesungguhnya Abdullah bin Mubarak rahimahullah dan Yusuf bin Asbath rahimahullah serta selain mereka berkata: ‘Dasar tujuh puluh dua golongan adalah empat golongan: Khawarij, Rawafidh, Qadariyah dan Murji`ah..[7]
Asy-Syathiby rahimahullah berkata: ‘Dan penjelasan yang demikian itu, bahwa golongan-golongan ini menjadi beberapa golongan karena menyalahi kelompok yang selamat dalam pengertian kully (menyeluruh) dalam agama dan kaidah dari kaidah-kaidah syari’at, bukan pada satu bagian dari bagian-bagiannya. Karena juz`i (bagian kecil) dan fara’ (cabang) yang langka tidak muncul darinya pelanggaran yang terjadi karenanya perpecahan beberapa golongan. Perpecahan hanya muncul ketika terjadi pelanggaran dalam perkara-perkara kulliyah (menyeluruh/umum), karena kulliyah merupakan nash (dalil) dari juz`iyat dan biasanya tidak hanya terbatas pada satu tempat dan satu bab saja.
Adapun juz`i maka sangat berbeda, bahkan dianggap terjadinya hal itu dari pelaku bid’ah sebagai kekeliruan dan kesalahan, sekalipun kesalahan seorang alim bisa meruntuhkan agama, di mana Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Tiga perkara bisa meruntuhkan agama: kesalahan seorang alim, perdebatan orang munafik dengan al-Qur`an, dan para pemimpin yang menyesatkan.’ Akan tetapi bila dekat posisi kekeliruan biasanya tidak akan terjadi perpecahan karenanya dan tidak sampai meruntuhkan agama, berbeda dengan masalah kulliyah.[8]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Dan mesti diketahui pula bahwa kelompok-kelompok yang bernisbah (berafiliasi) kepada yang diikuti (para pemimpin) dalam masalah ushuluddin (aqidah) dan kalam terbagai beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyalahi sunnah pada dasar yang besar. Di antara mereka ada yang menyalahi sunnah pada perkara-perkara kecil...hingga ia berkata: ‘Dan seperti mereka, apabila mereka tidak menjadikan sesuatu yang mereka ciptakan (bid’ah) sebagai perkataan yang memisahkan dengannya persatuan (jama’ah) kaum muslimin yang mereka wala` (setia, loyal) dan bara` (berlepas diri, benci) atasnya niscaya hal itu termasuk jenis kesalahan, dan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni kesalahan orang-orang beriman dalam perkara seperti itu...hingga ia berkata: ‘Berbeda dengan orang yang bersikap wala` (loyal) kepada yang sependapat dengannya dan bara` kepada orang yang berbeda pendapat, memisahkan persatuan kaum muslimin, mengkafirkan dan menganggap fasik yang menyalahinya dalam masalah-masalah ijtihad dan pendapat, dan menghalalkan membunuh orang yang menyalahinya, maka mereka adalah orang-orang yang menyebabkan perpecahan dan perselisihan. Karena inilah, yang pertama kali memecah belah persatuan kaum muslimin dari ahli bid’ah adalah kaum Khawarij...[9]
Riwayat orang yang menyalahi (ahli bid’ah) dan hukum menerimanya:
Termasuk yang dihubungkan dalam masalah ini adalah riwayat ahli bid’ah, mayoritas ulama membedakan dalam masalah ini di antara ahli bid’ah menurut kadar bid’ahnya, menurut kadar semangat dan aktifitas mereka terhadap bid’ah ini. Mereka membedakan di antara pelaku bid’ah yang dikafirkan dan pelaku bid’ah yang fasik, dan di antara yang mengajak kepada bid’ah dan tidak mengajak.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Para ulama dari kalangan ahli hadits, fuqaha, ahli ushul berkata: ‘Ahli bid’ah yang dianggap kafir karena bid’ahnya tidak diterima riwayatnya dengan ittifaq (konsensus).[10]
Al-Mu’allimy[11] rahimahullah berkata: ‘Tidak ada syubhat (kesamaran) bahwa jika ahli bid’ah keluar dengan bid’ahnya dari Islam niscaya tidak diterima riwayatnya, karena termasuk syarat riwayat adalah Islam.[12]
Kemudian jika bid’ah tersebut tidak menyebabkan kufur, maka dilihat padanya; dibedakan di antara bid’ah kecil dan bid’ah besar. Dan dibedakan di antara orang yang bid’ahnya menjerumuskannya dalam menghalalkan dusta dan di antara orang yang bid’ahnya sangat jauh dari menghalalkan dusta.
Adz-Dzahaby rahimahullah berkata dalam biografi Aban bin Taghlib al-Kufy asy-Syi`iy: ‘Aban bin Taghlib al-Kufy, seorang syi’ah yang kuat, akan tetapi dia shaquq (jujur). Maka untuk kita kejujurannya dan atasnya bid’ahnya.
Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim rahimahumullah mentsiqahkannya. Dan Ibnu ‘Ady rahimahullah menyebutkannya dan berkata: ‘Dia seorang yang ghuluw dalam keyakinan syi’ah.’ As-Sa’dy rahimahullah berkata: ‘Seorang yang menyimpang secara terang-terangan.’
Seseorang bisa berkata: ‘Bagaimana bisa mentsiqahkan ahli bid’ah, sementara definisi tsiqah adalah ‘adil dan itqaan? Bagaimana mungkin dianggap ‘adil dari seorang ahli bid’ah?
Jawabannya adalah: sesungguhnya bid’ah terbagi dua: bid’ah kecil seperti ghuluw tasyayyu`[13] atau tasyayyu’ tanpa ghuluw dan tahrif. Yang seperti ini banyak pada generasi tabi’in dan pengikut mereka disertai agama yang kuat, wara` dan jujur. Jika ditolak hadits mereka niscaya hilanglah sejumlah besar riwayat-riwayat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, dan ini merupakan kerusakan yang nyata.
Kemudian bid’ah besar seperti Rafidhah yang sempurna dan ghuluw padanya, merendahkan derajat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu dan mengajak kepada hal itu. Maka jenis ini tidak dijadikan hujjah dengan mereka dan tidak ada kemuliaan bagi mereka. Juga yang ada dalam jenis ini berupa seseorang yang tidak jujur dan tidak bisa dipercaya, bahkan bohong adalah syi’ar (pakaian luar) mereka, taqiyah dan nifak adalah pakaian dalam mereka, maka bagaimana bisa diterima riwayat dari orang yang kondisinya seperti ini? Sekali-kali tidak.
Syi’ah ghuluw yang ada di masa salaf dan pandangan umum di tengah mereka adalah orang yang berbicara dan mencela Utsman, Zubair, Thalah, dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum ajma’in, dan golongan yang memerangi Ali radhiyallahu ‘anhu. Semestara syi’ah ghuluw yang ada di masa kita dan pandangan umum kita adalah orang-orang yang mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari Syaikhain (Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhu). Ini adalah adalah orang sesat, Aban bin Taghlib tidak pernah sama sekali berbicara terhadap Syaikhaian (tidak pernah mencela mereka), akan tetapi ia mungkin meyakini Ali radhiyallahu ‘anhu lebih utama dari keduanya.[14]
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata: ‘Sekelompok ulama berpendapat untuk menerima berita ahli ahwa (ahli bid’ah) yang tidak dikenal dari mereka menghalalkan dusta dan bersaksi untuk orang yang sependapat mereka dengan sesuatu yang tidak ada persaksian di sisi mereka padanya.[15]
An-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Dan yang tidak kafir, ada yang berkata: Tidak dijadikan hujjah sama sekali dengannya. Ada yang berkata: Dijadikan hujjah dengannya jika ia tidak termasuk orang yang menghalalkan dusta dalam membela mazhabnya atau pengikut mazhabnya.[16]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Dan menolak persaksian orang yang dikenal berdusta adalah perkara yang disepakati di antara fuqaha ( ahli fikih).’ Dan ia berkata: ‘Semua ulama sepakat bahwa dusta pada kalangan Rafidhah lebih nampak darinya pada semua ahli qiblat (kaum muslimin).
Sehingga pengarang kitab Shahih seperti al-Bukhari, tidak meriwayatkan dari seorang pun dari kalangan syi’ah qudama (terdahulu), seperti Ashim bin Dhamrah, Harits al-A’war, Abdullah bin Salamah, dan semisal mereka. Padahal mereka termasuk kalangan Syi’ah yang terbaik. Pengarang kitab Shahih hanya meriwayatkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu dari ahli baitnya, seperti Hasan radhiyallahu ‘anhu, Husain radhiyallahu ‘anhu, Muhammad bin Hanafiyah rahimahullah, dan penulisnya Ubaidullah bin Abi Rafi’ rahimahullah, atau dari pengikut Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu seperti ‘Ubaidah as-Salmani rahimahullah, Harits bin Qais rahimahullah, atau dari orang yang serupa mereka. Mereka adalah para imam dalam riwayat dan ahli naqd (kritik) termasuk manusia yang paling jauh dari hawa nafsu, paling mengatakan terhadap kebenaran, tidak takut pada Allah subhanahu wa ta’ala celaan orang yang mencela.
Bid’ah bermacam-macam, kaum Khawarij, kendati mereka melewati Islam sebagaimana anak panah melewati sasaran (target, hewan buruan), Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyuruh memerangi mereka, para sahabat dan ulama Islam sepakat untuk memerangi mereka, dan shahih hadits pada mereka dari sepuluh jalur yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya, al-Bukhari meriwayatkan tiga darinya: mereka tidak termasuk orang yang sengaja berdusta, bahkan mereka terkenal jujur. Sehingga dikatakan: Sesungguhnya hadits mereka termasuk hadits paling shahih, akan tetapi mereka bodoh dan tersesat dalam bid’ah mereka.[17]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam pembicaraannya tentang hukum riwayat ahli bid’ah dan ucapan para ulama padanya: ‘Dan dikatakan: ‘Diterima secara mutlak kecuali jika ia meyakini dusta.’[18]
As-Sayuthi rahimahullah berkata dalam memberi komentar terhadap ucapan an-Nawawi rahimahullah: ‘Dan ada yang berkata: Diambil hujjah dengannya jika ia bukan termasuk orang yang menghalalkan berdusta dalam membela mazhabnya, sama saja ia berdakwah atau tidak, dan tidak diterima jika ia menghalalkan hal itu.[19]
Al-Mu’allimy rahimahullah berkata dalam hukum riwayat ahli bid’ah: ‘...dan sesungguhnya jika ia menghalalkan dusta, maka bisa jadi ia kufur dengan hal itu dan bisa jadi ia fasik. Maka jika kita memaafkannya, maka di antara syarat diterima riwayat adalah jujur, maka tidak bisa diterima riwayatnya.[20]
Jika ahli bid’ah keluar dari golongan yang terdahulu –artinya bukan termasuk ahli bid’ah besar yang menyebabkan kufur- dan tidak termasuk orang yang membolehkan dusta, terjadilah perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menerima riwayatnya.
Ibnu Shalah rahimahullah berkata: ‘Mereka berbeda pendapat dalam menerima riwayat ahli bid’ah yang tidak kufur dengan bid’ahnya: di antaranya ada yang menolak bid’ahnya karena ia seorang yang fasik dengan bid’ahnya, sebagaimana sama dalam kufur orang yang bertakwil dan yang tidak, sama pula dalam fasik orang yang bertakwil dan tidak. Di antara mereka ada yang menerima riwayat ahli bid’ah apabila ia bukan termasuk orang yang membolehkan dusta dalam membela mazhabnya atau pengikut mazhabnya. Sama saja ia mengajak (berdakwah) kepada bid’ahnya atau tidak, sebagian mereka menyandarkan hal ini kepada imam Syafi’i rahimahullah karena ucapannya: ‘Aku menerima persaksian ahlil ahwa (pengikut hawa nafsu/ahli bid’ah) kecuali golongan Khathabiyah dari golongan Rafidhah, karena mereka membolehkan bersaksi palsu untuk orang yang sepaham mereka.’ Satu kaum berkata: ‘Diterima riwayatnya apabila tidak mengajak kepada bid’ahnya dan tidak diterima apabila ia berdakwah.’ Ini adalah mazhab mayoritas ulama. Sebagian pengikut imam asy-Syafi’i rahimahullah menghikayatkan perbedaan pendapat di antara mereka dalam menerima riwayat ahli bid’ah apabila tidak mengajak kepada bid’ahnya dan ia berkata: Adapun bila ia berdakwah maka tidak ada perbedaan di antara mereka dalam tidak diterima riwayatnya.
Abu Hatim bin Hibban al-Busty rahimahullah, salah seorang pengarang dari ulama hadits berkata: ‘Pengajak kepada bid’ah tidak boleh berhujjah dengannya menurut pendapat semua imam kita, saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka.’
Mazhab yang ketiga ini adalah yang paling adil dan paling utama. Pendapat pertama sangat jauh karena sudah tersebar di kalangan para ulama hadits, sesungguhnya kitab-kitab mereka penuh dengan riwayat dari ahli bid’ah yang bukan pengajak, dan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) banyak ditemukan hadits-hadits mereka dalam syawahid (hadits penguat/pendukung) dan ushul. Wallahu A’lam.[21]
Membedakan di antara da’i dan bukan adalah pendapat mayoritas ulama seperti yang telah dijelaskan, bahkan Ibnu Hibban rahimahullah mengutip ijma’ atas pendapat ini, sekalipun pengakuan ijma’ tidaklah benar.
Dan di antara ulama yang dikutip darinya ucapan ini adalah Abdullah bin Mubarak rahimahullah, berdasarkan riwayat al-Khathib rahimahullah dengan sanadnya kepada Ali bin Hasan bin Syaqiq rahimahullah, ia berkata: ‘Aku berkata kepada Abdullah bin Mubarak: ‘Apakah engkau pernah mendengar dari ‘Amar bin ‘Ubaid? Maka ia mengisyaratkan dengan tangannya seperti ini, maksudnya banyak. Aku berkata: ‘Kenapa engkau tidak menyebutkannya, sedangkan engkau menyebutkan selainnya dari golongan Qadariyah? Ia menjawab: ‘Karena sesungguhnya ini termasuk kepala (pimpinan).’[22]
Ucapan ini juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Mahdy rahimahullah. Al-Khathib rahimahullah meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Siapa yang berpendapat satu pendapat (yang bid’ah) dan tidak mengajak kepadanya ia bisa jadi (diterima riwayatnya) dan siapa yang berpendapat satu pendapat (bid’ah) dan mengajak kepadanya sungguh ia berhak ditinggalkan (riwayatnya).[23] Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Ilmu ditulis dari pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) dan boleh persaksian mereka selama mereka tidak berdakwah. Apabila ia berdakwah kepadanya niscaya tidak ditulis hadits dari mereka dan tidak boleh persaksian mereka.’[24]
Dan di antara yang mengatakan hal ini adalah imam Ahmad rahimahullah: al-Khathib rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abu Daud Sulaiman bin As’ts rahimahullah, ia berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad: ‘Apakah ditulis hadits dari seorang qadary? Ia menjawab: ‘Apabila ia tidak berdakwah.’[25]
Dalam Thabaqat Hanabilah karya Abu Ya’la, dari Ja’far bin Muhammad, ia berkata: ‘Wahai Abu Abdillah, apakah engkau meriwayatkan dari Abu Mu’awiyah sedangkan ia seorang Murji`ah? Ia menjawab: ‘Ia tidak berdakwah (kepada bid’ahnya).[26]
Al-Baghawi rahimahullah berkata: ‘Imam Ahmad rahimahullah ditanya: ‘Apakah ditulis (hadits) dari seorang Murji’ah dan Qadariyah, serta selain mereka dari ahli ahwa`? Ia menjawab: ‘Apabila ia tidak berdakwah kepadanya dan banyak pembicaraan padanya. Adapun orang yang berdakwah kepadanya maka tidak (diriwayatkan hadits darinya).’[27]
Pendapat ini juga diriwayatkan dari imam Malik rahimahullah, berdasarkan riwayat Ibnu Abdil Barr rahimahullah, ia berkata: ‘Ilmu tidak diambil dari empat golongan: Orang bodoh yang nyata kebodohannya, pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) yang berdakwah kepadanya, seseorang yang terkenal berdusta dalam pembicaraan di tengah manusia sekalipun ia tidak berdusta terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan seseorang yang memiliki keutamaan dan shalih yang tidak mengetahui apa yang dia riwayatkan’.[28] Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Kami telah menyebutkan berita ini dari imam Malik rahimahullah dari beberapa jalur dalam at-Tamhid.’
Al-Khathib rahimahullah menyandarkan kepada imam Malik rahimahullah pendapat menolak riwayat ahli bid’ah secara mutlak (absolot) seperti yang telah lalu, dan pendapat menolak pendapat riwayat ahli bid’ah yang berdakwah dan menerima yang tidak berdakwah adalah yang masyhur darinya menurut para ahli tahqiq.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Dan karena inilah imam Ahmad rahimahullah dan mayoritas imam sesudah dan sebelumnya seperti imam Malik rahimahullah dan yang lainnya tidak menerima riwayat orang yang berdakwah kepada bid’ah dan tidak duduk bersamanya, berbeda dengan yang diam.’[29]
Abdurrahman al-Mu’allimy rahimahullah berkata: ‘Adapun yang tidak berdakwah maka sudah lewat kutipan ijma’ bahwa ia sama seperti sunny, apabila terbukti ‘adilnya niscaya diterima riwayatnya.’ Dan diriwayatkan dari Malik rahimahullah yang sama seperti itu. Dan dikatakan dari Malik rahimahullah: bahwa ia tidak meriwayatkan darinya juga, dan yang dilakukan adalah yang pertama.[30]
Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam Syarh Sunnah: ‘Demikian pula mereka berbeda pendapat dalam riwayat ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu, mayoritas ahli hadits menerimanya apabila mereka jujur padanya. Muhammad bin Ismail telah meriwayatkan dari ‘Abbad bin Ya’qub ar-Rawijini. Dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami seseorang yang jujur dalam riwayatnya, tertuduh dalam agamanya: ‘Abbad bin Ya’qub!!
Al-Bukhari rahimahullah berhujjah pula dalam Shahih dengan Muhammad bin Ziyad al-Alhani dan Hirriz bin Utsman ar-Rahby, dan masyhur dari keduanya an-Nashb (golongan yang membenci Ali bin Abu Thalib, kebalikan dari Syi’ah). al-Bukhari dan Muslim sepakat berhujjah dengan Abu Mu’awiyah Muhammad bin Hazim adh-Dharir dan Ubaidullah bin Musa, dan terkenal dari keduanya sikap ghuluw.
Adapun Malik bin Anas rahimahullah, ia berkata: ‘Tidak diambil hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dari pengikut hawa nafsu yang mengajak (berdakwah) kepada hawa nafsunya (bid’ahnya), tidak pula dari pendusta yang berdusta pada hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sekalipun engkau tidak menuduhnya berdusta terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.’ Yang menyebutkan perbedaan pendapat ini adalah al-Hakim Abu Abdillah dalam kitabnya tentang pembahasan menerima riwayat mereka.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya: ‘Apakah ditulis hadits dari seorang Murji`ah dan Qadariyah serta selain mereka dari ahli bid’ah? Ia menjawab: ‘Ya, apabila ia tidak berdakwah kepadanya dan tidak banyak pembicaraan atasnya. Adapun bila ia berdakwah (kepada bid’ahnya) maka tidak.’[31]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Karena inilah tidak ada dalam kitab-kitab induk mereka (Ahli Hadits) seperti Shahih, Sunan, dan Masanid, riwayat dari orang-orang yang terkenal berdakwah kepada bid’ah, sekalipun padanya ada riwayat dari orang yang padanya jenis bid’ah, seperti Khawarij, Syi’ah, Murji`ah, dan Qadariyah. Dan penjelasan hal itu karena mereka (para pengarang kitab hadits) tidak meninggalkan riwayat dari mereka karena fasik yang diduga oleh sebagian mereka, akan tetapi siapa yang menampakkan bid’ahnya niscaya wajiblah mengingkarinya, berbeda dengan orang yang menyamarkan dan menyembunyikannya. Apabila wajib mengingkarinya, niscaya yang termasuk mengingkarinya adalah menghajrnya (tidak menyapanya) hingga ia berhenti dari menampakkan bid’ahnya. Dan termasuk menghajrnya adalah tidak diambil ilmu darinya dan tidak dijadikan syahid (hadits penguat).[32]
Dan demikian pula di antara cabang pembahasan tentang perbedaan bid’ah dan tingkatan-tingkatannya: bab hukuman dan ta’zir (efek jera) bagi yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sungguh sangat banyak riwayat dari salaf tentang hukuman terhadap ahli bid’ah dengan berbagai macam hukuman; berupa ditahan, dipukul, dicambuk, diasingkan, dihinakan, dan dihajr.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata pada Qadariyah: ‘Jika aku melihat salah seorang dari mereka niscaya aku mengambil rambutnya.[33] Dan ia berkata: ‘Jika aku melihat salah seorang dari mereka niscaya aku menggigit hidungnya.’[34]
Dikatakan kepada Nafi’ rahimahullah: ‘Sesungguhnya laki-laki ini berbicara tentang Qadar’...maka ia mengambil segenggam pasir lalu melemparkan ke wajahnya.[35]
Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah rahimahullah bahwa ia melakukan hal itu terhadap seorang laki-laki yang datang kepadanya, ia berkata kepadanya: ‘Seorang laki-laki berzinah.’ Salim rahimahullah berkata: ‘Ia meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ia bertaubat kepada-Nya.’ Laki-laki itu berkata: ‘Apakah Allah subhanahu wa ta’ala mentaqdirkan hal itu kepadanya? Salim rahimahullah berkata: ‘Ya.’ Kemudian ia mengambil segenggam pasir lalu memukulkannya ke wajah laki-laki itu seraya berkata: ‘Berdirilah.’[36]
Dari Malik rahimahullah, ia berkata: ‘Al-Qur`an adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala.’ Dan ia berkata: ‘Siapa yang berkata ‘al-Qur`an adalah makhluk’ dia harus dipukul dan ditahan hingga meninggal dunia.’[37]
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ia berkata: ‘Aku bertanya kepada bapakku tentang seorang laki-laki yang melakukan bid’ah yang dia mengajak kepadanya, ia mempunyai beberapa penyeru (juru dakwah) kepadanya, apakah engkau berpendapat bahwa ia harus ditahan? Ia menjawab: ‘Ya, saya berpendapat bahwa ia harus ditahan, agar bid’ahnya tidak menyebar di tengah kaum muslimin.’[38]
Dari Abul Hasan al-Lakhmy rahimahullah –dari pemuka mazhab Maliki- ia ditanya tentang kaum Ibadhiyah yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin dan membangun masjid yang mereka berkumpul di dalamnya dan mereka menampakkan mazhab mereka. Beliau menjawab: ‘Apabila kaum yang disebutkan menampakkan mazhabnya, mengumumkanya, membangun masjid yang mereka berkumpul di dalamnya, dan shalat ied berjamaah menjauh dari kaum muslimin, maka ini adalah pintu besar yang dikhawatirkan nantinya bertambah kuat, merusak agama kaum muslimin, dan orang-orang bodoh dan yang tidak bisa membedakan cenderung kepada mereka, maka pemerintah berkewajiban menyuruh mereka bertaubat dari keyakinan mereka. Maka jika mereka tidak kembali mereka harus dipukul dan dipenjara. Jika mereka tetap dalam keyakinan mereka, maka diperselisihkan hukum membunuh mereka. Adapun menghancurkan masjid yang mereka bangun maka suatu kebenaran dan semua yang mereka berkumpul padanya juga seperti itu...[39]
Dan sebaliknya, ada beberapa atsar salaf yang berbeda dari yang telah disebutkan.
Abu Daud rahimahullah berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad rahimahullah: ‘Kami memiliki beberapa kerabat yang berpendapat irja` (Murji`ah), bolehkah kami menulis surat ke Khurasan mengucap salam kepada mereka? Ia menjawab: ‘Subhanallah, kenapa engkau tidak mengucap salam kepada mereka?
Dan dalam riwayat lain ia berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad rahimahullah: ‘Apakah kami berbicara dengan mereka? Ia menjawab: ‘Ya, kecuali ia berdakwah dan memusuhi padanya.’[40]
Bahkan diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, sebagaimana Ibnu Muflih al-Hanbaly rahimahullah membuat satu judul dalam kitabnya ‘Adabus Syar’iyyah’, ia berkata: Pasal dalam melarang menahan ahli bid’ah karena bid’ah mereka: al-Marudzi rahimahullah berkata: ‘Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang satu kaum ahli bid’ah yang menentang dan mengkafirkan? Ia berkata: ‘Janganlah kamu menyentuh mereka.’ Aku berkata: ‘Kenapa engkau tidak suka mereka ditahan? Ia menjawab: ‘Mereka mempunyai ibu dan saudari.’
Aku berkata: ‘Mereka telah menahan seseorang dan berbuat aniaya kepadanya. Mereka meminta kepadaku agar aku berbicara pada perkaranya sehingga ia keluar.’ Ia menjawab: ‘Jika salah seorang dari mereka ditahan maka tidak.’ Kemudian Abu Abdillah berkata: ‘Ini adalah tetangga kami, laki-laki itu ditahan dan meninggal di penjara.’ Saya menduga ia berkata beberapa kali: ‘Bagaimana Abu Bakar bin Khallad rahimahullah meriwayatkan? Aku berkata kepadanya: ‘Ia (Abu Bakar) berkata: ‘Aku duduk di sisi Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, lalu datang Fudhail rahimahullah, ia berkata: ‘Janganlah kalian duduk bersamanya –maksudnya Ibnu Uyainah- engkau menahan seseorang dalam penjara? Apakah engkau merasa aman apa yang akan terjadi padanya dalam penjara? Berdiri dan keluarkan dia.’ Abu Abdillah merasa kagum dan menganggapnya baik.’[41]
Perbedaan sikap dan pendirian salafus shalih dalam menghadapi ahli bid’ah dari sisi memberikan hukuman kepada mereka kembali kepada perbedaan bid’ah tersebut dan kondisi para pelakunya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata setelah menyebutkan sebagian hukuman terhadap ahli bid’ah: ‘Apabila sudah diketahui bahwa ini termasuk sisi hukuman secara syar’i, niscaya diketahui bahwa ia berbeda tergantung perbedaan kondisi, dari sedikit bid’ah dan banyaknya, nampak sunnah dan samarnya, dan sesungguhnya yang disyari’atkan terkadang dengan cara pendekatan dan terkadang dengan cara hajr (tidak disapa), sebagaimana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melakukan pendekatan terhadap beberapa kaum musyrikin yang baru masuk Islam dan orang yang dikhawatirkan fitnah terhadapnya, maka beliau shallallahu ‘alahi wa sallam memberi kepada yang dijinakkan hatinya (mu`allaf) a sesuatu yang tidak diberikan kepada selain mereka.
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda dalam hadis shahih:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي أُعْطِي رِجَالًا وَأَدَعُ رِجَالاً, وَالَّذِي أَدَعُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الَّذِي أُعْطِي, أَعْطِي رِجَالاً لِمَا جَعَلَ اللهُ فِى قُلُوْبِهِمْ مِنَ الْهَلَعِ وَالْجَزَعِ وَأَدَعُ رِجَالاً لِمَا جَعَلَ اللهُ فِى قُلُوْبِهِمْ مِنَ الْغِنَى وَالْخَيْرِ, مِنْهُمْ عَمْرُو بْنُ تَغْلِب » [ أخرجه البخاري ]
‘Sesungguhnya aku memberikan kepada beberapa orang dan meninggalkan yang lain, dan yang tidak kuberi lebih kucintai dari para yang kuberi. Aku memberi kepada beberapa orang laki-laki karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dalam hati mereka rasa keluh kesah dan gelisah, dan aku tidak memberi kepada beberapa orang laki-laki karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan dalam hati mereka berupa rasa kaya dan kebaikan, di antara mereka adalah Amar bin Taghlib.’[42]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي أُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ النَّارَ » [ أخرجه أبو داود والنسائي ]
‘Sesungguhnya aku memberi kepada seorang laki-laki dan yang lain lebih kucintai dari padanya, karena khawatir Allah subhanahu wa ta’ala menjerumuskan dia di neraka.’[43] Atau ucapan seperti itu.
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr sebagian orang beriman, seperti beliau menghajr tiga orang yang tertinggal dari perang Tabuk, karena tujuannya adalah mengajak makhluk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan jalan paling lurus, maka digunakan cara raghbah (dorongan,rangsangan) di tempat yang paling tepat dan digunakan cara ancaman di tempat yang paling tepat.
Siapa yang mengetahui hal ini, jel’alaihissalamah baginya bahwa siapa yang menolak persaksian dan riwayat secara mutlak dari (ahli bid’ah) orang-orang yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bertakwil maka pendapatnya adalah lemah, karena sesungguhnya salaf telah masuk dengan takwil dalam berbagai perkara besar. Dan siapa yang menjadikan orang-orang yang menampakkan bid’ah sebagai imam dalam ilmu dan persaksian yang tidak diingkari dengan hajr dan rada’, maka pendapatnya juga lemah. Demikian pula orang yang shalat di belakang orang yang menampakkan bid’ah dan kefasikan tanpa mengingkari dan tanpa berusaha mengganti dengan yang lebih baik darinya padahal mampu melakukannya, maka pendapatnya lemah. Dan ini memberikan konsekuensi membiarkan kemungkaran yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, padahal ia mampu mengingkarinya, dan ini tidak boleh. Dan siapa yang mewajibkan mengulangi shalat bagi yang berjamaah bersama imam yang fasik dan ahli bid’ah, maka pendapatnya lemah. Karena sesungguhnya kaum salaf, para pemuka sahabat dan tabi’in shalat di belakang mereka dan hal itu tatkala mereka menjadi pemimpin. Karena inilah, termasuk dasar akidah Ahlus Sunnah: bahwa shalat yang diimami oleh pemerintah, dilaksanakan shalat di belakang mereka, bagaimana pun kondisi mereka, sebagaimana berhaji dan berperang bersama mereka.[44]
Hajr (tidak menyapa) terhadap orang yang menyalahi (ahli bid’ah):
Di antara yang terkait bab ini adalah persoalan penting yang harus diketahui dengan jelas padanya, terutama di masa sekarang, yaitu persoalan hajr, yaitu berpaling dari orang yang menyalahi (ahli bid’ah), tidak duduk bersamanya, tidak menyapanya, tidak memberi salam kepadanya, dan tidak masuk kepadanya. Persoalan ini adalah persoalan yang harus diketahui tujuannya secara syar’i, sehingga bisa melakukan interaksi bersamanya dengan cara yang benar.
Disyari’atkan hajr:
Hajar adalah perkara yang disyari’atkan saat dibutuhkan, terkadang hukumnya sunnah dan terkadang wajib. Dan dalil-dalil disyari’atkan hajr saat dibutuhkan sangat banyak dari al-Qur`an, Sunnah dan ijma’.
Pertama: dari al-Qur`an:
1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ {68} ﴾ [الأنعام: ٩١]
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (maka larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang. orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS. al-An’aam:68)
Ayat ini merupakan dalil haramnya duduk-duduk bersama ahli bid’ah, pelaku dosa besar dan ahli maksiat. Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Dalam ayat ini merupakan bantahan dari al-Qur`an terhadap orang yang menduga bahwa para imam yang merupakan hujjah dan para pengikut mereka, mereka boleh berkumpul bersama orang-orang fasik dan membenarkan ucapan mereka secara taqiyyah. Ath-Thabary rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali rahimahullah, ia berkata: ‘Janganlah kamu duduk-duduk bersama orang-orang yang suka bermusuhan (ahli bid’ah), sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang memperolok-olokan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala.’ Ibnul Araby rahimahullah berkata: ‘Ini merupakan dalil bahwa duduk-duduk bersama pelaku dosa besar adalah tidak boleh.’ Ibnu Khuwairiz Mandad rahimahullah berkata: ‘Siapa yang memperolok-olokan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala niscaya ditinggalkan majelisnya (tidak boleh duduk bersamanya) dan dihajr, sama saja ia mukmin atau kafir. Demikian pula para ulama kita (mazhab Maliky) melarang masuk ke negeri musuh, tempat ibadah mereka, duduk-duduk bersama orang-orang kafir dan ahli bid’ah, dan jangan sampai mencintai mereka, jangan didengarkan ucapan mereka dan janganlah berdebat bersama mereka. Kemudian ia menyebutkan beberapa atsar dari kaum salaf dalam menghajr ahli bid’ah.[45]
2. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا {140}﴾ [النساء: 140]
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam, (QS. an-Nisaa`:140)
Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Hal ini menunjukkan wajibnya menjauhi pelaku maksiat apabila nampak kemungkaran dari mereka. Karena siapa yang tidak menjauhi mereka berarti ia ridha (senang) terhadap perbuatan mereka, dan ridha dengan kekufuran adalah kufur. Firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas (Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.) maka setiap orang yang duduk di majelis maksiat dan tidak mengingkari mereka, berarti ia mendapatkan dosa bersama mereka. Seharusnya ia mengingkari mereka apabila mereka berbicara tentang maksiat dan melakukannya. Maka jika ia tidak mampu mengingkari perbuatan mereka maka semestinya ia meninggalkan mereka agar ia tidak termasuk orang yang mendapat ancaman dalam ayat ini.
Apabila sudah jelas kewajiban menjauhi para pelaku maksiat seperti yang telah kami jelaskan, maka menjauhi ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu adalah lebih utama..Juwaibir meriwayatkan dari ad-Dahhak rahimahullah, ia berkata: ‘Masuk dalam ayat ini setiap ahli bid’ah yang menciptakan yang baru dalam agama hingga hari kiamat.’[46]
3. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَلاَتَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَالَكُم مِّن دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لاَتُنصَرُونَ {113} ﴾ [هود: 113]
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkanmu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud:113)
Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Yang shahih dalam makna ayat tersebut adalah bahwa ia menunjukkan perintah hajr terhadap orang kafir dan pelaku maksiat serta selain mereka. Maka sesungguhnya berteman dengan mereka adalah kufur dan maksiat, karena berteman tidak terjadi kecuali bersumber dari rasa cinta. Tharafh bin ‘Abd berkata:
Tentang seseorang, janganlah engkau bertanya, dan bertanyalah tentang temannya,
Maka setiap teman mengikuti orang yang menemaninya
Jika persahaban itu karena kebutuhan dan taqiyyah, maka sudah dibicarakan dalam surat Ali Imran dan al-Maidah, dan menemani orang zalim dengan alasan taqiyyah dikecualikan dari larangan dalam kondisi dharurat.’ Wallahu A’lam.[47]
4. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ﴾ [المجادلة: 22]
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. al-Mujadilah:22)
Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Imam Malik rahimahullah mengambil dalil dari ayat ini atas memusuhi Qadariyah dan tidak duduk bersama mereka. Asyhab berkata dari Malik rahimahullah: ‘Janganlah engkau duduk bersama Qadariyah dan musuhilah mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ ﴾ [المجادلة: 22]
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,..)
Dan sama seperti Qadariyah semua pelaku aniaya dan permusuhan.[48]
Kedua: dari Sunnah:
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « سَيَكُوْنُ فِى آخِرِ أُمَّتِي نَاسٌ يحدثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاءُكُمْ, فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُم » [ أخرجه مسلم]
‘Akan terjadi di akhir umatku orang-orang yang menciptakan yang baru-baru terhadapmu, sesuatu yang kamu dan bapak-bapakmu tidak pernah mendengarnya, maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka.’[49]
- Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لكل أمة مجوس ومجوس أمتي الذين يقولون: لا قدر, إن مرضوا فلا تعودوهم وإن ماتوا فلاتشهدوهم » [ أخرجه أحمد وأبو داود ]
“Bagi setiap umat ada golongan majusi, dan majusi dari umatku adalah orang-orang yang berkata: tidak ada qadar. Jika mereka sakit janganlah engkau menengok mereka dan jika mereka wafat janganlah kamu menyaksikan mereka.’[50]
- Hadits Hudzaifah lembaran (Shahifah) yang masyhur dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « المدينة حرم ما بين عير وثور, فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين » [ أخرجه البخاري ومسلم ]
‘Madinah adalah haram di antara Ier dan Tsaur, maka siapa yang menciptakan yang baru (dalam agama, bid’ah) atau menampung orang yang bid’ah, maka atasnya kutukan Allah subhanahu wa ta’ala, para malaikat dan semua manusia..”[51]
- Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُوْنَ وَأَصْحَابٌ, يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ, ثُمَّ إِنَّهَا تَخَلَّفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَالَايَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ مَالَايُؤْمَرُوْنَ. فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٍ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الْإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلَةٍ» [ أخرجه مسلم ]
“Tidak ada seorang nabi yang diutus Allah subhanahu wa ta’ala sebelum aku kepada satu umat kecuali baginya dari umatnya ada hawari dan para sahabat, mereka mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka lahirlah generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjihad kepada mereka dengan tangannya maka ia seorang mukmin, siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka dia seorang mukmin, dan tidak ada sebiji sawipun dari iman di belakang itu.[52]
- Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam membaca ayat ini:
﴿ هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلُُّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ {7} ﴾ [آل عمران: 7]
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran:7)
Ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّي اللهُ فَاحْذَرْهُمْ» [ أخرجه البخاري و مسلم ]
‘Apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti yang samar darinya maka merekalah orang-orang yang disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala, maka hati-hatilah terhadap mereka.’[53]
- Hadits-hadits yang sangat banyak dalam tindakan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr para pelaku maksiat sampai mereka bertaubat. Hal itu banyak diriwayatkan dalam berbagai peristiwa yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, di antara mereka: Ka’ab bin Malik, Ibnu ‘Amr meriwayatkan dua hadits, Aisyah, Anas, ‘Ammar, Ali, Abu Sa’id al-Khudry dan selain mereka radhiyallahu ‘anhum.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah menghajr Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dua temannya tatkala ketinggalan perang Tabuk. Mereka terus dihajr selama lima puluh malam, sampai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mengabarkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubat mereka.[54]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha sekitar dua bulan tatkala ia berkata: ‘Aku memberikan kepada wanita Yahudi tersebut’, maksudnya adalah Shafiyyah radhiyallahu ‘anha.[55]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr pemilik kubah yang mencolok dengan berpaling darinya sampai ia menghancurkannya.[56]
Dan beliau menghajr ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu dengan tidak memberi salam kepadanya karena ia memakai pakaian yang diberi wangian za’faran (jenis wewangian khusus untuk wanita, berwarna antara kuning dan merah) sampai ia mencucinya.[57]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr seorang laki-laki tatkala beliau melihat cincin emas di tangannya sampai ia melemparkannya, dan menghajrnya dengan cara berpaling darinya.[58] Dan contoh serupa dari hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu.[59] Dan beliau menghajr seorang laki-laki dengan cara tidak menjawab salamnya, dan hal itu disebabkan ia memakai dua pakaian merah.[60]
Penerapan para sahabat dan generasi sesudahnya terhadap sunnah nabi ini:
Para sahabat telah menerapkan sunnah hajr dalam beberapa peristiwa:
Umar radhiyallahu ‘anhu menghajr Ziyad bin Hudair radhiyallahu ‘anhu tatkala melihat pakaian panjang atasnya dan kumisnya tidak terurus. Apabila Ziyad memberi salam, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menjawab sehingga ia melepaskan pakaian panjangnya dan mencukur kumisnya.[61]
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menangkap para pemain dadu di waktu pagi dan semisalnya, dan melarang memberi salam kepada mereka.[62]
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang dia melihatnya menghadzaf (melempar hewan dengan kerikil kecil), setelah ia menyampaikan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang hal itu dan ia berkata: ‘Demi Allah subhanahu wa ta’ala saya tidak akan berbicara denganmu selamanya.’[63]
Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang menghadzaf dalam kasus serupa, dan seorang Syaikh dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr seorang pemuda karena menghadzaf.[64]
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu menghajr Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu dalam perbedaan pendapat dalam masalah riba, dan ia berkata: ‘Aku menceritakan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan engkau menceritakan dari pendapatmu’, sungguh jika Allah subhanahu wa ta’ala mengeluarkan aku (dari wilayah kepemimpinan engkau) aku tidak akan tinggal di wilayah yang engkau menjadi amir padanya.’ Dan tatkala ia keluar (dari wilayah itu), ia mengadukannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepadanya: ‘Tidak ada kepemimpinan atasmu terhadapnya, dan bawalah manusia terhadap pendapatnya, sesungguhnya ia adalah perintah.’[65]
Dan kasus serupa terjadi bagi Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu bersama Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.[66]
Dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang dilihatnya tertawa terhadap jenazah, ia berkata: ‘Demi Allah, saya tidak akan berbicara denganmu selamanya.’[67]
Ketiga: Ijma’:
Dihikayatkan dari jama’ah, di antara mereka: al-Qadhy Abu Ya’la, al-Baghawi, al-Ghazali,.
Al-Qadhy Abu Ya’la rahimahullah berkata: ‘Ia merupakan ijma’ para sahabat dan tabi’in.’[68]
Al-Baghawi rahimahullah berkata setelah hadits Ka’ab bin Malik rahimahullah: ‘Dan padanya merupakan dalil bahwa sunnah hajr terhadap ahli bid’ah tetap berlaku untuk selamanya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam khawatir sifat nifaq terhadap Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dan temannya ketika mereka tertinggal keluar bersamanya. Maka beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menyuruh menghajr mereka hingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan (al-Qur`an) tentang taubat mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengetahui bebasnya mereka (dari sifat nifak). Para sahabat, tabi’in, para pengikut mereka dan ulama sunnah terus menerapkan hal ini, sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan menghajr mereka.[69]
Al-Ghazaly rahimahullah berkata: ‘Tata cara kaum salaf berbeda-beda dalam menampakkan kemarahan terhadap pelaku maksiat, dan semuanya sepakat untuk menerapkan kemarahan terhadap orang-orang zhalim dan pelaku bid’ah, dan kepada setiap pelaku maksiat yang berpengaruh terhadap orang lain.[70]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Sudah ijma’ (para ulama) bahwa tidak boleh menghajr seorang muslim lebih dari tiga hari, kecuali dikhawatirkan dari bergaul dan berbicara dengannya sesuatu yang bisa merusak agamanya, atau menyebabkan bahaya terhadap dirinya pada agama dan dunianya, jika dikhawatirkan seperti itu dibolehkan baginya menjauhinya. Berapa banyak mendiamkan (menghajr, tidak menyapa) yang indah lebih baik dari pada bergaul yang menyakiti.’[71]
Dan ia berkata pula dalam mengambil dalil dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendiamkannya bersama kaum muslimin:
‘Ini merupakan dasar di sisi para ulama dalam menjauhi orang yang melakukan bid’ah, mendiamkannya dan tidak berbicara bersamanya. Dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tidak berbicara terhadap laki-laki yang tertawa pada jenazah.[72]
Tujuan-tujuan syar’iyah bagi syari’at hajr (mendiamkan):
Bisa disimpulkan tujuan-tujuan syar’iyah bagi hajr dalam beberapa hal berikut ini:
1. Sesungguhnya mencela dengan cara mendiamkan merupakan hukuman secara syar’i bagi yang didiamkan, maka ia termasuk jenis jihad fi sabilillah agar kalimah Allah subhanahu wa ta’ala tertinggi, menunaikan kawajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar, karena mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan kewajiban cinta pada-Nya subhanahu wa ta’ala.
2. Membangkitkan rasa sadar di dalam jiwa kaum muslimin agar tidak terjerumus dalam bid’ah ini dan mengingatkan mereka.
3. Membatasi tersebarnya bid’ah.
4. Menekan pelaku bid’ah dan mencelanya, agar ia menjadi lemah dari menyebarkan bid’ahnya, karena bila terjadi pemboikotan terhadapnya dan menjauh darinya jadilah ia seperti musang dalam lobangnya.[73]
5. Juga di antara tujuan syar’i: mengingatkan pelaku bid’ah terhadap kesalahannya agar ia merasa perbedaannya bagi kaum muslimin, lalu ia bertaubat dan kembali dari perbuatan bid’ahnya.
Catatan-catatan penting mendiamkan (hajr) yang disyari’atkan:
Yang perlu diingatkan dalam masalah ini bahwa mendiamkan ahli bid’ah adalah dari bab pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ibadah, maka harus ada dua syarat diterimanya, yaitu:
Pertama, ikhlas: ia adalah timbangan ibadah dalam batinnya. Maka yang mendiamkan ahli bid’ah harus bertujuan memberi nasihat karena Allah subhanahu wa ta’ala, bagi kitab-Nya, rasul-Nya, dan bagi semua kaum muslimin, dan bertujuan menutup pintu bid’ah, dan mencela pelakunya agar kembali kepada sunnah, tanpa adanya tujuan-tujuan lain dari sisi hawa nafsu belaka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Apabila hal ini sudah diketahui, maka mendiamkan yang syar’i merupakan amal ibadah yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya. Taat harus ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dan sesuai perintahnya. Maka siapa yang mendiamkan karena hawa nafsunya atau mendiamkan yang tidak diperintahkan, berarti ia keluar dari kriteria hal ini.[74]
Kedua: Mutaba’ah, yaitu timbangan amal secara lahir:
Mendiamkan ahli bid’ah harus berdasarkan beberapa catatan yang berdiri di atas kaidah menjaga mashlahat (kebaikan) dan menolak kerusakan. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata: ‘Disyari’atkan hajr adalah dalam lingkaran kriteria-kriteria syar’i yang dibangun di atas dasar menjaga mashlahat dan menolak kerusakan.’[75]
Sehingga bisa terealisasikan penyebab yang mengharuskan hajr (mendiamkan), harus dipastikan beberapa perkara:
1. Memastikan adanya bid’ah, tidak cukup dengan isu dan ucapan fulan (si anu), akan tetapi harus dipastikan mendengar ucapannya atau melihat perbuatannya atau tulisannya.
2. Bahwa bid’ah itu adalah sesuatu yang dipastikan bid’ahnya, maka janganlah ia menhajr dalam masalah-masalah yang para ulama yang berbeda pendapat padanya.
3. Sampainya hujjah kepada pelaku bid’ah, memahaminya, hilangnya penghalang kebodohan, tidak adanya syubhat, dan tersingkapnya ghaflah (lupa, lalai).
Dan bisa disimpulkan kriteria syar’i bagi hajr dalam dua hal:
Pertama, menjaga mashlahat dan merusakan.
Kedua, hukuman menurut kadar kesalahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam tata cara yang benar dalam hajr: ‘Sesungguhnya satu kaum menjadikan hal itu berlaku secara umum, maka mereka melakukan dan mengingkari sesuatu yang mereka tidak disuruh dengannya, hukumnya tidak wajib dan tidak sunnah, dan terkadang dengannya mereka meninggalkan kewajiban kewajiban dan sunnah-sunnah, dan melakukan yang diharamkan dengannya.
Dan yang lain berpaling dari hal itu secara menyeluruh, maka mereka tidak menghajr sesuatu yang mereka disuruh menghajrnya dari perbuatan dosa yang bid’ah, bahkan mereka meninggalkannya karena berpaling, bukan meninggalkan orang yang berhenti lagi membenci, atau mereka terjerumus padanya. Dan terkadang mereka meninggalkannya seperti meninggalkan orang yang membenci (perbuatan bid’ah itu) dan tidak melarang orang lain darinya dan tidak menghukum dengan hajr dan semisalnya, orang yang pantas mendapat hukuman. Maka mereka telah menyia-nyiakan nahi mungkar yang mereka disuruh melakukannya dengan perintah wajib atau sunnah. Maka mereka di antara melakukan yang mungkar atau meninggalkan yang diperintahkan, dan hal itu melakukan yang mereka dilarang darinya dan meninggalkan yang mereka disuruh dengannya, maka ini adalah ini. Dan agama Allah subhanahu wa ta’ala berada di pertengahan di antara yang ghuluw (berlebihan) padanya dan jafi (yang menjauh, meninggalkan) darinya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.[76]
Syaikh Nashiruddin al-Albany rahimahullah berkata: ‘Politik wala` dan bara` tidak mengharuskan memusuhi satu golongan dari golongan-golongan Islam atau satu kelompok dari kelompok-kelompok Islam, akan tetapi setiap kelompok darinya harus diperlakukan dalam batas dekat dan jauhnya dari akidah Islam, atau dari berpegang dengan Islam yang benar sebagai satu kesatuan utuh. Dan memusuhi tidak datang kecuali dalam kondisi putus asa dari memperbaiki dan membimbingnya. Maka di sini datang sesuatu yang dikenal dengan benci/marah karena Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun pada awalnya, tidak sewajarnya seorang muslim memusuhi seseorang dari kelompok-kelompok Islam, sekalipun menyalahi akidahnya.[77]
Maka dari sudut pandang perbedaan kedudukan dari sisi dosa, ia terdiri dari beberapa sisi[78]:
· Dari sisi kondisinya kafir atau tidak kafir.
Maka yang mengkafirkan seperti Babiyah, Bahaiyyah dan Qadiyaniyyah.
Dan yang tidak mengkafirkan seperti umumnya bid’ah dalam ibadah, secara hakikat atau idhafah.
· Dari sisi pelakunya bersembunyi dengannya atau menampakkan diri. Jika ia menampakkanya maka ia berhak mendapatkan hukuman, berbeda orang yang menyembunyikan, maka ia tidak lebih buruk dari pada orang-orang munafik yang Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima yang mereka nampakkan dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menyerahkan urusan batin mereka kepadanya, ini dan mereka berada di lapisan paling bawah dari api neraka.[79]
Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Karena alasan ini dan semisalnya, kaum muslimin berpendapat agar menghajr orang yang nampak tanda-tanda penyimpangan atasnya dari orang-orang yang menampakkan bid’ah dan mengajak kepadanya, serta yang menampakkan dosa besar. Adapun orang yang menyembunyikan maksiatnya atau menyembunyikan bid’ah yang mengkafirkan, maka sesungguhnya ini tidak dihajr. Sesungguhnya yang dihajr adalah yang mengajak kepada bid’ah, karena hajr adalah satu jenis hukuman, dan sesungguhnya yang dihukum adalah yang menampakkan maksiat secara ucapan dan perbuatan.[80]
· Dan dari sisi kondisinya hakikat atau idhafah:
Maka bid’ah hakikat adalah bid’ah ibadah yang baru secara menyendiri seperti shalat raghaib, bukan bid’ah idhafiyah, dan seperti shalat qadar, shalat alfiyyah di malam nisfu Sya’ban, bid’ah maulid, hari-hari besar pemerintah, ied Ghadir kham di kalangan Syi’ah...dan seterusnya.
Dan bid’ah idhafiyyah: yaitu perkara bid’ah yang disandarkan kepada sesuatu yang disyari’atkan pada dasarnya dengan tambahan dan pengurangan. Contohnya adalah: berdoa secara berjama’ah setelah shalat. Doa adalah sesuatu yang disyari’atkan dan menjadikannya berjamaah adalah bid’ah yang disandarkan yang tidak ada nashnya. Dasar semua ibadah adalah tauqif (berdasarkan wahyu, akal tidak punya peran di dalamnya). Dan sujud syukur secara berjama’ah, menjadikan tabligh (penyambung takbir imam) di belakang imam sebagai suatu kebiasaan rutin padahal tidak diperlukan,..dan seterusnya.
Dan dari sisi kondisinya jelas atau sulit/rumit:
Maksudnya kondisinya jelas tempat pengambilannya, maka ia adalah bid’ah, maka ia adalah bid’ah murni seperti bid’ah-bid’ah upacara pemakaman dan maulid, shalat Raghaib... Atau bid’ah yang padanya ada kemungkinan karena samar tempat pengambilannya, contohnya: qunut dalam shalat isya` dan subuh. Memang hal itu pernah terjadi kemudian dinasakh dan tetap disyari’atkan padanya saat peristiwa tertentu, dan adanya syubhat khilaf (perbedaan pendapat) tidak menjadikannya disyari’atkan secara rutin.
Pada hakikatnya sesungguhnya sisi ini hanya pada gambaran saja, bukan pada hakikatnya, karena bid’ah-bid’ah berbagai macam bentuk pengambilanya bersumber dari isu-isu dan sikap fanatik buta tidaklah menjadikannya jelas. Wallahu A’lam.[81]
· Dan dari sisi ijtihadnya padanya atau kondisinya muqallid (pengikut):
Mujtahid adalah orang yang menciptakan bid’ah, kecenderungan kepada kesesatan lebih mungkin di hatinya dari pada pengikut, sekalipun keduanya berdosa, akan tetapi dosa orang yang memberikan contoh yang buruk lebih besar dosanya. Wallahu A’lam.[82]
· Dan dari sisi terus menerus melakukannya atau tidak:
Adapun terus menerus melakukannya maka ia menjadikannya dari bab (pintu) berdakwah kepadanya. Adapun yang tidak terus menerus melakukannya maka ia masuk dari pintu kekeliruan dan kekhilafan seorang alim, apabila ia melakukan kemudian tidak pernah mengulanginya lagi.[83]
· Dan berbeda sesuai perbedaan kondisi orang yang melakukan kesalahan (ahli bid’ah) dan yang ada padanya berupa kebaikan dan keburukan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Apabila tergabung pada seorang laki-laki kebaikan dan keburukan, fasik dan taat, maksiat, sunnah dan bid’ah: ia berhak mendapatkan perlakukan wala` (loyal) dan pahala sekadar kebaikan yang ada padanya, dan ia pantas dimusuhi dan hukuman menurut kadar keburukan yang ada padanya. Maka tergabung pada seseorang beberapa perkara yang mengharuskan mendapatkan penghormatan dan penghinaan. Maka tergabung baginya dari ini dan itu, seperti pencuri yang fakir, dipotong tangannya karena ia mencuri dan diberikan dari baitul mal yang mencukupi kebutuhannya. Inilah dasar yang disepakati oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah...[84]
· Dan berbeda di antara seorang alim yang jiwanya menyerap dengan bid’ah akan tetapi ia tidak bergabung/bercambur dengan ulama Ahlus Sunnah dan tidak mengambil ilmu dari mereka, dan di antara seorang alim yang mengambil ilmu dari ahli bid’ah, kemudian ia bergabung dengan ahlus sunnah dan para ulama mereka, berkumpul bersama mereka satu masa yang bisa mendapatkan keyakinan, bahkan ia bergaul dengan mereka puluhan tahun. Kemudian ia tetap berada di atas serapan bid’ah yang terus dilakukannya, berdakwah kepadanya, terus menerus atasnya. Maka orang ini telah berdiri tegak hujjah atasnya lebih banyak dan jelas bukti-bukti baginya maka ia tidak lebih melihat. Ia adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang paling berdosa dan benci terhadap Ahlus Sunnah. Maka yang pertama dalam menjinakkan hatinya untuk kembali kepada Ahlus Sunnah masih ada harapan. Adapun yang kedua, maka tidak. Bahkan wajib mendiamkannya dan menjauhinya, dan memberikan hukuman secara syar’i atasnya, menghajrnya setelah mati sebagaimana menghajrnya ketika masih hidup. Maka orang shalih tidak menshalatkannya dan tidak mengikuti jenazahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pada sebagian pelaku maksiat yang menampakkan kefasikan mereka: ‘Adapun bila seseorang menampakkan kemungkaran tentu wajib mengingkarinya secara terbuka dan tidak tersisa baginya ghibah (boleh menggunjingnya dalam masalah ini), dan harus dihukum secara terbuka dengan suatu hukuman yang membuatnya jera dari hal itu berupa didiamkan dan yang lainnya. Maka tidak boleh diberi salam kepadanya dan tidak dijawab salamnya, apabila yang melakukan hal itu bisa melakukannya tanpa berakibat kerusakan yang lebih buruk.
Sudah selayaknya para tokoh agama menghajrnya setelah wafat, sebagaimana menghajrnya ketika masih hidup, apabila hal itu bisa membuat jera para pelaku dosa, maka mereka tidak melayat jenazahnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah beberapa kali tidak menshalatkan pelaku dosa. Dan sebagaimana dikatakan kepada Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu[85]: Sesungguhnya anakmu meninggal semalam.’ Ia berkata: ‘Jika ia meninggal aku tidak menshalatkannya.’ Maksudnya, sesungguhnya ia membantu membunuh dirinya maka ia sama seperti membunuh dirinya, dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menshalatkan orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Demikian pula Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr tiga orang sahabat yang menampakkan dosa mereka dalam tidak ikut berjihad yang wajib sampai Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubat mereka. Maka bila ia menampakkan taubat niscaya nampak kebaikan baginya...[86]
· Dan dibedakan dalam kondisi yang dihajar di antara yang mempunyai iman yang kuat dan yang lemah padanya. Sesungguhnya yang kuat dihukum dengan yang lebih berat dari pada yang lemah dalam agama, sebagaimana dalam cerita Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dua temannya.[87]
· Demikian pula menurut kondisi tempat:
Beda di antara tempat-tempat yang banyak bid’ah padanya, sebagaimana banyak Qadariyah di Bashrah, peramal di Khurasan, Syi’ah di Kufah dan di antara yang tidak ada yang demikian itu.[88] Dan ini menurut yang difatwakan imam Ahmad dan yang lainnya, dibangun atas dasar ini: menjaga mashlahat syar’iyah. ‘Dan berbeda menurut perbedaan orang yang menghajr dalam kekuatan dan kelemahan mereka, sedikit dan banyaknya mereka.[89]
Apabila mayoritas dan yang nampak bagi Ahlus Sunnah niscaya disyari’atkan hajr terhadap ahli bid’ah berdiri menurut asalnya. Dan jika kekuatan dan mayoritas bagi ahli bid’ah –tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala- maka ahli bid’ah dan yang lain tidak akan tersadar dengan tindakan hajr dan tidak bisa diperoleh tujuan syar’i, niscaya tidak disyari’atkan hajr dan yang terbaik adalah cara pendekatan karena khawatir bertambah keburukan.
Dan ini seperti kondisi yang disyari’atkan bersama musuh: terkadang berperang, terkadang berdamai, dan terkadang diambil jizyah. Semua itu tergantung kondisi dan mashlahat.[90]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: ‘Adapun menghajr mereka maka ini menjadi keharusan terhadap bid’ah. Apabila bid’ah itu menyebabkan kafir wajiblah menghajr. Apabila kurang dari itu, maka sesungguhnya kita tawaqquf (berhenti) dari menghajrnya, jika dalam menghajrnya adalah mashlahat maka kita melakukannya dan jika tidak ada mashlahat padanya niscaya kita menjauhinya. Hal itu dikarenakan bahwa pada dasarnya haram menghajr orang yang beriman, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَايَحِلُّ لِرَجُلٍ مُؤْمِنٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ » [ أخرجه البخاري ومسلم ]
“Tidak boleh bagi seseorang yang beriman menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.”[91]
Maka setiap orang beriman, sekalipun ia fasik, haram menghajrnya selama tidak ada mashlahat dalam menghajrnya. Jika ada mashlahat dalam menghajrnya kita menghajrnya, karena hajr dalam kondisi itu menjadi obat. Adapun bila tidak ada mashlahat padanya atau bertambah maksiat dan pembangkangan padanya, maka sesungguhnya yang tidak ada mashlahat padanya maka meninggalkannya adalah mashlahat.[92]
Di masa sekarang, fitnah sangat besar dan bid’ah tersebar luas. Ahli bid’ah merupakan simbol di sebagian negara...mereka meninggikan bid’ah mereka dan mempublikasikannya.
Dan di sebagian negara, jika sunnah lemah nampaklah bid’ah dan jika sunnah kuat niscaya bid’ah mengerucut. Dan tidak samar terhadap orang yang melihat lagi mengetahui sumber pengambilan mazhab mereka yaitu mereka mengarang buku-buku propaganda untuk mazhab mereka, sehingga mempengaruhi akidah orang-orang yang jahil. Sebagaimana diberikan banyak kesempatan terhadap mereka untuk memasukkan bid’ah-bid’ah mereka di setiap rumah lewat stasiun televisi dan majalah serta lewat setiap cara yang bisa mereka lakukan.
Realita pada hari ini menjadi saksi terhadap apa yang kami katakan! Apakah perkaranya dibiarkan dan seolah-olah sesuatu yang tidak pernah terjadi? Ataukah dakwah kepada kebenaran dan sunnah merupakan suatu keharusan, semua menurut kadarnya. Kebutuhan yang sangat terhadap amar ma’ruf dan nahi munkar, meluruskan akidah, dan melakukan segala upaya untuk menghalangi kebatilan dan pelakunya?!!
Berdialog dengan ahli bid’ah[93]:
Dekat dari masalah mendiamkan adalah masalah berdialog dengan orang-orang yang menyimpang (ahli bid’ah) dan berdebat dengan mereka:
Sesungguhnya berdialog dengan ahli batil (ahli bid’ah) dan menjelaskan syubhat mereka mendapat pujian dan dorongan dari Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya:
﴿ اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ﴾ [النحل: 125]
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (QS. an-Nahl:125)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala memberi karunia kepada nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan memberikan kemampuan berhujjah kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
﴿ وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَاهَآ إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَآءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ {83} ﴾ [الأنعام: 83]
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An’aam:83)
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan beberapa dialog di antara ahli haq dan ahli batil. Di antaranya, dialog Ibrahim ‘alaihissalam kepada kaumnya sebagaimana dalam surah al-An’aam, dialog Musa ‘alaihissalam dengan Fir’aun sebagaimana dalam surah asy-Syu’ara dan yang lainnya.
Dan diriwayatkan dari salaf tentang bolehnya dialog dan debat di saat-saat tertentu. Banyak kalangan salaf yang berkata: ‘Dialoglah dengan kaum Qadariyah dengan ilmu, jika mereka mengakui dengannya berarti mereka kalah dan jika mereka mengingkari berarti mereka kafir.’[94]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Di antara yang sudah diketahui secara mutawatir bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bersikap wala` kepada selain Syi’ah melebihi sikap wala`nya terhadap Syi’ah, sehingga terhadap kaum Khawarij, ia duduk bersama mereka, memberi fatwa dan berdialog dengan mereka.[95]
Dan sebaliknya juga diriwayatkan celaan berdebat dan bertengkar dalam masalah agama. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ مَايُجَادِلُ فِي ءَايَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ {4} ﴾ [غافر: 4]
Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu. (QS. Ghafir:4)
Dan firman-Nya:
﴿وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِنَا مَالَهُم مِّن مَّحِيصٍ 35 ﴾ [الشورى: 35]
Dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa mereka sekali-kali tidak akan memperoleh jalan ke luar (dari siksaan). (QS. asy-Syura’:35)
Dan banyak pula dalil-dalil dari sunnah, di antaranya: sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللّهِ الْأَلَدُّ الْخَصمُ » [أخرجه البخاري ومسلم]
“Laki-laki yang paling dibenci Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang sangat memusuhi lagi suka berdebat.”[96]
An-Nawawi rahimahullah berkata: ‘al-Aladd, yaitu sangat memusuhi. Diambil dari ladiday wady, yaitu dua sisinya, karena setiap kali didebat atasnya dengan hujjah ia mengambil dari sisi yang lain. Adapun khashm, yaitu yang suka bermusuhan. Dan yang dicela adalah permusuhan dengan cara batil dalam mengangkat hak atau menetapkan kebatilan. Wallahu A’lam.[97]
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَاضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ » [ أخرجه الترمذي وابن ماجه ]
‘Tidak tersesat satu kaum setelah mendapat petunjuk yang mereka berada di atasnya kecuali mereka suka berdebat,’ kemudian beliau membaca:
﴿ مَاضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً ﴾ [الزخرف: 58]
Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja,. (QS. az-Zukhruf:58)[98]
Dan diriwayatkan pula dari salaf yang menunjukkan celaan berdebat dan bertengkar dalam agama.
Abdurrahman bin Mahdy rahimahullah berkata: ‘Aku mendapatkan manusia, sedangkan mereka berada di atas jumlah, maksudnya tidak banyak berbicara dan tidak bermusuhan (dalam agama).’[99]
Abdurrahman bin Abu Zinad rahimahullah berkata: ‘Aku bertemu orang-orang yang utama dan ahli fiqih dari manusia terpilih; mereka mencela orang yang suka berdebat dan mengambil pendapat sendiri, melarang kami bertemu dan duduk bersama mereka, serta memperingatkan kami dari mendekati mereka.[100]
Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Dasar-dasar sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan sesuatu yang diperpegangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengikuti mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, meninggalkan perdebatan dan duduk bersama pengikut hawa nafsu, dan meninggalkan perdebatan dan permusuhan dalam agama.’[101]
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: ‘Para ulama salaf dari Ahlus Sunnah sepakat melarang perdebatan dan permusuhan dalam masalah sifat (Allah subhanahu wa ta’ala), dan mencela mendalami ilmu kalam dan mempelajarinya.’[102]
Akan tetapi semua ini, maksudnya pujian dan celaan, tidak kembali kepada perdebatan dan dialog itu sendiri, dan sesungguhnya ia kembali kepada merealisasikan tujuan-tujuan dialog, syarat-syarat dan adab-adabnya.
Pertama: Tujuan syar’i untuk berdialog dengan ahli bid’ah dan berdebat dengan mereka:
1. Berdakwah kepada ahli bid’ah dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, serta menyadarkan mereka dari berbagai macam bid’ah yang ada pada mereka.
2. Membela agama dan membersihkannya dari kesamaran yang dilakukan ahli bid’ah dan sesuatu yang mereka susupkan dengannya nash-nashnya berupa penyimpangan dan takwil.
3. Menjaga kalangan awam agar jangan terjerumus dalam berbagai macam bid’ah, membentengi mereka dari syubhat-syubhat dan menjelaskannya serta menjelaskan bantahan terhadapnya.
4. Mempermalukan ahli bid’ah dan membuka kebatilan mereka agar tidak samar terhadap manusia.
5. Mengumpulkan manusia di atas satu kalimat, karena kaum muslimin diperintahkan agar berpegang teguh dengan tali (agama) Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak mungkin berkumpulnya mereka di atas selainnya. Maka di dalam menjelaskan kepalsuan bid’ah merupakan kemajuan untuk merealisasikan tujuan syari’i yang agung ini.
Dan di atas tujuan-tujuan syar’i ini terbangunlah hukum atas berdialog dan berdebat. Maka kapan saja terdapat tujuan-tujuan ini dan terealisasi berarti dialog ini adalah syari’ yang terpuji, dan kapan saja tidak didapatkan tujuan-tujuan ini dan tidak terealisasi berarti dialog tersebut adalah tercela.
Karena alasan itu para ulama meletakkan beberapa catatan yang membedakan dialog yang terpuji dari yang tercela, yaitu yang akan dibicarakan berikut ini:
Kedua: Kriteria-kriteria dialog:
1. Ilmu: orang yang berdialog dan berdebat dengan ahli bid’ah harus mempunyai ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala mencela perdebatan tanpa berdasarkan ilmu, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَّرِيدٍ {3}﴾[الحج: 3]
Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat, (QS. al-Hajj:3)
Dan firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ هَاأَنتُمْ هَاؤُلآءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُم بِهِ عِلْمُُ فَلِمَ تُحَآجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمُُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ {66} ﴾[آل عمران: 66]
Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Ali Imran:66)
Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan dari Abu Farukh rahimahullah, bahwa ia menulis kepada Malik bin Anas rahimahullah: Sesungguhnya di kota kami banyak bid’ah dan sesungguhnya dia mengarang untuk mereka perkataan sebagai bantahan terhadap mereka. Maka Malik rahimahullah menulis kepadanya: ‘Jika engkau mengira hal itu dengan dirimu sendiri, saya khawatir engkau tergelincir maka engkau binasa. Tidak bisa/boleh membantah mereka kecuali seseorang yang dhabith lagi mengenal sesuatu yang dia katakan kepada mereka, yang mereka tidak mampu membengkokkan atasnya, maka ini tidak mengapa. Adapun selain yang demikian itu, maka sesungguhnya saya khawatir bahwa ia berbicara kepada mereka lalu keliru maka mereka meneruskan kesalahannya, atau mereka mendapat peluang dengan sesuatu darinya, maka mereka menjadi zhalim dan bertambah ingkar atas hal itu.’[103]
2. Bahwa tidak melakukan dialog kecuali orang yang berkeinginan memberi petunjuk dan manfaat kepadanya.
Ibnu ‘Aun rahimahullah berkata: ‘Aku mendengar Muhammad bin Sirin rahimahullah melarang berdebat kecuali kepada seseorang yang jika engkau berbicara dengannya engkau ingin dia kembali (ke jalan sunnah).[104] Namun, sesungguhnya harus dijaga dalam hal ini beberapa kondisi yang menuntut dialog, sekalipun tidak bisa diharapkan kembalinya orang yang menyimpang ini. Dan ini seperti diminta berdialog di hadapan orang banyak, sebagaimana sekarang terjadi di layar-layar kaca dan internet, dan bila tidak mengikuti debat berarti kehinaan terhadap sunnah dan nampaknya bid’ah. Dan bisa jadi tidak melakukan dialog bisa membawa terperdayanya manusia dengannya, dan mereka mengira bahwa ia berada di atas kebenaran, dan sesungguhnya orang yang tidak melakukan dialog dengannya berada di atas kebatilan.
Dan termasuk yang itu adalah yang terjadi di masa imam Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim al-Isma’ily al-Hafizh, ketika seorang Isma’ily al-Bathiniyah berdiri dan berdialog kepada Amir Wasymakiir, maka Amir menyuruh al-Hafizh Abu Bakar rahimahullah untuk melakukan dialog. Dan hal itu di hadapan publik, maka al-Hafizh berdialog/berdebat dengannya dan mengalahkannya.[105]
Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Sungguh kami menyuruh diam, maka tatkala kami dipanggil kepada suatu perkara yang kami tidak ada pilihan lain selain menolak hal itu dan menjelaskan perkaranya yang membantah apa yang mereka katakan. Kemudian ia berdalil untuk hal itu dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ ﴾ [النحل: 125]
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (QS. an-Nahl:125)
Imam Ibnu Baththah rahimahullah[106] ditanya tentang seorang penanya yang bertanya kepada seorang ulama tentang masalah hawa nafsu yang terjadi/muncul yang dia meminta jawaban, apakah ia menjawabnya atau tidak? Maka beliau rahimahullah membagi orang-orang yang bertanya kepada tiga bagian, yang terkait dengan kita dari mereka di sini adalah bagian kedua yang dia katakan: ‘Dan laki-laki lain yang hadir di satu majelis yang engkau hadir padanya, engkau merasa aman padanya terhadap dirimu, banyak orang-orang yang menolong dan membantumu. Lalu ia berbicara padanya dengan ucapan yang mengandung fitnah dan merupakan bala (cobaan) terhadap hati orang-orang yang mendengarkannya untuk mencampakkan keraguan di hati, karena ia termasuk orang yang di hatinya ada kecenderungan (kepada kesesatan), ia mengikuti yang samar karena mencari fitnah dan bid’ah. Dan hadir bersamamu dari saudara-saudaramu dan pengikut mazhabmu orang yang mendengar ucapannya, namun mereka tidak mempunyai hujjah (dalil) untuk menghadapi dan mereka tidak mempunyai latar belakang pengetahuan tentang keburukan apa yang dibawanya. Jika ia mendiamkannya niscaya tidak aman dari fitnahnya yaitu merusak hati para pendengarnya dan memasukkan keraguan terhadap orang-orang yang punya pikiran. Maka ini termasuk yang engkau harus menolak bid’ahnya dan kekotoran ucapannya, dan engkau mempublikasikan ilmu dan hikmah yang Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan kepadamu, dan janganlah tujuanmu dalam pembicaraan itu untuk memusuhi dan berdebat dengannya. Dan hendaklah tujuanmu dengan ucapannya untuk melepaskan saudara-saudaramu dari jaringannya. Maka sesungguhnya orang-orang mulhid (atheis) yang busuk membuka jaringan-jaringan syetan untuk menjaring orang-orang beriman. Maka hendaklah majunya engkau dengan ucapanmu, menyebarkan ilmu dan hikmahmu, berserinya wajahmu, dan kefasihan tutur katamu ditujukan terhadap saudara-sudaramu dan orang yang hadir bersamamu, bukan untuknya (orang bid’ah). Sehingga mereka terputus darinya dan engkau menghalangi di antara mereka dan di antara mendengarkan ucapannya. Bahkan jika engkau mampu memotong ucapannya dengan cara yang hikmah yang bisa memalingkan muka manusia darinya maka lakukannya.[107]
3. Hendaklah ia menggunakan metode/cara yang sesuai dan berhati-hati dari dampak dialog yang bisa membawa ahli bid’ah makin terjerumus dalam bid’ahnya.
4. Bahwa tujuan dialog itu adalah mencapai kepada kebenaran dan menjelaskannya disertai ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala padanya, hendaklah ia menjauhi tujuan-tujuan yang buruk. Dan di antara tujuan buruk adalah: berdialog dengan tujuan mengekang kebenaran dan menolaknya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهَ الْحَقَّ ﴾ [غافر: 5]
dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; (QS. Ghafir:5)
Dan di antaranya (tujuan yang buruk): bahwa tujuannya hanya semata-mata berdialog dan keingkaran, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang orang-orang kafir Quraisy dalam firman-Nya:
﴿وَلَمَّا ضُرِبَ ابْنُ مَرْيَمَ مَثَلاً إِذَا قَوْمُكَ مِنْهُ يَصِدُّونَ {57} وَقَالُوا ءَأَلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَاضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ {58} ﴾ [الزخرف: 57-58]
Dan tatkala putera Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. * Dan mereka berkata:"Manakah yang lebih baik ilah-ilah kami atau dia (Isa)" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (QS. Zukhruf:57-58)
Dan di antara tujuan perdebatan yang tercela pula: bahwa tujuannya adalah menampakkan ilmu, kecerdasan dan kejeniusan serta kekuatan hujjah karena riya terhadap manusia dan mencari dunia. Maka semua tujuan ini adalah merusak pahala berdialog, batal pahalanya, sekalipun ia berada dalam kebenaran, karena ia tidak bertujuan karena Allah subhanahu wa ta’ala, dan sesungguhnya ia menghendaki bagian hawa nafsu.[108]
5. Bahwa janganlah dialog ini menjadi penyebab nampaknya orang-orang menyimpang dan menjadi pembuka pintu bagi mereka menjadi lebih berani terhadap sunnah dan ahlus sunnah.
Imam al-Lalika`i rahimahullah berkata menjelaskan dampak berdebatan bersama orang-orang yang menyimpang berupa tindakah kriminal terhadap kaum muslimin, membandingkan di antara kondisi orang-orang yang menyimpang di masa salaf yang pertama dan kondisi mereka berupa kehinaan dan kenistaan, dan di antara kondisi mereka setelah dibukanya pintu dialog bersama mereka menurut pendapat sebagian ulama mutaakhirin (ulama belakangan) dan hasil yang mereka dapatkan dari hal itu berupa pujian dan kedudukan, sehingga mereka menjadi tandingan bagi Ahlus Sunnah dalam pandangan awam, ia rahimahullah berkata: ‘Tidak ada satu tindakan kriminal (kejahatan) terhadap kaum muslimin yang lebih besar dari dialog dengan ahli bid’ah, dan tidak ada kehinaan dan kenistaan bagi mereka yang lebih besar dari pada perlakuan salaf meninggalkan mereka dalam kondisi itu. Mereka mati dalam kondisi marah dan terhina, mereka tidak mendapatkan jalan untuk menyebarkan bid’ah mereka. Sehingga datang orang yang terperdaya lalu membuka jalan untuk mereka, maka jadilah mereka sebagai penunjuk jalan kepada kehancuran Islam. Sehingga banyak pertengkaran di antara mereka. Nampak dakwah mereka dengan dialog, dan mengetuk pendengaran orang yang tidak mengenalnya dari kalangan khusus dan umum. Sehingga berhadapan syubhat-syubat dalam hujjah dan sampailah mereka dari keterperincian dalam ketegaran. Maka jadilah mereka sebagai teman dan kawan dan di atas mudahanah menjadi saudara. Setelah sebelumnya mereka adalah musuh dan lawan karena Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka (salaf) mengkafirkan mereka (orang-orang yang menyimpang) secara terbuka dan mengutuk mereka secara terang-terangan. Sangat jauh di antara dua kedudukan dan sangat jauh di antara dua maqam.[109]
[1] Hakikatul bid’ah, karya al-Ghamidi 2/195.
[2] Al-I’tisham 2/516-518.
[3] I’tisham 2/543
[4] I’tisham, 2/550.
[5] Diriwayatkan oleh al-Qadha’iy dalam Musnad Syihab 2/44 dan ad-Dailamy dalam Musnad Firdaus 7994.
[6] I’tisham 2/551, 552, 553, 557
[7] Majmu’ Fatawa 35/414.
[8] I’tisham 2/712-713.
[9] Majmu’ Fatawa 3/348.
[10] Syarh Shahih Muslim, 1/60, dan lihat: at-Taqrib lin Nawawi hal 324.
[11] Abdurrahman bin Yahya bin Ali bin bin Muhammad al-Mu’allimy al-‘Atamy, faqih, muhaddits, wafat di Makkah tahun 1386 H.
[12] At-Tankil 1/228.
[13] Maksudnya pada zaman sahabat, orang yang berbicara para Utsman, Zubair, Thalhah, Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum, mereka menganggapnya sebagai syi’ah yang ghuluw.
[14] Mizanul I’tidal 1/118-119.
[15] Al-Kifayah hal 120.
[16] At-Taqrib hal 324-325
[17] Minhajus Sunnah 1/66-68.
[18] Nuzhatun Nazhar hal. 50.
[19] Tadribur rawi hal 325.
[20] At-Tankil 1/221
[21] Ulumul Hadits hal 103-104.
[22] Al-Kifayah hal. 127.
[23] Al-Kifayah hal. 126-127
[24] As-Sunan Kubra 10/208.
[25] Al-Kifayah hal. 128.
[26] Thabaqah Hanabilah 1/250.
[27] Syarh Sunnah 1/250.
[28] Jami’u Bayanil Ilmi wa fadhlih 2/821.
[29] Majmu’ Fatawa 24/175.
[30] At-Tankil 1/231.
[31] Syarh Sunnah lil Baghawi 1/248-249.
[32] Minhajus Sunnah an-Nabawiyah 1/62-63.
[33] Asy-Syari’ah 454 (2/873-874).
[34] Asy-Syari’ah (2/873-874). Al-Laalika`i dalam Syarh Ushuli I’tiqadi Ahlus Sunnah 1163 (4/644).
[35] Ibid 494 (2/904-905).
[36] Ibid 546 (901-902).
[37] Ibid 166 (1/501)
[38] Masail Imam Ahmad riwayat anaknya Abdullah hal 224.
[39] Tabshiratul Hukkam, Ibnu Farhun 1/426.
[40] Masail Imam Ahmad riwayat Abu Daud hal 286.
[41] Al-Adabus Syar’iyyah 1/276.
[42] Al-Bukhari 6/274 (7097).
[43] Abu Daud 2/632 (4683) dan an-Nasa`i 8/103 (4992).
[44] Minhaju Sunnah Nabawiyah 1/63-66.
[45] Tafsir al-Qurthuby 7/12-13.
[46] Tafsir al-Qurthuby 5/418.
[47] Tafsir al-Qurthuby 9/108.
[48] Tafsir al-Qurthuby 17/308
[49] Muslim 1/12 (6) dalam Muqaddimah.
[50] HR. Ahmad 2/86, 125, dan 5/406, Abu Daud 2/634 (4692).
[51] Al-Bukhari 6/2482, 6374 dan Muslim 2/2053, 2665.
[52] Muslim 1/69 (50).
[53] Al-Bukhari 4/1655 (4273) dan Muslim 4/2053 (2665).
[54] Al-Bukhari 4/1603, 1718, 5/2308, 6/2640 (4156, 4400, 5900, 6798), Muslim 4/2120 (2769).
[55] Abu Daud 2/609 (4602)
[56] Abu Daud 2/781 (5237)
[57] Abu Daud 2/609 (4601) dan Musnad ath-Thayalisy 1/90 (646).
[58] Al-Adabul Mufrad 1/352 (1020)
[59] An-Nasa`i 8/175 (5206) dan al-Adabul Mufraf 1/352 (1022).
[60] Abu Daud 2/450 (4065), An-Nasa`i 5/116 (2807), dan al-Mustadrak 4/211 (7399).
[61] Hilyatul Auliya` 4/197-198.
[62] Adabul Mufrad 1/422 (1268).
[63] Al-Mustadrak 4/315 (7760).
[64] Sunan ad-Darimy 1/127-128 (438-440)
[65] Sunan Ibnu Majah 1/8 (18).
[66] Al-Muwaththa` 2/632 (1302) dan Musnad asy-Syafi`i 1/242 (1202)
[67] Az-Zuhd karya Imam Ahmad 1/161.
[68] Al-Adabusy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 1/232.
[69] Syarh Sunnah karya al-Baghawi 1/226-227.
[70] Ihya` ‘Ulumiddin 2/168.
[71] At-Tamhid 6/127 dan lihat Fathul Bari 10/496.
[72] At-Tamhid 4/87
[73] Lihat: Hajrul Mubtadi’ karya Bakar bin Abdullah Abu Zaid hal. 11.
[74] Majmu’ Fatawa 28/207.
[75] Hajrul Mubtadi’ hal 41.
[76] Al-Fatawa 28/213 dan liha hal 206 darinya.
[77] Di antara fatwa Syaikh al-Albany di Makkah, kaset no. 7.
[78] Lihat uraian enam sisi ini dari I’tisham karya asy-Syathiby 1/167-174
[79] Lihat: Majmu’ Fatawa 28/205.
[80] Majmu’ Fatawa 24/174-175.
[81] Lihat: I’tisham 1/172-173.
[82] Lihat: I’tisham 1/167-168.
[83] Lihat: I’tisham 1/174
[84] Al-Fatawa 28/209 dan lihat hal 228 dengan penjelasan lebih luas dari ini.
[85] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd 1/199.
[86] Al-Fatawa 28/217-218.
[87] Lihat: Fathul Bary 8/123, Kitab Maghazi.
[88] Fatawa 28/206-207
[89] Al-Fatawa 28/206.
[90] Hajrul Mubtadi’ hal 44.
[91] Al-Bukhari 6073 dan Muslim 2560.
[92] Al-Majmu’ ats-Tsamin 1/30-31.
[93] Artikel yang ditulis guru kami Sayyid Hasan Ali al-Baar di majalah al-Bayan edisi 191 dengan judul ‘Berdialog dengan ahli bid’ah.’
[94] Jami’ul Ulum wal Hikam 1/27.
[95] Minhaj Sunnah Nabawiyah 7/263
[96] Al-Bukhari (2/867) (4/1644) (6/2628) (2325) (4251) (6765) dan Muslim 4/2054 (2668).
[97] Syarh Muslim 16/219.
[98] At-Tirmidzi 5/378, Ibnu Majah 1/19 (48) dan dihasankan oleh al-Albany dalam Shahih at-Targhib 1/33.
[99] Al-Ibanah Kubra 2/529.
[100] Referensi yang sama 2/532.
[101] Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 1/156 dan Adab Syar’iyah 1/201.
[102] Syarh Sunnah 1/216.
[103] Lihat: I’tisham 1/44.
[104] Ibanah Kubra karya Ibnu Baththah 2/541 no. 681.
[105] Lihat kisah selengkapnya dalam I’tisham 1/202-203.
[106] Ubaidullah bin Muhammad bin Muhammad Abu Abdillah al Akbary, dikenal dengan nama Ibnu Baththah, muhaddits, faqih dari ulama besar mazhab Hanbaly. Dilahirkan di ‘Akbara dan wafat di sana tahun 387 H. Mengarang banyak kitab, yang terpenting ‘Ibanah ‘an Ushul Diyanah’.
[107] Al-Ibanah Kubra 2/542.
[108] Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa wal bida’. (2/605-606)
[109] Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 1/19-20.