×
Makalah ini membahas tentang hal-hal yang dilakukan dan dibaca setelah selesai melakukan shalat Witir, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam juga tentang beberapa perkara yang boleh dilakukan atau boleh ditinggalkan, karena Nabi shalallahu’alaihi wasallam pernah melakukannya namun tidak menekuninya.

    Apa yang Dianjurkan Setelah Selesai Witir

    [ Indonesia - Indonesian - إندونيسي ]

    DR. Muhammad bin Fahd al-Furaih

    Dinukil dari Buku Masalah-Masalah Shalat Malam

    (hal. 71-75)

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2012 - 1434

    مايستحب فعله بعد الفراغ من الوتر

    « باللغة الإندونيسية »

    د.محمد بن فهد بن عبدالعزيز الفريح

    مقتبسة من كتاب مسائل قيام الليل : (ص: 71-75)

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2012 - 1434

    Apa yang Dianjurkan Setelah Selesai Witir

    Imam Ahmad, Abu Daud, an-Nasa`i dan selain mereka meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam salam dari shalat witir, beliau membaca:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((سُبْحَانَ اْلمَلِكِ الْقُدُّوْسِ))

    (Maha Suci Allah, Maha Raja lagi Maha Suci) tiga kali. Memanjangkan di akhirnya.

    Dalam hadits Ibnu Abza radhiyallahu ‘anhu: ‘Apabila Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam salam, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam membaca:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((سُبْحَانَ اْلمَلِكِ الْقُدُّوْسِ)) [رواه أحمد النسائي]

    (Maha Suci Allah, Maha Raja lagi Maha Suci) tiga kali. Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam meninggikan suaranya pada yang ketiga. HR. Ahmad dan an-Nasa`i.

    Maka dianjurkan bagi orang yang telah selesai dari witirnya agar membaca sesudahnya:

    (سُبْحَانَ اْلمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ اْلمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ اْلمَلِكِ الْقُدُّوْسِ)

    Dan meninggikan suaranya pada yang ketiga.

    Perhatian: diriwayatkan dalam Sunan ad-Daraquthni dan dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi ada tambahan:

    (رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوْحِ) [رواه الدارقطني]

    Rabb para malaikat dan ruh (Jibril asl). Dan tentang keshahihannya perlu ditinjau kembali, maka cukuplah (kita membaca) menurut riwayat yang shahih.

    Faedah: imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam shahih-nya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata –menceritakan dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam- bahwa beliau shallallahu ‘alahi wa sallam: shalat witir, kemudian shalat dua rekaat sambil duduk. Apabila beliau ingin ruku’ beliau berdiri lalu ruku’, kemudian beliau shalat dua rekaat di antara adzan dan iqamah dari shalat Subuh.’

    An-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Hadits ini dipakai oleh al-Auza’i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah menurut dzahirnya, menurut hikayat al-Qadhi dari keduanya. Mereka membolehkan dua rekaat setelah witir sambil duduk. Ahmad rahimahullah berkata: ‘Aku tidak melakukannya dan tidak melarang yang melakukannya.’ Ia berkata: ‘Dan Malik rahimahullah mengingkarinya.’ Saya katakan bahwa yang benar adalh dua rekaat ini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam setelah witir dalam kondisi duduk untuk menjelaskan boleh shalat setelah witir dan menjelaskan boleh shalat sunnah sambil duduk, dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menekuni hal itu. Akan tetapi beliau shallallahu ‘alahi wa sallam melakukannya sekali, atau dua kali, atau beberapa kali yang sedikit. Janganlah engkau terperdaya dengan ucapannya: ‘kaana yushalli’ (beliau shalat), karena sesungguhnya yang dipilih oleh mayoritas dan para muhaqqiq dari kalangan ushuliyun: sesungguhnya lafazh kaana tidak mesti berarti terus menerus dan tidak pula berarti berulang-ulang, namun ia adalah bentuk madhi (masa lampau) yang menunjukkan pernah terjadi satu kali. Jika ada dalil yang menunjukkan berulang- ulang niscaya diamalkan dengannya, dan jika tidak maka tidak menuntutnya dengan meletakkannya.[1]

    Ibnu Rajab rahimahullah berkata: ‘Adapun shalat dua rekaat setelah witir, maka sungguh telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dari beberapa jalur dan al-Bukhari rahimahullah tidak meriwayatkan sedikitpun darinya.

    Nampaknya: sesungguhnya dua rekaat yang dilakukan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam dalam kondisi duduk adalah setelah witir-nya dan bisa juga sebelumnya.

    Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam shalat tiga belas rekaat, shalat delapan rekaat kemudian witir, kemudian shalat dua rekaat dan beliau sambil duduk. Bila beliau shallallahu ‘alahi wa sallam ingin ruku’, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam berdiri lalu ruku’, kemudian beliau shallallahu ‘alahi wa sallam shalat dua rekaat di antara adzan dan iqamah dari shalat Subuh.

    Ia (imam Muslim) meriwayatkan pula dari riwayat Zurarah bin Aufa rahimahullah, dari Sa’ad bin Hisyam rahimahullah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam shalat witir dengan sembilan rekaat –dan ia menyebutkan sifatnya- kemudian beliau shalat dua rekaat setelah salam dan beliau melakukannya sambil duduk. Maka tatkala beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bertambah tua dan mulai gemuk, beliau witir delapan rekaat, beliau melakukan pada dua rekaat seperti perbuatannya yang pertama.

    Dan dalam riwayat Abu Daud rahimahullah dalam hadits ini dikatakan bahwa beliau shalat delapan rekaat tidak salam kecuali pada akhir shalatnya, kemudian beliau shalat dua rekaat sambil duduk setelah salam, kemudian shalat satu rekaat...

    Kemudian ia berkata, "dan para ulama berbeda pendapat pada dua rekaat setelah witir?

    Di antara mereka ada yang mensunnahkan dan menyuruh dengannya, di antara mereka adalah Katsir bin Dhamrah dan Khalid bin Ma’dan.

    Dan al-Hasan rahimahullah melakukannya sambil duduk, dan telah lewat penjelasan dari Abu Mizlaj bahwa ia melakukannya.

    Di antara ulama kita ada yang berpendapat: Ia termasuk sunnah rawatib..

    Di antara ulama ada yang meringankan padanya dan tidak memakruhkannya, ini adalah pendapat Auza’i dan Ahmad.

    Dan ia berkata: Saya berharap jika ia melakukannya agar jangan menyempitkan akan tetapi hendaklah hal itu sambil duduk, sebagaimana dalam hadits. Dikatakan kepadanya: Apakah engkau melakukannya? Ia (Imam Ahmad) menjawab: Tidak.’

    Ibnul Mundzir berkata: ‘Tidak dimakruhkan hal itu.’[2]

    Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Kebanyakan ulama tidak mendengar hadits ini, dan karena alasan ini mereka mengingkarinya. Sementara Ahmad dan selainnya mendengar hadis ini dan mengetahui keshahihannya. Imam Ahmad rahimahullah memberi keringanan bahwa dilaksanakan dua rekaat ini dan ia sambil duduk, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Siapa yang melakukan hal itu tidak diingkari atasnya, namun tidak wajib menurut kesepakatan ulama, tidak dicela yang meninggalkannya dan tidak dinamakan ‘zuhafah’. Seseorang tidak boleh memaksa orang lain melakukannya dan tidak boleh pula mengingkari yang melakukannya. Namun yang diingkari adalah yang dilakukan sebagian orang berupa dua sujud yang murni setelah witir. Sesungguhnya hal ini dilakukan oleh sebagian kelompok yang dikatakan ulama dan ahli ibadah dari pengikut mazhab Syafi’i dan Ahmad...hingga ia berkata: ‘Adapun shalat ‘zuhafah’ dan ucapan mereka: Siapa yang tidak menekuninya maka ia bukan termasuk Ahlus Sunnah. Maksud mereka adalah dua rekaat setelah witir. Kaum muslimin sudah ijma’ (konsensus) bahwa ini tidak wajib, sekalipun ia meninggalkannya sepanjang hidupnya, sekalipun ia tidak pernah melakukannya walau hanya sekali dalam hidupnya, niscaya ia bukan termasuk ahli bid’ah, tidak pula termasuk orang yang pantas dicela, tidak boleh dihajr, dan tidak pula ditandai dengan tanda yang tercela. Bahkan jika seseorang meninggalkan yang lebih kuat dari hal itu seperti memanjangkan qiyamul lail sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memanjangkannya, dan seperti shalat sebelas rekaat sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melakukan hal itu dan semisalnya, niscaya ia tidak keluar dari sunnah, bukan termasuk ahli bid’ah, dan tidak pantas mendapat celaan.

    Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah shalat dua rekaat setelah witir sambil duduk, dan terkadang membaca padanya sambil duduk, apabila beliau shallallahu ‘alahi wa sallam ingin ruku’, beliau berdiri lalu ruku’. Dalam Shahih Muslim, dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ia radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam shalat tiga belas rekaat, shalat delapan rekaat, kemudian shalat witir kemudian shalat dua rekaat sambil duduk. Apabila beliau ingin ruku’ beliau berdiri lalu ruku’. Kemudian beliau shallallahu ‘alahi wa sallam shalat dua rekaat di antara adzan dan iqamah dari shalat Subuh.

    Dan dalam Musnad, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam shalat dua rekaat setelah witir dua rekaat yang ringan sambil duduk...hingga ia berkata: yang benar bahwa dikatakan: Sesungguhnya dua rekaat ini berlaku seperti sunnah dan menyempurnakan witir, sesungguhnya witir adalah ibadah yang tersendiri.[3]

    Perhatian: shalat setelah witir adalah bagi orang yang shalat sendirian, seperti yang disebutkan dalam hadits-hadits ini. Adapun imam dan makmum maka mereka tidak boleh melakukan hal itu karena tidak ada dasarnya.’[4]

    [1] Syarh Muslim 6/264

    [2] Fathul Bari 6/260-262, dan lihat al-Ausath 5/202.

    [3] Zadul Ma’ad 1/321.

    [4] Dari komentar Syaikh Shalih al-Fauzan ghafarallahu lahu.