×
Makalah yang menjelaskan bahwa rumah adalah ruang lingkup kerja yang tepat bagi wanita dan keutamaan-keutamaan wanita bekerja di rumah….

    Ruang Lingkup Kerja Wanita

    [ Indonesia - Indonesian - إندونيسي ]

    Diambil dari kitab:

    "Masuliyatul Marah al Muslimah"

    Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah

    Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2012 - 1433

    عمل المرأة

    « باللغة الإندونيسية »

    مقتبسة من كتاب:

    "مسؤولية المرأة المسلمة"

    عبد الله بن جار الله بن ابراهيم الجار الله

    ترجمة: عارف شريف الدين

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2012 - 1433

    Ruang Lingkup Kerja Wanita

    Ruang lingkup pekerjaan seorang wanita adalah rumahnya, yang mana wanita di jadikan untuk mengurusi rumah serta keluarganya. Apabila suaminya mencari penghasilan untuk menghidupi rumah tangganya, maka bagi seorang istri untuk menggunakan serta menjaga harta suaminya sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « والمرأة راعية على بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها » (رواه البخاري)

    "Dan perempuan bertanggung jawab atas rumah suami dan akan di tanya tentang tanggung jawabnya tersebut". HR Bukhari.

    Dan keluarnya wanita dari rumahnya bukanlah perkara yang terpuji dari segi manapun juga, karena yang terbaik baginya adalah untuk tetap tinggal di dalam rumahnya, supaya dirinya tidak terlihat oleh lelaki demikian juga ia tidak terlalu sering melihat lelaki asing, hal itu sebagaimana yang di tunjukan oleh firman Allah Azza wa jalla:

    قال الله تعالى : ﴿ وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ ﴾ ( سورة الأحزاب 33).

    "Dan hendaklah kamu tetap tinggal di dalam rumahmu". (QS al-Ahzab: 33).

    Ini merupakan dalil yang sangat jelas yang mencakup bagi seluruh kaum wanita sebagaimana telah lewat penjelasanya.

    Wanita yang kedudukanya paling dekat dengan Allah adalah wanita yang senang dan rela tetap tinggal di dalam rumahnya, ia arahkan perbuatanya tersebut hanya untuk mencari ridhoNya, ia gunakan waktunya untuk beribadah, serta mentaati suaminya.

    Ali bin Abi Thalib berkata kepada istrinya Fatimah radhiayallahu 'anhuma: "Duhai istriku Fatimah, perempuan seperti apa yang paling bagus? Ia menjawab: "Perempuan yang lelaki tidak bisa melihatnya demikian pula ia tidak sering melihat lelaki lain".

    Sahabat Ali radhiyallahu 'anhu juga pernah mengatakan: "Apakah kalian tidak merasa malu, tidak merasa cemburu? Membiarkan istri-istrinya keluar rumah, berjalan di antara kaum lelaki, dirinya bebas melihat lelaki demikian pula lelaki lain juga bebas menikmati pemandangan istrimu". [1]

    Kemudian bagi seorang muslim dan muslimah jangan sampai lalai terhadap Dzat yang telah menciptakannya, yang dengannya ia di suruh beribadah serta ta'at kepadaNya, Allah Ta'ala berfirman:

    قال الله تعالى: ﴿ رَبُّنَا ٱلَّذِيٓ أَعۡطَىٰ كُلَّ شَيۡءٍ خَلۡقَهُۥ ثُمَّ هَدَى ﴾ ( سورة طه : 50)

    "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk". (QS Thahaa: 50).

    Mereka di perintah agar berjalan sesuai dengan syari'at, memenuhi perintah serta menjauhi laranganNya, kemudian Allah lah yang menjamin rizki mereka semua, sedangkan pintu-pintu rizki tersebut sangat banyak sekali, tinggal bagaimana caranya mereka didalam menempuh cara untuk mendapatkanya, apakah sesuai dengan apa yang di benarkan oleh syari'at atau malah melanggar aturanya, Allah Ta'ala berfirman:

    قال الله تعالى : ﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ﴾ ( سورة الأحزاب : 36)

    "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata". (QS al-Ahzaab: 36). [2]

    Catatan penting:

    Telah di tulis sebuah kitab oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani yang di beri judul "Hijaabul Mar'atil Muslimah fiil Kitab was Sunnah" (Hijab wanita muslimah dalam tinjauan al-Qur'an dan Sunah). Yang mana penulis telah membolehkan di dalam kitabnya tersebut untuk membuka wajah, sesuai dengan pemahaman dan pendapatnya, namun pendapatnya tentang masalah sufuur dan hijab ada yang kontradiksi. Dan telah datang bantahan oleh sebagian para ulama sebagaimana yang telah kami nukil perkataanya di dalam risalah ini, seperti telah kami jelaskan di awal, di mana para ulama telah mensifati pendapatnya tersebut sebagai pendapat yang ganjil jauh dari kebenaran, karena yang benar membuka wajah adalah termasuk perkara bid'ah yang menyelisihi al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman:

    قال الله تعالى : ﴿ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ...﴾ (سورة النساء : 59)

    "Kemudian apabila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)..". (QS an-Nisaa': 59).

    Maksud kandungan ayat di atas adalah ketika terjadi perselisihan maka kembalikan kepada al-Qur'an dan Sunnah, dan al-Qu'ran dan Sunnah telah menunjukan atas wajibnya bagi perempuan untuk menutupi wajahnya dari penglihatan lelaki asing, maka wajib bagi kita untuk mengamalkan apa yang ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah dan membuang jauh-jauh pendapat yang menyelisihi keduanya, karena setiap orang bisa di ambil perkataanya serta di tinggalkan kecuali perkataanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

    Dan di antara para ulama yang membantah pendapat Syaikh Al-Albani serta orang-orang yang mengikuti pendapatnya beliau adalah:

    ü Syaikh Abdul Aziz al-Khalaf dalam kitabnya "Nadharaat fii Hijaabil Mar'atil Muslimah".

    ü Syaikh Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri dalam kitabnya "ash-Shaarim Masyhuur 'ala Ahli Tabaruj was Sufuur".

    ü Syaikh Wahbi Sulaiman Ghaawiji dalam kitabnya "al-Mar'atul Mulimah".

    ü Syaikh Muhammad bin Ali ash-Shabuni dalam kitabnya "Tafsiir Ayaatil Ahkaam" pada juz yang kedua hal: 171 dan 382.

    ü Doktor Muhammad Hasan al-Buwaihi dalam kitabnya "Ahamu Qodhoya al-Mar'ail Muslimah".

    ü Doktor Sholeh bin Fauzan al-Fauzan dalam kitabnya "al-I'lam bi Naqdi Kitab al-Halal wal Haram".

    [1] . Al-Kabair oleh adz-Dzahabi hal: 171-172.

    [2] . Lihat kitab Mar'atul muslimah hal: 227-133, dan al-Hijaab hal: 209 keduanya oleh al-Maududi.