×
Makalah yang menjelaskan tentang definisi istihadhoh, cara membedakannya dengan darah haid, dan hukum-hukum wanita yang mengalami istihadhoh. Juga dijelaskan sekilas tentang darah nifas yang berkaitan dengan masalah istihadhoh ini….

    Hukum Mustahadoh

    [ Indonesia - Indonesian - إندونيسي ]

    Diambil dari kitab:

    "Masuliyatul Marah al Muslimah"

    Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah

    Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2012 - 1433

    حكم المستحاضة

    « باللغة الإندونيسية »

    مقتبسة من كتاب:

    "مسؤولية المرأة المسلمة"

    عبد الله بن جار الله بن ابراهيم الجار الله

    ترجمة: عارف شريف الدين

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2012 - 1433

    Hukum Mustahadhoh

    Istihadoh adalah keluarnya darah secara terus menerus pada perempuan dan darah tersebut keluar tanpa pernah berhenti selama-lamanya, atau berhenti namun pada waktu yang sangat sebentar seperti satu atau dua hari saja di dalam satu bulannya.

    Sedangkan mustahadoh mempunyai tiga keadaan yang denganya ia bisa membedakan antara darah haid dan istihadoh:

    Pertama: Perempuan tersebut sebelum mengalami darah penyakit ini (istihadoh) mempunyai waktu tertentu yang biasanya darah haid keluar, maka dalam kondisi seperti itu ia kembalikan pada hari-hari di mana ia biasa haid, supaya bisa di ketahui dan dapat menetapkan hukum haidnya, seperti yang telah lewat penjelasanya di atas, yang mana bila sudah selesai masa haidnya ia bisa mandi, mengerjakan sholat, dan puasa, sedangkan selain dari waktu haidnya maka itu di namakan darah mustahadoh yang mempunyai hukum berbeda, karena mustahadoh mempunyai hukum sendiri.

    Kedua: Dirinya sebelum terkena istihadoh ini tidak mengetahui secara persis berapa hari, dan waktunya haid, yang ia tahu darahnya terus keluar mulai dari pertama kali ia melihat darah keluar, maka dalam kondisi yang seperti ini ia melakukan cara dengan membedakan antara darah haid dan darah istihadoh, bahwa darah haid itu bisa di bedakan dengan warnanya yang hitam, atau cairanya yang kental atau dengan baunya, maka setelah jelas bedanya ia bisa menetapkan hukum haid dengan mengikutkan padanya hukum-hukum haid, sedangkan selain haid ia tetapkan sebagai darah istihadoh supaya bisa di ambil hukum istihadoh.

    Ketiga: Wanita tersebut tidak mempunyai waktu tertentu di dalam haidnya demikian juga ia tidak bisa membedakan antara darah haid dan istihadoh, maka dalam kondisi seperti ini ia mengambil kebiasaan haid dari kebanyakan para wanita, di mana biasanya haid yang mereka alami pada setiap bulannya selama enam atau tujuh hari, maka ia mulai menghitung haidnya tatkala pertama kali melihat darahnya keluar setelah itu lebihnya adalah darah istihadoh. [1]

    Kesimpulannya adalah : Bahwa asal di dalam darah yang menimpa perempuan adalah darah haid tanpa ada batasan umur, ukuran, maupun berulang-ulang, melainkan bila darahnya terus menerus tidak pernah terputus kecuali sebentar maka darah tersebut di hukumi sebagai darah istihadoh. Dan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh perempuan yang terkena mustahadoh untuk diam tidak sholat dan puasa pada hari-hari di mana ia biasa keluar darah haidnya, dan apabila tidak mempunyai hari tertentu maka dengan cara membedakan, dan jika tidak bisa membedakan maka di kembalikan pada kebiasaan dari kebanyakan para perempuan yaitu selama enam atau tujuh hari, wallahu a'lam. [2]

    Hukum yang berkaitan dengan istihadoh hampir sama dengan hukum perempuan yang suci, tidak ada bedanya, kecuali pada beberapa perkara, di antaranya yaitu:

    a. Wajib berwudhu bagi perempuan mustahadoh tiap kali ingin mengerjakan sholat, berdasarkan sabdanya Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy, beliau mengatakan: "Berwudhulah tiap kali engkau ingin sholat". HR Bukhari. Maka pengertianya adalah bahwa wanita yang mustahadoh tidak di perintah untuk berwudhu melainkan setelah masuk waktu sholat.

    b. Bahwa seorang wanita yang mustahadoh bila dirinya ingin berwudhu maka terlebih dahulu ia mencuci bekas darahnya lalu memakai pembalut supaya darahnya tersumbat tidak keluar, dan tidak mengapa setelah itu apabila darahnya tetap keluar.

    c. Bersetubuh, dan para ulama telah berbeda pendapat tentang boleh tidaknya seorang wanita mustahadoh melakukan hubungan badan, di antara mereka ada yang membolehkan dengan catatan bila sudah tidak tahan dari rasa jenuh karena tidak bersetubuh, namun pendapat yang benar adalah bolehnya secara mutlak tanpa ada pengecualian. wallahu a'lam.

    Nifas dan hukumnya

    Nifas adalah darah yang keluar dari perempuan karena di sebabkan melahirkan. Darah nifas ini tidak mempunyai batasan waktu sedikit tidak pula batasan banyaknya akan tetapi bila terus bersambung maka itu di namakan darah kotor, dan secara gholib darah nifas keluar selama empat puluh hari, maka jika nifasnya bertambah sehari sedangkan biasanya kalau sedang nifas pasti darahnya berhenti pada hari yang keempat puluh maka ia menunggu sampai darahnya terputus, kalau dirinya tidak mempunyai kebiasaan seperti itu, lebih dari empat puluh hari maka ia mandi pada hari yang keempat puluh bila darahnya terus keluar, karena itu kebiasaan dari kebanyakan wanita yang sedang nifas. Kecuali pada hari yang bertepatan dengan waktu haid maka dirinya meninggalkan sholat dan puasa sampai terputus darahnya.

    Dan bila darahnya terus keluar maka itu di namakan darah mustahadoh dan di kembalikan kepada hukum istihadoh seperti telah lewat penjelasanya, dan kalau sekiranya ia suci dengan berhenti darahnya maka ia di hukumi suci walaupun belum sampai empat puluh hari, dirinya boleh mandi, mengerjakan sholat dan puasa, serta boleh melakukan hubungan badan bersama suaminya.

    Dan hukum nifas ini tidak bisa di tetapkan melainkan setelah adanya proses melahirkan, yang berbentuk manusia, dan jika dirinya melahirkan namun belum jelas hanya sekedar gumpalan atau potongan daging maka darah yang keluar tidak di hukumi sebagai darah nifas namun dia merupakan darah kotor sehingga hukumnya seperti hukum mustahadoh. Sedangkan batasan manusia itu telah terbentuk adalah selama delapan puluh hari atau secara gholib selama sembilan puluh hari di mulai dari pertama kali hamilnya. wallahu a'alam.

    [1] . Risalah Dimaa thabi'iyah lin Nisaa karya Syaikh Muhammad bin sholeh al-Utsaimin hal: 23.

    [2] . Manhajus Saalikiin oleh Ibnu Sa'di hal: 14.