×
Pertanyaan yang dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah: “Apakah hukumnya orang yang adzan hanya untuk mendapatkan upah (gajih)?”.

Hukum Mengambil Upah Mengumandangkan Adzan

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

2012 - 1433

﴿ حكم أخذ الأجرة على الأذان ﴾

« باللغة الإندونيسية »

الشيخ محمد بن صالح العثيمين

ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

2012 - 1433

 بسم الله الرحمن الرحيم

Hukum Mengambil Upah Mengumandangkan Adzan

Pertanyaan: Apakah hukumnya orang yang adzan hanya untuk mendapatkan upah (gaji)?

Jawaban: Pertama, harus kita ketahui bahwa apa yang diberikan oleh pemerintah berupa mukafaah (upah) untuk para imam dan muadzin bukanlah gaji, akan tetapi merupakan pemberian dari baitul mal bagi orang yang melaksanakan tugas untuk kepentingan umum, seperti guru, imam, muadzin, qadhi, amir dan yang serupa dengan hal itu.

Ini bukan termasuk gaji sehingga kita mengatakan sesungguhnya gaji terhadap ibadah tidak boleh, akan tetapi ia merupakan pemberian dari baitul mal (kas negara) bagi orang yang melaksanakan tugas ini. Akan tetapi masih ada satu masalah: bolehkah imam atau muadzin berkata: Aku adzan untuk mendapatkan uang (gaji), atau aku menjadi imam untuk mendapatkan uang (gaji)?

Jawabannya adalah, Janganlah engkau berniat seperti itu. Niat ini menggugurkan pahala ibadahmu, dan engkau tidak akan memperoleh pahala adzan, pahala imam, pahala menjadi qadhi dan pahala mengajar. Berniatlah bahwa engkau mengajar dan sesungguhnya engkau menerima yang diberikan pemerintah kepadamu untuk membantu kehidupanmu.

Apabila engkau sudah melakukan hal itu, sesungguhnya pemberian tidak terlewat darimu dan niat yang ikhlas tetap bersamamu. Namun terkadang syetan bisa mengalahkan manusia sehingga ia berkata: apakah aku adzan hanya untuk pemberian ini? Apakah aku mengajar hanya karena upah ini? Maka seperti inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam, "Sesungguhnya orang yang melaksanakan ibadah hanya untuk mendapatkan harta maka ia tidak mendapatkan apapun di akhirat.[1] Bahkan di akhirat ia tidak mendapatkan apapun jua. Yang penting kita mengajak manusia untuk meluruskan niat.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – Liqaati babil maftuh/ pertanyaan no.729.

[1]Lihat: Majmu’ Fatawa 10/716-717 dan 26/16-17-20.