Keutamaan-keutamaan Bulan Rajab dalam Timbangan
Artikel ini diterjemahkan ke dalam
Klasifikasi
Full Description
Keutamaan-keutamaan Bulan Rajab
dalam Timbangan
( باللغة الإندونيسية )
Disusun Oleh:
Faisal bin Ali al-Ba'dani
Penerjemah :
Team Indonesia
Murajaah :
Abu Ziyad
فضائل شهر رجب في الميزان
إعداد:
فيصل بن علي البعداني
ترجمة:
الفريق الإندونيسي
مراجعة:
إيكو أبو زياد
Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1428 – 2007
Keutamaan-keutamaan Bulan Rajab dalam Timbangan
Allah I memberikan keutamaan kepada hari, malam dan bulan atas yang lainnya, menurut hikmah-Nya I yang sangat menakjubkan, agar hamba bersungguh-sungguh di jalan-jalan kebaikan dan memperbanyak amal-amal kebaikan. Akan tetapi golongan syetan dari bangsa jin dan manusia selalu berusaha untuk menghalangi manusia dari jalan yang lurus, untuk menghalangi di antara mereka dan kebaikan. Maka syetan-syetan itu menghiasi kepada sebagian manusia bahwa musim-musim kebaikan dan rahmat itu adalah saat yang tepat untuk bermain-main dan beristirahat, serta kesempatan untuk mengecap kenikmatan.
Syetan-syetan itu selalu menggoda manusia untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan bid'ah di musim-musim tertentu, yang Allah I tidak pernah menurunkan hujjah atasnya. Sama saja mereka termasuk orang yang memiliki niat baik akan tetapi bodoh terhadap hukum-hukum agama, atau orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu, yang khawatir kehilangan posisi mereka. Hasan bin 'Athiyah berkata, 'Tidaklah suatu kaum melakukan bid'ah dalam urusan agama, melainkan Allah I mengambil dari sunnah mereka seumpamanya dan tidak mengembalikannya kepada mereka hingga hari kiamat.[1] Bahkan Ayyub as-Sakhtiyani berkata, 'Tidak bertambah pelaku bid'ah dalam berijtihad melainkan ia bertambah jauh dari Allah I.'[2]
Barangkali di antara musim-musim bid'ah yang dominan adalah: yang dilakukan oleh sebagian ahli ibadah di banyak negara di bulan Rajab. Dan karena alasan inilah, maka artikel ini akan membahas perbuatan sebagian kaum muslimin di bulan ini, dan memaparkannya nash-nash syari'at dan perkataan para ulama, sebagai nasehat terhadap umat dan mengingatkan mereka. Semoga hal itu menjadi petunjuk bagi hati, membuka mata dan telinga yang telah tenggelam di dalam kegelapan bid'ah dan kebodohan.
Apakah bulan Rajab mempunyai kelebihan terhadap bulan-bulan yang lain?
Ibnu Hajar berkata, 'Tidak ada riwayat shahih dalam keutamaan bulan Rajab, tidak pula pada puasanya, tidak pula berpuasa secara tertentu padanya, tidak pula melaksanakan shalat di malam tertentu padanya, yang bisa dijadikan hujjah. Dan telah mendahului saya untuk memastikan hal itu Imam Abu Ismail al-Harawi al-Hafizh. Kami meriwayatkannya darinya dengan isnad yang shahih, demikian pula kami meriwayatkannya dari yang lainnya.[3]
Dan ia berkata pula, 'Adapun hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan bulan Rajab, atau keutamaan puasanya, atau puasa sebagian darinya secara nyata, maka ia terbagi dua: dha'if (lemah) dan maudhu' (palsu). Dan kami memaparkan yang dha'if dan kami isyaratkan kepada yang maudhu' yang bisa dipahami.[4] Dan ia mulai memaparkannya.
Shalat Ragha`ib:
Pertama: tata caranya:
Tata caranya disebutkan dalam hadits maudhu' (palsu), dari Anas t, dari Nabi ﷺ, sesungguhnya beliau bersabda, 'Tidak ada seseorang yang puasa di hari Kamis (hari Kamis di bulan Rajab), kemudian shalat di antara shalat Isya dan 'atamah –maksudnya malam Jum'at shalat dua belas (12) rekaat. Membaca surat al-Fatihah satu kali dan surat al-Qadar tiga (3) kali dan surah al-Ikhlas dua belas (12) kali, memisahkan di antara dua rekaat dengan satu kali salam. Apabila ia selesai dari shalatnya, ia membaca shalawat kepadaku sebanyak tujuh puluh (70) kali. Ia membaca di dalam sujudnya sebanyak tujuh puluh (70) kali (سبوح قدوس رب الملائكة والروح ), kemudian ia mengangkap kepalanya dan membaca tujuh puluh (70) kali
( رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم, إنك أنت العزيز الأغظم ) kemudian ia sujud yang kedua, lalu ia membaca seperti yang dibacanya di sujud pertama. Kemudian ia meminta kebutuhannya kepada Allah I maka sesungguhnya ia dikabulkan. Rasulullah ﷺ bersabda, 'Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba –laki-laki dan perempuan- yang melakukan shalat ini, melainkan Allah I mengampuni semua dosanya, sekalipun sebanyak buih di laut, setimbang gunung, dan daun pepohonan, dan ia memberi syafaat di hari kiamat pada tujuh ratus (700) dari keluarganya yang sudah pasti masuk neraka.'[5]
Kedua: perkataan para ulama tentang hal ini:
An-Nawawi berkata: ia adalah bid'ah yang keji yang sangat munkar, mengandung segala kemungkaran. Maka wajib meninggalkannya dan berpaling darinya, serta mengingkari pelakunya.[6]
Ibnu an-Nahhas berkata, 'Ia adalah bid'ah, hadits tentang hal itu adalah maudhu' (palsu) berdasarkan kesepakatan para ahli hadits.'[7]
Ibnu Tamiyah berkata: 'Adapun shalat ragha`ib, maka tidak ada dasarnya. Bahkan ia adalah bid'ah, tidak disunnahkan, tidak secara berjamaah dan tidak pula secara sendiri-sendiri.' Dan diriwayatkan dalam shahih Muslim, sesungguhnya Nabi ﷺ melarang menentukan shalat khusus di malam Jum'at atau berpuasa khusus di hari Jum'at.' Dan riwayat yang disebutkan dalam hal itu adalah dusta lagi palsu, dengan kesepakatan para ulama hadits. Dan tidak ada seorang salaf dan para imam yang menyebutkan hal itu.[8]
Dan sesungguhnya ath-Thurthusi menjelaskan permulaan maudhu'nya. Ia berkata, 'Abu Muhammad al-Maqdisi telah menceritakan kepadaku. Ia berkata, 'Tidak pernah ada di sisi kami di Baitul Maqdis yang dinamakan shalat ragha`ib, yang dilaksanakan di bulan Rajab dan Sya'ban. Dan pertama kali terjadi di sisi kami yaitu pada tahun empat ratus empat puluh delapan (448 H.) Ada seorang laki-laki yang datang kepada kami di Baitul Maqdis dari Nablus, yang dikenal dengan nama Ibnu Abi al-Hamra. Ia baik bacaan. Ia berdiri melaksanakan shalat di malam nishfu Sya'ban…hingga ia berkata: Adapun shalat di bulan Rajab, maka tidak pernah terjadi di sisi kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun empat ratus delapan puluh (480 H.), dam kami tidak pernah melihat dan mendengarnya sebelumnya.[9]
Ibnu al-Jauzi dalam 'al-Maudhu'aat', al-Hafizh abul-Khaththab, dan Abu Syamah memastikan maudhu' haditsnya.[10] Sebagaimana Ibnu al-Haaj dan Ibnu Rajab memastikan bid'ahnya[11]. Dan disebutkan hal itu dari Abu Ismail al-Anshari, Abu Bakar as-Sam'ani, dan Abu al-Fadhl bin Nashir[12] dan yang lainnya.[13]
Ketiga: Hukum shalatnya untuk menarik simpati kalangan awam:
Abu Syamah berkata, 'Berapa banyak imam yang berkata kepadaku: sesungguhnya ia tidak melaksanakan shalat kecuali untuk memelihara simpati kalangan awam terhadap, dan berpegang dengan masjidnya, karena takut diambil darinya. Kalau hal ini yang melatar belakangi perbuatannya, berarti ia melaksanakan shalat tanpa niat yang benar dan menghinakan diri berdiri di hadapan Allah I. Jikalau tidak ada di dalam bid'ah ini selain alasan ini niscaya sudah cukup. Dan setiap orang yang percaya dengan shalat ini, atau menganggapnya baik, maka ia menjadi penyebab dalam hal itu, menipu kalangan awam dengan keyakinan mereka darinya, dan berdusta terhadap syara' dengan sebabnya. Wallahul-muwaffiq.
Sesungguhnya para pemuka agama dari kalangan Ahli Kitab menolak masuk Islam karena takut kehilangan jabatan mereka, dan kepada mereka turun ayat:
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلُُلَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ {79}
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya:"Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah:79)[14]
Isra` dan Mi'raj:
Di antara mu'jizat terbesar yang diberikan Allah I kepada Nabi ﷺ adalah perjalanan beliau di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian naik ke tujuh lapis langit dan yang di atasnya. Sesungguhnya telah tersebar di sebagian negara perayaan memperingati Isra dan Mi'raj itu di malam dua puluh tujuh (27) di bulan Rajab, dan tidak sah bahwa peristiwa Isra dan Mi'raj itu terjadi pada malam tanggal tersebut. Ibnu Hajar berkata dari Ibnu Dihyah: Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isra itu terjadi di bulan Rajab. Ia berkata, 'Itu adalah dusta.'[15] Ibnu Rajab berkata, 'Diriwayatkan dengan isnad yang tidak shahih dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Isra` Nabi ﷺ terjadi pada tanggal 27 Rajab. Ibrahim al-Harbi dan yang lainnya mengingkari hal itu.[16] Ibnu Taimiyah berkata: 'Tidak ada dalil yang diketahui, tidak tentang bulannya, tidak tentang sepuluhnya, dan tidak pula tentang pastinya. Bahkan semua riwayat tentang hal itu terputus dan berbeda-beda. Tidak ada padanya yang bisa dipastikan.[17] Andaikan diketahui secara pasti terjadinya Isra dan Mi'raj niscaya tetap tidak disyari'atkan bagi seseorang menentukan sesuatu, karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi ﷺ, tidak pula diriwayatkan dari salah seorang sahabat atau dari para tabi'in, bahwa sesungguhnya mereka menjadikan malam Isra` mempunyai kelebihan atas yang lainnya. Ditambah lagi adanya bid'ah dan kemungkaran yang terdapat dalam perayaan itu.[18]
Menyembelih di bulan Rajab dan yang semisalnya:
Semata-mata menyembelih di bulan Rajab karena Allah I tidak dilarang, seperti menyembelih di bulan-bulan lainnya. Akan tetapi masyarakat jahiliyah menyembelih padanya satu sembelihan yang mereka namakan 'atirah. Para ulama berbeda pendapat dalam hukumnya: mayoritas ulama berpendapat bahwa Islam telah membatalkannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ, seperti dalam Shahihain, dari Abu Hurairah t:
لا فرع ولا عتيرة
"Tidak ada fara' dan tidak ada pula 'atirah.'[19]
Dan sebagian mereka, seperti Ibnu Sirin dan yang lainnya berpendapat disunnahkannya berdasarkan beberapa hadits yang menunjukkan bolehnya. Dan dijawab bahwa hadits Abu Hurairah lebih kuat dan lebih shahih. Maka hadits ini yang harus diamalkan, bukan yang lainnya. Bahkan sebagian mereka, seperti Ibnul Munzir, berpendapat nasakh, karena terakhirnya Islam Abu Hurairah t, dan sesungguhnya bolehnya itu di permulaan Islam, kemudian dinasakh. Dan ini adalah yang benar.[20]
Al-Hasan berkata: 'Tidak ada 'atirah di dalam Islam. Ia hanya ada di masa jahiliyah. Adalah salah seorang dari mereka berpuasa dan menyembelih.[21]
Ibnu Rajab berkata: 'Menyembelih di bulan Rajab sama seperti menjadikannya musim dan hari besar, seperti memakan manisan dan lainnya. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas t, bahwasanya dia tidak suka menjadikan bulan Rajab sebagai hari besar.'[22]
Menentukan bulan Rajab dengan berpuasa atau i'tikaf:
Ibnu Rajab berkata: Adapun puasa, maka tidak ada hadits yang shahih yang menunjukkan keutamaan puasa di bulan Rajab secara khusus dari Nabi ﷺ, dan tidak pula dari para sahabatnya.[23]
Ibnu Tamiyah berkata: adapun puasa di bulan Rajab secara khusus, maka semua haditsnya dha'if (lemah), bahkan maudhu', tidak ada ulama yang menjadikannya sebagai pegangan. Bukan termasuk dha'if yang diriwayatkan dalam fadha`il (keutamaan amal ibadah), bahkan umumnya adalah hadits-hadits maudhu' yang dusta. Ibnu Majah dalam sunannya meriwayatkan dari Ibnu Abbas t, dari Nabi ﷺ, bahwasanya beliau melarang puasa di bulan Rajab.' Dan pada isnadnya perlu ditinjau kembali. Akan tetapi shahih riwayat bahwa Umar bin Khaththab t memukul tangan manusia agar mereka meletakkan tangan pada makanan di bulan Rajab dan berkata, 'Janganlah kamu menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.' Adapun menentukan beri'tikaf dalam tiga bulan, yaitu Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan, maka aku tidak mengetahui perintah padanya. Bahkan setiap orang yang berpuasa secara benar, dan ingin beri'tikaf dari puasa, niscaya hukumnya boleh tanpa diragukan lagi. Dan jika ia beri'tikaf tanpa berpuasa, dalam masalah ini ada dua pendapat yang terkenal di kalangan ulama.[24]
Tidak adanya keutamaan berpuasa di bulan Rajab secara khusus tidak berarti tidak adanya puasa sunnah di bulan itu yang terdapat nash secara umum dan yang lainnya, seperti puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari setiap bulan, puasa sehari dan buka sehari. Sesungguhnya yang dimakruhkan adalah seperti yang dikatakan oleh ath-Tharthusyi[25] puasanya di atas salah satu di antara tiga:
1. Apabila kaum muslimin menentukannya setiap tahun menurut pandangan kalangan awam dan orang yang tidak mengenal syari'at, serta menampakkan puasanya seolah-olah wajib seperti puasa di bulan Ramadhan.
2. Meyakini bahwa puasanya adalah tsabit benar-benar ada, yang ditentukan oleh Rasulullah ﷺ berpuasa, seperti sunnah rawatib.
3. Meyakini bahwa berpuasa di bulan itu mempunyai keutamaan khusus dibandingkan berpuasa di bulan lainnya, seperti pahala puasa hari Asyura. Maka ia termasuk dalam bab keutamaan, bukan dari bab sunnah dan fardhu. Jikalau seperti itu, niscaya Nabi ﷺ menjelaskannya atau melakukannya, sekalipun hanya sekali seumur hidup. Dan manakala beliau ﷺ tidak pernah melakukannya, berarti nyatalah tidak ada keutamaan itu.
Umrah di bulan Rajab:
Sebagian orang berkeinginan melakukan umrah di bulan Rajab, karena meyakini bahwa umrah di bulan itu mempunyai kelebihan khusus. Ini tidak ada dasarnya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar t, ia berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melaksanakan umrah sebanyak empat kali, salah satunya di bulan Rajab.' Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, 'Semoga Allah I memberi rahmat kepada Abu Abdirrahman, tidak pernah Rasulullah ﷺ melaksanakan umrah kecuali ia menyaksikannya, dan beliau ﷺ tidak pernah melaksanakan umrah di bulan Rajab.'[26]
Ibnu al-Baththar berkata, 'Di antara kabar yang sampai kepadaku dari penduduk Makkah (semoga Allah I menambahkannya kemuliaan) kebiasaan mereka melaksanakan umrah di bulan Rajab. Aku tidak pernah mengetahui dasar tentang hal ini.[27]
Syaikh bin Baz rahimahullah menegaskan[28] bahwa waktu terbaik untuk melaksanakan umrah adalah bulan Ramadhan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
عُمْرَةٌ فِى رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً
'Berumrah di bulan Ramadhan sama seperti berhaji.'
Kemudian setelah itu umrah di bulan Dzulqa'dah, karena umrahnya Nabi ﷺ semuanya terjadi di bulan Dzulqa'dah, dan Allah I berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik (QS. Al-Ahzab:21)
Berzakat di bulan Rajab:
Sebagian penduduk negeri terbiasa menentukan bulan Rajab untuk mengeluarkan zakat. Ibnu Rajab berkata tentang hal itu, 'Tidak ada dasar tentang hal itu di dalam sunnah, dan tidak dikenal dari seorang pun dari kalangan salaf.' Dalam kondisi apapun, sesungguhnya wajib berzakat apabila telah sempurna haul (satu tahun) serta sampai nisadnya (hitungannya). Maka setiap orang mempunyai hitungan haul yang khusus untuknya menurut waktu kepemilikannya terhadap nishab. Maka apabila telah sempurna haulnya, wajiblah atasnya mengeluarkan zakatnya di bulan apapun juga. Kemudian ia menyebutkan bolehnya menyegerakan mengeluarkan zakat karena mengambil kesempatan waktu yang utama, seperti bulan Ramadhan, atau mengambil kesempatan mengeluarkan zakat kepada orang yang sangat membutuhkan yang mungkin tidak ditemukan saat sempurna haulnya, atau semisal yang demikian itu.[29]
Ibnu al-Aththar berkata, 'Dan apa yang dilakukan manusia di masa sekarang berupa mengeluarkan zakat harta mereka di bulan Rajab, bukan di bulan lainnya, tidak ada dasarnya. Bahkan hukum syara' adalah wajibnya mengeluarkan zakat saat cukup haulnya dengan syaratnya, sama saja di bulan Rajab atau di bulan lainnya.[30]
Tidak ada peristiwa besar di bulan Rajab:
Ibnu Rajab berkata, 'Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab telah terjadi beberapa peristiwa besar. Dan tidak ada yang shahih tentang hal itu. Maka diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ dilahirkan di permulaan malam dari bulan Rajab, dan sesungguhnya beliau dibangkitkan di malam dua puluh tujuh (27) Rajab, dan dikatakan pada malam dua puluh lima (25) Rajab, dan tidak ada satupun yang shahih darinya.[31]
Pendirian bersama sebagian da'i:
Sebagian da'i di masa sekarang melakukan berbagai macam bid'ah musiman, seperti bid'ah di bulan Rajab. Padahal mereka mengetahui tidak disyari'atkannya, dengan alasan khawatir manusia tidak beribadah, jika mereka meninggalkan bid'ah mereka. Padahal bid'ah adalah dosa paling berbahaya setelah syirik.
Ats-Tsauri berkata, 'Para fuqaha (ahli fikih) berkata, 'Perkataan tidak bisa lurus kecuali dengan amal. Perkataan dan amal perbuatan tidak bisa lurus kecuali dengan niat. Perkataan, perbuatan, dan niat tidak bisa lurus kecuali dengan mengikuti sunnah.'[32] Mereka wajib mempelajari sunnah dan mengajarkannya, mengajak diri mereka dan orang-orang di sekitar mereka untuk mengamalkannya, karena Nabi ﷺ bersabda, '
َمنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang melakukan amal yang bukan berdasarkan perintah kami, maka ia ditolak.'
Alangkah indahnya ucapan Abul Aliyah ketika ia berkata kepada sebagian murid-muridnya, 'Pelajarilah Islam, apabila kamu telah mempelajarinya, maka janganlah kamu membencinya. Kamu harus berada di jalan yang lurus. Maka sesungguhnya jalan yang lurus adalah Islam, maka janganlah kamu menyimpang dari jalan yang lurus, kanan dan kiri. Kamu harus berpegang kepada sunnah nabimu. Dan jauhilah hawa nafsu yang mencampakkan di hati pelakunya sikap permusuhan dan saling membenci.[33] Dan sebelumnya, Huzaifah t berkata, 'Wahai para qurra, istiqamahlah. Kamu telah melewati jalan yang jauh. Dan jika kamu mengambil kanan dan kiri, berarti kamu telah tersesat yang sangat jauh.[34]
Terakhir:
Sesungguhnya para dai pada saat ini, dan umat bersamanya, dituntut memurnikan mutaba'ah (mengikuti) Nabi ﷺ dalam segala perkara secara sempurna, sebagaimana mereka dituntut memurnikan keikhlasan kepada Allah I, jika mereka menginginkan keselamatan untuk diri mereka, dan kemenangan dan kemuliaan untuk agama mereka. firman Allah I:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا {110}
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". (QS. Al-Kahfi:110)
Dan firman-Nya:
وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ {40}
Sseungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hajj:40)
Semoga Allah I memberi taufik kepada semua untuk kebaikan. Dan Dia-lah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Disarikan dari makalah : Fadhail syahri rajab fil mizan karya
Faisal bin Ali al-Ba'dani
[1] Al-Hilyah 6/73
[2] Al-Hilyah 3/9
[3] Tabiyinul 'Ajab fima warada fi fadhli Rajab, karya Ibnu hajar hal. 6. dan lihat: as-Sunan wa al-Mubtada'at karya asy-Syuqairi hal. 125
[4] Referensi terdahulu hal. 8
[5] Lihat Ihya Ulumuddin, karya al-Ghazali 1/202, Tabyinul 'Ajab fima warada fi fadhli Rajab, hal. 22-24.
[6] Fatawa al-Imam an-Nawawi hal. 57
[7] Tanbihul-Ghafilin 496
[8] Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah 23/132, dan lihat al-Fatawa 23/134-135.
[9] Al-Hawadits wal-Bida' 103.
[10] Al-Ba'its 'ala Inkaril bida' wal hawadits hal. 6761
[11] Al-Madkhal 1/211
[12] Lihat: Latha`iful Ma'arif, tahqiq Ustadz/ Yasin as-Sawas hal.228
[13] Muqaddimah musajalah al-'Izz ibnu Abdissalam dan Ibnu ash-Shalah hal. 87
[14] Al-Ba'its 'ala ingkaril bida' wal hawadits hal 105
[15] Tabyidul Ajab hal 6.
[16] Zadul Ma'ad karya Ibnu al-Qayyim 1/275 dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fath al-Bari 7/242-242 perbedaan tentang waktu mi'raj, dan ia menjelaskan bahwa ada yang mengatakan bahwa ia terjadi di bulan Rajab, dikatakan pada bulan Rabiul Akhir, dan dikatakan pada bulan Ramadhan atau Syawal. Dan persoalannya seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah.
[17] Lataiful Ma'arif karya Ibnu Rajab hal 233
[18] Sebagian kemungkaran itu disebutkan oleh Ibnu an-Nahhas dalam Tanbihul Ghafilin hal 497, Ibnu al-Haaj dalam al-Madkhal hal 1/211-212, dan Ali Mahfuzh dalam al-Ibda' 272.
[19] Al-Bukhari hadits no.5473 dan Muslim hadits no. 1976
[20] Lihat: Lathaiful Ma'arif hal 227, al-I'tibar linnasikh wan mansukh minal atsaar, karya al-Hazimi 388-390
[21] Lathaiful Ma'arif 227
[22] Lathaiful Ma'arif 227
[23] Lathaiful Ma'arif 228
[24] Al-Fatawa 25/290-292
[25] Al-Bida' wal hawadits hal. 110-111, dan lihat Tabyinul 'ajab karya Ibnu Hajar hal 37-38.
[26] Shahih al-Bukhari hadits 1776
[27] Al-Musajalah baina al-'Izz ibnu Abdissalam dan Ibnu ash-Shalah hal 56, dan lihat Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim hal 6/131
[28] Lihat: Fatawa Islamiyah, kumpulan Ustadz/ Muhammad al-Musnid 2/303-304
[29] Lathaiful Ma'arif 231-232
[30] Al-Musajalah baina al-'Izz dan Ibnu ash-Shalah hal. 55
[31] Lathaiful Ma'arif 233.
[32] Al-Ibanah al-Kubra karya Ibnu Baththah hal. 1/333
[33] Al-Ibanah al-Kubra karya Ibnu Baththah hal. 1/338
[34] Al-Bida' wan-nahyu 'anha karya Ibnu Wadhdhah hal. 10.