×
Tulisan ini menyebutkan tentang adab-adab dalam bersiwak seperti membersihkan siwak setelah dipakai, disunnahkan bersiwak setelah bangun tidur atau sebelum sholat, dan bersiwak dengan siwak yang basah.

    ADAB BERSIWAK

    ﴿ آداب السواك ﴾

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Penyusun : Majid bin Su'ud al-‘Ausyan

    Terjemah : Muzafar Sahidu bin Mahsun Lc.

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2009 - 1430

    ﴿ آداب السواك ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    تأليف: ماجد بن سعود آل عوشن

    ترجمة: مظفر شهيد محصون

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2009 - 1430

    ADAB BERSIWAK

    · Mencuci siwak setelah memakainya untuk membersihkan kotoran yang menempel padanya, dalam hadits riwayat ‘Aisyah radhiallahu anha, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersiwak lalu siwak tersebut diberikan kepadaku untuk dibersihkan, maka aku mencucinya dan bersiwak dengannya. Kemudian aku kembali membersihkannya, baru memberikannya kepada beliau".

    · Terdapat perbedaan ulama tentang dibolehkannya bersiwak menggunakan jari saat kayu siwak tidak ada, yang kuat adalah bersiwak dengan jari tidak termasuk sunnah.

    · Termasuk petunjuk Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau bersiwak setelah bangun dari tidur.

    · Termasuk sunnah bersiwak pada setiap shalat.

    · Dari Aisyah radhiallahu anha, dia menceritakan bahwa Abdur Rahman bin Abu Bakar Al-Shiddiq RA mendekat kepada Nabi saat aku menyandarkan beliau pada dadaku (detik-detik wafatnya Rasulullah SAW), sementara di tangan Abdurrahman terdapat siwak basah yang dipergunakannya untuk bersiwak, dan Rasulullah SAW menolehkan pandangannya kepadanya, (maka aku mengambil siwak tersebut) dan mengunyahnya serta melembutkannya lalu aku berikan kepada Rasulullah SAW kemudian beliau bersiwak dengannya, dan aku tidak pernah sekali-kali melihat beliau bersiwak dengan cara yang lebih baik dari hari itu. Setelah selesai bersiwak beliau mengangkat tangannya atau jarinya kemudian bersabda:

    فِي الرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى

    (Pada golongan orang-orang tertinggi) beliau mengucapkan sebanyak tiga kali. Kemudian beliau meninggal dunia, Siti Aisyah berkata: "Rasulullah SAW meninggal di antara dua tulang selangkaku dan tulang daguku".

    Beberapa hukum yang bisa disimpulkan dari hadits ini:

    · Disunnahkan bersiwak dengan siwak yang basah.

    · Disyari'atkan bagi seseorang untuk bersiwak pada saat berjalan dan bukan perbuatan yang makruh, sebab Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Rasulullah SAW sementara dia dalam keadaan bersiwak.

    · Dibolehkan membersihkan mulut di hadapan seorang yang alim atau orang yang mempunyai keutamaan.

    · Dianjurkan bagi seseorang untuk menjaga agar dirinya selalu bersiwak.

    · Dianjurkan bagi seseorang yang terlihat pada dirinya tanda-tanda kematian, sementara dirinya sempat dan bisa bersiwak maka hendaklah dia bersiwak untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.

    · Tidak dilarang bagi seseorang untuk meminta sesuatu dari saudaranya jika dia mengetahui bahwa saudaranya akan memberikan barang tersebut untuknya.

    · Kecintaan Nabi dengan siwak, disebutkan dalam riwayat Al Bukhari bahwa Siti ’Aisyah berkata: "Maka aku mengetahui bahwa beliau menyukai siwak tersebut, lalu aku bertanya kepada beliau: "Apakah aku mengambilnya untukmu?".

    · Dianjurkan bagi seseorang yang ingin memakai siwak orang lain untuk memanfaatkan bagian yang belum dipergunakan bersiwak.

    · Dianjurkan bagi seseorang yang ingin bersiwak untuk mengharumkan siwaknya dengan air bunga atau wangian lainnya yang boleh dipergunakan pada mulut.

    · Disunnahkan bagi seseorang yang ingin bersiwak pada lidahnya, bersiwak dengan mengikuti arah panjang lidah.

    · Dianjurkan bagi seseorang untuk bersiwak pada saat dia akan melaksanakan shalat, yaitu antara iqomah dan takbiratul Ihrom.

    · Imam Bukhari rahimahullah mengatakan:

    باب دفع السواك إلى الأكبر

    (Bab tentang memberikan siwak kepada orang yang lebih besar), Ibnu Baththal mengatakan: Dari hadits tersebut dapat disimpulkan tentang anjuran mengutamakan orang yang lebih tua dalam bersiwak".[1]

    [1] Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/357.