×
Tulisan ini berisi tentang anjuran untuk menutupi aib orang yang tidak berkaitan dengan kelayakan dalam memegang amanah.

    Menutupi Aib Orang Lain

    ﴿ ستر العيب ﴾

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Mahmud Muhammad al-Khazandar

    Terjemah : Muhammad Iqbal Ghazali

    Editor : Eko Abu Ziyad

    2009 - 1430

    ﴿ ستر العيب ﴾

    « باللغة الإندونيسية »

    محمود محمد الخزندار

    (من كتاب هذه أخلاقنا حين نكون مؤمنين : ص 33-42)

    ترجمة: محمد إقبال غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2009 - 1430

    Menutupi Aib Orang Lain

    Masyarakat yang bersih, yang tidak dipenuhi berbagai berita adalah masyarakat yang selamat serta terjaga, dan yang melakukan maksiat tetap tertutup dengan tutupan Allah I atasnya hingga ia bertaubat dan ditutup oleh orang-orang yang beriman, agar ia tidak berani melakukannya secara terang-terangan atau terus-menerus tanpa berhenti.

    Rasulullah ﷺ‬ mencela ucapan pelaku maksiat yang mencemari dirinya sendiri dan membuka tutupan Allah I terhadapnya, beliau bersabda:

    كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًا إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ, وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ باِللَّيْلِ عَمَلاً, ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُوْلُ: يَافُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ سَتَرَهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

    "Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di pagi harinya -padahal Allah I telah menutupnya-, ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu –padahal Allah I telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah I terhadapnya."[1]

    Rasulullah ﷺ‬ juga mencela seseorang yang mempermalukan saudaranya, karena itulah Allah I menyifati orang-orang yang mencemarkan kehormatan kaum muslimin dengan lisan mereka, sebagaimana firman Allah I:

    إَنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ ءَامَنُوا

    Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, (an-Nuur:19)

    Dan senantiasa ancaman keras menanti mereka:

    لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

    bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nuur:19)

    Dan kebalikannya, berita gembira bagi orang-orang yang menutup aib saudara-saudara mereka, dengan tutupan Allah I kepada mereka di dunia dan akhirat, seperti yang tersebut dalam hadits shahih:

    وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

    "Dan barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah I menutup aibnya di dunia dan akhirat."[2]

    An-Nawawi rahimahullah mengatakan ketika memberikan komentar terhadap hadits di atas, adapun menutup aib orang lain yang dianjurkan di sini maksudnya adalah, menutup aib orang yang melakukan keburukan, dari orang yang tidak terkenal melakukan keburukan dan kerusakan. Adapun orang yang sudah dikenal seperti itu, maka dianjurkan agar tidak menutupnya, bahkan dilaporkan kepada pemerintah, jika ia tidak mengkhawatirkan terjadinya kerusakan yang lebih besar lagi, karena menutup hal seperti ini membuat dia bertambah berani melakukan kerusakan dan kekacauan, melakukan segala yang diharamkan dan membuat orang yang lain berani melakukan hal serupa. Adapun menyebutkan cacat atau aib para perawi hadits, para saksi, dan orang-orang yang diberi amanah terhadap sedekah, harta waqaf dan anak-anak yatim dan semisal mereka, maka wajib menyebutkan aib mereka saat diperlukan dan tidak boleh menyembunyikan hal itu, apabila ia melihat suatu perkara yang mengurangi kelayakan mereka. Hal ini tidak termasuk ghibah (mengumpat) yang diharamkan, bahkan termasuk nasehat yang wajib.[3]

    Hal itu tidak berarti engkau harus berdiam diri di antara engkau dan dia, tanpa harus diketahui orang lain. Apabila engkau telah mengingkari dan memberikan nasehat kepadanya, lalu ia tidak berhenti melakukan perbuatan buruknya, kemudian ia terang-terangan melakukannya, niscaya boleh bersaksi atasnya dengan hal itu -seperti yang dijelaskan oleh an-Nawawi dan Ibnu Hajar- dan dibedakan di antara menutup aib dan mengingkari, yaitu bahwa menutup aib tempatnya adalah dalam perbuatan maksiat yang sudah berakhir, dan mengingkari pada maksiat yang sedang dilakukan, maka wajib mengingkarinya. Jika tidak demikian, ia melaporkannya kepada pemerintah.[4]

    Dan menutup aib yang paling utama adalah menutup aib diri sendiri, yang Allah I telah menutupinya dan Allah I telah memuliakannya karena ia merasa bersalah karena berbuat maksiat dan merasa malu darinya, yaitu dengan memberi ampunan kepadanya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah ﷺ‬ dalam hadits qudsi:

    فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ هَذَا؟ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ هذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ. حَتىَّ إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِى نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ:سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ, فَيُعْطَى كِتَابُ حَسَنَاتِهِ.

    "Allah I berfirman (kepada hamba):'Apakah engkau mengetahui dosa ini? apakah engkau mengenal dosa ini?' Ia menjawab, 'Ya, wahai Rabb.' Sehingga apabila ia telah mengakui dosa-dosanya dan ia melihat pada dirinya bahwa ia akan binasa, Dia I berfirman, 'Aku telah menutupinya atasmu di dunia dan aku mengampuninya untukmu pada hari ini, maka diberikanlah catatan kebaikannya…"[5]

    Maka hendaklah seseorang menutupi aib dirinya, sebagaimana Allah I telah menutupinya.

    Termasuk di antara kemuliaan muslim terhadap Allah I, sesungguhnya Allah I akan membelanya dan membalas kepada orang yang berbuat jahat kepadanya. Dalam hal itu, Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

    يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ: لاَ تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَبَّعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يتبعِ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِهِ.

    "Wahai sekalian orang yang beriman dengan ucapan lisannya dan iman belum masuk ke dalam hatinya, 'Janganlah engkau mengumpat kaum muslimin dan janganlah mencari-cari kesalahan mereka. Maka sesungguhnya orang yang mencari-cari kesalahan mereka niscaya Allah I mencari-cari kesalahannya. Dan barangsiapa yang Allah I mencari-cari kesalahannya, niscaya Dia I mempermalukannya di rumahnya."[6]

    Maka tutupilah aib saudara-saudaramu, karena engkau tidak pernah akan mampu memerangi Allah I, Yang Maha Kuasa membuka segala aibmu dan mengungkap segala dosamu, sementara manusia tidak ada yang mengetahuinya. Dan kekanglah lisanmu dari pembicaraan menyangkut kehormatan orang lain, mencari-cari kesalahan, dan merusak harga diri saudara-saudaramu.

    Engkau mendapatkan jiwa yang sakit tenggelam mendengarkan aib orang lain dan mencari-cari kesalahan, serta dibuka majelis untuk mengungkap kesalahan orang lain. Padahal Rasulullah ﷺ‬ memerintahkan memaafkan kesalahan, dan Allah I "Menyukai sifat malu dan menutup aib",[7] seolah-olah digabungkan di antara dua sifat yang terpuji ini (malu dan menutup aib) karena manusia yang menyebarkan aib saudara-saudaranya, ia tidak akan bisa melakukan hal itu kecuali setelah tidak adanya sifat malu yang menghalanginya melakukan hal itu, dan ia tidak menutupi kecuali karena sifat malu.

    Sungguh di antara petunjuk Nabi ﷺ‬ adalah lebih mengutamakan menutup aib, sampai-sampai pada orang yang melakukan dosa besar. Karena itulah diarahkan sabdanya:

    تَعَافُّوْا الْحَدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ

    'Tinggalkanlah pelaksanaan hukum had di antara kamu.'[8]

    Agar tidak dibawa kepada pemerintah (pengadilan), maka ia mendapat malu dengan dilaksanakan hukum had, dan barangkali pelakunya bertaubat, lalu Allah I menerima taubatnya.

    Dan Rasulullah ﷺ‬ sangat berusaha menjaga kemuliaan muslim dan keselamatan jiwanya, sesungguhnya telah datang kepada beliau seorang laki-laki yang berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berhak mendapat hukum had, maka laksanakanlah kepadaku.' Anas bin Malik t berkata,"Dan beliau ﷺ‬ tidak bertanya kepadanya tentang dosanya." Dan setelah shalat, laki-laki itu mengulangi ucapannya, maka Rasulullah ﷺ‬ bersabda:

    أَلَيْسَ قَدْ صَلَّيْتَ مَعَنَا

    "Bukanlah engkau setelah melaksanakan shalat bersama kami?" Ia menjawab, "Benar." Beliau ﷺ‬ bersabda:

    فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ ذَنْبَكَ

    "Sesungguhnya Allah I telah mengampuni dosamu."[9]

    Ibnu Hajar berkata, "Sesungguhnya Nabi ﷺ‬ tidak meminta keterangan lebih jelas darinya, bisa jadi karena hal itu termasuk dalam kategori tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) yang dilarang, boleh jadi karena lebih mengutamakan menutup aib dan beliau ﷺ‬ melihat bahwa dalam melaksanakan had terhadapnya bisa menjadi penyesalan."[10]

    Kesimpulan:

    - Orang yang berbuat maksiat secara tertutup akan tetap tertutup dengan tutupan Allah I.

    - Membuka aib adalah perbuatan tercela, sekalipun berbicara tentang dirinya sendiri.

    - Tidak ada kontradiksi (pertentangan) di antara mengingkari perbuatan maksiat dan menutupinya.

    - Merasa senang mendengar aib adalah pertanda adanya penyakit di dalam hati.

    - Menututup aib adalah perbuatan yang dianjurkan, sekalipun terhadap pelaku dosa besar. Wallahu A'lam.

    [1] Al-Bukhari, Kitab al-Adab, bab 60. hadits no. 6069

    [2] HR. Muslim, at-Tirmidzi, Abu Daud, dan dalam Shahih Sunan Ibnu Majah. 184

    [3] Syarh an-Nawawi terhadap Shahih Muslim 16/135, kitab al-Biir wa ash-Shilah, bab 15, Syarh hadits no. 2580

    [4] Fath al-Bari (5/97) dari syarah hadits no. 2442.

    [5] Shahih al-Jami', no.3021, dari Musnad Ahmad 6/145

    [6] Musnad Ahmad 4/220 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' no.7984.

    [7] Musnad Ahmad 4/224, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' no. 1756.

    [8] Shahih Sunan Abu Daud no.3680 dan Shahih Sunan an-Nasa`i no.4539

    [9] Shahih al-Bukhari, kitab al-Hudud, bab 27, no. 6823.

    [10] Fath al-Bari 12/134 dari syarah hadits 6823.